Berbagai macam pertanyaan dan pikiran negatif seketika memenuhi benak Naomi. Dia tidak ingin berburuk sangka tapi hal-hal yang dia temukan memicunya untuk berpikir begitu dan tanpa sadar membuat Naomi tenggelam dalam lamunannya.
Karena Naomi terlalu senyap, Pandu pun jadi merasa heran. Ia menatap wajah istrinya dengan penuh tanda tanya.
“Apa kamu sakit Mi? Kamu pendiam sekali pagi ini.”
Suara Pandu sontak memutus lamunan panjang Naomi, menariknya kembali pada realita yang tengah membuat dirinya gundah gulana.
“Tidak, aku baik-baik saja.” Naomi mengerjap-ngerjap, “Oh ya mas semalam kamu sendirian? Aku agak cemas.”
“Kalau di ruanganku ya sendiri, tapi ada satpam di luar dan Aldi. Dia juga ga pulang semalam karena sama mendadak tenggat waktu kerjaan dimajukan,” jelas Pandu, “Kamu khawatir aku kesepian ya?” goda Pandu kemudian yang langsung dibalas dengan timpukan gemas dari Naomi.
“Kamu ini.... Oh iya biasanya pekerja perempuan atau modelnya suka ada yang kerja lembur gitu ga?”
“Jarang sih, tapi semalam ga ada. Kenapa sih nanya-nanya? Takut aku dikelonin cewek lain ya?”
Deg! Sungguh godaan Pandu kali ini tidak terasa lucu untuk Naomi dan malah membuat suasana hatinya semakin buruk. Naomi juga melontarkan pertanyaan itu untuk menggali informasi lebih dalam, tapi penjelasan Pandu seolah mematahkan semua kecurigaannya.
Namun tetap saja masih ada hal yang terasa aneh tentang mengapa dari pakaian Pandu tercium aroma parfum wanita?
“Aku mau belanja dulu.” Naomi mengalihkan topik pembicaraan lalu buru-buru mengambil kunci mobilnya. Ia tidak ingin berlarut-larut memikirkan semua itu sebelum semuanya jelas.
“Ayo aku siap antar istriku ke mana pun.” Pandu merebut kunci mobil ditangan Naomi dengan penuh antusias.
“Kamu istirahat aja, bukannya habis bergadang semaleman?” sindir Naomi.
“Aku sempet tidur sebentar sebelum pulang jadi ga ngantuk lagi.”
Mereka pun akhirnya pergi berbelanja kebutuhan bulanan dan bahan makanan bersama. Pagi itu situasi di supermarket tidak terlalu ramai karena baru satu jam buka. Naomi memilih bahan makanan dengan leluasa. Sedangkan Pandu hanya memperhatikannya seraya mendorong troli belanjaan.
“Eh, Naomi?” celetuk seorang pria dari arah belakang Naomi.
Naomi dan Pandu sontak berbalik dan mendapati dua orang yang tidak asing.
“Hey Dim ke mana aja jarang keliatan?” sambut Pandu antusias seraya menepuk-nepuk bahu Dimas dan melirik ke arah Maya, istri dari sahabatnya itu.
Belum sempat Naomi menyapa Dimas atau pun Maya tiba-tiba dari arah sampingnya terlihat seorang nenek yang belanjaannya tumpah ruah. Buah mangga yang besar-besar menggelinding di atas lantai. Naomi dengan cekatan segera mengutipnya dan membantu nenek itu tanpa pamrih.
“Beruntung banget ya punya istri baik hati kaya Naomi. Ga masuk akal sih kalau misalnya lo selingkuhin cewek sebaik itu, Pand.”
Klang!!!
Sebuah kornet kalengan yang tengah digenggam Pandu tiba-tiba saja terjun bebas dan bertumbuk keras dengan ubin supermarket hingga menimbulkan kebisingan.
“Mas kamu gapapa?” tanya Naomi yang baru saja tiba dan membantu Pandu mengambil kaleng di lantai.
“Ah... ini tanganku licin,” balas Pandu terbata-bata dengan wajahnya yang pucat pasi.
Naomi menatap ke arah Dimas dan Pandu bergantian. Ia menyadari ada ekspresi yang tidak biasa dari Dimas. Selain itu perkataan Dimas juga mengapa bisa pas sekali dengan kegelisahan yang kini sedang Naomi rasakan.
