Suara lenguhan terdengar memenuhi seisi kamar tidur gelap yang hanya bermandikan cahaya temaram dari lampu tidur. Terlihat pasutri sedang memuaskan hasrat pasangannya masing-masing.
Pandu melumat bibir merah Naomi yang begitu menggoda dengan penuh gairah. Wajah Naomi bersemu sempurna begitu bibirnya beradu dengan bibir milik Pandu. Tangan pria itu bergerilya meraba tubuh bagian bawah milik Naomi, membuatnya sontak terenyak dan membebaskan desahan yang membuat Pandu tersenyum senang.
“Aku baru mulai Naomi,” bisik Pandu tepat di telinga Naomi.
Tubuh Naomi menggeliat setiap kali Pandu memainkan jarinya pada bagian inti tubuhnya, dan membuat wanita itu hilang akal. Tidak ada yang bisa dipikirkannya saat ini selain Pandu.
Pandu mengecup tengkuk leher Naomi yang indah, napasnya yang hangat membuat Naomi larut dalam kenikmatan.
Namun, belum sempat mereka menyelesaikan kegiatan tersebut, suara dering dari ponsel Pandu memecah suasana panas keduanya.
“Ponselmu....” ujar Naomi dengan napas terengah-engah.
Pandu hanya melihat sekilas layar ponsel di atas nakas yang tak jauh dari tempat tidur dan mengabaikannya.
“Ga penting,” balasnya singkat lalu kembali mengecup leher Naomi.
Bukannya berhenti, ponsel Pandu malah terus meraung-raung menuntut pemiliknya untuk segera mengangkatnya. Naomi yang merasa terganggu langsung mendorong tubuh Pandu agar pria itu berhenti sejenak.
“Siapa tau penting.”
Pandu berdecak sebal, karena kegiatannya diinterupsi oleh dering ponselnya yang berisik itu. Dengan berat hati Pandu beranjak dari tempat tidur dan meraih ponselnya.
“Aku angkat dulu,” seru Pandu lalu beralih menuju balkon dan menutup pintu rapat-rapat.
Dari dalam kamar, Naomi memperhatikan suaminya itu. “Katanya ga penting, tapi menerima teleponnya di luar.” Naomi menggelengkan kepalanya seraya tersenyum geli, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Pandu terlihat sangat serius, beberapa kali ia mengusap tengkuknya dan berpikir. Beberapa kali juga ia melirik ke arah Naomi dan mengulas senyum simpul.
Walaupun begitu tidak ada pikiran apa pun yang terbersit di benak Naomi, ia hanya memerhatikan Pandu lamat-lamat dengan senang hati.
Setelah beberapa saat Pandu kembali masuk ke ruangan dan segera menghampiri Naomi.
“Aku harus pergi untuk menyelesaikan hasil pemotretan kemarin,” ucap Pandu dengan sedih.
“Bukannya kamu bilang masih punya banyak waktu sampai deadline?”
“Harusnya gitu, tapi bos tiba-tiba minta hasil secepatnya karena sedang bersaing dengan agensi baru itu. Haaa... menyebalkan, padahal aku belum menyelesaikan kegiatanku bersamamu,” keluh Pandu dengan wajah sedih.
Naomi tersenyum seraya menggenggam tangan pria itu dengan hangat, “Mau bagaimana lagi, namanya juga pekerjaan. Selesaikan dulu pekerjaanmu dan kita bisa melakukannya lagi nanti kan.”
Pandu mengelus wajah Naomi dengan lembut, “Kamu memang selalu pengertian. Kalau gitu aku pergi dulu, kalau ada sesuatu hubungi aku.”
Pandu kecup kening Naomi, kemudian buru-buru mengambil kunci mobil dan jaketnya. Setelah itu Pandu melenggang keluar dari kamar tidur, meninggalkan Naomi seperti malam-malam sebelumnya.
Sudah dua minggu ini Pandu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu sering sekali lembur karena tenggat waktu yang diberikan atasannya sangat singkat, bahkan sering dimajukan tiba-tiba. Karena itu akhir-akhir ini Pandu jarang sekali bermalam di rumah.
Namun, alih-alih sedih, Naomi lebih khawatir pada kesehatan fisik dan psikis suaminya. Naomi khawatir pria itu tertekan, tapi Naomi juga tidak bisa membantu apa-apa selain memberi dukungan padanya.
