Dimas menuangkan wine ke dalam gelas Naomi dan miliknya. Namun belum sempat mereka menikmatinya tiba-tiba saja seseorang datang. Mengetuk pintu dengan kasar sekali.
“DIMAS!!!”
Dimas dan Naomi sontak terdiam dan saling beradu pandang. Mereka berdua tahu betul suara milik siapa itu.
“Maya!” Dimas melompat dari tempat duduknya dan langsung menarik Naomi menuju ruangan lain di vila itu. “Kamu harus bersembunyi Nom.”
“Mobilku bagaimana? Dia pasti tau....”
“Mobilmu kan di garasi—."
“Bisa saja dia ke garasi,” sela Naomi.
Dimas bergeming untuk sesaat. Sepertinya ia punya ide untuk itu. “Sudahlah biar aku yang urus, kamu bersembunyi saja dulu.”
Dimas berlalu pergi menuju garasi sedangkan Maya sudah mengamuk di pintu depan karena Dimas tidak kunjung membukakan pintu untuknya. Sebenarnya suasana hati Maya sudah buruk sejak bangun tidur karena Dimas bersika
Wajah Naomi seketika memerah begitu mengamati Dimas dan Maya yang tengah bergumul di lantai satu. Buru-buru Naomi tutup pintu ruangan dengan hati-hati karena tidak mungkin ia harus menyaksikan pemandangan seperti itu.“Ahhh! Apa yang Dimas lakukan? Dia seharusnya cepat-cepat membawa Maya pergi tapi sekarang mereka malah mau berhubungan badan,” gerutu Naomi.Sedangkan di lantai bawah Dimas masih melakukan perlawanan agar bisa melarikan diri dari Maya. Ia tidak mau bergumul dengan wanita itu sekarang. Karena sudah tidak tahan Dimas pun akhirnya memaksa tubuhnya untuk bangkit dan membuat Maya hampir terguling.“CUKUP MAYA! Aku tidak mau, kamu ga ngerti bahasa manusia apa?” rutuk Dimas geram seraya menjauh dari Maya.Namun Maya tidak peduli, ia malah terkekeh seraya menatap Dimas dengan tatapan genitnya berharap suaminya itu akan tergoda. Sayang sekali Dimas sudah mati rasa walaupun Maya masih belum mengetahuinya.Hingga Maya me
Di dalam ruang ganti Naomi masih kelimpungan mencari tempat bersembunyi lain terlebih setelah mendengar ucapan Maya. Untuk sesaat Naomi menyesali keputusannya memilih ruang ganti ini karena setelah dipikir-pikir Maya pasti akan langsung menjajal ruang ganti karena merupakan satu-satunya ruangan lain dalam kamar tempat Naomi bersembunyi. “Aku harus bersembunyi di mana lagi Ya Tuhan?! Tidak ada tempat lain?!!” batin Naomi panik. Langkah Maya semakin dekat menuju ruangan ganti, tidak butuh waktu lama untuk wanita itu tiba tepat di depan ruangan ganti dan bersiap untuk membukanya. Dimas yang masih meringis karena luka terbuka akibat gigitan Maya ditangannya tanpa pikir panjang langsung melumat bibir Maya sebelum wanita itu menggeser pintu ruangan ganti. Gerakkan Maya terhenti, tetapi ia tidak lagi bisa hanyut dalam kenikmatan lumatan bibir suaminya. Pikirannya sedang tertuju pada prasangka buruknya. Maya pun mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjau
Tubuh Naomi membeku seketika, antara terkejut dan merasa kalau Dimas begitu lancang karena memeluk tubuhnya begitu saja. Tapi entah mengapa Naomi merasakan sedikit kenyamanan menyeruak, menghangatkan hatinya. Saat Naomi hampir terlena ia segera melepaskan pelukan Dimas, tapi pelukan Dimas malah semakin erat melingkar di tubuh Naomi. “DIMAS LEPAS!” pekik Naomi. “Aku akan melepaskan pelukanku, tapi kamu harus berjanji satu hal.” Dahi Naomi berkerut, ia tidak dalam kondisi yang baik untuk menjanjikan suatu hal dengan pria itu dan untuk apa juga Naomi melakukannya? “Berhenti omong kosong dan lepaskan aku! Aku tidak mau melihatmu!”“Kau hendak bunuh diri kan siang tadi?”Deg!!!Tubuh Naomi kembali mematung, mulutnya yang bergetar karena amarah dan kesedihan mendadak tertutup rapat. Naomi tidak menduga bahwa Dimas akan menyadari niat hatinya yang bahkan Naomi sendiri tolak mentah-mentah. Untuk beberapa saat Naomi tidak mau mengakuinya, padahal seperti itulah niatnya. Naomi ha
