“APA KAMU BILANG?! Dasar wanita kampung tidak tau diri! Belajarlah menata rumahmu supaya kamu bisa menata hidupmu yang tidak jelas itu.”
Tangan Naomi terkepal hingga buku-buku tangannya memutih, menahan luapan amarah yang ingin ia tumpahkan pada mertuanya yang suka ikut campur itu. Ingin sekali Naomi mengungkap kelakuan bejat putranya yang selalu dibangga-banggakannya itu. Tapi untuk apa? Mertuanya pasti akan tutup mata akan hal itu dan malah balas menyerang Naomi.
“Sudahlah tidak ada gunanya berbicara denganmu, jadilah istri yang baik kalau kamu masih ingin menjadi menantuku.” Kamila mendengus, menatap sinis ke arah Naomi lalu beranjak pergi sambil menutup pintu masuk kuat-kuat.
Naomi sontak tersentak. Hatinya yang sudah hancur berkeping-keping karena Pandu kini semakin remuk tak bersisa karena mertuanya.
Sejak pertama kali bertemu dengan Naomi, Kamila memang sudah tidak menyukainya. Sebab Naomi bukanlah anak dari keluarga kaya melainkan dari keluarga sederhana di desa. Kamila tidak menyetujui hubungan Pandu dengan Naomi. Karena itu Kamila selalu bersikap buruk kepada Naomi di belakang Pandu.
Bulir demi bulir air mata mengalir deras, menyuarakan kepedihan di hati Naomi. Sudah cukup sabar Naomi selama ini menahan semua luka yang ditorehkan Kamila padanya demi menghargai Pandu. Tapi ternyata Pandu juga malah menyakitinya.
Naomi bertanya-tanya apa kekurangannya atau apa kesalahannya hingga Pandu harus berselingkuh darinya? Naomi tidak mengerti.
“Kakak pucet banget, apa kakak sakit?” tanya Hana yang merupakan karyawan kepercayaan Naomi.
Naomi hanya membereskan rumahnya dan langsung pergi ke butik. Ia tidak tahan berdiam diri di rumah lama-lama meskipun tubuhnya sangat lemas.
“Kamu ga perlu khawatir. Oh ya pesanan Pak Anton sudah dikirim?” tanya Naomi mengalihkan pembicaraan.
“Sudah kak. Oh ya tadi ada yang mengantarkan ini untuk kakak.” Hana memberikan dua buah kantung kepada Naomi.
Harum! Itu yang terbersit di benak Naomi begitu Hana memberikan kantung itu padanya. Ternyata saat dilihat salah kantung itu berisi donat dan pastry yang terlihat sangat lezat hingga membuat perut Naomi keroncongan seketika. Kantung yang lain berisi beberapa vitamin dan obat lambung.
“Dari siapa ini?”
“Aku belum pernah melihatnya kak tapi dia seumuran kak Pandu...” tiba-tiba Hana menghentikan ucapannya, ia malah tersipu malu dan tersenyum-senyum. “Dia tampan dan wangi kak.”
Kening Naomi berkerut. Naomi tidak memiliki banyak teman pria apalagi setelah lulus kuliah dia hampir tidak pernah berhubungan dengan teman-teman prianya. Pria mana yang sangat perhatian memberinya camilan serta obat-obatan itu?
Di tengah-tengah waktu berpikirnya tiba-tiba gawai Naomi berbunyi singkat tanda pesan baru saja masuk.
“Makanlah dan minum vitaminnya dengan teratur. Tidak perlu khawatir obat itu aku beli dengan resep dari dokter semalam.”
Pesan itu dari Dimas. Lagi-lagi pria itu. Selera makan Naomi mendadak menguap. Bukan Naomi tidak menghargai kebaikan pria itu, tapi Naomi merasa yakin kalau semua ini Dimas lakukan demi membujuknya agar mau bekerja sama untuk membalas dendam pada Pandu dan Maya.
“Bawa saja untuk camilan kamu dan yang lainnya.” Naomi kembali memberikan salah satu kantung berisi donat dan pastry.
“Tentu saja kakak tidak akan memakannya kalau bukan dari kak Pandu. Kalau gitu makasih ya kak.”
