Adila menarik nafas dalam. "Mohon maaf, Bu. Tapi, tidak sepatutnya Anda melakukan hal demikian pada anak kecil."
"Ini urusan saya, ya! Ngapain, Anda ikut campur?” balasnya balik, “Zahira itu anak saya. Jadi, bebas dong saya mau narik-narik dia atau mau ngapain dia.""Tapi, anak ini sedang sakit, Bu. Tolong bersikap lembutlah."Menyadari Adila berada di pihaknya, Zahira tiba-tiba memeluk wanita itu semakin erat.Anak itu bahkan mulai menangis. “Bu, Zahira gak mau pulang sama Tante Naila. Zahira takut dipukul lagi.”“Tolong, Zahira,” lirihnya pedih.Mendengar itu, Adila membulatkan matanya.Seorang anak berumur delapan tahun sampai mengiba separah ini. Kekerasan fisik seperti apa yang ia dapat dari wanita di hadapannya?"Hei, kamu jangan fitnah ya. Ayo pulang, nanti Papa nyariin," ucap Naila melotot."Tante bukan mamaku! Zahira nggak mau pulang. Zahira mau sama Bu Guru saja."Merasa kesal dengan ucapan Zahira, tangan Naila dengan entengnya meraih telinga anak itu dan menjewernya.Melihat itu, Adila geram. Ditepisnya tangan Naila cepat. "Mohon maaf. Saya tidak mengizinkan anak ini pulang bersama Anda. Tolong katakan pada ayahnya untuk menjemputnya sendiri. Sekarang, Anda dipersilakan pergi dari sini, atau saya panggilkan satpam?" tegasnya.Ia yakin bahwa akan berbahaya jika Zahira ikut dengan wanita kejam di hadapannya ini.Setidaknya, Zahira lebih baik bersama Adila, hingga orang tua kandungnya lah yang menjemput anak itu secara langsung.“Apa-apaan kamu?!” bentak Naila, “jadi guru, jangan belagu, ya!”Tatapan Adila semakin tajam. “Anda seharusnya takut. Saya bisa jadi saksi bila Anda melakukan kekerasan pada anak di bawah umur.”Naila tampak terkejut. Terlebih, ia melihat empat orang berseragam satpam–mendekati ketiganya.“A–awas kamu, ya!” ancam wanita itu segera segera memasuki mobilnya dengan tatapan sinis.Tak lama, mobil itu melaju kencang keluar dari halaman sekolah.Adila menggelengkan kepala–tak percaya dengan kelakuan wanita itu.“Bu, terima kasih….” lirih Zahira yang membuat wanita itu segera membalikkan badan.Adila bahkan berjongkok mensejajarkan tubuhnya–menatap lembut anak itu. “Tenang saja, kamu aman, Nak.”Zahira mengangguk.Adila pun memanggil Bu Siska untuk mengawasi Zahira sementara. Hanya saja, gadis kecil itu tiba-tiba merengek seraya memegang baju Adila. "Zahira mau sama Ibu saja. Zahira takut.""Zahira tenang saja. Bu Siska baik, nggak akan cubit Zahira."Suara lembut Adila sangat menenangkan.Tangannya juga membelai rambut Zahira–merapikan beberapa helai rambutnya yang berantakan, terkena keringat yang mengalir di pipinya.Hanya saja, Zahira tetap menggeleng pelan dan mulai mencebik.Melihat itu, Adila segera memeluknya. Namun, Zahira tiba-tiba merintih kesakitan. “Aw!”Curiga akan sesuatu, Adila segera membawa Zahira ke UKS bersamanya.Diperiksanya, tubuh mungil Zahira dengan dibantu Bu Siska.Benar saja, ada beberapa lebam kebiruan di badan Zahira, seperti bekas cubitan yang cukup kencang.Semua itu tidak mungkin dilakukan anak kecil.Adila yakin itu adalah cubitan orang dewasa.Wanita itu menghela nafas panjang. Ditatapnya wajah anak itu lembut, lalu bertanya, “Ini siapa yang melakukannya, Zahira? Apa tante tadi?”