Share

2. Zahira Mau Sama Bu Guru

Adila menarik nafas dalam. "Mohon maaf, Bu. Tapi, tidak sepatutnya Anda melakukan hal demikian pada anak kecil."

"Ini urusan saya, ya! Ngapain, Anda ikut campur?” balasnya balik, “Zahira itu anak saya. Jadi, bebas dong saya mau narik-narik dia atau mau ngapain dia."

"Tapi, anak ini sedang sakit, Bu. Tolong bersikap lembutlah."

Menyadari Adila berada di pihaknya, Zahira tiba-tiba memeluk wanita itu semakin erat.

Anak itu bahkan mulai menangis. “Bu, Zahira gak mau pulang sama Tante Naila. Zahira takut dipukul lagi.”

“Tolong, Zahira,” lirihnya pedih.

Mendengar itu, Adila membulatkan matanya.

Seorang anak berumur delapan tahun sampai mengiba separah ini. Kekerasan fisik seperti apa yang ia dapat dari wanita di hadapannya?

"Hei, kamu jangan fitnah ya. Ayo pulang, nanti Papa nyariin," ucap Naila melotot.

"Tante bukan mamaku! Zahira nggak mau pulang. Zahira mau sama Bu Guru saja."

Merasa kesal dengan ucapan Zahira, tangan Naila dengan entengnya meraih telinga anak itu dan menjewernya.

Melihat itu, Adila geram. Ditepisnya tangan Naila cepat. "Mohon maaf. Saya tidak mengizinkan anak ini pulang bersama Anda. Tolong katakan pada ayahnya untuk menjemputnya sendiri. Sekarang, Anda dipersilakan pergi dari sini, atau saya panggilkan satpam?" tegasnya.

Ia yakin bahwa akan berbahaya jika Zahira ikut dengan wanita kejam di hadapannya ini.

Setidaknya, Zahira lebih baik bersama Adila, hingga orang tua kandungnya lah yang menjemput anak itu secara langsung.

“Apa-apaan kamu?!” bentak Naila, “jadi guru, jangan belagu, ya!”

Tatapan Adila semakin tajam. “Anda seharusnya takut. Saya bisa jadi saksi bila Anda melakukan kekerasan pada anak di bawah umur.”

Naila tampak terkejut. Terlebih, ia melihat empat orang berseragam satpam–mendekati ketiganya.

“A–awas kamu, ya!” ancam wanita itu segera segera memasuki mobilnya dengan tatapan sinis.

Tak lama, mobil itu melaju kencang keluar dari halaman sekolah.

Adila menggelengkan kepala–tak percaya dengan kelakuan wanita itu.

“Bu, terima kasih….” lirih Zahira yang membuat wanita itu segera membalikkan badan.

Adila bahkan berjongkok mensejajarkan tubuhnya–menatap lembut anak itu. “Tenang saja, kamu aman, Nak.”

Zahira mengangguk.

Adila pun memanggil Bu Siska untuk mengawasi Zahira sementara. Hanya saja, gadis kecil itu tiba-tiba merengek seraya memegang baju Adila. "Zahira mau sama Ibu saja. Zahira takut."

"Zahira tenang saja. Bu Siska baik, nggak akan cubit Zahira."

Suara lembut Adila sangat menenangkan.

Tangannya juga membelai rambut Zahira–merapikan beberapa helai rambutnya yang berantakan, terkena keringat yang mengalir di pipinya.

Hanya saja, Zahira tetap menggeleng pelan dan mulai mencebik.

Melihat itu, Adila segera memeluknya. Namun, Zahira tiba-tiba merintih kesakitan. “Aw!”

Curiga akan sesuatu, Adila segera membawa Zahira ke UKS bersamanya.

Diperiksanya, tubuh mungil Zahira dengan dibantu Bu Siska.

Benar saja, ada beberapa lebam kebiruan di badan Zahira, seperti bekas cubitan yang cukup kencang.

Semua itu tidak mungkin dilakukan anak kecil.

Adila yakin itu adalah cubitan orang dewasa.

Wanita itu menghela nafas panjang. Ditatapnya wajah anak itu lembut, lalu bertanya, “Ini siapa yang melakukannya, Zahira? Apa tante tadi?”

“Bu–bukan,” geleng anak itu cepat. Namun, matanya menyorotkan rasa khawatir luar biasa.

“Benar?” tanya Adila memastikan, “Ibu janji akan bantu Zahira kalau jujur, loh.”

Zahira menunduk. Jari-jemari mungil itu bertautan seolah khawatir.

Tampaknya, ia masih ragu untuk memberitahukan siapa orang yang melakukannya.

“Baiklah, kalau Zahira tidak mau, Ibu tidak akan memaksa.”

Ucapan Adila itu membuat Zahira seketika mendongak. "Tapi, Ibu janji ya, jangan bilang sama Papa," lirihnya.

"Emangnya kenapa, kok nggak boleh bilang sama Papa?" tanya Adila penasaran.

"Soalnya, nanti tante Naila bakal lebih marah. Zahira takut dipukul."

Tangisan Zahira kembali pecah. Anak itu seolah ketakutan mengingat pukulan wanita kejam itu.

Pengakuan anak polos itu membuat tangan Adila mengepal.

Rasanya, jika hanya ada hukum rimba di negeri ini, ia ingin menjambak Naila dan membalas kelakuannya berkali-kali lipat.

Tapi, karena ini merupakan masalah keluarga, Adila hanya bisa membantu untuk berupaya melindungi sang anak.

Yang jelas, dia akan memberitahukan kejadian ini pada ayahnya agar lebih berhati-hati.