Setelah itu Hana keluar dari ruangan Naomi dengan perasaan riang karena mendapat camilan gratis. Sangat berbanding terbalik dengan Naomi yang terlihat kesal. Naomi kembali merogoh gawainya dan langsung menghubungi Dimas.
Mau bagaimana pun Naomi harus menghentikan Dimas karena yang ia lakukan tidaklah benar.
“Berhentilah menggodaku, aku tidak akan berubah pikiran dan berselingkuh denganmu!” cecar Naomi begitu panggilannya terhubung dengan Dimas.
Suara kekehan dari pria itu terdengar dari ujung sana. “Sepertinya kamu lupa apa yang aku katakan sebelum kita berpisah pagi ini.”
“Untuk apa juga—.”
“Tapi berhubung kamu terus mengaitkan semua hal dengan rencana gilaku itu aku jadi ingin mewujudkannya—.”
“Dimas kamu hanya emosi—.”
“Kita lihat seberapa kuat dirimu untuk tidak bekerja sama denganku. Aku akan membuatmu melakukannya dengan suka rela, lihat saja nanti.”
Naomi langsung mematikan ponselnya tanpa mendengar lebih jauh perkataan Dimas. Apa maksud Dimas berkata seperti itu? Pria itu sepertinya sudah benar-benar gila karena amarahnya. Untuk sejenak Naomi hanyut dalam pikirannya, memikirkan ucapan Dimas. Resah karena apa yang mungkin akan pria itu lakukan padanya. Tidak ada jaminan bahwa Dimas tidak akan menghalalkan segala cara untuk memaksanya. “Mana pemilik butik ini!” Pekikkan seseorang dari arah luar ruangan membuyarkan lamunan Naomi. Memaksanya kembali pada hidupnya yang nyata dan runyam. “Saya mau uang saya kembali!” tuntut seorang ibu setengah baya sambil menginjak-injak jas hasil kerja keras Naomi tempo hari. Naomi langsung berlari mendekati ibu itu. “Saya pemiliknya ada masalah apa ya bu? Bisa tolong jelaskan baik-baik. Kami akan bantu.” “Bantu, bantu! Kamu mau nipu saya ya? Sudah bayar mahal-mahal untuk pesan jas di sini tapi apa ini? Kamu sebut ini layak!!!” Ibu itu mencak-mencak dan melempar jas yang sebelumnya ia injak pad
Wajah Dimas seketika ikut memerah. Jantungnya berdegup kencang, entah apa yang merasukinya saat ini yang jelas gejolak hatinya terasa tidak biasa.“Hey, Naomi, bukankah situasi ini cukup berbahaya untukmu?” ujar Dimas dengan suara beratnya. Pandangannya masih terpaku pada Naomi seolah tersihir oleh pesona wanita yang kini berada di bawah badannya itu.Desir hasrat kecil dalam lubuk hati Dimas menuntun anggota tubuhnya untuk bergerak di luar kendali otaknya. Dimas membelai wajah Naomi yang terasa hangat kemudian perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Naomi.Dengan kendali hasrat bibir Dimas semakin mendekat hendak mengecup bibir merah muda Naomi. Ketika kedua bibir dua insan itu hampir bersentuhan tiba-tiba Dimas terdiam dan langsung bangkit.Dimas mengusap wajahnya yang memanas. “Ini tidak benar,” gumam Dimas memaki dirinya sendiri.“Seharusnya kamu biarkan aku memaki mereka malam kemarin,” celetu
“Haruskah aku mempercayainya?” batin Naomi.Naomi menggeleng cepat membuang jauh-jauh pikirannya dan kembali menyadarkan dirinya bahwa rencana Dimas adalah perbuatan yang salah. Naomi tidak boleh termakan bujukan pria itu.“Kamu ga perlu ambil keputusan sekarang.” Lagi-lagi Dimas berkata seolah dia bisa membaca pikiran Naomi. “Ayo aku antar pulang.”Dimas menarik lengan Naomi dan keluar dari kamar itu bersama. Berbeda dengan sebelumnya kali ini Naomi tidak banyak memberontak atau pun menolak. Dia menurut saja, lagi pula Naomi juga tidak memiliki energi untuk berdebat.“Terima kasih sudah mengantar—.”“Dimas, Naomi?!” seru Pandu memotong ucapan Naomi.Naomi sontak membeku, jantungnya hampir melompat keluar karena tidak menduga sama sekali kalau Pandu sudah pulang ke rumah.Pandu menatap Naomi dan Dimas bergantian penuh selidik, kecurigaan jelas sekali terpancar dari bola
