Adila berusaha tenang. Dibalasnya pelukan Zahira lembut.
“Maaf,” ucap Bagas seketika. Tampak ekspresi tak nyaman di wajah pria itu.Hanya saja, Zahira kembali berbicara, "Tapi, Pa. Mulai sekarang, aku mau panggil Bu Guru, Mama.""Zahira jangan begitu," ucap Bagas cepat.Pria itu bahkan segera melepaskan tangan Zahira yang memeluk Adila.“Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih. Kami harus segera pulang,” pamit Bagas cepat.Adila pun mengangguk.Melihat itu, Bagas segera menggendong putri kecilnya ke mobil lalu menuju ke rumah mereka.Cukup lama, Zahira berceloteh tentang Adila sebelum akhirnya anak itu tertidur.“Hah,” hela nafas Bagas setelahnya.Dipandanginya wajah sang putri yang masih sangat polos dan menggemaskan itu.Sejujurnya, Ia tak menyangka.Niatnya memberikan kebahagiaan pada Zahira selama ini, justru melukainya. Entah apa jadinya, jika Bu Guru Adila tidak mengungkapkannya.Mungkin, ia akan menjadi sosok ayah yang jahat selama hidup Zahira tanpa ia ketahui.Tiba-tiba ia teringat sosok Adila, sifat lemah lembut dan parasnya yang cantik sangat mirip dengan mendiang istrinya. Rasa rindu tiba-tiba mendera hatinya, sekaligus rasa bersalah pada mendiang istrinya."Sayang, kamu pasti melihat kita dari Surga. Maafin aku ya, aku nggak bisa jagain anak kita. Aku janji, akan lebih berhati-hati lagi," lirih Bagas dalam hati.Pria itu kembali fokus ke jalanan menuju rumah.Digendongnya Zahira yang masih terlelap keluar dari mobil.Namun, betapa terkejutnya Bagas saat melihat Naila berada di terasnya, duduk menunggunya pulang."Kamu ngapain di sini?"Naila segera berdiri menyambut. Dengan wajah lembut, wanita itu berkata,"Sayang, tolong dengarkan penjelasan aku dulu.""Awas, minggir!" hardik Bagas cepat.Pria itu segera memasuki rumahnya dan menuju kamar Zahira untuk membaringkan putrinya.Hanya saja, Naila terus mengekor di belakang Bagas–merengek meminta waktu untuk menjelaskan kesalahpahaman versi dirinya.“Mas Bagas, tolong dengar penjelasanku,” pinta wanita itu lagi. Naila rela datang ke rumah ini malam-malam untuk memberi penjelasan tanpa gangguan siapapun. Jadi, ia tak akan pulang sebelum misinya terlaksana.Di sisi lain, Bagas menghela napas malas mendengar rengekan wanita itu. Jadi, begitu keluar kamar, ayah dari Zahira itu pun memberikan waktu untuk Naila menjelaskan di teras–bukan di dalam rumah!Karena baginya, wanita di depannya ini sekarang hanyalah orang lain."Aku cuma punya waktu lima menit,” ucap pria itu dingin, “jelaskan.”"Sayang, aku minta maaf. Aku nggak sengaja melakukan itu. Aku juga bersikap kayak gitu kok sama keponakan aku kalau dia lagi susah dibilangin. Aku khilaf sayang," ucap Naila merengek menarik-narik lengan Bagas yang sedang disedekapkan.Namun, Bagas tidak menatap Naila.Ia justru melihat langit malam–mencoba bersabar dengan kata-kata manja nan sok polos dari Naila. Kini dia tersadar, ternyata Naila sangat manipulatif.“Sudah?” tegas Bagas, "sekali lagi, aku tegaskan sama kamu. Hubungan kita sudah selesai. Jangan pernah kamu menginjakkan kaki ke rumahku lagi, dan jangan pernah menghubungiku lagi. Sekarang kamu pulang, aku lagi capek pengen istirahat."