Naomi menyipitkan matanya lalu menunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Dimas dan menatap pria yang tengah terpejam di pahanya itu lamat-lamat. Rasa takut tidak menghantui Naomi walaupun wajahnya sudah sedekat itu dengan Dimas karena Naomi yakin pria itu dalam kondisi separuh sadar. Namun tanpa Naomi duga tiba-tiba saja Dimas kembali membuka kelopak matanya. Naomi tersentak tapi tubuhnya seolah terkunci hingga dirinya hanya bisa bergeming dan beradu pandang dengan Dimas untuk waktu yang cukup lama. Suasana begitu sunyi, yang terdengar hanyalah deburan ombak dan degup jantung mereka masing-masing. Perlahan Dimas mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Naomi dengan halus. Lagi-lagi Naomi hanya terdiam seolah tersihir oleh tatapan mata Dimas yang begitu dalam. Bersamaan dengan debur ombak yang menghantam batu karang, Dimas akhirnya mengecup bibir Naomi dengan lembut. Saat Dimas melepaskan kecupannya Naomi masih tidak berkutik, akhirnya Dimas bangkit dan melumat bibi
Dimas meraih gawai miliknya yang masih berpendar-pendar karena notifikasi panggilan masuk dari seseorang seraya memainkan jarinya dengan intens. Kemudian Dimas menunjukkan apa yang terlihat di layar gawainya pada Naomi. Naomi sontak terperanjat dan merebut ponsel Dimas, tapi sayangnya Dimas sudah menggeser tombol jawab terlebih dahulu. Senyum puas terukir di wajah Dimas sangat berbanding terbalik dengan Naomi yang merungut dan menatap Dimas penuh rasa kesal. “Dim, lo ketemu Naomi lagi ga hari ini setelah tadi pagi?” suara familiar yang keluar dari ponsel Dimas menggema dan semakin membuat Naomi resah. Namun Dimas tidak menyukai ekspresi Naomi yang kesulitan seperti itu, demi membuat ekspresi tidak enak itu hilang dari wajah Naomi, Dimas pun kembali beraksi memainkan jari jemarinya dengan liar menjamah setiap bagian sensitif tubuh Naomi. Naomi sontak terhenyak dan cepat-cepat menutup mulutnya rapat-rapat supaya desahannya tidak keluar. “Ga tuh, emangnya dia kabur?” tanya Di
‘Ibu’Satu kata itu cukup untuk mengguncang hati Naomi. Seharusnya Naomi senang, tapi perasaan yang rumit malah muncul. Orang berkata biasanya saat kita ingin menyembunyikan suatu hal buruk dari seseorang, ketika orang itu muncul dengan biasa saja hati kita malah jadi tidak nyaman dan luluh lantah dan Naomi tahu bahwa itu benar. Dengan perasaan berat Naomi keluar dari vila menuju halaman untuk mengangkat telepon dari ibunya. “Naomi, kamu di mana nak?” tanya ibunya dengan cemas di ujung sana, “Suamimu tiba-tiba datang pagi-pagi sekali dan menanyakanmu, dia masih di sini....” “Ibu tolong jangan berikan telepon ibu pada mas Pandu, aku tidak mau bicara dengannya,” sela Naomi. Rupanya Pandu yang kelimpungan dan tidak tahu lagi keberadaan Naomi, akhirnya mendatangi rumah orang tua Naomi dengan harapan bahwa Naomi ada di sana. Tapi apa yang Pandu lakukan malah membuat ibu Naomi jadi khawatir akan kondisi putrinya. “Apa kamu bertengkar dengannya?” “