“Bu–bukan,” geleng anak itu cepat. Namun, matanya menyorotkan rasa khawatir luar biasa.“Benar?” tanya Adila memastikan, “Ibu janji akan bantu Zahira kalau jujur, loh.”Zahira menunduk. Jari-jemari mungil itu bertautan seolah khawatir.Tampaknya, ia masih ragu untuk memberitahukan siapa orang yang melakukannya.“Baiklah, kalau Zahira tidak mau, Ibu tidak akan memaksa.”Ucapan Adila itu membuat Zahira seketika mendongak. "Tapi, Ibu janji ya, jangan bilang sama Papa," lirihnya."Emangnya kenapa, kok nggak boleh bilang sama Papa?" tanya Adila penasaran."Soalnya, nanti tante Naila bakal lebih marah. Zahira takut dipukul."Tangisan Zahira kembali pecah. Anak itu seolah ketakutan mengingat pukulan wanita kejam itu.Pengakuan anak polos itu membuat tangan Adila mengepal.Rasanya, jika hanya ada hukum rimba di negeri ini, ia ingin menjambak Naila dan membalas kelakuannya berkali-kali lipat.Tapi, karena ini merupakan masalah keluarga, Adila hanya bisa membantu untuk berupaya melindungi sang anak.Yang jelas, dia akan memberitahukan kejadian ini pada ayahnya agar lebih berhati-hati.“Jangan khawatir, Zahira. Ibu pasti akan bantu kamu,” ucap Adila sembari tersenyum lembut– menenangkan.***"Zahira, Papa pulang!"Bagas tersenyum membayangkan wajah sang putri menyambutnya hangat setelah dinas luar kota.Namun, hanya Naila yang menyambutnya keluar dari lantai satu. Kekasihnya itu langsung menyambut Bagas dengan pelukan dan kecupan hangat.Setelah melepas rasa rindu untuk beberapa detik, pria itu menatap Naila penasaran. "Zahira mana, Sayang? Apa udah tidur?"Wajah Naila langsung berubah kesal.Ia mulai berakting seolah menjadi wanita lemah lembut dan baik hati bak peri yang tersakiti."Sayang, aku tuh kesel. Masa, Bu Gurunya Zahira nggak bolehin aku jemput dia. Zahiranya juga, dia bener-bener gak mau diajak pulang. Maunya, dijemput sama kamu. Padahal, aku 'kan pengennya pas kamu pulang, dia udah mandi cantik gitu," jelasnya penuh kesedihan.Kening Bagas berkerut. "Jadi Zahira masih di sekolah? Malam begini? Yang bener aja?"Bagas yang khawatir sontak memeriksa ponselnya.Sepanjang perjalanan tadi, Bagas memang sengaja mematikan ponsel untuk diisi daya agar cepat penuh.Namun, ia terkejut begitu menemukan banyak panggilan tak terjawab dan banyak pesan dari salah satu guru putrinya. Intinya sama: meminta Bagas untuk menjemput sang anak yang sedang sakit di sekolah."Loh, Zahira sakit? Kok kamu nggak bilang aku sih?"Naila mengerjapkan mata cepat.Merasa tak mendapat jawaban, pria itu mengepalkan tangan keras–bergegas keluar rumah Naila dan kembali memasuki mobilnya.Melihat situasi yang tidak menguntungkan baginya, wanita itu bergegas mengikuti Bagas masuk ke mobilnya.Keduanya mengenakan sabuk pengaman tanpa saling bicara.Bagas memacu mobilnya kencang. Dihubungi kembali nomor sang guru karena ia sangat yakin sekolah pastilah sudah tutup.“Halo, saya Bagas, ayah Zahira. Maaf mengganggu, tetapi saya ingin tahu di mana putri saya.”Terdengar helaan nafas cukup panjang dari seberang. “Sedari tadi, pihak sekolah sudah berusaha menghubungi Bapak karena Zahira tidak ingin ikut siapa pun, kecuali Bu Adila.”“Bu Adila?” ulang Bagas bingung. Rasanya, baru pertama kali ia mendengar nama tersebut.