“Mas!”Mata Bagas menajam sebelum kembali masuk ke dalam rumah menutup pintu dengan kasar, hingga membuat Naila terkejut."Sayang! Buka pintunya sayang. Jangan kayak gini dong." Naila berusaha mengejar Bagas dan menggedor-gedor pintu rumahnya. Ia benar-benar tak menyangka Bagas yang selama ini dikenalnya sebagai pria lembut, bisa semarah itu.Sadar usahanya tidak akan membuahkan hasil, Naila pergi meninggalkan rumah itu.Ia menyimpan segudang rencana untuk meminta Bagas kembali padanya.Senyum sinis perlahan muncul di wajah Naila. “Mas, kamu tidak bisa membuangku begitu saja. Lihat saja nanti!”***Pagi ini, Bagas mengantar sendiri Zahira berangkat ke sekolah.Para guru sudah berada di depan kelas menyambut para muridnya.Bagas melambaikan tangan pada Zahira memberikan semangat.Selepas Zahira memasuki ruang kelas, Bagas akan langsung pergi ke kantor.Hari ini dia ada janji meeting. Ia bergegas memacu mobilnya. Jalanan pagi ini belum terlalu macet, Bagas mengaca di kaca mobil depan untuk merapikan rambutnya.Tanpa sengaja, pandangannya menangkap kotak bekal makan siang Zahira tertinggal di kursi belakang.“Astaga,” gumamnya. Segera, pria itu putar balik dan melaju kencang mengejar waktu. Anak sekolah memang dianjurkan tidak diberi uang saku, dan harus membawa bekal sendiri dari rumah. Itu adalah salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pihak yayasan."Pak Bagas, kenapa kok lari-lari?" sapa Adila yang kebetulan melihat Bagas.Pria itu pun berhenti. "Bu Adila, selamat pagi. Ini Bu, bekal Zahira ketinggalan."Melihat Bagas yang seperti sedang terburu-buru, Adila menawarkan bantuan untuk memberikannya pada Zahira."Boleh titip saya Pak, nanti biar saya bantu kasih ke Zahiranya."Bagas tanpa sadar tersenyum. “Terima kasih, Bu Adila. Saya merepotkan Anda kembali.”Deg!Tanpa disadari, jantung Adila berdebar kencang.Diperhatikannya Bagas yang segera berpamitan dan memacu mobilnya kembali.Adila yang melihat betapa kerepotannya seorang duda mengurus satu anak, tersenyum terkesan oleh perjuangannya yang menggantikan tugas seorang istri.“Zahira pasti bangga punya ayah seperti Anda,” gumamnya pada diri sendiri.Mengingat waktu pembelajaran telah dimulai, Adila memutuskan untuk menunda mengantarkan bekal Zahira.Waktu berjalan cepat.Istirahat akhirnya tiba dan Adila masuk ke ruang kelas anak itu.Melihat kedatangannya, Zahira langsung berlari ke arahnya. Matanya tampak berbinar.Setelah melepaskan pelukannya, Adila memberikan bekal titipan ayahnya.”Ini bekal Zahira. Tadi ayahmu titipkan.”Anak itu mengangguk. “Tapi, Zahira tidak mau makan siang sendiri,” lirihnya sedih, “bolehkah kita makan bersama?”Mendengar permintaannya, Adila hanya tersenyum, “Baiklah. Ayo!”Wanita itu pun menemani gadis kecil itu makan siang, hingga selesai."Zahira, Bu Guru 'kan udah nemenin Zahira makan siang. Sekarang, Bu Guru mau makan siang dulu boleh ya?"Gadis cantik itu menoleh cepat dan mengangguk. "Iya, Mama.""Wah, Zahira panggil Bu Guru, Mama? Emang, Bu Guru itu mamamu apa?" celetuk teman yang duduk di bangku sebelah Zahira.Namun, anak itu tak menunjukkan rasa terganggu. Dengan bangga, ia justru berkata, "Iya. Bu Guru ini calon mamaku."Adila yang awalnya terkejut, seketika tertawa mendengar perkataan Zahira pada temannya. Baginya, ucapan anak itu terdengar seperti candaan.Lagi pula, gadis itu sudah memiliki tunangan sejak satu tahun lalu. Selain kepulangannya ke Indonesia untuk meneruskan yayasan ayahnya, Adila juga berencana menikah dalam waktu dekat. Terlebih, keluarga besar sudah menginginkan mereka untuk mempercepat acara pernikahan karena mereka khawatir jika jarak pertunangan dengan pernikahan terlalu lama–dapat menyebabkan keretakan hubungan. Bahkan, bisa gagal menuju pelaminan.