"Bu Adila, apa Ibu melihat Zahira pulang?"Ucapan Bagas membuat wanita itu terkejut. Rasanya, Zahira sudah tampak lebih tenang dan hubungan ayah-anak itu semakin dekat. Tapi, mengapa tiba-tiba pria itu tak dapat menemukan putrinya?"Tidak, saya baru selesai meeting,” ucap Adila cepat, “apa terjadi sesuatu dengan Zahira, Pak?""Zahira tidak ada di sekolah, Bu. Saya tidak bisa menemukan anak saya," panik Bagas.Melihat itu, Adila menarik napas dalam. "Tenang ya Pak, mari kita coba cari bersama."Sejurus kemudian, keduanya bertanya pada beberapa orang tua murid yang masih ada di sekolah. Namun, mereka mengatakan sama sekali tidak melihat anak yang mereka maksud. Mereka juga bertanya pada beberapa teman Zahira dan murid yang seumuran lainnya, mungkin saja mereka tahu keberadaan Zahira. Sayangnya, mereka juga tak tahu.“Astaga!” Bagas mulai frustasi. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Zahira. “Bagaimana sistem keamanan di sekolah ini?”"Tolong dibenahi ya Bu. Ini sudah sangat fatal menurut
Tiga orang dewasa itu sontak terkejut serentak mendengar pertanyaan polos seorang bocah.Bagas langsung membekap mulut Zahira karena merasa tidak enak pada Nico dan Adila. “Maaf.”Sementara itu, Nico mengangkat kedua alisnya bingung memberi jawaban. Adila juga hanya bisa tersenyum canggung, khawatir Nico salah paham dengan pertanyaan gadis kecil itu.Entah mengapa, biasanya Adila merasa tidak keberatan anak itu terus menerus memanggilnya mama. Adila selalu menganggap itu hanya candaan seorang bocah. Namun kali ini, Adila merasa terganggu karena hal itu ternyata cukup serius untuk menjadi salah paham."Pak Bagas. Kami langsung pamit, ya.""Iya, Bu. Silahkan."Adila buru-buru menarik lengan Nico menuju mobilnya. Nico yang masih bingung hanya diam menurut. Keduanya kini sudah berada di mobil yang melesat menuju rumah Adila."Sayang, makasih ya udah jemput aku."Adila mencoba membuka percakapan agar tidak teringat dengan pertanyaan Zahira. Nico hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara
“Ma?”Adila seketika mengurai pelukan anak gadis itu. Tak lama, Bagas juga muncul di hadapan Adila. Pria itu hanya mengulas senyum untuk menyapanya.Dalam hatinya, Adila merasa cemas jika Nico datang dan melihatnya sedang bersama Bagas juga anaknya. Bisa-bisa Nico salah paham seperti semalam."Bu Adila, sedang menunggu jemputan?" tanya Bagas."Iya, Pak Bagas.""Papa, kita aja yang antar Mama pulang."Mendengar Zahira memanggilnya dengan sebutan Mama lagi, Adila hanya tersenyum canggung. Ia ingin menegur, tapi Adila paham memberi pengertian pada anak seusia Zahira tidaklah mudah.Bagas yang menangkap kecanggungan Adila, sontak berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan putrinya untuk memberi nasehat."Zahira, sayang. Bu Adila itu Bu Guru kamu. Jadi manggilnya harus Bu Guru ya. Jangan Mama."Suara lembut dan sikap kebapakan Bagas membuat Adila tersentuh. Rasa canggung dan kesal lenyap begitu saja. Adila bahkan merasa dirinya berlebihan.Sementara itu, Zahira memanyunkan bibir mungilnya k
"Nico sudah dewasa. Bisa kok bersihin sendiri,” ucap Adila ketus.Mendengar itu, Vivian langsung menarik tangannya yang menempel di kemeja Nico dan pamit undur diri mempersilahkan mereka melanjutkan acara makan siang.Adila membuang pandangan dari Nico membuang nafas kasar. Ia meletakkan garpunya dan meminta Nico agar pulang saja menyudahi makan siangnya. Nico menuruti, ia tahu Adila tengah kesal padanya karena kejadian barusan.Tunangannya itu memang pria yang sangat baik dan ramah pada semua orang. Tidak peduli pria atau wanita. Tidak jarang membuat wanita salah paham atas sifatnya, yang mengira Nico suka pada mereka."Sayang, kamu marah?" tanya Nico.Adila bergeming. Ia semakin kesal pada tunangannya itu.Sudah jelas dirinya merasa kesal, bagaimana bisa di masih bertanya. Seharusnya dia sudah tahu dan langsung membujuk nya."Aku yang cuma ngobrol sama Bagas papanya Zahira aja kamu nggak suka. Lalu kejadian tadi, menurutmu aku gimana?" tanya Adila balik."Iya, maaf. Aku nggak akan