“Benar, Pak. Saya akan memberikan alamat Bu Adila lewat pesan. Mohon tunggu, ya.”“Terima kasih, Bu.”Sambungan telepon pun tertutup bersamaan dengan alamat yang dikirim pada Bagas.Pria itu segera memacu mobil sesuai arah yang ditunjukkan oleh aplikasi map nya.Untungnya, Bagas dapat menemukan alamat rumah Adila setelah satu jam.Rumah itu tertutup oleh pagar yang sangat tinggi. Maka dari itu, Bagas menekan bel pagar.Tak lama, keluarlah seorang satpam menanyakan tujuan kedatangannya. Bagas segera memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatangannya.“Baik, Pak Bagas. Silakan masuk,” ucap sang satpam yang sepertinya sudah mendapat instruksi dari Adila jika ada seseorang datang mencarinya.Saat memasuki gerbang, Bagas dan Naila cukup tercengang.Halaman rumah itu sangat luas. Rumahnya pun sangat mewah. Terlihat beberapa mobil mewah berjejer rapi di garasi samping rumah itu.Keduanya diminta menunggu di ruang tamu oleh seorang asisten rumah tangga. Ia lantas menelepon Adila dengan telepon internal rumah itu."Nyonya, ada tamu. Namanya, Pak Bagas.""Baik, Bik. Tolong bikinin minuman ya. Aku ke bawah habis ini."Asisten rumah tangga itu kembali ke dapur untuk mengambilkan minum, dan meminta mereka untuk menunggu sebentar.Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah dari lantai dua. Zahira muncul bersama seorang wanita yang Bagas yakini adalah Adila.Melihat ayahnya datang menjemput, Zahira berhambur memeluk ayahnya.Tatapan Adila tertuju pada Naila yang juga ikut datang menjemput.Menyadari itu, Naila segera memasang wajah sinis yang menjengkelkan.Di sisi lain, Bagas pun mulai melepaskan pelukan anaknya. “Papa rindu dan khawatir sama Zahira,” ucapnya lalu mengecup kening dan pipi gadis kecil itu berkali-kali.“Zahira juga,” balas sang putri tersenyum.Namun, kehangatan itu tak berlangsung lama.Saat Zahira menyadari kehadiran Naila, sontak gadis kecil itu melepaskan diri dari tangan ayahnya dan kembali lari ke arah Adila.Bagas jelas heran dengan perilaku sang anak. Tidak biasanya, anaknya yang penurut itu menghindari dirinya."Zahira, ayo pulang, Sayang. Udah malam. Besok, di sekolah kan ketemu Bu Guru lagi?" bujuk pria itu pada Zahira.Namun, Zahira menggeleng semakin kencang. "Zahira nggak mau pulang, Pa. Zahira mau sama Bu Guru aja."Alis Bagas sontak naik sebelah. "Zahira kok jadi nggak nurut sama Papa?"Melihat situasi itu, Adila menghela napas panjang.“Maaf, Pak Bagas. Mungkin, kita bisa duduk dan berbicara masalah Zahira terlebih dahulu,” ucapnya tenang. Adila juga meminta Bik Muti, asisten rumah tangganya untuk membawakan minuman. Setelah keadaan mulai tenang, wanita itu kembali berbicara. "Begini, Pak. Mohon maaf sebelumnya, saya terpaksa membawa pulang Zahira karena dia tidak mau pulang ke rumah,” jelasnya, “sebelumnya, saya ingin bertanya pada Pak Bagas, apakah selama ini Zahira berperilaku nakal di rumah?"Pria berparas tampan itu mengerutkan kening. "Tidak. Anak saya baik dan penurut. Apakah Zahira berperilaku nakal di sekolah?""Tidak,” ucap Adila cepat, “tapi, saya menemukan lebam biru pada tubuh Zahira, seperti bekas cubitan atau pukulan orang dewasa. Apa Bapak yang melakukannya?"“Maksudmu?” Bagas tampak terkejut mendengar perkataan Adila. Dia sama sekali tidak pernah mencubit atau melakukan kekerasan lainnya pada anaknya. Sementara itu, Naila mulai kepanasan karena t
