Wajah Naomi seketika memerah begitu mengamati Dimas dan Maya yang tengah bergumul di lantai satu. Buru-buru Naomi tutup pintu ruangan dengan hati-hati karena tidak mungkin ia harus menyaksikan pemandangan seperti itu.
“Ahhh! Apa yang Dimas lakukan? Dia seharusnya cepat-cepat membawa Maya pergi tapi sekarang mereka malah mau berhubungan badan,” gerutu Naomi.
Sedangkan di lantai bawah Dimas masih melakukan perlawanan agar bisa melarikan diri dari Maya. Ia tidak mau bergumul dengan wanita itu sekarang. Karena sudah tidak tahan Dimas pun akhirnya memaksa tubuhnya untuk bangkit dan membuat Maya hampir terguling.
“CUKUP MAYA! Aku tidak mau, kamu ga ngerti bahasa manusia apa?” rutuk Dimas geram seraya menjauh dari Maya.
Namun Maya tidak peduli, ia malah terkekeh seraya menatap Dimas dengan tatapan genitnya berharap suaminya itu akan tergoda. Sayang sekali Dimas sudah mati rasa walaupun Maya masih belum mengetahuinya.
Hingga Maya me
Di dalam ruang ganti Naomi masih kelimpungan mencari tempat bersembunyi lain terlebih setelah mendengar ucapan Maya. Untuk sesaat Naomi menyesali keputusannya memilih ruang ganti ini karena setelah dipikir-pikir Maya pasti akan langsung menjajal ruang ganti karena merupakan satu-satunya ruangan lain dalam kamar tempat Naomi bersembunyi. “Aku harus bersembunyi di mana lagi Ya Tuhan?! Tidak ada tempat lain?!!” batin Naomi panik. Langkah Maya semakin dekat menuju ruangan ganti, tidak butuh waktu lama untuk wanita itu tiba tepat di depan ruangan ganti dan bersiap untuk membukanya. Dimas yang masih meringis karena luka terbuka akibat gigitan Maya ditangannya tanpa pikir panjang langsung melumat bibir Maya sebelum wanita itu menggeser pintu ruangan ganti. Gerakkan Maya terhenti, tetapi ia tidak lagi bisa hanyut dalam kenikmatan lumatan bibir suaminya. Pikirannya sedang tertuju pada prasangka buruknya. Maya pun mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjau
Tubuh Naomi membeku seketika, antara terkejut dan merasa kalau Dimas begitu lancang karena memeluk tubuhnya begitu saja. Tapi entah mengapa Naomi merasakan sedikit kenyamanan menyeruak, menghangatkan hatinya. Saat Naomi hampir terlena ia segera melepaskan pelukan Dimas, tapi pelukan Dimas malah semakin erat melingkar di tubuh Naomi. “DIMAS LEPAS!” pekik Naomi. “Aku akan melepaskan pelukanku, tapi kamu harus berjanji satu hal.” Dahi Naomi berkerut, ia tidak dalam kondisi yang baik untuk menjanjikan suatu hal dengan pria itu dan untuk apa juga Naomi melakukannya? “Berhenti omong kosong dan lepaskan aku! Aku tidak mau melihatmu!”“Kau hendak bunuh diri kan siang tadi?”Deg!!!Tubuh Naomi kembali mematung, mulutnya yang bergetar karena amarah dan kesedihan mendadak tertutup rapat. Naomi tidak menduga bahwa Dimas akan menyadari niat hatinya yang bahkan Naomi sendiri tolak mentah-mentah. Untuk beberapa saat Naomi tidak mau mengakuinya, padahal seperti itulah niatnya. Naomi ha
Naomi menyipitkan matanya lalu menunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Dimas dan menatap pria yang tengah terpejam di pahanya itu lamat-lamat. Rasa takut tidak menghantui Naomi walaupun wajahnya sudah sedekat itu dengan Dimas karena Naomi yakin pria itu dalam kondisi separuh sadar. Namun tanpa Naomi duga tiba-tiba saja Dimas kembali membuka kelopak matanya. Naomi tersentak tapi tubuhnya seolah terkunci hingga dirinya hanya bisa bergeming dan beradu pandang dengan Dimas untuk waktu yang cukup lama. Suasana begitu sunyi, yang terdengar hanyalah deburan ombak dan degup jantung mereka masing-masing. Perlahan Dimas mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Naomi dengan halus. Lagi-lagi Naomi hanya terdiam seolah tersihir oleh tatapan mata Dimas yang begitu dalam. Bersamaan dengan debur ombak yang menghantam batu karang, Dimas akhirnya mengecup bibir Naomi dengan lembut. Saat Dimas melepaskan kecupannya Naomi masih tidak berkutik, akhirnya Dimas bangkit dan melumat bibi