***Waktu berlalu cepat.Suasana pulang sekolah begitu ramai. Para murid berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing dengan rapi, sedangkan orang tua mereka juga sudah banyak yang datang–menunggu
"Bu Adila, apa Ibu melihat Zahira pulang?"Ucapan Bagas membuat wanita itu terkejut. Rasanya, Zahira sudah tampak lebih tenang dan hubungan ayah-anak itu semakin dekat. Tapi, mengapa tiba-tiba pria itu tak dapat menemukan putrinya?"Tidak, saya baru selesai meeting,” ucap Adila cepat, “apa terjadi sesuatu dengan Zahira, Pak?""Zahira tidak ada di sekolah, Bu. Saya tidak bisa menemukan anak saya," panik Bagas.Melihat itu, Adila menarik napas dalam. "Tenang ya Pak, mari kita coba cari bersama."Sejurus kemudian, keduanya bertanya pada beberapa orang tua murid yang masih ada di sekolah. Namun, mereka mengatakan sama sekali tidak melihat anak yang mereka maksud. Mereka juga bertanya pada beberapa teman Zahira dan murid yang seumuran lainnya, mungkin saja mereka tahu keberadaan Zahira. Sayangnya, mereka juga tak tahu.“Astaga!” Bagas mulai frustasi. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Zahira. “Bagaimana sistem keamanan di sekolah ini?”"Tolong dibenahi ya Bu. Ini sudah sangat fatal menurut
Tiga orang dewasa itu sontak terkejut serentak mendengar pertanyaan polos seorang bocah.Bagas langsung membekap mulut Zahira karena merasa tidak enak pada Nico dan Adila. “Maaf.”Sementara itu, Nico mengangkat kedua alisnya bingung memberi jawaban. Adila juga hanya bisa tersenyum canggung, khawatir Nico salah paham dengan pertanyaan gadis kecil itu.Entah mengapa, biasanya Adila merasa tidak keberatan anak itu terus menerus memanggilnya mama. Adila selalu menganggap itu hanya candaan seorang bocah. Namun kali ini, Adila merasa terganggu karena hal itu ternyata cukup serius untuk menjadi salah paham."Pak Bagas. Kami langsung pamit, ya.""Iya, Bu. Silahkan."Adila buru-buru menarik lengan Nico menuju mobilnya. Nico yang masih bingung hanya diam menurut. Keduanya kini sudah berada di mobil yang melesat menuju rumah Adila."Sayang, makasih ya udah jemput aku."Adila mencoba membuka percakapan agar tidak teringat dengan pertanyaan Zahira. Nico hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara
“Ma?”Adila seketika mengurai pelukan anak gadis itu. Tak lama, Bagas juga muncul di hadapan Adila. Pria itu hanya mengulas senyum untuk menyapanya.Dalam hatinya, Adila merasa cemas jika Nico datang dan melihatnya sedang bersama Bagas juga anaknya. Bisa-bisa Nico salah paham seperti semalam."Bu Adila, sedang menunggu jemputan?" tanya Bagas."Iya, Pak Bagas.""Papa, kita aja yang antar Mama pulang."Mendengar Zahira memanggilnya dengan sebutan Mama lagi, Adila hanya tersenyum canggung. Ia ingin menegur, tapi Adila paham memberi pengertian pada anak seusia Zahira tidaklah mudah.Bagas yang menangkap kecanggungan Adila, sontak berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan putrinya untuk memberi nasehat."Zahira, sayang. Bu Adila itu Bu Guru kamu. Jadi manggilnya harus Bu Guru ya. Jangan Mama."Suara lembut dan sikap kebapakan Bagas membuat Adila tersentuh. Rasa canggung dan kesal lenyap begitu saja. Adila bahkan merasa dirinya berlebihan.Sementara itu, Zahira memanyunkan bibir mungilnya k