Adila berusaha tenang. Dibalasnya pelukan Zahira lembut. “Maaf,” ucap Bagas seketika. Tampak ekspresi tak nyaman di wajah pria itu.Hanya saja, Zahira kembali berbicara, "Tapi, Pa. Mulai sekarang, aku mau panggil Bu Guru, Mama.""Zahira jangan begitu," ucap Bagas cepat.Pria itu bahkan segera melepaskan tangan Zahira yang memeluk Adila. “Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih. Kami harus segera pulang,” pamit Bagas cepat.Adila pun mengangguk.Melihat itu, Bagas segera menggendong putri kecilnya ke mobil lalu menuju ke rumah mereka.Cukup lama, Zahira berceloteh tentang Adila sebelum akhirnya anak itu tertidur.“Hah,” hela nafas Bagas setelahnya.Dipandanginya wajah sang putri yang masih sangat polos dan menggemaskan itu.Sejujurnya, Ia tak menyangka. Niatnya memberikan kebahagiaan pada Zahira selama ini, justru melukainya. Entah apa jadinya, jika Bu Guru Adila tidak mengungkapkannya. Mungkin, ia akan menjadi sosok ayah yang jahat selama hidup Zahira tanpa ia ketahui.Tiba-tiba ia
"Wah, Zahira panggil Bu Guru, Mama? Emang, Bu Guru itu mamamu apa?" celetuk teman yang duduk di bangku sebelah Zahira.Namun, anak itu tak menunjukkan rasa terganggu. Dengan bangga, ia justru berkata, "Iya. Bu Guru ini calon mamaku."Adila yang awalnya terkejut, seketika tertawa mendengar perkataan Zahira pada temannya. Baginya, ucapan anak itu terdengar seperti candaan.Lagi pula, gadis itu sudah memiliki tunangan sejak satu tahun lalu. Selain kepulangannya ke Indonesia untuk meneruskan yayasan ayahnya, Adila juga berencana menikah dalam waktu dekat. Terlebih, keluarga besar sudah menginginkan mereka untuk mempercepat acara pernikahan karena mereka khawatir jika jarak pertunangan dengan pernikahan terlalu lama–dapat menyebabkan keretakan hubungan. Bahkan, bisa gagal menuju pelaminan.***Waktu berlalu cepat.Suasana pulang sekolah begitu ramai. Para murid berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing dengan rapi, sedangkan orang tua mereka juga sudah banyak yang datang–menunggu
"Bu Adila, apa Ibu melihat Zahira pulang?"Ucapan Bagas membuat wanita itu terkejut. Rasanya, Zahira sudah tampak lebih tenang dan hubungan ayah-anak itu semakin dekat. Tapi, mengapa tiba-tiba pria itu tak dapat menemukan putrinya?"Tidak, saya baru selesai meeting,” ucap Adila cepat, “apa terjadi sesuatu dengan Zahira, Pak?""Zahira tidak ada di sekolah, Bu. Saya tidak bisa menemukan anak saya," panik Bagas.Melihat itu, Adila menarik napas dalam. "Tenang ya Pak, mari kita coba cari bersama."Sejurus kemudian, keduanya bertanya pada beberapa orang tua murid yang masih ada di sekolah. Namun, mereka mengatakan sama sekali tidak melihat anak yang mereka maksud. Mereka juga bertanya pada beberapa teman Zahira dan murid yang seumuran lainnya, mungkin saja mereka tahu keberadaan Zahira. Sayangnya, mereka juga tak tahu.“Astaga!” Bagas mulai frustasi. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Zahira. “Bagaimana sistem keamanan di sekolah ini?”"Tolong dibenahi ya Bu. Ini sudah sangat fatal menurut