"Emang aku nggak boleh ya, cek ponsel kamu?""Bu-bukan gitu Sayang. Tapi 'kan nggak biasanya aja gitu."Adila tidak menanggapi lagi. Ia merapatkan kedua matanya ingin berpura-pura tidur. Nico mengemudi dengan segan. Ia was-was menunggu rentetan pertanyaan dari Adila mengenai pesan dari Vivian. Namun anehnya, justru sikap Adila tidak sesuai perkiraan Nico. Wanita disampingnya itu tidak bertanya apapun. Ia masih berpura-pura menutup mata. Hal itu membuat Nico semakin salah tingkah."Sayang, kita mampir ke apotik ya." bujuk Nico lirih.Terpaksa Adila menanggapi, "Untuk apa?""Untuk kamu dong, Sayang. Kamu 'kan lagi nggak enak badan.""Nggak usah. Aku cuma meriang biasa kok, besok juga sembuh.""Jangan gitu dong. Aku 'kan khawatir sama kamu."Muak sekali rasanya, Adila mendengar kalimat sok perhatian dari Nico. Tapi memang Nico adalah sosok pria yang perhatian selama ini. Apa mungkin karena isi pesan Vivian, Adila merasa sikap Nico padanya jadi memuakkan?"Nggak usah. Aku mau langsung pu
Ting Tung!Suara bel rumah membuyarkan keduanya. Bagas bergegas ke depan untuk memeriksa. Betapa terkejutnya saat ia melihat kedua orang tuanya datang secara tiba-tiba dari luar kota."Loh, Mama sama Papa kok nggak ngabarin dulu kalau mau datang?" Bagas memberi salam pada mamanya kemudian memeluk dan menciumnya."Kita tuh khawatir sama kamu, makanya kita langsung kesini. Gimana keadaan kamu?"Bagas mengernyitkan dahi bingung. Ia baru sadar, Adila juga tiba-tiba datang ke rumahnya, kali ini kedua orang tuanya juga datang dan mengetahui dia sedang sakit. "Zahira, yang telpon Mama ya?"Mamanya mengangguk. "Aku udah baikan. Udah nggak panas lagi, habis di kompres." Bagas meraih tas yang dibawa papanya untuk membantu."Udah nggak usah, Papa bisa bawanya," tepis sang papa.Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Bagas mempersilahkan kedua orang tuanya duduk di sofa terlebih dahulu beristirahat."Mana Zahira?" tanya sang mama seraya meraih tas yang berisi lauk pauk yang dibawa suaminy
"Ekhem." Bagas mendeham, mengkode sang ibu untuk tidak melanjutkan pertanyaan. "Ma, itu 'kan hal pribadi.""Ssst. Kamu diam aja."Adila terkekeh melihat perdebatan keduanya. "Sudah, Tante," jawab Adila cepat.Bagas menunduk, ada rasa kecewa dalam hati. Padahal dia jelas sudah tahu akan hal itu. Sang mama melirik wajah putranya, ia bisa menerka isi hati Bagas dengan tepat. Sang mama kembali menatap Adila. Tak ingin lebih jauh menggali, sang mama hanya memberikan sebuah pesan rahasia pada putranya."Tapi, Tante pernah dengar pepatah, sebelum janur kuning melengkung, siapapun masih boleh berusaha. Betul 'kan Pa?" "Iya, Ma." Sang papa menjawab gugup."Tolong jangan hiraukan perkataan mamaku ya. Dia memang suka sekali bercanda."Adila terkekeh, ia merasa tidak tersinggung atau apapun. Justru Adila merasakan kehangatan yang dia impikan di masa depan. Mereka kembali asik berbincang membahas segala hal kesana kemari.Waktu sudah mendekati maghrib. Adila berpamitan pulang. Ia harus mempersiap
"Memangnya kenapa kalau dimajukan? Toh, kita pasti akan menikah 'kan?"Tapi 'kan, nggak semudah itu Nic. Semuanya harus direncanakan matang-matang.""Kalau masalah itu kamu tenang aja. Aku yang akan urus semuanya."Nico beranjak meninggalkan ruangan Adila. Pria itu menghentikan langkahnya sekejap. Berbalik menatap Adila."Mulai sekarang, kemanapun kamu pergi harus izin aku!"Adila mengerutkan keningnya. Nico benar-benar berlebihan. Seharusnya Adila merasa senang jika pria yang dicintainya ingin segera menikahinya. Namun, saat ini yang wanita itu rasakan justru hatinya terasa berat. Seperti tidak yakin untuk menikah."Maaf ya Nic. Aku jadi bimbang gini sama kamu," lirihnya.Tatapan Adila tertuju pada sebuah kotak bekal di mejanya. Kotak bekal yang menjadi salah satu pemicu amarah Nico. Ia menghela nafas. Membuka kotak makanan itu. Bibirnya memulas senyum kala menikmati nasi dan rendang olahan neneknya Zahira.****Adila mengendarai mobil Lexusnya memasuki halaman rumah. Ia melihat mo