"Nico sudah dewasa. Bisa kok bersihin sendiri,” ucap Adila ketus.Mendengar itu, Vivian langsung menarik tangannya yang menempel di kemeja Nico dan pamit undur diri mempersilahkan mereka melanjutkan acara makan siang.Adila membuang pandangan dari Nico membuang nafas kasar. Ia meletakkan garpunya dan meminta Nico agar pulang saja menyudahi makan siangnya. Nico menuruti, ia tahu Adila tengah kesal padanya karena kejadian barusan.Tunangannya itu memang pria yang sangat baik dan ramah pada semua orang. Tidak peduli pria atau wanita. Tidak jarang membuat wanita salah paham atas sifatnya, yang mengira Nico suka pada mereka."Sayang, kamu marah?" tanya Nico.Adila bergeming. Ia semakin kesal pada tunangannya itu.Sudah jelas dirinya merasa kesal, bagaimana bisa di masih bertanya. Seharusnya dia sudah tahu dan langsung membujuk nya."Aku yang cuma ngobrol sama Bagas papanya Zahira aja kamu nggak suka. Lalu kejadian tadi, menurutmu aku gimana?" tanya Adila balik."Iya, maaf. Aku nggak akan
"Emang aku nggak boleh ya, cek ponsel kamu?""Bu-bukan gitu Sayang. Tapi 'kan nggak biasanya aja gitu."Adila tidak menanggapi lagi. Ia merapatkan kedua matanya ingin berpura-pura tidur. Nico mengemudi dengan segan. Ia was-was menunggu rentetan pertanyaan dari Adila mengenai pesan dari Vivian. Namun anehnya, justru sikap Adila tidak sesuai perkiraan Nico. Wanita disampingnya itu tidak bertanya apapun. Ia masih berpura-pura menutup mata. Hal itu membuat Nico semakin salah tingkah."Sayang, kita mampir ke apotik ya." bujuk Nico lirih.Terpaksa Adila menanggapi, "Untuk apa?""Untuk kamu dong, Sayang. Kamu 'kan lagi nggak enak badan.""Nggak usah. Aku cuma meriang biasa kok, besok juga sembuh.""Jangan gitu dong. Aku 'kan khawatir sama kamu."Muak sekali rasanya, Adila mendengar kalimat sok perhatian dari Nico. Tapi memang Nico adalah sosok pria yang perhatian selama ini. Apa mungkin karena isi pesan Vivian, Adila merasa sikap Nico padanya jadi memuakkan?"Nggak usah. Aku mau langsung pu
Ting Tung!Suara bel rumah membuyarkan keduanya. Bagas bergegas ke depan untuk memeriksa. Betapa terkejutnya saat ia melihat kedua orang tuanya datang secara tiba-tiba dari luar kota."Loh, Mama sama Papa kok nggak ngabarin dulu kalau mau datang?" Bagas memberi salam pada mamanya kemudian memeluk dan menciumnya."Kita tuh khawatir sama kamu, makanya kita langsung kesini. Gimana keadaan kamu?"Bagas mengernyitkan dahi bingung. Ia baru sadar, Adila juga tiba-tiba datang ke rumahnya, kali ini kedua orang tuanya juga datang dan mengetahui dia sedang sakit. "Zahira, yang telpon Mama ya?"Mamanya mengangguk. "Aku udah baikan. Udah nggak panas lagi, habis di kompres." Bagas meraih tas yang dibawa papanya untuk membantu."Udah nggak usah, Papa bisa bawanya," tepis sang papa.Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Bagas mempersilahkan kedua orang tuanya duduk di sofa terlebih dahulu beristirahat."Mana Zahira?" tanya sang mama seraya meraih tas yang berisi lauk pauk yang dibawa suaminy