Tiga orang dewasa itu sontak terkejut serentak mendengar pertanyaan polos seorang bocah.Bagas langsung membekap mulut Zahira karena merasa tidak enak pada Nico dan Adila. “Maaf.”Sementara itu, Nico mengangkat kedua alisnya bingung memberi jawaban. Adila juga hanya bisa tersenyum canggung, khawatir Nico salah paham dengan pertanyaan gadis kecil itu.Entah mengapa, biasanya Adila merasa tidak keberatan anak itu terus menerus memanggilnya mama. Adila selalu menganggap itu hanya candaan seorang bocah. Namun kali ini, Adila merasa terganggu karena hal itu ternyata cukup serius untuk menjadi salah paham."Pak Bagas. Kami langsung pamit, ya.""Iya, Bu. Silahkan."Adila buru-buru menarik lengan Nico menuju mobilnya. Nico yang masih bingung hanya diam menurut. Keduanya kini sudah berada di mobil yang melesat menuju rumah Adila."Sayang, makasih ya udah jemput aku."Adila mencoba membuka percakapan agar tidak teringat dengan pertanyaan Zahira. Nico hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara
“Ma?”Adila seketika mengurai pelukan anak gadis itu. Tak lama, Bagas juga muncul di hadapan Adila. Pria itu hanya mengulas senyum untuk menyapanya.Dalam hatinya, Adila merasa cemas jika Nico datang dan melihatnya sedang bersama Bagas juga anaknya. Bisa-bisa Nico salah paham seperti semalam."Bu Adila, sedang menunggu jemputan?" tanya Bagas."Iya, Pak Bagas.""Papa, kita aja yang antar Mama pulang."Mendengar Zahira memanggilnya dengan sebutan Mama lagi, Adila hanya tersenyum canggung. Ia ingin menegur, tapi Adila paham memberi pengertian pada anak seusia Zahira tidaklah mudah.Bagas yang menangkap kecanggungan Adila, sontak berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan putrinya untuk memberi nasehat."Zahira, sayang. Bu Adila itu Bu Guru kamu. Jadi manggilnya harus Bu Guru ya. Jangan Mama."Suara lembut dan sikap kebapakan Bagas membuat Adila tersentuh. Rasa canggung dan kesal lenyap begitu saja. Adila bahkan merasa dirinya berlebihan.Sementara itu, Zahira memanyunkan bibir mungilnya k
"Nico sudah dewasa. Bisa kok bersihin sendiri,” ucap Adila ketus.Mendengar itu, Vivian langsung menarik tangannya yang menempel di kemeja Nico dan pamit undur diri mempersilahkan mereka melanjutkan acara makan siang.Adila membuang pandangan dari Nico membuang nafas kasar. Ia meletakkan garpunya dan meminta Nico agar pulang saja menyudahi makan siangnya. Nico menuruti, ia tahu Adila tengah kesal padanya karena kejadian barusan.Tunangannya itu memang pria yang sangat baik dan ramah pada semua orang. Tidak peduli pria atau wanita. Tidak jarang membuat wanita salah paham atas sifatnya, yang mengira Nico suka pada mereka."Sayang, kamu marah?" tanya Nico.Adila bergeming. Ia semakin kesal pada tunangannya itu.Sudah jelas dirinya merasa kesal, bagaimana bisa di masih bertanya. Seharusnya dia sudah tahu dan langsung membujuk nya."Aku yang cuma ngobrol sama Bagas papanya Zahira aja kamu nggak suka. Lalu kejadian tadi, menurutmu aku gimana?" tanya Adila balik."Iya, maaf. Aku nggak akan