Sekujur tubuh Naomi membeku di tempat dan bergetar hebat. Masa lalunya yang mengerikan terputar di dalam benaknya seiring semakin dekatnya para pemuda di sekeliling Naomi mendesaknya. Naomi tidak berdaya untuk melarikan diri, terkungkung takut hingga membuatnya kesulitan bernapas. Para pemuda itu mendekati Naomi dan mulai menyentuh tubuh Naomi, bahkan membelainya secara bergantian. Naomi berusaha menepiskan tangan mereka satu-persatu dengan panik. Bulir air mata mulai jatuh, tapi Naomi tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun lidahnya amat kelu.“Loh kok malah nangis sih kan kita Cuma mau main-main,” ujar pria berambut merah seraya memegangi wajah Naomi. “Dijamin bakal se—.” Belum sempat pria itu merampungkan ucapannya tubuhnya sudah lebih dulu tersungkur ke tanah, setelah mendapat pukulan mematikan dari Dimas. Teman-teman pria itu langsung melangkah mundur menatap takut ke arah Dimas lalu dengan tunggang langgang lari terbirit-birit meninggalkan temannya. “Sialan! Siapa l
“Mi, kamu mau ke mana?” seru Pandu dengan terengah-engah ketika dia mendapati Naomi tengah berjalan menuju jalan raya. Naomi menepiskan genggaman suaminya dengan kasar, demi tuhan Naomi enggan di sentuh oleh Pandu walau sedikit pun karena membuat Naomi kerap terbayang pengkhianatan yang dilakukan Pandu padanya. “Kamu harus istirahat Mi, kondisi kamu—.”“Aku baik-baik aja, jadi lebih baik kamu pulang sekarang.” Kondisi Naomi berangsur pulih walaupun emosinya masih belum sepenuhnya stabil akibat trauma miliknya yang terguncang karena kebejatan para pemuda cabul beberapa jam lalu. “Kita harus pulang sama-sama, aku ga akan pulang kalau kamu ga ikut pulang.” “Oke, aku bakal pulang besok tapi ga sama kamu mas—.”“Kamu tuh kenapa sih Mi? Sejak kapan kamu main kabur-kaburan kaya gini waktu ada masalah? Cuma karena kesalahpahaman kecil, bukannya ini terlalu berlebihan, Mi?” tukas Pandu frustrasi, rasa lelah amat tergambar di wajah pria itu, lingk
Tangan Naomi mengepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih, rahangnya mengeras, air matanya jatuh tanpa Naomi sadari. “Brengsek!” Gumam Naomi. “Ayo Nom, kita—.” Dimas yang baru tiba sontak terdiam begitu melihat sikap Naomi. Dimas memerhatikan arah pandangan Naomi dan berusaha mengikutinya. ‘Astaga! Apa yang dia lihat?!’ batin Dimas. Dimas segera mengambil benda pipih canggih itu, tapi Naomi berhasil mencegahnya dan meraih gawai milik Dimas lebih dulu.“Nom....” Ucapan Dimas tertahan karena Naomi mendadak memelototinya, rasa cemas bercampur takut berdesir dari pembuluh darah Dimas. Tanpa banyak berbicara Naomi menarik pria itu keluar dari restoran dan berjalan menuju tempat yang sepi dengan terburu-buru.“Kamu memata-matai mereka?” tanya Naomi. Dimas mengembus napas berat, seperti yang ia duga ternyata benar Naomi melihat pesan dari salah satu temannya yang bekerja di agensi yang sama dengan Pandu dan Maya.Sejak mengetahui perselingkuhan Maya dan Pandu, Dimas menghubu
Maya melirik ke bagian bawah tubuh Pandu sambil tersenyum nakal.Pandu berdecak lalu menarik tangan Maya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Kemudian ia tatap kedua mata Maya dengan tatapan yang sangat intens, lalu tanpa banyak berbicara Pandu segera melahap bibir seksi milik Maya. Kedua bibir mereka beradu dengan liar. Mereka terhanyut dalam suasana panas itu tanpa memikirkan apa pun dalam benak mereka.Maya mendesah cukup kuat begitu milik Pandu memasuki area tubuh bawahnya. Pandu dengan cepat membekap mulut sahabatnya itu. “Pelankan suaramu atau kita akan ketahuan,” ujar Pandu. “Bagaimana aku bisa memelankan suaraku kalau kamu seliar ini....” Maya kembali mendesah kali ini ia berusaha menahan kuat suaranya agar tidak bergema terlalu kencang. Maya merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Pandu melakukannya lebih liar dari yang biasa sering mereka lakukan. Bahkan ia terus mendorong dengan kuat tanpa henti dan membuat Maya semakin hilang akal. “Kamu melakukannya l