“Kenapa kamu ngomong kaya gitu? Bawa-bawa isu perselingkuhan,” celetuk Naomi dengan tatapan penuh kecurigaan pada Dimas.
Dimas langsung tersengih, sorot matanya berubah menjadi lebih ramah. “Ga, kebetulan aja isu kaya gitu lagi panas kan,” balas Dimas, “Lagian kenapa kamu kaget gitu Pand? Kaya orang abis ke gep aja,” sindirnya lagi pada Pandu.
Pandu sontak terbelalak, wajahnya semakin pucat, tapi kali ini kemarahan tergambar di wajahnya. “Lo ngomong apa sih? Mau bikin salah paham orang lain?” rutuk Pandu.
Sedangkan Naomi semakin memicingkan matanya berusaha menebak maksud ucapan Dimas.
Namun Dimas tidak terintimidasi oleh apa pun terlebih amukan Pandu, Dimas malah kembali mengukir senyumnya yang penuh arti dan mencurigakan.
“Kamu nih mau anter aku belanja atau apa? Aku harus kerja bentar lagi,” gerutu Maya mengalihkan pembicaraan Dimas. “Ayo cepetan! Sorry kita sibuk, lain kali aja ngobrolnya,” imbuh Maya pada Naomi dengan ketus lalu menggandeng lengan Dimas dan menarik pria itu pergi bersamanya.
Dimas dan Maya melangkah pergi meninggalkan Naomi dan Pandu serta perasaan tidak nyaman yang Dimas torehkan pada pasangan suami istri itu. Mereka berjalan melalui Pandu dan Naomi. Begitu tubuh Maya bersisian dengan Naomi, Naomi terpaku seketika saat aroma parfum yang menyeruak dari tubuh Maya menembus indra penciuman Naomi.
‘Aroma ini.... sama dengan aroma parfum yang menempel di pakaian mas Pandu pagi ini.’
Naomi menoleh menatap punggung Maya yang semakin menjauh dengan kemelut di pikirannya. Kecurigaan semakin membara membakar hati dan kepercayaan Naomi terhadap suaminya.
Maya dan Pandu bekerja di tempat yang sama. Maya sebagai model dan Pandu sebagai fotografer. Mereka sering pergi bersama karena tuntutan pekerjaan baik antar kota maupun antar negara. Tentu saja dengan semua hal itu mereka akan memiliki banyak waktu bersama.
Apa selama ini diam-diam Pandu bermain dengan Maya? Tapi Maya juga sudah punya suami. Apa mungkin mereka melakukannya di belakang Naomi dan Dimas. Kepala Naomi rasanya mau pecah memikirkan semua itu.
‘Oh tuhan, apa aku boleh berpikir begini?’ Batin Naomi serasa sesak.
“Apa-apaan si Dimas itu....” rutukkan Pandu tertahan begitu melihat Naomi yang mematung di sampingnya setelah kepergian Dimas dan Maya. “Mi, kamu kenapa? Kamu mikirin omongan si Dimas?” tanya Pandu dengan terbata-bata, ketakutan kembali terpancar dari bola matanya.
Naomi tersentak dan lamunannya pecah. Kesadaran Naomi kembali sepenuhnya walaupun hati dan pikirannya masih sibuk beradu tanya yang masih tak berjawab.
“Eh ga kok, ngapain aku mikirin itu. Oh ya, kita berpencar aja ya mas biar cepet belanjanya, nanti ketemu di kasir.”
“Oke deh kamu hati-hati ya.”
Sebenarnya alasan Naomi ingin berpencar dengan Pandu tidak sepenuhnya benar. Tiba-tiba saja ada yang ingin Naomi lakukan untuk memastikan kecurigaannya terhadap Pandu dan Maya, sebab itu Pandu tidak boleh berada di dekatnya untuk sementara waktu dan Naomi harus melakukan rencananya dengan cepat.
Naomi bergegas pergi menuju lorong tempat Dimas dan Maya terakhir kali terlihat dari pandangan Naomi. Setelah beberapa saat mencari mereka, akhirnya Naomi kembali menemukan pasangan itu.
‘Dimas sepertinya tau sesuatu aku harus bertanya padanya,’ batin Naomi.