"Ekhem." Bagas mendeham, mengkode sang ibu untuk tidak melanjutkan pertanyaan. "Ma, itu 'kan hal pribadi.""Ssst. Kamu diam aja."Adila terkekeh melihat perdebatan keduanya. "Sudah, Tante," jawab Adila cepat.Bagas menunduk, ada rasa kecewa dalam hati. Padahal dia jelas sudah tahu akan hal itu. Sang mama melirik wajah putranya, ia bisa menerka isi hati Bagas dengan tepat. Sang mama kembali menatap Adila. Tak ingin lebih jauh menggali, sang mama hanya memberikan sebuah pesan rahasia pada putranya."Tapi, Tante pernah dengar pepatah, sebelum janur kuning melengkung, siapapun masih boleh berusaha. Betul 'kan Pa?" "Iya, Ma." Sang papa menjawab gugup."Tolong jangan hiraukan perkataan mamaku ya. Dia memang suka sekali bercanda."Adila terkekeh, ia merasa tidak tersinggung atau apapun. Justru Adila merasakan kehangatan yang dia impikan di masa depan. Mereka kembali asik berbincang membahas segala hal kesana kemari.Waktu sudah mendekati maghrib. Adila berpamitan pulang. Ia harus mempersiap
Bagas segera berdiri untuk menyambut ayah Adila, memberi salam. Sementara Zahira jemarinya sudah bertautan dan ayah Adila, keduanya terlihat benar-benar seperti cucu dan kakek."Duduk saja," pinta sang ayah. Bagas pun menurut, dan kembali duduk. Dia memanggil pelan Zahira untuk duduk bersamanya. Bagas merasa tidak enak jika putrinya terus menempel, Bagas takut ayah Adila akan merasa tidak nyaman."Sayang, sini duduk sama Papa."Zahira menggeleng cepat. Putri kecilnya itu justru memeluh lengan sang kakek bergelayut manja. "Tidak apa-apa. Kamu duduk disini saja sama Kakek ya," pinta Ayah Adila dengan tatapan lembut pada Zahira."Jadi kamu Bagas, teman baik anakku, Adilla?"Bagas mengangguk tanpa keraguan. "Benar, Pak. Kebetulan anak saya sekolah di yayasan yang Anda miliki, jadi saya secara tidak sengaja mengenal putri Anda, Adila."Ayah Adila terlihat mengangguk setelah mendengar penjelasan Bagas. "Kamu hebat ya, katanya sudah mengurus Zahira sejak dia lahir, karena...maaf ibunya tel
Ini sangat kebetulan. Saat Bagas ingin berkunjung ke rumah Adila, tuhan memberikan jalan. Justru ayahnya Adila yang langsung mengundangnya untuk datang.Sebagai pria, tentu saja ini sebuah kehormatan baginya. Dan juga bisa jadi ini merupakan pertanda lampu hijau dari ayahnya. 'Mungkinkah ini tandanya aku masih punya peluang?'"Telpon dari siapa, Pa?""Dari bu Adila, Sayang.""Mama?" Zahira mengoreksi nama panggilannya di jam luar sekolah."Oh iya, Mama. Katanya kita diundang main kerumah Mama sama ayahnya.""Ayahnya berarti kakek Zahira dong nanti."'Amin.' Bagas segera mengajak Zahira bersiap. Meskipun ini bukan undangan acara meeting besar, namun rasanya seperti acara penting level internasional. Terasa berlebihan mungkin. Tapi itulah gambaran kegugupan hati Bagas saat ini.Bagas sedang berdiri didepan cermin yang tingginya hampir satu badan. Beberapa kali Bagas mencoba kaos dan kemeja. Namun ia belum menemukan yang cocok untuk dipakai ke rumah Adila.Zahira sudah selesai berdandan
