Anting di genggaman tangan Pandu seketika terjatuh ke lantai begitu Dimas menyeringai ke arahnya. Pupil mata Pandu bergetar selaras dengan kedua tangannya yang juga bergetar. Pria itu seperti baru saja melihat setan di hadapannya, begitu terkejut dan amat ketakutan. Sama seperti Pandu , Naomi juga langsung mengerti apa maksud dari perkataan Dimas terlebih ketika melihat reaksi Pandu, tanpa perlu bertanya-tanya lagi Naomi sudah mengetahui dengan jelas jawabannya. Hati Naomi kembali terasa pedih menghadapi kenyataan baru di depan matanya. “Pergilah, Mas, aku lelah,” celetuk Naomi dan langsung menutup pintu tanpa memberi kesempatan kepada Pandu untuk berbicara dengannya. Pandu langsung terkesiap begitu pintu di hadapannya berdebam kuat, dengan panik ia mulai mengetuk-ngetuk pintu kamar bernomor 201 itu sambil memohon-mohon pada Naomi untuk membukakan pintu itu untuknya. Namun Naomi tidak menggubrisnya sama sekali. Hati Naomi yang semula sudah sedikit membaik, sekarang kembali ter
Seharian penuh Naomi menatap dirinya sendiri dengan prihatin. Ternyata ia begitu bodoh membiarkan ibu dan anak itu menetap di kehidupannya. Padahal ibu mertuanya sejak awal tidak pernah sekali pun menghargai Naomi, bahkan cukup sering berpura-pura menjadi korban hingga mengadu domba Naomi dan Pandu. Sebagian besar pertengkaran yang terjadi antara Naomi dan Pandu terjadi karena mama Pandu. Naomi mengenang semua waktu yang telah ia habiskan selama menikah dengan Pandu. Ternyata setelah dilihat lagi lebih banyak rasa sakit dibandingkan kebahagiaan yang ia dapatkan. Naomi mendengus, ia tidak habis pikir pada dirinya sendiri, bagaimana bisa ia bertahan selama ini dalam kehidupan rumah tangga yang penuh racun seperti itu? Apakah Naomi memang sebuta itu karena cinta sampai-sampai semua rasa sakit dan penghinaan yang dilakukan oleh Mamanya Pandu tidak lagi berarti untuk dirinya?Naomi mengembus napas berat kemudian kembali meneguk anggur merah yang sisa setengah gelas sampa
Tiba-tiba saja manusia mencurigakan itu berbalik ke arah Naomi. Naomi yang terkejut seketika langsung melayangkan gawai di tangannya tepat ke arah kepala pria mencurigakan itu. “SIAPA KAMU?! PERGI!! PERGI, DASAR ORANG ANEH!!” pekik Naomi sambil memukuli pria di hadapannya dengan gawainya.Beberapa kali gawai yang diayunkan Naomi membentur keras kepala dan lengan pria itu hingga pria itu meringis kesakitan. “HEY! BERHENTI, NOM! INI AKU!”Gerakan Naomi terhenti begitu indra pendengarannya menangkap suara yang tidak asing di telinganya. Perlahan Naomi menurunkan tangannya dan menatap dengan benar pria di hadapannya. Saat itu maniknya yang bening bertemu dengan manik beriris cokelat yang indah. Kedua bola mata itu semakin memikat sebab tertimpa cahaya remang dari lampu depan butik Naomi. Jelas Naomi mengenal siapa pemilik bola mata itu, bola mata yang akhir-akhir ini selalu menatap Naomi dengan iba dan hangat.“Dimas....” gumam Naomi.Senyum p
Wajah Dimas begitu dekat dengan wajah Naomi hingga Naomi bisa merasakan embusan napas Dimas yang hangat. Lagi-lagi Dimas menatapnya dengan tatapan hangat dan membuat Naomi merasa nyaman. Namun tiba-tiba saja Naomi memukul lagi dahi Dimas, hingga pria itu meringis dan menjauh darinya. “AAA! Kenapa kamu memukulnya lagi?” rutuk Dimas seraya mengusap-usap dahinya yang memerah akibat kejadian di depan butik beberapa saat yang lalu. “Ngapain juga deket-deket.” Balas Naomi seraya berbalik memunggungi pria itu. Naomi terlalu gugup untuk menatap Dimas dalam waktu lama dengan jarak yang sedekat itu. Entah mengapa ia perasaannya selalu bereaksi dengan aneh. Dimas masih memegangi dahinya yang terasa sakit. Naomi menoleh dan memerhatikan dahi Dimas dan beberapa bagian lengannya yang memerah. Sebelumnya Naomi tidak melihatnya karena tertutup jaket. Naomi mengambil ice bag dari dalam kotak P3K di ruangannya dan mengisinya dengan bongkahan es. “Kompres pakai ini,
