Naomi menyipitkan matanya lalu menunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Dimas dan menatap pria yang tengah terpejam di pahanya itu lamat-lamat. Rasa takut tidak menghantui Naomi walaupun wajahnya sudah sedekat itu dengan Dimas karena Naomi yakin pria itu dalam kondisi separuh sadar. Namun tanpa Naomi duga tiba-tiba saja Dimas kembali membuka kelopak matanya. Naomi tersentak tapi tubuhnya seolah terkunci hingga dirinya hanya bisa bergeming dan beradu pandang dengan Dimas untuk waktu yang cukup lama. Suasana begitu sunyi, yang terdengar hanyalah deburan ombak dan degup jantung mereka masing-masing. Perlahan Dimas mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Naomi dengan halus. Lagi-lagi Naomi hanya terdiam seolah tersihir oleh tatapan mata Dimas yang begitu dalam. Bersamaan dengan debur ombak yang menghantam batu karang, Dimas akhirnya mengecup bibir Naomi dengan lembut. Saat Dimas melepaskan kecupannya Naomi masih tidak berkutik, akhirnya Dimas bangkit dan melumat bibi
Dimas meraih gawai miliknya yang masih berpendar-pendar karena notifikasi panggilan masuk dari seseorang seraya memainkan jarinya dengan intens. Kemudian Dimas menunjukkan apa yang terlihat di layar gawainya pada Naomi. Naomi sontak terperanjat dan merebut ponsel Dimas, tapi sayangnya Dimas sudah menggeser tombol jawab terlebih dahulu. Senyum puas terukir di wajah Dimas sangat berbanding terbalik dengan Naomi yang merungut dan menatap Dimas penuh rasa kesal. “Dim, lo ketemu Naomi lagi ga hari ini setelah tadi pagi?” suara familiar yang keluar dari ponsel Dimas menggema dan semakin membuat Naomi resah. Namun Dimas tidak menyukai ekspresi Naomi yang kesulitan seperti itu, demi membuat ekspresi tidak enak itu hilang dari wajah Naomi, Dimas pun kembali beraksi memainkan jari jemarinya dengan liar menjamah setiap bagian sensitif tubuh Naomi. Naomi sontak terhenyak dan cepat-cepat menutup mulutnya rapat-rapat supaya desahannya tidak keluar. “Ga tuh, emangnya dia kabur?” tanya Di
‘Ibu’Satu kata itu cukup untuk mengguncang hati Naomi. Seharusnya Naomi senang, tapi perasaan yang rumit malah muncul. Orang berkata biasanya saat kita ingin menyembunyikan suatu hal buruk dari seseorang, ketika orang itu muncul dengan biasa saja hati kita malah jadi tidak nyaman dan luluh lantah dan Naomi tahu bahwa itu benar. Dengan perasaan berat Naomi keluar dari vila menuju halaman untuk mengangkat telepon dari ibunya. “Naomi, kamu di mana nak?” tanya ibunya dengan cemas di ujung sana, “Suamimu tiba-tiba datang pagi-pagi sekali dan menanyakanmu, dia masih di sini....” “Ibu tolong jangan berikan telepon ibu pada mas Pandu, aku tidak mau bicara dengannya,” sela Naomi. Rupanya Pandu yang kelimpungan dan tidak tahu lagi keberadaan Naomi, akhirnya mendatangi rumah orang tua Naomi dengan harapan bahwa Naomi ada di sana. Tapi apa yang Pandu lakukan malah membuat ibu Naomi jadi khawatir akan kondisi putrinya. “Apa kamu bertengkar dengannya?” “
Sekujur tubuh Naomi membeku di tempat dan bergetar hebat. Masa lalunya yang mengerikan terputar di dalam benaknya seiring semakin dekatnya para pemuda di sekeliling Naomi mendesaknya. Naomi tidak berdaya untuk melarikan diri, terkungkung takut hingga membuatnya kesulitan bernapas. Para pemuda itu mendekati Naomi dan mulai menyentuh tubuh Naomi, bahkan membelainya secara bergantian. Naomi berusaha menepiskan tangan mereka satu-persatu dengan panik. Bulir air mata mulai jatuh, tapi Naomi tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun lidahnya amat kelu.“Loh kok malah nangis sih kan kita Cuma mau main-main,” ujar pria berambut merah seraya memegangi wajah Naomi. “Dijamin bakal se—.” Belum sempat pria itu merampungkan ucapannya tubuhnya sudah lebih dulu tersungkur ke tanah, setelah mendapat pukulan mematikan dari Dimas. Teman-teman pria itu langsung melangkah mundur menatap takut ke arah Dimas lalu dengan tunggang langgang lari terbirit-birit meninggalkan temannya. “Sialan! Siapa l