"Emang aku nggak boleh ya, cek ponsel kamu?""Bu-bukan gitu Sayang. Tapi 'kan nggak biasanya aja gitu."Adila tidak menanggapi lagi. Ia merapatkan kedua matanya ingin berpura-pura tidur. Nico mengemudi dengan segan. Ia was-was menunggu rentetan pertanyaan dari Adila mengenai pesan dari Vivian. Namun anehnya, justru sikap Adila tidak sesuai perkiraan Nico. Wanita disampingnya itu tidak bertanya apapun. Ia masih berpura-pura menutup mata. Hal itu membuat Nico semakin salah tingkah."Sayang, kita mampir ke apotik ya." bujuk Nico lirih.Terpaksa Adila menanggapi, "Untuk apa?""Untuk kamu dong, Sayang. Kamu 'kan lagi nggak enak badan.""Nggak usah. Aku cuma meriang biasa kok, besok juga sembuh.""Jangan gitu dong. Aku 'kan khawatir sama kamu."Muak sekali rasanya, Adila mendengar kalimat sok perhatian dari Nico. Tapi memang Nico adalah sosok pria yang perhatian selama ini. Apa mungkin karena isi pesan Vivian, Adila merasa sikap Nico padanya jadi memuakkan?"Nggak usah. Aku mau langsung pu
Bagas segera berdiri untuk menyambut ayah Adila, memberi salam. Sementara Zahira jemarinya sudah bertautan dan ayah Adila, keduanya terlihat benar-benar seperti cucu dan kakek."Duduk saja," pinta sang ayah. Bagas pun menurut, dan kembali duduk. Dia memanggil pelan Zahira untuk duduk bersamanya. Bagas merasa tidak enak jika putrinya terus menempel, Bagas takut ayah Adila akan merasa tidak nyaman."Sayang, sini duduk sama Papa."Zahira menggeleng cepat. Putri kecilnya itu justru memeluh lengan sang kakek bergelayut manja. "Tidak apa-apa. Kamu duduk disini saja sama Kakek ya," pinta Ayah Adila dengan tatapan lembut pada Zahira."Jadi kamu Bagas, teman baik anakku, Adilla?"Bagas mengangguk tanpa keraguan. "Benar, Pak. Kebetulan anak saya sekolah di yayasan yang Anda miliki, jadi saya secara tidak sengaja mengenal putri Anda, Adila."Ayah Adila terlihat mengangguk setelah mendengar penjelasan Bagas. "Kamu hebat ya, katanya sudah mengurus Zahira sejak dia lahir, karena...maaf ibunya tel
Ini sangat kebetulan. Saat Bagas ingin berkunjung ke rumah Adila, tuhan memberikan jalan. Justru ayahnya Adila yang langsung mengundangnya untuk datang.Sebagai pria, tentu saja ini sebuah kehormatan baginya. Dan juga bisa jadi ini merupakan pertanda lampu hijau dari ayahnya. 'Mungkinkah ini tandanya aku masih punya peluang?'"Telpon dari siapa, Pa?""Dari bu Adila, Sayang.""Mama?" Zahira mengoreksi nama panggilannya di jam luar sekolah."Oh iya, Mama. Katanya kita diundang main kerumah Mama sama ayahnya.""Ayahnya berarti kakek Zahira dong nanti."'Amin.' Bagas segera mengajak Zahira bersiap. Meskipun ini bukan undangan acara meeting besar, namun rasanya seperti acara penting level internasional. Terasa berlebihan mungkin. Tapi itulah gambaran kegugupan hati Bagas saat ini.Bagas sedang berdiri didepan cermin yang tingginya hampir satu badan. Beberapa kali Bagas mencoba kaos dan kemeja. Namun ia belum menemukan yang cocok untuk dipakai ke rumah Adila.Zahira sudah selesai berdandan