Namun masalah lainnya muncul, Maya begitu lengket berada di samping Dimas sepanjang waktu hingga dengan terpaksa Naomi harus mengikuti mereka diam-diam sambil pura-pura melihat-lihat barang belanjaan.
Tetapi saat Naomi sedang pura-pura melihat-lihat panci dan peralatan dapur, tanpa sengaja salah satu panci yang diambil Naomi membuat panci lainnya berjatuhan. Beruntung seorang pria datang melindungi tubuh Naomi hingga panci-panci itu tidak menyentuhnya sama sekali.
Begitu Naomi mendongak, tubuhnya terpaku seketika saat maniknya beradu pandang dengan manik kecokelatan milik Dimas. Pria itu melindungi Naomi bahkan rela tubuhnya dihujani panci-panci itu.
Namun seolah tidak merasakan apa pun pada tubuhnya Dimas kini malah menatap Naomi dengan panik dan cemas, “Kamu baik-baik aja Nom?” tanyanya seraya mengedarkan pandangannya pada tubuh Naomi, memeriksa apakah wanita itu terluka.
“Kamu ngelamunin apa sampe—.”
“Apa semalam Maya ada di rumah bersama kamu?” tukas Naomi.
Dimas bungkam seketika, emosi yang terpancar dari bola matanya berubah dengan cepat. Naomi tidak bisa mengartikan sorot mata itu yang jelas Dimas seperti menarik diri dan menyembunyikan sesuatu dari Naomi.
“Dimas jawab!” desak Naomi setengah berbisik
Dimas masih terdiam sedangkan Naomi menunggunya dengan penuh harap. Dimas menghela napas berat dan hendak membuka mulutnya. Tetapi belum sempat Dimas mengatakan sesuatu Maya yang tiba-tiba muncul, menarik tubuh Dimas dengan kasar menjauh dari Naomi.Naomi dan Dimas tercekat tapi belum sempat mereka bereaksi banyak Maya sudah melayangkan sebuah tamparan ke wajah Naomi.“MAYA!” pekik Dimas saking terkejutnya.“Dasar ganjen, suami kamu ga cukup apa?! Berani-beraninya deketin suami orang lain!” hardik Maya dengan wajah yang merah padam.Naomi termangu seraya memegangi pipinya, merasakan wajahnya terbakar karena saking kerasnya tamparan Maya. Tapi sungguh apa Naomi berhak menerimanya?“Ganjen?! Apa maksudmu?! Dia yang datang padaku,” balas Naomi tak gentar.Naomi tidak terima wajahnya ditampar begitu saja padahal dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Bahkan orang tuanya pun tidak pe
Dimas menatap iba ke arah Naomi, ia berkali-kali menggigit bibirnya dan terlihat tengah mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan Naomi sudah yakin bahwa Dimas mengetahui sesuatu.Di saat yang bersamaan asisten Dimas datang menghampiri mereka tanpa peduli apa yang sedang terjadi antara bosnya dengan Naomi. “Pak, Ibu Anda....” asisten itu membisikkan sisanya pada Dimas.Dimas sontak terlihat panik dengan terpaksa ia melepaskan genggaman Naomi pada jasnya dengan kasar. “Maaf Nom, aku harus pergi.”“Jawab aku dulu, kamu bahkan ga jawab pertanyaanku kemarin!” rutuk Naomi dengan deraian air mata di wajahnya.Namun percuma saja Naomi tidak bisa mencegah Dimas pergi, pria itu tetap pergi begitu saja seperti sebelumnya tanpa menjawab kegelisahan Naomi dan dengan tatapan yang mencurigakan.Naomi memungut kembali anting sialan itu. Sudah dua bukti mengarah pada Maya, parfum dan anting itu, tapi tidak ada satu pun bukti nyata yan
Kita tidak pernah benar-benar tahu isi hati dan tabiat seseorang sekalipun dia adalah orang terdekat kita. Begitulah yang sering Naomi dengar dari ibunya, tapi sungguh kali ini Naomi tidak berharap hal itu benar.Naomi ingin percaya pada Pandu bahwa pria itu tidak akan berani menyakiti hatinya, terlebih setelah semua cinta yang diberikan Pandu padanya. Tapi kenyataan pahit yang Naomi dengar malam ini mematahkan semua keyakinannya terhadap Pandu.Hati Naomi memburu, langkahnya semakin cepat menuju hotel itu. Namun saat Naomi hampir saja tiba dan hendak memasuki lobi hotel tiba-tiba seseorang dari arah belakang menarik lengan Naomi dan memutar tubuh Naomi hingga badanya memunggungi pintu masuk hotel.Begitu Naomi mendongak betapa terkejutnya dia saat mendapati Dimas tengah berdiri di hadapannya.“Kamu ngapain di sini?” tanya Naomi separuh tercekat.“Kamu ga perlu tau, tapi yang jelas sekarang aku ada urusan sama kamu.”