“Jangan khawatir, Zahira. Ibu pasti akan bantu kamu,” ucap Adila sembari tersenyum lembut– menenangkan.

***

"Zahira, Papa pulang!"

Bagas tersenyum membayangkan wajah sang putri menyambutnya hangat setelah dinas luar kota.

Namun, hanya Naila yang menyambutnya keluar dari lantai satu. Kekasihnya itu langsung menyambut Bagas dengan pelukan dan kecupan hangat.

Setelah melepas rasa rindu untuk beberapa detik, pria itu menatap Naila penasaran. "Zahira mana, Sayang? Apa udah tidur?"

Wajah Naila langsung berubah kesal.

Ia mulai berakting seolah menjadi wanita lemah lembut dan baik hati bak peri yang tersakiti.

"Sayang, aku tuh kesel. Masa, Bu Gurunya Zahira nggak bolehin aku jemput dia. Zahiranya juga, dia bener-bener gak mau diajak pulang. Maunya, dijemput sama kamu. Padahal, aku 'kan pengennya pas kamu pulang, dia udah mandi cantik gitu," jelasnya penuh kesedihan.

Kening Bagas berkerut. "Jadi Zahira masih di sekolah? Malam begini? Yang bener aja?"

Bagas yang khawatir sontak memeriksa ponselnya.

Sepanjang perjalanan tadi, Bagas memang sengaja mematikan ponsel untuk diisi daya agar cepat penuh.

Namun, ia terkejut begitu menemukan banyak panggilan tak terjawab dan banyak pesan dari salah satu guru putrinya. Intinya sama: meminta Bagas untuk menjemput sang anak yang sedang sakit di sekolah.

"Loh, Zahira sakit? Kok kamu nggak bilang aku sih?"

Naila mengerjapkan mata cepat.

Merasa tak mendapat jawaban, pria itu mengepalkan tangan keras–bergegas keluar rumah Naila dan kembali memasuki mobilnya.

Melihat situasi yang tidak menguntungkan baginya, wanita itu bergegas mengikuti Bagas masuk ke mobilnya.

Keduanya mengenakan sabuk pengaman tanpa saling bicara.

Bagas memacu mobilnya kencang. Dihubungi kembali nomor sang guru karena ia sangat yakin sekolah pastilah sudah tutup.

“Halo, saya Bagas, ayah Zahira. Maaf mengganggu, tetapi saya ingin tahu di mana putri saya.”

Terdengar helaan nafas cukup panjang dari seberang. “Sedari tadi, pihak sekolah sudah berusaha menghubungi Bapak karena Zahira tidak ingin ikut siapa pun, kecuali Bu Adila.”

“Bu Adila?” ulang Bagas bingung. Rasanya, baru pertama kali ia mendengar nama tersebut.

“Benar, Pak. Saya akan memberikan alamat Bu Adila lewat pesan. Mohon tunggu, ya.”

“Terima kasih, Bu.”

Sambungan telepon pun tertutup bersamaan dengan alamat yang dikirim pada Bagas.

Pria itu segera memacu mobil sesuai arah yang ditunjukkan oleh aplikasi map nya.

Untungnya, Bagas dapat menemukan alamat rumah Adila setelah satu jam.

Rumah itu tertutup oleh pagar yang sangat tinggi. Maka dari itu, Bagas menekan bel pagar.

Tak lama, keluarlah seorang satpam menanyakan tujuan kedatangannya. Bagas segera memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatangannya.

“Baik, Pak Bagas. Silakan masuk,” ucap sang satpam yang sepertinya sudah mendapat instruksi dari Adila jika ada seseorang datang mencarinya.

Saat memasuki gerbang, Bagas dan Naila cukup tercengang.

Halaman rumah itu sangat luas. Rumahnya pun sangat mewah. Terlihat beberapa mobil mewah berjejer rapi di garasi samping rumah itu.

Keduanya diminta menunggu di ruang tamu oleh seorang asisten rumah tangga. Ia lantas menelepon Adila dengan telepon internal rumah itu.

"Nyonya, ada tamu. Namanya, Pak Bagas."

"Baik, Bik. Tolong bikinin minuman ya. Aku ke bawah habis ini."

Asisten rumah tangga itu kembali ke dapur untuk mengambilkan minum, dan meminta mereka untuk menunggu sebentar.

Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah dari lantai dua. Zahira muncul bersama seorang wanita yang Bagas yakini adalah Adila.

Melihat ayahnya datang menjemput, Zahira berhambur memeluk ayahnya.

Tatapan Adila tertuju pada Naila yang juga ikut datang menjemput.

Menyadari itu, Naila segera memasang wajah sinis yang menjengkelkan.

Di sisi lain, Bagas pun mulai melepaskan pelukan anaknya. “Papa rindu dan khawatir sama Zahira,” ucapnya lalu mengecup kening dan pipi gadis kecil itu berkali-kali.

“Zahira juga,” balas sang putri tersenyum.

Namun, kehangatan itu tak berlangsung lama.

Saat Zahira menyadari kehadiran Naila, sontak gadis kecil itu melepaskan diri dari tangan ayahnya dan kembali lari ke arah Adila.

Bagas jelas heran dengan perilaku sang anak. Tidak biasanya, anaknya yang penurut itu menghindari dirinya.

"Zahira, ayo pulang, Sayang. Udah malam. Besok, di sekolah kan ketemu Bu Guru lagi?" bujuk pria itu pada Zahira.

Namun, Zahira menggeleng semakin kencang. "Zahira nggak mau pulang, Pa. Zahira mau sama Bu Guru aja."

Alis Bagas sontak naik sebelah. "Zahira kok jadi nggak nurut sama Papa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status