Naomi mengernyitkan dahinya tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Dimas. Namun sebelum Naomi bisa mencerna semuanya tiba-tiba saja Dimas mengambil obat tidur yang baru beberapa jam lalu Naomi beli, lalu tanpa ragu membuka seluruh bungkusnya dan melarutkannya seluruh obat itu ke dalam botoh anggur di atas meja. “APA YANG KAMU LAKUKAN?!” pekik Naomi yang tercekat begitu menyadari apa yang sedang Dimas lakukan. Naomi sontak berlari mendekati Dimas dan berusaha menghentikan pria itu, tapi Dimas tidak membuatnya menjadi mudah. Dimas menahan Naomi dan mencekal lengannya lalu dengan cepat ia menumpahkan seluruh isi botol anggur itu ke dalam washtafel yang berada tidak jauh darinya. “DIMAS! Apa kamu tau berapa harga wine itu?” rutuk Naomi, amarahnya meletup-letup meratapi winenya yang hanyut tak bersisa ke dalam saluran pembuangan. “Sebutkan saja nominalnya, aku akan mengganti kerugiannya,” jawab Dimas ringan. “Kamu menyebalkan! Dan obat itu....”Dimas m
Tanpa Naomi sadari tiba-tiba saja ia menganggukkan kepalanya seolah menyetujui hal perkataan Dimas.Tentu saja Dimas langsung tersenyum lebar, kedua manik beriris cokelatnya seketika berbinar-binar. “Bagus jika kamu setuju. Kalau begitu besok aku akan menjemputmu pagi-pagi sekali.” Naomi sontak tersentak seolah baru tersadar dari lamunan panjang yang entah akan ia sesali esok hari atau malah akan ia syukuri. Ia mengerjap-ngerjapkan bola matanya berusaha mengembalikan kesadarannya. “Tunggu, Apa maksudmu?!” tanya Naomi bingung.“Selamat malam, Nom.” Alih-alih menjawab pertanyaan Naomi, Dimas malah mengelus lagi pucuk kepala wanita itu kemudian berlalu begitu saja. Naomi yang masih tidak mengerti berusaha mengejar Dimas seraya berseru menuntut penjelasan pria menyebalkan itu, tapi Dimas malah mengabaikannya dan dengan cepat menghilang tanpa mengatakan sepatah kata lagi. “Kenapa dia mau menjemputku besok pagi? Untuk apa?! Kenapa dia selalu tidak jelas kalau b
Belum selesai urusannya dengan Dimas, ia harus memghadapi situasi yang kurang mengenakkan dengan Hana. Tidak berhenti sampai situ kini ibu mertuanya tiba-tiba datang dan sudah hampir tiba di butiknya. Rasanya kepala Naomi mau pecah, tapi bagaimana pun juga ibu mertuanya adalah hal utama yang saat ini paling utama untuk Naomi hindari. Untuk urusan Hana....“Han, kalau ibu bertanya tentangku, katakan saja kalau aku sedang bertemu dengan customer,” perintah Naomi pada Hana dengan terburu-buru. “Aku bisa percaya padamu kan?” Tanpa menunggu jawaban Hana, Naomi segera bergegas pergi dari butik bersama Dimas melalui pintu keluar lain di butik itu. Perasaan Naomi sudah cukup buruk akhir-akhir ini dan ia tidak mau masalah juga kewarasannya semakin memburuk karena ibu mertuanya. Tepat setelah Naomi dan Dimas keluar dari butik, Kamila tiba di butik. Dengan wajahnya yang masam dia mendorong pintu butik dengan kasar. Matanya yang sinis menyapu seluruh ruangan, mencari mang
‘Kak sepertinya kakak tidak punya teman laki-laki. Kak Naomi sudah punya pacar ya? Makanya menjauhi para laki-laki itu karena takut pacar kakak cemburu,’ goda Hana. Dengan senyum getir Naomi menjawab, ‘Aku tidak nyaman berada di dekat mereka. Bisa dibilang aku takut.’ Percakapan antara Hana dan Naomi beberapa tahun lalu kembali terputar di benak Hana. Saat itu, mereka sedang duduk di taman kampus dekat gedung fakultas mereka. Hana sedang asyik menatap orang-orang di depannya, entah itu yang sedang bergurau dengan gengnya atau bahkan yang sedang bermesraan. Sedangkan Naomi asyik menuangkan design pakaian yang ada di benaknya ke atas sebuah kertas putih A4. Jujur saja sejak Hana mengenal Naomi, ia tidak pernah melihat kakak tingkatnya itu dekat dengan pria mana pun. Bahkan Naomi jarang sekali berinteraksi dengan kaum adam itu. Komunikasi yang terjalin hanya jika benar-benar membicarakan hal penting selebihnya tidak ada. Sebab itu Hana mengatakan hal itu pada Naomi. Hana juga sem