"Gimana hubunganmu sama Vivian? Apa kamu yakin meninggalkan dia?" "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu, Sayang?"Adila tersenyum tipis. Ia hanya ingin mendengar jawaban dari Nico secara langsung. "Aku sama Vivian benar-benar sudah nggak ada apa-apa sayang."Adila masih sibuk mengunyah, menikmati martabak telur kesukaannya. "Terus terang, nggak tahu apa aku masih mencintaimu, Nic. Aku udah capek nangis. Aku mau berdamai sama keadaan."Adila bergeming sekejap. Menghela nafas. "Aku pasrah kalau kamu memilih dia, belum terlambat untuk memilih, Nic.""Aku sudah memilih, Dil. Aku milih kamu."Adila mengangguk. "Tapi dengan satu syarat," pinta Adila cepat."Apa itu?""Aku mau mundurin acara pernikahan, sampai aku benar-benar siap dan yakin."Nico melebarkan matanya. Ia tak menyangka, Adila akan mundur sejauh itu. "Apa keputusanmu sudah bulat?"Adila mengangguk. Nico tidak bisa memaksa. Dialah yang menyebabkan hal ini terjadi. Andai saja ia bisa menjaga kepercayaan Adila, pasti tidak ak
"Apa aku membuat kesalahan, sampai harus menjauhi Adila?"Nico bergeming sekejap. "Aku hanya ingin melindungi ikatan pertunangan kami. Dan aku tidak ingin, perjalanan menuju pernikahan kami mendapatkan rintangan apapun."Bagas berusaha mencerna kalimat Nico dengan kepala dingin. Bibir Bagas menyungging senyum. "Apa kamu takut kalah denganku?"Nico terkesiap. Ia tak menduga Bagas akan meng-ulti nya dengan kalimat demikian. Ya, memang Nico sudah mulai ketakutan, mungkin Bagas memang seorang duda anak satu. Namun untuk pesona dan karirnya, bisa dibilang, Nico kalah beberapa tingkatan di bawahnya.Terlebih lagi setelah kesalahan fatal yang Nico lakukan. Membayangkannya saja Nico sudah tak sanggup. Bagaimana jika Adila tiba-tiba memintanya untuk berhenti mengejar dan mencintainya. Tidak, dia benar-benar tak akan sanggup mendengarkan kalimat itu dari Adila."Huh. Kamu terlalu percaya diri, Bagas. Apa kamu sangat yakin bisa mengalahkanku?" Meskipun tampak tidak gentar, sejujurnya Nico tengah
Pagi menyingsing. Suara alarm yang belum sempat dimatikan terus berulang di ponsel Adila. Wanita itu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk memulai aktivitasnya.Beberapa kali ia mengoleskan concealer tipis-tipis untuk menyamarkan mata sembabnya. Sisa menangis semalam.Usai puas dengan hasil riasan wajahnya, Adila bergegas keluar menuju garasi. Namun ia sangat terkejut, saat melihat Nico sudah menunggunya di halaman rumahnya. Adila mengernyitkan dahi, terpaksa ia berjalan menghampiri."Kamu ngapain, pagi-pagi udah kesini?"Pria itu sangat bersemangat kala melihat Adila menghampirinya."Sayang, aku antar berangkat kerja ya." Bujuk Nico memohon."Nggak usah repot-repot, aku bisa kok bawa mobil sendiri.""Tapi aku pengen mengantar kamu, Sayang."Adila membuang nafasnya dalam. "Tapi aku nggak pengen diantar, Nico." jawabnya tegas.Adila meninggalkan pria itu menuju mobilnya. Namun Nico meraih tangannya menahan Adila. Terpaksa wanita itu berhenti sekejap."Tolong kasih aku kesempatan untuk
Deg!Dunia Nico seolah runtuh, saat mendengar kekasihnya begitu ikhlas merelakan dia untuk memilih."Maafkan aku sayang, aku mengakuinya. Aku memang bodoh," sesalnya merutuki diri sendiri di hadapan Adila.Kelopak mata wanita itu mulai membasah. Sakit sekali mendengar pengakuan Nico, meskipun itulah yang ia ingin dengar. Hubungan yang selama ini ia kira sangat sempurna, ternyata penuh dengan kubangan sebagai ujian.Adila mengangguk pelan, memberi waktu pria itu untuk menjelaskan."Sayang, aku janji, aku nggak akan mengulangi kesalahanku lagi. Tolong maafin aku sayang, please!" Nico menggenggam kedua tangan Adila memohon."Aku nggak tahu, Mas. Aku masih bisa atau tidak untuk melanjutkan." lirihnya membalas."Kamu nggak boleh bilang begitu sayang. Kita akan tetap menikah sesuai rencana kita. Kamu tau 'kan, aku sangat cinta sama kamu. Dan kamu juga sangat cinta sama aku."Tampak raut Nico yang ter gugup, takut Adila memutuskan hubungan dengannya. Andai kedua orang tua mereka tahu tentan