Naomi yang meronta-ronta sontak terdiam demi mendengarkan rencana yang Dimas pikirkan untuk Pandu dan Maya.“Rencana apa maksudmu?” tanya Naomi dengan dahi yang berkerut.“Ayo kita balas perbuatan mereka dengan hal serupa supaya mereka merasakan rasa sakit yang kita alami kalau bisa lebih menyakitkan dari yang kita rasakan—.”Plak!!!Satu tamparan lagi-lagi mendarat di wajah Dimas, lengkap sudah kedua pipi Dimas memerah karena tempelengan Naomi.“Balas mereka dengan selingkuh katamu? Kamu bener-bener hilang akal ya?!” hardik Naomi, ia menatap tidak percaya ke arah Dimas. Bagaimana bisa Dimas berpikir seperti itu?Namun Dimas bungkam ia tidak menyanggah atau pun menatap wajah Naomi karena ia sendiri tahu bahwa ucapannya tidak masuk akal. Karena Dimas tahu bahwa tidak seharusnya dia berpikir begitu.“Kalau kita melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan lalu apa bedanya kita denga
“APA KAMU BILANG?! Dasar wanita kampung tidak tau diri! Belajarlah menata rumahmu supaya kamu bisa menata hidupmu yang tidak jelas itu.”Tangan Naomi terkepal hingga buku-buku tangannya memutih, menahan luapan amarah yang ingin ia tumpahkan pada mertuanya yang suka ikut campur itu. Ingin sekali Naomi mengungkap kelakuan bejat putranya yang selalu dibangga-banggakannya itu. Tapi untuk apa? Mertuanya pasti akan tutup mata akan hal itu dan malah balas menyerang Naomi.“Sudahlah tidak ada gunanya berbicara denganmu, jadilah istri yang baik kalau kamu masih ingin menjadi menantuku.” Kamila mendengus, menatap sinis ke arah Naomi lalu beranjak pergi sambil menutup pintu masuk kuat-kuat.Naomi sontak tersentak. Hatinya yang sudah hancur berkeping-keping karena Pandu kini semakin remuk tak bersisa karena mertuanya.Sejak pertama kali bertemu dengan Naomi, Kamila memang sudah tidak menyukainya. Sebab Naomi bukanlah anak dari keluarga kaya melainkan dari keluarga sederhana di desa. Kamila tidak
Naomi langsung mematikan ponselnya tanpa mendengar lebih jauh perkataan Dimas. Apa maksud Dimas berkata seperti itu? Pria itu sepertinya sudah benar-benar gila karena amarahnya. Untuk sejenak Naomi hanyut dalam pikirannya, memikirkan ucapan Dimas. Resah karena apa yang mungkin akan pria itu lakukan padanya. Tidak ada jaminan bahwa Dimas tidak akan menghalalkan segala cara untuk memaksanya. “Mana pemilik butik ini!” Pekikkan seseorang dari arah luar ruangan membuyarkan lamunan Naomi. Memaksanya kembali pada hidupnya yang nyata dan runyam. “Saya mau uang saya kembali!” tuntut seorang ibu setengah baya sambil menginjak-injak jas hasil kerja keras Naomi tempo hari. Naomi langsung berlari mendekati ibu itu. “Saya pemiliknya ada masalah apa ya bu? Bisa tolong jelaskan baik-baik. Kami akan bantu.” “Bantu, bantu! Kamu mau nipu saya ya? Sudah bayar mahal-mahal untuk pesan jas di sini tapi apa ini? Kamu sebut ini layak!!!” Ibu itu mencak-mencak dan melempar jas yang sebelumnya ia injak pad
Wajah Dimas seketika ikut memerah. Jantungnya berdegup kencang, entah apa yang merasukinya saat ini yang jelas gejolak hatinya terasa tidak biasa.“Hey, Naomi, bukankah situasi ini cukup berbahaya untukmu?” ujar Dimas dengan suara beratnya. Pandangannya masih terpaku pada Naomi seolah tersihir oleh pesona wanita yang kini berada di bawah badannya itu.Desir hasrat kecil dalam lubuk hati Dimas menuntun anggota tubuhnya untuk bergerak di luar kendali otaknya. Dimas membelai wajah Naomi yang terasa hangat kemudian perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Naomi.Dengan kendali hasrat bibir Dimas semakin mendekat hendak mengecup bibir merah muda Naomi. Ketika kedua bibir dua insan itu hampir bersentuhan tiba-tiba Dimas terdiam dan langsung bangkit.Dimas mengusap wajahnya yang memanas. “Ini tidak benar,” gumam Dimas memaki dirinya sendiri.“Seharusnya kamu biarkan aku memaki mereka malam kemarin,” celetu