Wanita itu menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur dan pergi menuju ruang kerja. Ia membuka laptop, mulai memeriksa data-data penjualan di butiknya. Karena lebih menyukai cara konvensional, Naomi pun mencetak data-data tersebut dan menandai beberapa bagian penting dengan stabilo.
“Loh, staplernya mana?” gumam Naomi saat hendak menjepit data-data di tangannya. “Seingatku di sini.” Ia memeriksa laci-laci di meja kerjanya, tapi benda itu tetap tidak ditemukan.
Akhirnya Naomi menyerah dan memilih untuk menghubungi Pandu.
“Mas, stapler kamu taruh di mana? Di laci meja nggak ada,” kata Naomi begitu Pandu mengangkat teleponnya.
“Ada di laci ruang gelap kalau tidak salah,” sahut Pandu di ujung sana.
“Oke, makasih, mas.”
Naomi berpindah ke ruang gelap yang tepat bersebelahan dengan ruang kerjanya. Ruangan itu dipakai Pandu untuk mencetak hasil jepretan kamera digitalnya secara manual. Selain Naomi, Pandu juga masih menyukai cara konvensional dalam fotografi tapi hanya sebatas untuk bereksperimen dan mengulik saja.
Naomi mencari-cari stapler itu tapi tidak menemukannya juga di laci mana pun. Bukannya menemukan stapler Naomi malah menemukan benda lain yang malah membuat hati dan pikirannya tidak tenang.
“Punya siapa ini?” gumam Naomi seraya mengambil sebuah anting rumbai dengan manik berkilau yang indah. “Ini bukan punyaku...”
Jelas sekali anting itu adalah anting wanita. Tidak perlu validasi siapa pun, anak kecil pun bisa menebaknya dengan mudah. Bagaimana benda itu bisa berakhir di ruang gelap Pandu?
“Apa milik teman mas Pandu yang tertinggal?" Naomi bertanya-tanya sendiri. "Tapi seingatku mas Pandu nggak pernah bawa temannya ke rumah...”
Jika memang milik temannya, mengapa Pandu harus menyimpannya? Bukankah bisa dikembalikan secepatnya? Naomi menggelengkan kepala, berusaha untuk tidak memikirkan anting-anting itu.
Hingga keesokan paginya, saat menyambut kepulangan suaminya dengan hangat, Naomi merasa ada yang aneh.
Naomi menatap Pandu penuh selidik. Penampilan pria itu terlihat acak-acakan, bajunya lusuh, rambutnya juga berantakan. Tapi hanya itu saja. Pandu tidak terlihat lelah sama sekali, padahal bukankah pria itu bergadang semalaman?
Dengan manja Pandu memeluk tubuh Naomi. “Ah... aku lelah sekali,” keluhnya.
Naomi tentu balas merengkuh tubuh Pandu, tapi tiba-tiba saja aroma parfum yang asing tercium dari pakaian suaminya. Kening Naomi berkerut, diam-diam ia mengendus aroma parfum itu.
Deg.
Jantung Naomi seketika berdegup dengan lebih cepat.
Tidak salah lagi. Itu bukan aroma parfum milik Pandu, bahkan berbeda sekali dengan aroma parfum yang Naomi hirup semalam sebelum pria itu pergi.
Ditambah lagi, aroma parfum yang menyeruak dari pakaian Pandu beraroma manis, seperti parfum wanita.
Perasaan Naomi mulai tidak karuan. Setelah sebuah anting, sekarang aroma parfum wanita menempel di pakaian Pandu...
‘Apa mungkin Mas Pandu bermalam dengan wanita lain?’