"Gimana hubunganmu sama Vivian? Apa kamu yakin meninggalkan dia?" "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu, Sayang?"Adila tersenyum tipis. Ia hanya ingin mendengar jawaban dari Nico secara langsung. "Aku sama Vivian benar-benar sudah nggak ada apa-apa sayang."Adila masih sibuk mengunyah, menikmati martabak telur kesukaannya. "Terus terang, nggak tahu apa aku masih mencintaimu, Nic. Aku udah capek nangis. Aku mau berdamai sama keadaan."Adila bergeming sekejap. Menghela nafas. "Aku pasrah kalau kamu memilih dia, belum terlambat untuk memilih, Nic.""Aku sudah memilih, Dil. Aku milih kamu."Adila mengangguk. "Tapi dengan satu syarat," pinta Adila cepat."Apa itu?""Aku mau mundurin acara pernikahan, sampai aku benar-benar siap dan yakin."Nico melebarkan matanya. Ia tak menyangka, Adila akan mundur sejauh itu. "Apa keputusanmu sudah bulat?"Adila mengangguk. Nico tidak bisa memaksa. Dialah yang menyebabkan hal ini terjadi. Andai saja ia bisa menjaga kepercayaan Adila, pasti tidak ak
"Apa aku membuat kesalahan, sampai harus menjauhi Adila?"Nico bergeming sekejap. "Aku hanya ingin melindungi ikatan pertunangan kami. Dan aku tidak ingin, perjalanan menuju pernikahan kami mendapatkan rintangan apapun."Bagas berusaha mencerna kalimat Nico dengan kepala dingin. Bibir Bagas menyungging senyum. "Apa kamu takut kalah denganku?"Nico terkesiap. Ia tak menduga Bagas akan meng-ulti nya dengan kalimat demikian. Ya, memang Nico sudah mulai ketakutan, mungkin Bagas memang seorang duda anak satu. Namun untuk pesona dan karirnya, bisa dibilang, Nico kalah beberapa tingkatan di bawahnya.Terlebih lagi setelah kesalahan fatal yang Nico lakukan. Membayangkannya saja Nico sudah tak sanggup. Bagaimana jika Adila tiba-tiba memintanya untuk berhenti mengejar dan mencintainya. Tidak, dia benar-benar tak akan sanggup mendengarkan kalimat itu dari Adila."Huh. Kamu terlalu percaya diri, Bagas. Apa kamu sangat yakin bisa mengalahkanku?" Meskipun tampak tidak gentar, sejujurnya Nico tengah
Pagi menyingsing. Suara alarm yang belum sempat dimatikan terus berulang di ponsel Adila. Wanita itu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk memulai aktivitasnya.Beberapa kali ia mengoleskan concealer tipis-tipis untuk menyamarkan mata sembabnya. Sisa menangis semalam.Usai puas dengan hasil riasan wajahnya, Adila bergegas keluar menuju garasi. Namun ia sangat terkejut, saat melihat Nico sudah menunggunya di halaman rumahnya. Adila mengernyitkan dahi, terpaksa ia berjalan menghampiri."Kamu ngapain, pagi-pagi udah kesini?"Pria itu sangat bersemangat kala melihat Adila menghampirinya."Sayang, aku antar berangkat kerja ya." Bujuk Nico memohon."Nggak usah repot-repot, aku bisa kok bawa mobil sendiri.""Tapi aku pengen mengantar kamu, Sayang."Adila membuang nafasnya dalam. "Tapi aku nggak pengen diantar, Nico." jawabnya tegas.Adila meninggalkan pria itu menuju mobilnya. Namun Nico meraih tangannya menahan Adila. Terpaksa wanita itu berhenti sekejap."Tolong kasih aku kesempatan untuk
Deg!Dunia Nico seolah runtuh, saat mendengar kekasihnya begitu ikhlas merelakan dia untuk memilih."Maafkan aku sayang, aku mengakuinya. Aku memang bodoh," sesalnya merutuki diri sendiri di hadapan Adila.Kelopak mata wanita itu mulai membasah. Sakit sekali mendengar pengakuan Nico, meskipun itulah yang ia ingin dengar. Hubungan yang selama ini ia kira sangat sempurna, ternyata penuh dengan kubangan sebagai ujian.Adila mengangguk pelan, memberi waktu pria itu untuk menjelaskan."Sayang, aku janji, aku nggak akan mengulangi kesalahanku lagi. Tolong maafin aku sayang, please!" Nico menggenggam kedua tangan Adila memohon."Aku nggak tahu, Mas. Aku masih bisa atau tidak untuk melanjutkan." lirihnya membalas."Kamu nggak boleh bilang begitu sayang. Kita akan tetap menikah sesuai rencana kita. Kamu tau 'kan, aku sangat cinta sama kamu. Dan kamu juga sangat cinta sama aku."Tampak raut Nico yang ter gugup, takut Adila memutuskan hubungan dengannya. Andai kedua orang tua mereka tahu tentan