“Apa Dimas orang yang seperti itu? Kenapa juga aku harus peduli?” batin Naomi.Pandu mendekati Naomi dan mulai membelainya. Hasrat Pandu bahka tidak merasa puas walau sudah menghabiskan dua malam dengan Maya. Menjijikkan. Sekarang ia berharap Naomi mau bermain dengannya.Naomi tanpa ragu segera menepiskan tangan Pandu dari wajahnya. Sentuhan pPandu hanya mengingatkan Naomi bagaimana suaminya itu mencumbu Maya.“Kamu mau sarapan apa?” tanya Naomi mengalihkan pembicaraan seraya berjalan menuju dapur.“Aku sih apa saja. Tapi mamaku mau ke sini....”“Apa?!” tanpa sadar Naomi meninggikan suaranya dan membuat Pandu terheran-heran.“Loh reaksi kamu kok gitu? Kemarin Mama juga datang kan dia membantumu membersihkan rumah.”“Apa maksudmu? Aku yang membersihkan dan merapikan semuanya dia hanya datang lalu....” Naomi menghentikan ucapannya ia terlalu lepas kendali pagi ini.
Naomi menatap Pandu dengan dingin. “Aku sedang bicara dengan mamamu bisakah kamu berhenti untuk ikut campur?” lawan Naomi tak gentar.“Dia mamaku—.”“Tapi aku yang punya masalah dengannya! Kamu bahkan tidak tau apa-apa,” sela Naomi dengan seluruh amarahnya yang meletup-letup.Tentu saja sikap Naomi membuat harga diri dan ego Pandu terluka dan membuat situasi semakin keruh. Ditengah-tengah perdebatan Naomi dengan Pandu, Kamila dalam hati tertawa puas karena lagi-lagi berhasil membuat mereka berdebat.“KAU! APA—.” Belum sempat Pandu meluapkan kekesalannya, Kamila sudah siap dengan sandiwara lainnya. Wajahnya berubah sedih dan dengan kelembutan yang palsu ia berusaha melerai Pandu.“Sudahlah Nak, tidak perlu ribut, mungkin Mama memang salah karena memiliki teman seperti itu. Tapi sungguh Naomi Mama tidak pernah memintanya melakukan hal seperti itu. Kalau kamu tetap tidak percaya kamu bo
Dimas mengulas senyum kemudian dengan sengaja menarik Naomi ke dalam dekapannya.“Apa kamu yakin tidak akan menyesalinya? Kamu tau aku tidak akan berhenti setelah kamu menyetujuinya.”Wajah Naomi memerah, jujur ia tersentak atas tindakan Dimas yang tiba-tiba. Namun Naomi tidak ingin terbawa suasana. Naomi juga belum sepenuhnya percaya pada Dimas.“Kamu cerewet, sudahlah ayo kita ke vilamu sekarang aku kedinginan.” Naomi mendorong tubuh Dimas kemudian berlalu pergi ke arah mobilnya yang terparkir di tepi jalan.Mereka berdua pun pergi menuju vila milik Dimas yang jaraknya hanya beberapa menit saja. Vila itu bergaya minimalis namun ukurannya sangat besar bahkan terdapat halaman besar yang mengarah langsung ke lautan.Beberapa saat kemudian Naomi yang telah selesai membasuh diri keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan kaos polos berwarna putih yang kebesaran. Kaus itu menjuntai bahkan sampai menutupi pahan
Dimas menuangkan wine ke dalam gelas Naomi dan miliknya. Namun belum sempat mereka menikmatinya tiba-tiba saja seseorang datang. Mengetuk pintu dengan kasar sekali.“DIMAS!!!”Dimas dan Naomi sontak terdiam dan saling beradu pandang. Mereka berdua tahu betul suara milik siapa itu.“Maya!” Dimas melompat dari tempat duduknya dan langsung menarik Naomi menuju ruangan lain di vila itu. “Kamu harus bersembunyi Nom.”“Mobilku bagaimana? Dia pasti tau....”“Mobilmu kan di garasi—."“Bisa saja dia ke garasi,” sela Naomi.Dimas bergeming untuk sesaat. Sepertinya ia punya ide untuk itu. “Sudahlah biar aku yang urus, kamu bersembunyi saja dulu.”Dimas berlalu pergi menuju garasi sedangkan Maya sudah mengamuk di pintu depan karena Dimas tidak kunjung membukakan pintu untuknya. Sebenarnya suasana hati Maya sudah buruk sejak bangun tidur karena Dimas bersika