Berbagai macam pertanyaan dan pikiran negatif seketika memenuhi benak Naomi. Dia tidak ingin berburuk sangka tapi hal-hal yang dia temukan memicunya untuk berpikir begitu dan tanpa sadar membuat Naomi tenggelam dalam lamunannya.Karena Naomi terlalu senyap, Pandu pun jadi merasa heran. Ia menatap wajah istrinya dengan penuh tanda tanya.“Apa kamu sakit Mi? Kamu pendiam sekali pagi ini.”Suara Pandu sontak memutus lamunan panjang Naomi, menariknya kembali pada realita yang tengah membuat dirinya gundah gulana.“Tidak, aku baik-baik saja.” Naomi mengerjap-ngerjap, “Oh ya mas semalam kamu sendirian? Aku agak cemas.”“Kalau di ruanganku ya sendiri, tapi ada satpam di luar dan Aldi. Dia juga ga pulang semalam karena sama mendadak tenggat waktu kerjaan dimajukan,” jelas Pandu, “Kamu khawatir aku kesepian ya?” goda Pandu kemudian yang langsung dibalas dengan timpukan gemas dari Naomi.&ldq
Dimas masih terdiam sedangkan Naomi menunggunya dengan penuh harap. Dimas menghela napas berat dan hendak membuka mulutnya. Tetapi belum sempat Dimas mengatakan sesuatu Maya yang tiba-tiba muncul, menarik tubuh Dimas dengan kasar menjauh dari Naomi.Naomi dan Dimas tercekat tapi belum sempat mereka bereaksi banyak Maya sudah melayangkan sebuah tamparan ke wajah Naomi.“MAYA!” pekik Dimas saking terkejutnya.“Dasar ganjen, suami kamu ga cukup apa?! Berani-beraninya deketin suami orang lain!” hardik Maya dengan wajah yang merah padam.Naomi termangu seraya memegangi pipinya, merasakan wajahnya terbakar karena saking kerasnya tamparan Maya. Tapi sungguh apa Naomi berhak menerimanya?“Ganjen?! Apa maksudmu?! Dia yang datang padaku,” balas Naomi tak gentar.Naomi tidak terima wajahnya ditampar begitu saja padahal dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Bahkan orang tuanya pun tidak pe
Dimas menatap iba ke arah Naomi, ia berkali-kali menggigit bibirnya dan terlihat tengah mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan Naomi sudah yakin bahwa Dimas mengetahui sesuatu.Di saat yang bersamaan asisten Dimas datang menghampiri mereka tanpa peduli apa yang sedang terjadi antara bosnya dengan Naomi. “Pak, Ibu Anda....” asisten itu membisikkan sisanya pada Dimas.Dimas sontak terlihat panik dengan terpaksa ia melepaskan genggaman Naomi pada jasnya dengan kasar. “Maaf Nom, aku harus pergi.”“Jawab aku dulu, kamu bahkan ga jawab pertanyaanku kemarin!” rutuk Naomi dengan deraian air mata di wajahnya.Namun percuma saja Naomi tidak bisa mencegah Dimas pergi, pria itu tetap pergi begitu saja seperti sebelumnya tanpa menjawab kegelisahan Naomi dan dengan tatapan yang mencurigakan.Naomi memungut kembali anting sialan itu. Sudah dua bukti mengarah pada Maya, parfum dan anting itu, tapi tidak ada satu pun bukti nyata yan
Kita tidak pernah benar-benar tahu isi hati dan tabiat seseorang sekalipun dia adalah orang terdekat kita. Begitulah yang sering Naomi dengar dari ibunya, tapi sungguh kali ini Naomi tidak berharap hal itu benar.Naomi ingin percaya pada Pandu bahwa pria itu tidak akan berani menyakiti hatinya, terlebih setelah semua cinta yang diberikan Pandu padanya. Tapi kenyataan pahit yang Naomi dengar malam ini mematahkan semua keyakinannya terhadap Pandu.Hati Naomi memburu, langkahnya semakin cepat menuju hotel itu. Namun saat Naomi hampir saja tiba dan hendak memasuki lobi hotel tiba-tiba seseorang dari arah belakang menarik lengan Naomi dan memutar tubuh Naomi hingga badanya memunggungi pintu masuk hotel.Begitu Naomi mendongak betapa terkejutnya dia saat mendapati Dimas tengah berdiri di hadapannya.“Kamu ngapain di sini?” tanya Naomi separuh tercekat.“Kamu ga perlu tau, tapi yang jelas sekarang aku ada urusan sama kamu.”