“Haruskah aku mempercayainya?” batin Naomi.Naomi menggeleng cepat membuang jauh-jauh pikirannya dan kembali menyadarkan dirinya bahwa rencana Dimas adalah perbuatan yang salah. Naomi tidak boleh termakan bujukan pria itu.“Kamu ga perlu ambil keputusan sekarang.” Lagi-lagi Dimas berkata seolah dia bisa membaca pikiran Naomi. “Ayo aku antar pulang.”Dimas menarik lengan Naomi dan keluar dari kamar itu bersama. Berbeda dengan sebelumnya kali ini Naomi tidak banyak memberontak atau pun menolak. Dia menurut saja, lagi pula Naomi juga tidak memiliki energi untuk berdebat.“Terima kasih sudah mengantar—.”“Dimas, Naomi?!” seru Pandu memotong ucapan Naomi.Naomi sontak membeku, jantungnya hampir melompat keluar karena tidak menduga sama sekali kalau Pandu sudah pulang ke rumah.Pandu menatap Naomi dan Dimas bergantian penuh selidik, kecurigaan jelas sekali terpancar dari bola
Tangan Naomi mengepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih, rahangnya mengeras, air matanya jatuh tanpa Naomi sadari. “Brengsek!” Gumam Naomi. “Ayo Nom, kita—.” Dimas yang baru tiba sontak terdiam begitu melihat sikap Naomi. Dimas memerhatikan arah pandangan Naomi dan berusaha mengikutinya. ‘Astaga! Apa yang dia lihat?!’ batin Dimas. Dimas segera mengambil benda pipih canggih itu, tapi Naomi berhasil mencegahnya dan meraih gawai milik Dimas lebih dulu.“Nom....” Ucapan Dimas tertahan karena Naomi mendadak memelototinya, rasa cemas bercampur takut berdesir dari pembuluh darah Dimas. Tanpa banyak berbicara Naomi menarik pria itu keluar dari restoran dan berjalan menuju tempat yang sepi dengan terburu-buru.“Kamu memata-matai mereka?” tanya Naomi. Dimas mengembus napas berat, seperti yang ia duga ternyata benar Naomi melihat pesan dari salah satu temannya yang bekerja di agensi yang sama dengan Pandu dan Maya.Sejak mengetahui perselingkuhan Maya dan Pandu, Dimas menghubu
Maya melirik ke bagian bawah tubuh Pandu sambil tersenyum nakal.Pandu berdecak lalu menarik tangan Maya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Kemudian ia tatap kedua mata Maya dengan tatapan yang sangat intens, lalu tanpa banyak berbicara Pandu segera melahap bibir seksi milik Maya. Kedua bibir mereka beradu dengan liar. Mereka terhanyut dalam suasana panas itu tanpa memikirkan apa pun dalam benak mereka.Maya mendesah cukup kuat begitu milik Pandu memasuki area tubuh bawahnya. Pandu dengan cepat membekap mulut sahabatnya itu. “Pelankan suaramu atau kita akan ketahuan,” ujar Pandu. “Bagaimana aku bisa memelankan suaraku kalau kamu seliar ini....” Maya kembali mendesah kali ini ia berusaha menahan kuat suaranya agar tidak bergema terlalu kencang. Maya merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Pandu melakukannya lebih liar dari yang biasa sering mereka lakukan. Bahkan ia terus mendorong dengan kuat tanpa henti dan membuat Maya semakin hilang akal. “Kamu melakukannya l