Entah mengapa senyuman pria itu membuat jantungnya memompa lebih cepat. Sekejap, Adila terhipnotis melihat senyum manis duda itu.Segera, Adila mengerjapkan mata-menyadarkan pikirannya. Ia mengangguk mengiayakan perkataan Bagas sebelum berpisah.Saat ini Adila dan Manda tengah berada di dalam mobil yang melesat."Kayaknya, malam ini ada yang nggak bisa tidur nih," ledek Manda membuat Adila bingung.Adila menoleh, "Maksudnya gimana, Man?"Manda tidak menjawab. Ia hanya asyik tersenyum sendiri membayangkan jika Adila dan Bagas sangat cocok menjadi pasangan."Ditanya itu dijawab. Bukannya senyum-senyum sendiri." Manda tidak peduli dengan perkataan Adila. Ia juga tak mau penasaran. Adila menatap jalanan dari kaca mobil, menopang dagunya dan juga tersenyum kala mengingat perkataan Bagas sebelum pulang tadi."Aku langsung pulang ya. Capek banget.""Iya. Makasih ya, Man. Udah ajak aku jalan-jalan""S
Adila sontak menatap Zahira sendu. Hal yang tadinya tidak ingin ia setujui, ternyata berarti besar bagi seorang anak yang merindukan kehadiran mamanya.Manda pun tak kalah terperangahnya. Hatinya mendadak melow mendengarnya. Kedua wanita itu saling menatap. Kemudian mengangguk meng-iya kan.Usai makan, mereka langsung beranjak untuk mencari toko baju. Mereka memasuki salah satu toko baju terlengkap di mall itu. "Zahira mau cari baju apa?" "Baju dalam, Ma.""Owh, kalau gitu kita cari sebelah sana aja ya." Adila menuntun Zahira menuju salah satu sudut toko yang mendisplay baju anak.Bagas hanya mengekor. Melihat Zahira dan Adila dari belakang, membuat hatinya menghangat. Andai saja Maya masih ada, pasti Bagas akan melihat pemandangan seperti itu lebih sering.Manda melirik pada Bagas. Wanita itu tahu, pria duda keren itu terlihat menyukai sahabatnya. Namun mereka terhalang status pertunangan Adila dan kekasihnya, pria ya
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti melabrak mereka lah, pakai nanya lagi." kesal Manda. "Ya, terus kamu maunya gimana? Mau nangkap basah dia, atau masih mau dipikirkan dulu?"Adila mengambil nafas panjang. Ia bangkit dari kursinya mengajak Amanda pulang. Amanda terpaksa mengikuti kemauan sahabatnya. Mungkin ia butuh berpikir jernih, sebelum mengambil tindakan. Mengingat hubungan mereka bukan hanya setahun dua tahun. Dan juga sudah merencanakan pernikahan.Sepanjang perjalanan, Adila bergeming. Terkadang butiran air matanya jatuh tak terkendali. Ia menopang dagunya satu tangan, dan membuang pandangan menatap keluar jendela mobil."Dil. Udah sampe nih. Aku nggak ikut masuk ya, besok banyak janji di klinik.""Iya. Makasih ya." Setelah Manda melaju pulang. Adila berjalan gontai memasuki rumah. Malam itu Adila tak dapat memejamkan mata. Kepalanya masih terbayang jelas bagaimana mereka saling memberikan ciuman di depan teman-teman Nico dengan wajah yang bahagia. Kekecewaan pun ia rasakan ter