Dimas meraih gawai miliknya yang masih berpendar-pendar karena notifikasi panggilan masuk dari seseorang seraya memainkan jarinya dengan intens. Kemudian Dimas menunjukkan apa yang terlihat di layar gawainya pada Naomi. Naomi sontak terperanjat dan merebut ponsel Dimas, tapi sayangnya Dimas sudah menggeser tombol jawab terlebih dahulu. Senyum puas terukir di wajah Dimas sangat berbanding terbalik dengan Naomi yang merungut dan menatap Dimas penuh rasa kesal. “Dim, lo ketemu Naomi lagi ga hari ini setelah tadi pagi?” suara familiar yang keluar dari ponsel Dimas menggema dan semakin membuat Naomi resah. Namun Dimas tidak menyukai ekspresi Naomi yang kesulitan seperti itu, demi membuat ekspresi tidak enak itu hilang dari wajah Naomi, Dimas pun kembali beraksi memainkan jari jemarinya dengan liar menjamah setiap bagian sensitif tubuh Naomi. Naomi sontak terhenyak dan cepat-cepat menutup mulutnya rapat-rapat supaya desahannya tidak keluar. “Ga tuh, emangnya dia kabur?” tanya Di
‘Ibu’Satu kata itu cukup untuk mengguncang hati Naomi. Seharusnya Naomi senang, tapi perasaan yang rumit malah muncul. Orang berkata biasanya saat kita ingin menyembunyikan suatu hal buruk dari seseorang, ketika orang itu muncul dengan biasa saja hati kita malah jadi tidak nyaman dan luluh lantah dan Naomi tahu bahwa itu benar. Dengan perasaan berat Naomi keluar dari vila menuju halaman untuk mengangkat telepon dari ibunya. “Naomi, kamu di mana nak?” tanya ibunya dengan cemas di ujung sana, “Suamimu tiba-tiba datang pagi-pagi sekali dan menanyakanmu, dia masih di sini....” “Ibu tolong jangan berikan telepon ibu pada mas Pandu, aku tidak mau bicara dengannya,” sela Naomi. Rupanya Pandu yang kelimpungan dan tidak tahu lagi keberadaan Naomi, akhirnya mendatangi rumah orang tua Naomi dengan harapan bahwa Naomi ada di sana. Tapi apa yang Pandu lakukan malah membuat ibu Naomi jadi khawatir akan kondisi putrinya. “Apa kamu bertengkar dengannya?” “
Sekujur tubuh Naomi membeku di tempat dan bergetar hebat. Masa lalunya yang mengerikan terputar di dalam benaknya seiring semakin dekatnya para pemuda di sekeliling Naomi mendesaknya. Naomi tidak berdaya untuk melarikan diri, terkungkung takut hingga membuatnya kesulitan bernapas. Para pemuda itu mendekati Naomi dan mulai menyentuh tubuh Naomi, bahkan membelainya secara bergantian. Naomi berusaha menepiskan tangan mereka satu-persatu dengan panik. Bulir air mata mulai jatuh, tapi Naomi tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun lidahnya amat kelu.“Loh kok malah nangis sih kan kita Cuma mau main-main,” ujar pria berambut merah seraya memegangi wajah Naomi. “Dijamin bakal se—.” Belum sempat pria itu merampungkan ucapannya tubuhnya sudah lebih dulu tersungkur ke tanah, setelah mendapat pukulan mematikan dari Dimas. Teman-teman pria itu langsung melangkah mundur menatap takut ke arah Dimas lalu dengan tunggang langgang lari terbirit-birit meninggalkan temannya. “Sialan! Siapa l
“Mi, kamu mau ke mana?” seru Pandu dengan terengah-engah ketika dia mendapati Naomi tengah berjalan menuju jalan raya. Naomi menepiskan genggaman suaminya dengan kasar, demi tuhan Naomi enggan di sentuh oleh Pandu walau sedikit pun karena membuat Naomi kerap terbayang pengkhianatan yang dilakukan Pandu padanya. “Kamu harus istirahat Mi, kondisi kamu—.”“Aku baik-baik aja, jadi lebih baik kamu pulang sekarang.” Kondisi Naomi berangsur pulih walaupun emosinya masih belum sepenuhnya stabil akibat trauma miliknya yang terguncang karena kebejatan para pemuda cabul beberapa jam lalu. “Kita harus pulang sama-sama, aku ga akan pulang kalau kamu ga ikut pulang.” “Oke, aku bakal pulang besok tapi ga sama kamu mas—.”“Kamu tuh kenapa sih Mi? Sejak kapan kamu main kabur-kaburan kaya gini waktu ada masalah? Cuma karena kesalahpahaman kecil, bukannya ini terlalu berlebihan, Mi?” tukas Pandu frustrasi, rasa lelah amat tergambar di wajah pria itu, lingk
Desir amarah mengalir dengan cepat seiring dengan kecepatan langkah Pandu menuju Dimas. Matanya yang lelah menatap dingin sahabatnya itu bersama dengan tangannya yang terkepal kuat melayang ke arah wajah Dimas.Seolah pasrah dengan situasi yang mungkin akan dihadapinya, Dimas hanya bergeming dengan raut wajahnya yang tanpa ekspresi. Namun tanpa terduga Pandu malah mendaratkan tangannya pada pundak Dimas. “Dari mana lo? Gue udah nunggu dari tadi,” ujar Pandu dengan wajah penatnya. Dimas buru-buru menyingkirkan tangan Pandu dari pundaknya, “Ngapain lo ke sini?” balas Dimas ketus seraya membuka pintu. “Niat gue ke sini emang mau nyamperin lo, jadi sahabat yang ga tau diri, udah maki-maki lo kemarin hari ini mah nyamperin karena pusing sama masalah hidup.”Dimas mendengus, tanpa membalas ucapan Pandu lalu menyuruh pria itu untuk masuk. Sejak dulu Pandu memang selalu begitu setelah bertengkar dengan Dimas, tanpa mengucapkan kata maaf atas kesalahannya ia tiba-tiba selalu datang d