“Maukah kamu menemaniku lagi bermain paralayang?”Dimas mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dimas tidak menyangka sama sekali Naomi mau melakukannya lagi, Dimas pikir ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya, mengingat wanita itu sangat ketakutan sebelumnya.Senyuman kembali merekah di wajah Dimas, “Tentu saja aku bersedia.”Akhirnya Naomi dan Dimas melakukan paralayang lagi dan untuk yang kedua kalinya Naomi terlihat lebih rileks walaupun tangannya masih mendingin saat mereka hendak meluncur. Dimas sangat puas ternyata usahanya untuk membuat Naomi bersenang-senang tidaklah sia-sia, wanita itu sangat menikmatinya. Mata Naomi tidak lagi terlihat sendu, binarnya kembali seperti sedia kala, seperti yang selama ini selalu Dimas lihat. “Aku pikir kamu tidak akan mau melakukannya lagi.”“Aku menyadarinya, ternyata kamu benar, kalau ini menyenangkan. Aku jadi mengerti semua maksudmu dan sepertinya aku akan ke sini lagi saat pikiranku kacau.”
“Kalau pun aku harus mati karena itu, aku akan tetap melakukannya, Naomi.”Naomi tertegun, lamat-lamat ia menatap kedua mata Dimas dan ada kesungguhan yang terpancar dari sana. Entah itu hanya perasaan Naomi, atau tipuan belaka, atau bisa saja Dimas memang bersungguh-sungguh mengatakannya. Namun anehnya Naomi ingin percaya bahwa pria menyebalkan itu memang bersungguh-sungguh pada perkataannya.“Baiklah,” Naomi akhirnya melunak, “Tidak perlu menganggap serius pembicaraan barusan, aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.” Setelah itu mereka memakai alat pengaman dan mendengarkan instruksi yang diberikan selepas semua instruksi di sampaikan oleh pemandu, Naomi dan Dimas bersiap-siap untuk melayang-layang di udara. Naomi beberapa kali menatap gusar daratan di bawah sana. Tangannya mendingin, wajahnya memutih. Dimas yang berada tepat di belakangnya menggenggam erat tangan Naomi. “Aku sudah sering melakukannya, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak peduli kamu hanya asal bicara at
Sejak turun dari bus Naomi terus memandangi empat buah permen yang Dimas berikan untuknya dengan embel-embel hadiah karena leluconnya yang bahkan Naomi pikir itu bukanlah lelucon yang lucu.“Tenang saja, Nom, ini bukan satu-satunya hadiah yang akan kamu terima,” ujar Dimas begitu menyadari bahwa Naomi sejak tadi terdiam karena menatap permen pemberian darinya.“Tidak usah membuat kesimpulan sendiri. Aku tidak memintamu untuk memberi apa pun padaku,” sahut Naomi, “Hanya saja....” lagi-lagi Naomi menghentikan ucapannya.Mendadak Naomi merasa bahwa ia tidak perlu mengatakan yang sedang ada dalam benaknya saat ini dan Naomi pikir Dimas juga tidak perlu mengetahuinya. Apa yang ingin ia katakan bukanlah hal yang penting, malah lebih tepatnya hanya sebuah informasi tidak penting. “Hanya apa? Kenapa kamu tidak menyelesaikan perkataanmu?” desak Dimas yang ternyata sudah menunggu Naomi dengan rasa penasaran yang menggebu. “Bukan sesuatu yang penting, sudahlah ayo kita berjalan lagi. Kam
Tubuh Naomi tiba-tiba membeku, bola mata Dimas yang indah lagi-lagi berhasil menghipnotis Naomi. Naomi rasakan jantungnya mendadak berdegup dengan kencang, perlahan pipinya yang tirus mulai bersemu merah.Embusan napas Dimas yang dapat Naomi rasakan dengan jelas malah membuat perasaannya semakin tidak karuan.Dengan kencang Naomi mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjauh darinya. Jika mereka terus bertahan di posisi seperti itu Naomi tidak tahu apa yang akan terjadi pada hatinya. Namun di saat yang sama bus yang mereka naiki mengerem mendadak hingga tubuh Naomi hilang keseimbangan, dengan sigap Dimas langsung menahannya dan berakhir Naomi jatuh di pelukan pria itu. Dalam pelukan Dimas, diam-diam Naomi bisa merasakan degup jantung pria itu. Naomi termenung saat merakan degup demi degup yang ia rasakan dari tubuh Dimas.‘Kenapa jantung Dimas berdetak dengan cepat?’ batin Naomi. Rasa penasaran mendadak terbit. Tapi Naomi tidak membiarkannya bertahan lama, baru sekejap saja ia la