“Maukah kamu menemaniku lagi bermain paralayang?”Dimas mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dimas tidak menyangka sama sekali Naomi mau melakukannya lagi, Dimas pikir ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya, mengingat wanita itu sangat ketakutan sebelumnya.Senyuman kembali merekah di wajah Dimas, “Tentu saja aku bersedia.”Akhirnya Naomi dan Dimas melakukan paralayang lagi dan untuk yang kedua kalinya Naomi terlihat lebih rileks walaupun tangannya masih mendingin saat mereka hendak meluncur. Dimas sangat puas ternyata usahanya untuk membuat Naomi bersenang-senang tidaklah sia-sia, wanita itu sangat menikmatinya. Mata Naomi tidak lagi terlihat sendu, binarnya kembali seperti sedia kala, seperti yang selama ini selalu Dimas lihat. “Aku pikir kamu tidak akan mau melakukannya lagi.”“Aku menyadarinya, ternyata kamu benar, kalau ini menyenangkan. Aku jadi mengerti semua maksudmu dan sepertinya aku akan ke sini lagi saat pikiranku kacau.”
“Kalau pun aku harus mati karena itu, aku akan tetap melakukannya, Naomi.”Naomi tertegun, lamat-lamat ia menatap kedua mata Dimas dan ada kesungguhan yang terpancar dari sana. Entah itu hanya perasaan Naomi, atau tipuan belaka, atau bisa saja Dimas memang bersungguh-sungguh mengatakannya. Namun anehnya Naomi ingin percaya bahwa pria menyebalkan itu memang bersungguh-sungguh pada perkataannya.“Baiklah,” Naomi akhirnya melunak, “Tidak perlu menganggap serius pembicaraan barusan, aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.” Setelah itu mereka memakai alat pengaman dan mendengarkan instruksi yang diberikan selepas semua instruksi di sampaikan oleh pemandu, Naomi dan Dimas bersiap-siap untuk melayang-layang di udara. Naomi beberapa kali menatap gusar daratan di bawah sana. Tangannya mendingin, wajahnya memutih. Dimas yang berada tepat di belakangnya menggenggam erat tangan Naomi. “Aku sudah sering melakukannya, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak peduli kamu hanya asal bicara at
Sejak turun dari bus Naomi terus memandangi empat buah permen yang Dimas berikan untuknya dengan embel-embel hadiah karena leluconnya yang bahkan Naomi pikir itu bukanlah lelucon yang lucu.“Tenang saja, Nom, ini bukan satu-satunya hadiah yang akan kamu terima,” ujar Dimas begitu menyadari bahwa Naomi sejak tadi terdiam karena menatap permen pemberian darinya.“Tidak usah membuat kesimpulan sendiri. Aku tidak memintamu untuk memberi apa pun padaku,” sahut Naomi, “Hanya saja....” lagi-lagi Naomi menghentikan ucapannya.Mendadak Naomi merasa bahwa ia tidak perlu mengatakan yang sedang ada dalam benaknya saat ini dan Naomi pikir Dimas juga tidak perlu mengetahuinya. Apa yang ingin ia katakan bukanlah hal yang penting, malah lebih tepatnya hanya sebuah informasi tidak penting. “Hanya apa? Kenapa kamu tidak menyelesaikan perkataanmu?” desak Dimas yang ternyata sudah menunggu Naomi dengan rasa penasaran yang menggebu. “Bukan sesuatu yang penting, sudahlah ayo kita berjalan lagi. Kam