Wajah Naomi seketika memerah begitu mengamati Dimas dan Maya yang tengah bergumul di lantai satu. Buru-buru Naomi tutup pintu ruangan dengan hati-hati karena tidak mungkin ia harus menyaksikan pemandangan seperti itu.“Ahhh! Apa yang Dimas lakukan? Dia seharusnya cepat-cepat membawa Maya pergi tapi sekarang mereka malah mau berhubungan badan,” gerutu Naomi.Sedangkan di lantai bawah Dimas masih melakukan perlawanan agar bisa melarikan diri dari Maya. Ia tidak mau bergumul dengan wanita itu sekarang. Karena sudah tidak tahan Dimas pun akhirnya memaksa tubuhnya untuk bangkit dan membuat Maya hampir terguling.“CUKUP MAYA! Aku tidak mau, kamu ga ngerti bahasa manusia apa?” rutuk Dimas geram seraya menjauh dari Maya.Namun Maya tidak peduli, ia malah terkekeh seraya menatap Dimas dengan tatapan genitnya berharap suaminya itu akan tergoda. Sayang sekali Dimas sudah mati rasa walaupun Maya masih belum mengetahuinya.Hingga Maya me
Tangan Naomi mengepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih, rahangnya mengeras, air matanya jatuh tanpa Naomi sadari. “Brengsek!” Gumam Naomi. “Ayo Nom, kita—.” Dimas yang baru tiba sontak terdiam begitu melihat sikap Naomi. Dimas memerhatikan arah pandangan Naomi dan berusaha mengikutinya. ‘Astaga! Apa yang dia lihat?!’ batin Dimas. Dimas segera mengambil benda pipih canggih itu, tapi Naomi berhasil mencegahnya dan meraih gawai milik Dimas lebih dulu.“Nom....” Ucapan Dimas tertahan karena Naomi mendadak memelototinya, rasa cemas bercampur takut berdesir dari pembuluh darah Dimas. Tanpa banyak berbicara Naomi menarik pria itu keluar dari restoran dan berjalan menuju tempat yang sepi dengan terburu-buru.“Kamu memata-matai mereka?” tanya Naomi. Dimas mengembus napas berat, seperti yang ia duga ternyata benar Naomi melihat pesan dari salah satu temannya yang bekerja di agensi yang sama dengan Pandu dan Maya.Sejak mengetahui perselingkuhan Maya dan Pandu, Dimas menghubu
Maya melirik ke bagian bawah tubuh Pandu sambil tersenyum nakal.Pandu berdecak lalu menarik tangan Maya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Kemudian ia tatap kedua mata Maya dengan tatapan yang sangat intens, lalu tanpa banyak berbicara Pandu segera melahap bibir seksi milik Maya. Kedua bibir mereka beradu dengan liar. Mereka terhanyut dalam suasana panas itu tanpa memikirkan apa pun dalam benak mereka.Maya mendesah cukup kuat begitu milik Pandu memasuki area tubuh bawahnya. Pandu dengan cepat membekap mulut sahabatnya itu. “Pelankan suaramu atau kita akan ketahuan,” ujar Pandu. “Bagaimana aku bisa memelankan suaraku kalau kamu seliar ini....” Maya kembali mendesah kali ini ia berusaha menahan kuat suaranya agar tidak bergema terlalu kencang. Maya merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Pandu melakukannya lebih liar dari yang biasa sering mereka lakukan. Bahkan ia terus mendorong dengan kuat tanpa henti dan membuat Maya semakin hilang akal. “Kamu melakukannya l
“Maukah kamu menemaniku lagi bermain paralayang?”Dimas mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dimas tidak menyangka sama sekali Naomi mau melakukannya lagi, Dimas pikir ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya, mengingat wanita itu sangat ketakutan sebelumnya.Senyuman kembali merekah di wajah Dimas, “Tentu saja aku bersedia.”Akhirnya Naomi dan Dimas melakukan paralayang lagi dan untuk yang kedua kalinya Naomi terlihat lebih rileks walaupun tangannya masih mendingin saat mereka hendak meluncur. Dimas sangat puas ternyata usahanya untuk membuat Naomi bersenang-senang tidaklah sia-sia, wanita itu sangat menikmatinya. Mata Naomi tidak lagi terlihat sendu, binarnya kembali seperti sedia kala, seperti yang selama ini selalu Dimas lihat. “Aku pikir kamu tidak akan mau melakukannya lagi.”“Aku menyadarinya, ternyata kamu benar, kalau ini menyenangkan. Aku jadi mengerti semua maksudmu dan sepertinya aku akan ke sini lagi saat pikiranku kacau.”