Entah mengapa senyuman pria itu membuat jantungnya memompa lebih cepat. Sekejap, Adila terhipnotis melihat senyum manis duda itu.Segera, Adila mengerjapkan mata-menyadarkan pikirannya. Ia mengangguk mengiayakan perkataan Bagas sebelum berpisah.Saat ini Adila dan Manda tengah berada di dalam mobil yang melesat."Kayaknya, malam ini ada yang nggak bisa tidur nih," ledek Manda membuat Adila bingung.Adila menoleh, "Maksudnya gimana, Man?"Manda tidak menjawab. Ia hanya asyik tersenyum sendiri membayangkan jika Adila dan Bagas sangat cocok menjadi pasangan."Ditanya itu dijawab. Bukannya senyum-senyum sendiri." Manda tidak peduli dengan perkataan Adila. Ia juga tak mau penasaran. Adila menatap jalanan dari kaca mobil, menopang dagunya dan juga tersenyum kala mengingat perkataan Bagas sebelum pulang tadi."Aku langsung pulang ya. Capek banget.""Iya. Makasih ya, Man. Udah ajak aku jalan-jalan""S
Adila sontak menatap Zahira sendu. Hal yang tadinya tidak ingin ia setujui, ternyata berarti besar bagi seorang anak yang merindukan kehadiran mamanya.Manda pun tak kalah terperangahnya. Hatinya mendadak melow mendengarnya. Kedua wanita itu saling menatap. Kemudian mengangguk meng-iya kan.Usai makan, mereka langsung beranjak untuk mencari toko baju. Mereka memasuki salah satu toko baju terlengkap di mall itu. "Zahira mau cari baju apa?" "Baju dalam, Ma.""Owh, kalau gitu kita cari sebelah sana aja ya." Adila menuntun Zahira menuju salah satu sudut toko yang mendisplay baju anak.Bagas hanya mengekor. Melihat Zahira dan Adila dari belakang, membuat hatinya menghangat. Andai saja Maya masih ada, pasti Bagas akan melihat pemandangan seperti itu lebih sering.Manda melirik pada Bagas. Wanita itu tahu, pria duda keren itu terlihat menyukai sahabatnya. Namun mereka terhalang status pertunangan Adila dan kekasihnya, pria ya
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti melabrak mereka lah, pakai nanya lagi." kesal Manda. "Ya, terus kamu maunya gimana? Mau nangkap basah dia, atau masih mau dipikirkan dulu?"Adila mengambil nafas panjang. Ia bangkit dari kursinya mengajak Amanda pulang. Amanda terpaksa mengikuti kemauan sahabatnya. Mungkin ia butuh berpikir jernih, sebelum mengambil tindakan. Mengingat hubungan mereka bukan hanya setahun dua tahun. Dan juga sudah merencanakan pernikahan.Sepanjang perjalanan, Adila bergeming. Terkadang butiran air matanya jatuh tak terkendali. Ia menopang dagunya satu tangan, dan membuang pandangan menatap keluar jendela mobil."Dil. Udah sampe nih. Aku nggak ikut masuk ya, besok banyak janji di klinik.""Iya. Makasih ya." Setelah Manda melaju pulang. Adila berjalan gontai memasuki rumah. Malam itu Adila tak dapat memejamkan mata. Kepalanya masih terbayang jelas bagaimana mereka saling memberikan ciuman di depan teman-teman Nico dengan wajah yang bahagia. Kekecewaan pun ia rasakan ter