“Mi, kamu mau ke mana?” seru Pandu dengan terengah-engah ketika dia mendapati Naomi tengah berjalan menuju jalan raya. Naomi menepiskan genggaman suaminya dengan kasar, demi tuhan Naomi enggan di sentuh oleh Pandu walau sedikit pun karena membuat Naomi kerap terbayang pengkhianatan yang dilakukan Pandu padanya. “Kamu harus istirahat Mi, kondisi kamu—.”“Aku baik-baik aja, jadi lebih baik kamu pulang sekarang.” Kondisi Naomi berangsur pulih walaupun emosinya masih belum sepenuhnya stabil akibat trauma miliknya yang terguncang karena kebejatan para pemuda cabul beberapa jam lalu. “Kita harus pulang sama-sama, aku ga akan pulang kalau kamu ga ikut pulang.” “Oke, aku bakal pulang besok tapi ga sama kamu mas—.”“Kamu tuh kenapa sih Mi? Sejak kapan kamu main kabur-kaburan kaya gini waktu ada masalah? Cuma karena kesalahpahaman kecil, bukannya ini terlalu berlebihan, Mi?” tukas Pandu frustrasi, rasa lelah amat tergambar di wajah pria itu, lingk
Desir amarah mengalir dengan cepat seiring dengan kecepatan langkah Pandu menuju Dimas. Matanya yang lelah menatap dingin sahabatnya itu bersama dengan tangannya yang terkepal kuat melayang ke arah wajah Dimas.Seolah pasrah dengan situasi yang mungkin akan dihadapinya, Dimas hanya bergeming dengan raut wajahnya yang tanpa ekspresi. Namun tanpa terduga Pandu malah mendaratkan tangannya pada pundak Dimas. “Dari mana lo? Gue udah nunggu dari tadi,” ujar Pandu dengan wajah penatnya. Dimas buru-buru menyingkirkan tangan Pandu dari pundaknya, “Ngapain lo ke sini?” balas Dimas ketus seraya membuka pintu. “Niat gue ke sini emang mau nyamperin lo, jadi sahabat yang ga tau diri, udah maki-maki lo kemarin hari ini mah nyamperin karena pusing sama masalah hidup.”Dimas mendengus, tanpa membalas ucapan Pandu lalu menyuruh pria itu untuk masuk. Sejak dulu Pandu memang selalu begitu setelah bertengkar dengan Dimas, tanpa mengucapkan kata maaf atas kesalahannya ia tiba-tiba selalu datang d
“Naomi, jujur kamu dan Dimas bukan tidak sengaja ketemu di pantai tadi kan?” todong Pandu dengan wajahnya yang memerah. Jelas sekali emosi sudah menguasai dirinya karena sebuah kecurigaan. “Bukannya Dimas udah jelasin semuanya waktu di pantai tadi?” Balas Naomi ketus seraya menatap Dimas dan Pandu bergantian. “Ya, tapi—.”“Mas, kalo kamu ga percaya sama jawabannya buat apa tanya lagi? Lagi pula hasilnya akan tetap sama kan? Entah apapun itu jawabannya kamu ga akan percaya.”Pandu terdiam kini ia tampak serba salah. Kecurigaan memenuhi hati dan pikirannya tapi perasaan kalut tentang pertengkarannya dengan Naomi juga masih membuat sesak dadanya. Karena itu Pandu sulit untuk meluapkan kecurigaannya. Ia takut Naomi semakin marah padanya dan malah berubah pikiran untuk tidak pulang sama sekali. Tidak jauh berbeda dengan Naomi. Jujur saja jauh di lubuk hatinya ia merasa resah karena situasi ini. Ia mengerti akan kecurigaan suaminya itu, lagi pula siapa yang tidak akan curiga kalau d
Anting di genggaman tangan Pandu seketika terjatuh ke lantai begitu Dimas menyeringai ke arahnya. Pupil mata Pandu bergetar selaras dengan kedua tangannya yang juga bergetar. Pria itu seperti baru saja melihat setan di hadapannya, begitu terkejut dan amat ketakutan. Sama seperti Pandu , Naomi juga langsung mengerti apa maksud dari perkataan Dimas terlebih ketika melihat reaksi Pandu, tanpa perlu bertanya-tanya lagi Naomi sudah mengetahui dengan jelas jawabannya. Hati Naomi kembali terasa pedih menghadapi kenyataan baru di depan matanya. “Pergilah, Mas, aku lelah,” celetuk Naomi dan langsung menutup pintu tanpa memberi kesempatan kepada Pandu untuk berbicara dengannya. Pandu langsung terkesiap begitu pintu di hadapannya berdebam kuat, dengan panik ia mulai mengetuk-ngetuk pintu kamar bernomor 201 itu sambil memohon-mohon pada Naomi untuk membukakan pintu itu untuknya. Namun Naomi tidak menggubrisnya sama sekali. Hati Naomi yang semula sudah sedikit membaik, sekarang kembali ter