“Kalau pun aku harus mati karena itu, aku akan tetap melakukannya, Naomi.”Naomi tertegun, lamat-lamat ia menatap kedua mata Dimas dan ada kesungguhan yang terpancar dari sana. Entah itu hanya perasaan Naomi, atau tipuan belaka, atau bisa saja Dimas memang bersungguh-sungguh mengatakannya. Namun anehnya Naomi ingin percaya bahwa pria menyebalkan itu memang bersungguh-sungguh pada perkataannya.“Baiklah,” Naomi akhirnya melunak, “Tidak perlu menganggap serius pembicaraan barusan, aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.” Setelah itu mereka memakai alat pengaman dan mendengarkan instruksi yang diberikan selepas semua instruksi di sampaikan oleh pemandu, Naomi dan Dimas bersiap-siap untuk melayang-layang di udara. Naomi beberapa kali menatap gusar daratan di bawah sana. Tangannya mendingin, wajahnya memutih. Dimas yang berada tepat di belakangnya menggenggam erat tangan Naomi. “Aku sudah sering melakukannya, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak peduli kamu hanya asal bicara at
Sejak turun dari bus Naomi terus memandangi empat buah permen yang Dimas berikan untuknya dengan embel-embel hadiah karena leluconnya yang bahkan Naomi pikir itu bukanlah lelucon yang lucu.“Tenang saja, Nom, ini bukan satu-satunya hadiah yang akan kamu terima,” ujar Dimas begitu menyadari bahwa Naomi sejak tadi terdiam karena menatap permen pemberian darinya.“Tidak usah membuat kesimpulan sendiri. Aku tidak memintamu untuk memberi apa pun padaku,” sahut Naomi, “Hanya saja....” lagi-lagi Naomi menghentikan ucapannya.Mendadak Naomi merasa bahwa ia tidak perlu mengatakan yang sedang ada dalam benaknya saat ini dan Naomi pikir Dimas juga tidak perlu mengetahuinya. Apa yang ingin ia katakan bukanlah hal yang penting, malah lebih tepatnya hanya sebuah informasi tidak penting. “Hanya apa? Kenapa kamu tidak menyelesaikan perkataanmu?” desak Dimas yang ternyata sudah menunggu Naomi dengan rasa penasaran yang menggebu. “Bukan sesuatu yang penting, sudahlah ayo kita berjalan lagi. Kam
Tubuh Naomi tiba-tiba membeku, bola mata Dimas yang indah lagi-lagi berhasil menghipnotis Naomi. Naomi rasakan jantungnya mendadak berdegup dengan kencang, perlahan pipinya yang tirus mulai bersemu merah.Embusan napas Dimas yang dapat Naomi rasakan dengan jelas malah membuat perasaannya semakin tidak karuan.Dengan kencang Naomi mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjauh darinya. Jika mereka terus bertahan di posisi seperti itu Naomi tidak tahu apa yang akan terjadi pada hatinya. Namun di saat yang sama bus yang mereka naiki mengerem mendadak hingga tubuh Naomi hilang keseimbangan, dengan sigap Dimas langsung menahannya dan berakhir Naomi jatuh di pelukan pria itu. Dalam pelukan Dimas, diam-diam Naomi bisa merasakan degup jantung pria itu. Naomi termenung saat merakan degup demi degup yang ia rasakan dari tubuh Dimas.‘Kenapa jantung Dimas berdetak dengan cepat?’ batin Naomi. Rasa penasaran mendadak terbit. Tapi Naomi tidak membiarkannya bertahan lama, baru sekejap saja ia la