Tubuh Naomi tiba-tiba membeku, bola mata Dimas yang indah lagi-lagi berhasil menghipnotis Naomi. Naomi rasakan jantungnya mendadak berdegup dengan kencang, perlahan pipinya yang tirus mulai bersemu merah.Embusan napas Dimas yang dapat Naomi rasakan dengan jelas malah membuat perasaannya semakin tidak karuan.Dengan kencang Naomi mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjauh darinya. Jika mereka terus bertahan di posisi seperti itu Naomi tidak tahu apa yang akan terjadi pada hatinya. Namun di saat yang sama bus yang mereka naiki mengerem mendadak hingga tubuh Naomi hilang keseimbangan, dengan sigap Dimas langsung menahannya dan berakhir Naomi jatuh di pelukan pria itu. Dalam pelukan Dimas, diam-diam Naomi bisa merasakan degup jantung pria itu. Naomi termenung saat merakan degup demi degup yang ia rasakan dari tubuh Dimas.‘Kenapa jantung Dimas berdetak dengan cepat?’ batin Naomi. Rasa penasaran mendadak terbit. Tapi Naomi tidak membiarkannya bertahan lama, baru sekejap saja ia la
‘Kak sepertinya kakak tidak punya teman laki-laki. Kak Naomi sudah punya pacar ya? Makanya menjauhi para laki-laki itu karena takut pacar kakak cemburu,’ goda Hana. Dengan senyum getir Naomi menjawab, ‘Aku tidak nyaman berada di dekat mereka. Bisa dibilang aku takut.’ Percakapan antara Hana dan Naomi beberapa tahun lalu kembali terputar di benak Hana. Saat itu, mereka sedang duduk di taman kampus dekat gedung fakultas mereka. Hana sedang asyik menatap orang-orang di depannya, entah itu yang sedang bergurau dengan gengnya atau bahkan yang sedang bermesraan. Sedangkan Naomi asyik menuangkan design pakaian yang ada di benaknya ke atas sebuah kertas putih A4. Jujur saja sejak Hana mengenal Naomi, ia tidak pernah melihat kakak tingkatnya itu dekat dengan pria mana pun. Bahkan Naomi jarang sekali berinteraksi dengan kaum adam itu. Komunikasi yang terjalin hanya jika benar-benar membicarakan hal penting selebihnya tidak ada. Sebab itu Hana mengatakan hal itu pada Naomi. Hana juga sem
Belum selesai urusannya dengan Dimas, ia harus memghadapi situasi yang kurang mengenakkan dengan Hana. Tidak berhenti sampai situ kini ibu mertuanya tiba-tiba datang dan sudah hampir tiba di butiknya. Rasanya kepala Naomi mau pecah, tapi bagaimana pun juga ibu mertuanya adalah hal utama yang saat ini paling utama untuk Naomi hindari. Untuk urusan Hana....“Han, kalau ibu bertanya tentangku, katakan saja kalau aku sedang bertemu dengan customer,” perintah Naomi pada Hana dengan terburu-buru. “Aku bisa percaya padamu kan?” Tanpa menunggu jawaban Hana, Naomi segera bergegas pergi dari butik bersama Dimas melalui pintu keluar lain di butik itu. Perasaan Naomi sudah cukup buruk akhir-akhir ini dan ia tidak mau masalah juga kewarasannya semakin memburuk karena ibu mertuanya. Tepat setelah Naomi dan Dimas keluar dari butik, Kamila tiba di butik. Dengan wajahnya yang masam dia mendorong pintu butik dengan kasar. Matanya yang sinis menyapu seluruh ruangan, mencari mang
Tanpa Naomi sadari tiba-tiba saja ia menganggukkan kepalanya seolah menyetujui hal perkataan Dimas.Tentu saja Dimas langsung tersenyum lebar, kedua manik beriris cokelatnya seketika berbinar-binar. “Bagus jika kamu setuju. Kalau begitu besok aku akan menjemputmu pagi-pagi sekali.” Naomi sontak tersentak seolah baru tersadar dari lamunan panjang yang entah akan ia sesali esok hari atau malah akan ia syukuri. Ia mengerjap-ngerjapkan bola matanya berusaha mengembalikan kesadarannya. “Tunggu, Apa maksudmu?!” tanya Naomi bingung.“Selamat malam, Nom.” Alih-alih menjawab pertanyaan Naomi, Dimas malah mengelus lagi pucuk kepala wanita itu kemudian berlalu begitu saja. Naomi yang masih tidak mengerti berusaha mengejar Dimas seraya berseru menuntut penjelasan pria menyebalkan itu, tapi Dimas malah mengabaikannya dan dengan cepat menghilang tanpa mengatakan sepatah kata lagi. “Kenapa dia mau menjemputku besok pagi? Untuk apa?! Kenapa dia selalu tidak jelas kalau b