Naomi yang meronta-ronta sontak terdiam demi mendengarkan rencana yang Dimas pikirkan untuk Pandu dan Maya.“Rencana apa maksudmu?” tanya Naomi dengan dahi yang berkerut.“Ayo kita balas perbuatan mereka dengan hal serupa supaya mereka merasakan rasa sakit yang kita alami kalau bisa lebih menyakitkan dari yang kita rasakan—.”Plak!!!Satu tamparan lagi-lagi mendarat di wajah Dimas, lengkap sudah kedua pipi Dimas memerah karena tempelengan Naomi.“Balas mereka dengan selingkuh katamu? Kamu bener-bener hilang akal ya?!” hardik Naomi, ia menatap tidak percaya ke arah Dimas. Bagaimana bisa Dimas berpikir seperti itu?Namun Dimas bungkam ia tidak menyanggah atau pun menatap wajah Naomi karena ia sendiri tahu bahwa ucapannya tidak masuk akal. Karena Dimas tahu bahwa tidak seharusnya dia berpikir begitu.“Kalau kita melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan lalu apa bedanya kita denga
“APA KAMU BILANG?! Dasar wanita kampung tidak tau diri! Belajarlah menata rumahmu supaya kamu bisa menata hidupmu yang tidak jelas itu.”Tangan Naomi terkepal hingga buku-buku tangannya memutih, menahan luapan amarah yang ingin ia tumpahkan pada mertuanya yang suka ikut campur itu. Ingin sekali Naomi mengungkap kelakuan bejat putranya yang selalu dibangga-banggakannya itu. Tapi untuk apa? Mertuanya pasti akan tutup mata akan hal itu dan malah balas menyerang Naomi.“Sudahlah tidak ada gunanya berbicara denganmu, jadilah istri yang baik kalau kamu masih ingin menjadi menantuku.” Kamila mendengus, menatap sinis ke arah Naomi lalu beranjak pergi sambil menutup pintu masuk kuat-kuat.Naomi sontak tersentak. Hatinya yang sudah hancur berkeping-keping karena Pandu kini semakin remuk tak bersisa karena mertuanya.Sejak pertama kali bertemu dengan Naomi, Kamila memang sudah tidak menyukainya. Sebab Naomi bukanlah anak dari keluarga kaya melainkan dari keluarga sederhana di desa. Kamila tidak
Naomi langsung mematikan ponselnya tanpa mendengar lebih jauh perkataan Dimas. Apa maksud Dimas berkata seperti itu? Pria itu sepertinya sudah benar-benar gila karena amarahnya. Untuk sejenak Naomi hanyut dalam pikirannya, memikirkan ucapan Dimas. Resah karena apa yang mungkin akan pria itu lakukan padanya. Tidak ada jaminan bahwa Dimas tidak akan menghalalkan segala cara untuk memaksanya. “Mana pemilik butik ini!” Pekikkan seseorang dari arah luar ruangan membuyarkan lamunan Naomi. Memaksanya kembali pada hidupnya yang nyata dan runyam. “Saya mau uang saya kembali!” tuntut seorang ibu setengah baya sambil menginjak-injak jas hasil kerja keras Naomi tempo hari. Naomi langsung berlari mendekati ibu itu. “Saya pemiliknya ada masalah apa ya bu? Bisa tolong jelaskan baik-baik. Kami akan bantu.” “Bantu, bantu! Kamu mau nipu saya ya? Sudah bayar mahal-mahal untuk pesan jas di sini tapi apa ini? Kamu sebut ini layak!!!” Ibu itu mencak-mencak dan melempar jas yang sebelumnya ia injak pad
Wajah Dimas seketika ikut memerah. Jantungnya berdegup kencang, entah apa yang merasukinya saat ini yang jelas gejolak hatinya terasa tidak biasa.“Hey, Naomi, bukankah situasi ini cukup berbahaya untukmu?” ujar Dimas dengan suara beratnya. Pandangannya masih terpaku pada Naomi seolah tersihir oleh pesona wanita yang kini berada di bawah badannya itu.Desir hasrat kecil dalam lubuk hati Dimas menuntun anggota tubuhnya untuk bergerak di luar kendali otaknya. Dimas membelai wajah Naomi yang terasa hangat kemudian perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Naomi.Dengan kendali hasrat bibir Dimas semakin mendekat hendak mengecup bibir merah muda Naomi. Ketika kedua bibir dua insan itu hampir bersentuhan tiba-tiba Dimas terdiam dan langsung bangkit.Dimas mengusap wajahnya yang memanas. “Ini tidak benar,” gumam Dimas memaki dirinya sendiri.“Seharusnya kamu biarkan aku memaki mereka malam kemarin,” celetu