‘Kak sepertinya kakak tidak punya teman laki-laki. Kak Naomi sudah punya pacar ya? Makanya menjauhi para laki-laki itu karena takut pacar kakak cemburu,’ goda Hana. Dengan senyum getir Naomi menjawab, ‘Aku tidak nyaman berada di dekat mereka. Bisa dibilang aku takut.’ Percakapan antara Hana dan Naomi beberapa tahun lalu kembali terputar di benak Hana. Saat itu, mereka sedang duduk di taman kampus dekat gedung fakultas mereka. Hana sedang asyik menatap orang-orang di depannya, entah itu yang sedang bergurau dengan gengnya atau bahkan yang sedang bermesraan. Sedangkan Naomi asyik menuangkan design pakaian yang ada di benaknya ke atas sebuah kertas putih A4. Jujur saja sejak Hana mengenal Naomi, ia tidak pernah melihat kakak tingkatnya itu dekat dengan pria mana pun. Bahkan Naomi jarang sekali berinteraksi dengan kaum adam itu. Komunikasi yang terjalin hanya jika benar-benar membicarakan hal penting selebihnya tidak ada. Sebab itu Hana mengatakan hal itu pada Naomi. Hana juga sem
Belum selesai urusannya dengan Dimas, ia harus memghadapi situasi yang kurang mengenakkan dengan Hana. Tidak berhenti sampai situ kini ibu mertuanya tiba-tiba datang dan sudah hampir tiba di butiknya. Rasanya kepala Naomi mau pecah, tapi bagaimana pun juga ibu mertuanya adalah hal utama yang saat ini paling utama untuk Naomi hindari. Untuk urusan Hana....“Han, kalau ibu bertanya tentangku, katakan saja kalau aku sedang bertemu dengan customer,” perintah Naomi pada Hana dengan terburu-buru. “Aku bisa percaya padamu kan?” Tanpa menunggu jawaban Hana, Naomi segera bergegas pergi dari butik bersama Dimas melalui pintu keluar lain di butik itu. Perasaan Naomi sudah cukup buruk akhir-akhir ini dan ia tidak mau masalah juga kewarasannya semakin memburuk karena ibu mertuanya. Tepat setelah Naomi dan Dimas keluar dari butik, Kamila tiba di butik. Dengan wajahnya yang masam dia mendorong pintu butik dengan kasar. Matanya yang sinis menyapu seluruh ruangan, mencari mang
Tanpa Naomi sadari tiba-tiba saja ia menganggukkan kepalanya seolah menyetujui hal perkataan Dimas.Tentu saja Dimas langsung tersenyum lebar, kedua manik beriris cokelatnya seketika berbinar-binar. “Bagus jika kamu setuju. Kalau begitu besok aku akan menjemputmu pagi-pagi sekali.” Naomi sontak tersentak seolah baru tersadar dari lamunan panjang yang entah akan ia sesali esok hari atau malah akan ia syukuri. Ia mengerjap-ngerjapkan bola matanya berusaha mengembalikan kesadarannya. “Tunggu, Apa maksudmu?!” tanya Naomi bingung.“Selamat malam, Nom.” Alih-alih menjawab pertanyaan Naomi, Dimas malah mengelus lagi pucuk kepala wanita itu kemudian berlalu begitu saja. Naomi yang masih tidak mengerti berusaha mengejar Dimas seraya berseru menuntut penjelasan pria menyebalkan itu, tapi Dimas malah mengabaikannya dan dengan cepat menghilang tanpa mengatakan sepatah kata lagi. “Kenapa dia mau menjemputku besok pagi? Untuk apa?! Kenapa dia selalu tidak jelas kalau b