‘Kak sepertinya kakak tidak punya teman laki-laki. Kak Naomi sudah punya pacar ya? Makanya menjauhi para laki-laki itu karena takut pacar kakak cemburu,’ goda Hana. Dengan senyum getir Naomi menjawab, ‘Aku tidak nyaman berada di dekat mereka. Bisa dibilang aku takut.’ Percakapan antara Hana dan Naomi beberapa tahun lalu kembali terputar di benak Hana. Saat itu, mereka sedang duduk di taman kampus dekat gedung fakultas mereka. Hana sedang asyik menatap orang-orang di depannya, entah itu yang sedang bergurau dengan gengnya atau bahkan yang sedang bermesraan. Sedangkan Naomi asyik menuangkan design pakaian yang ada di benaknya ke atas sebuah kertas putih A4. Jujur saja sejak Hana mengenal Naomi, ia tidak pernah melihat kakak tingkatnya itu dekat dengan pria mana pun. Bahkan Naomi jarang sekali berinteraksi dengan kaum adam itu. Komunikasi yang terjalin hanya jika benar-benar membicarakan hal penting selebihnya tidak ada. Sebab itu Hana mengatakan hal itu pada Naomi. Hana juga sem
Belum selesai urusannya dengan Dimas, ia harus memghadapi situasi yang kurang mengenakkan dengan Hana. Tidak berhenti sampai situ kini ibu mertuanya tiba-tiba datang dan sudah hampir tiba di butiknya. Rasanya kepala Naomi mau pecah, tapi bagaimana pun juga ibu mertuanya adalah hal utama yang saat ini paling utama untuk Naomi hindari. Untuk urusan Hana....“Han, kalau ibu bertanya tentangku, katakan saja kalau aku sedang bertemu dengan customer,” perintah Naomi pada Hana dengan terburu-buru. “Aku bisa percaya padamu kan?” Tanpa menunggu jawaban Hana, Naomi segera bergegas pergi dari butik bersama Dimas melalui pintu keluar lain di butik itu. Perasaan Naomi sudah cukup buruk akhir-akhir ini dan ia tidak mau masalah juga kewarasannya semakin memburuk karena ibu mertuanya. Tepat setelah Naomi dan Dimas keluar dari butik, Kamila tiba di butik. Dengan wajahnya yang masam dia mendorong pintu butik dengan kasar. Matanya yang sinis menyapu seluruh ruangan, mencari mang
Tanpa Naomi sadari tiba-tiba saja ia menganggukkan kepalanya seolah menyetujui hal perkataan Dimas.Tentu saja Dimas langsung tersenyum lebar, kedua manik beriris cokelatnya seketika berbinar-binar. “Bagus jika kamu setuju. Kalau begitu besok aku akan menjemputmu pagi-pagi sekali.” Naomi sontak tersentak seolah baru tersadar dari lamunan panjang yang entah akan ia sesali esok hari atau malah akan ia syukuri. Ia mengerjap-ngerjapkan bola matanya berusaha mengembalikan kesadarannya. “Tunggu, Apa maksudmu?!” tanya Naomi bingung.“Selamat malam, Nom.” Alih-alih menjawab pertanyaan Naomi, Dimas malah mengelus lagi pucuk kepala wanita itu kemudian berlalu begitu saja. Naomi yang masih tidak mengerti berusaha mengejar Dimas seraya berseru menuntut penjelasan pria menyebalkan itu, tapi Dimas malah mengabaikannya dan dengan cepat menghilang tanpa mengatakan sepatah kata lagi. “Kenapa dia mau menjemputku besok pagi? Untuk apa?! Kenapa dia selalu tidak jelas kalau b