"Memangnya kenapa kalau dimajukan? Toh, kita pasti akan menikah 'kan?"Tapi 'kan, nggak semudah itu Nic. Semuanya harus direncanakan matang-matang.""Kalau masalah itu kamu tenang aja. Aku yang akan urus semuanya."Nico beranjak meninggalkan ruangan Adila. Pria itu menghentikan langkahnya sekejap. Berbalik menatap Adila."Mulai sekarang, kemanapun kamu pergi harus izin aku!"Adila mengerutkan keningnya. Nico benar-benar berlebihan. Seharusnya Adila merasa senang jika pria yang dicintainya ingin segera menikahinya. Namun, saat ini yang wanita itu rasakan justru hatinya terasa berat. Seperti tidak yakin untuk menikah."Maaf ya Nic. Aku jadi bimbang gini sama kamu," lirihnya.Tatapan Adila tertuju pada sebuah kotak bekal di mejanya. Kotak bekal yang menjadi salah satu pemicu amarah Nico. Ia menghela nafas. Membuka kotak makanan itu. Bibirnya memulas senyum kala menikmati nasi dan rendang olahan neneknya Zahira.****Adila mengendarai mobil Lexusnya memasuki halaman rumah. Ia melihat mo
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti melabrak mereka lah, pakai nanya lagi." kesal Manda. "Ya, terus kamu maunya gimana? Mau nangkap basah dia, atau masih mau dipikirkan dulu?"Adila mengambil nafas panjang. Ia bangkit dari kursinya mengajak Amanda pulang. Amanda terpaksa mengikuti kemauan sahabatnya. Mungkin ia butuh berpikir jernih, sebelum mengambil tindakan. Mengingat hubungan mereka bukan hanya setahun dua tahun. Dan juga sudah merencanakan pernikahan.Sepanjang perjalanan, Adila bergeming. Terkadang butiran air matanya jatuh tak terkendali. Ia menopang dagunya satu tangan, dan membuang pandangan menatap keluar jendela mobil."Dil. Udah sampe nih. Aku nggak ikut masuk ya, besok banyak janji di klinik.""Iya. Makasih ya." Setelah Manda melaju pulang. Adila berjalan gontai memasuki rumah. Malam itu Adila tak dapat memejamkan mata. Kepalanya masih terbayang jelas bagaimana mereka saling memberikan ciuman di depan teman-teman Nico dengan wajah yang bahagia. Kekecewaan pun ia rasakan ter
Adila sontak menatap Zahira sendu. Hal yang tadinya tidak ingin ia setujui, ternyata berarti besar bagi seorang anak yang merindukan kehadiran mamanya.Manda pun tak kalah terperangahnya. Hatinya mendadak melow mendengarnya. Kedua wanita itu saling menatap. Kemudian mengangguk meng-iya kan.Usai makan, mereka langsung beranjak untuk mencari toko baju. Mereka memasuki salah satu toko baju terlengkap di mall itu. "Zahira mau cari baju apa?" "Baju dalam, Ma.""Owh, kalau gitu kita cari sebelah sana aja ya." Adila menuntun Zahira menuju salah satu sudut toko yang mendisplay baju anak.Bagas hanya mengekor. Melihat Zahira dan Adila dari belakang, membuat hatinya menghangat. Andai saja Maya masih ada, pasti Bagas akan melihat pemandangan seperti itu lebih sering.Manda melirik pada Bagas. Wanita itu tahu, pria duda keren itu terlihat menyukai sahabatnya. Namun mereka terhalang status pertunangan Adila dan kekasihnya, pria ya
Entah mengapa senyuman pria itu membuat jantungnya memompa lebih cepat. Sekejap, Adila terhipnotis melihat senyum manis duda itu.Segera, Adila mengerjapkan mata-menyadarkan pikirannya. Ia mengangguk mengiayakan perkataan Bagas sebelum berpisah.Saat ini Adila dan Manda tengah berada di dalam mobil yang melesat."Kayaknya, malam ini ada yang nggak bisa tidur nih," ledek Manda membuat Adila bingung.Adila menoleh, "Maksudnya gimana, Man?"Manda tidak menjawab. Ia hanya asyik tersenyum sendiri membayangkan jika Adila dan Bagas sangat cocok menjadi pasangan."Ditanya itu dijawab. Bukannya senyum-senyum sendiri." Manda tidak peduli dengan perkataan Adila. Ia juga tak mau penasaran. Adila menatap jalanan dari kaca mobil, menopang dagunya dan juga tersenyum kala mengingat perkataan Bagas sebelum pulang tadi."Aku langsung pulang ya. Capek banget.""Iya. Makasih ya, Man. Udah ajak aku jalan-jalan""S
Deg!Dunia Nico seolah runtuh, saat mendengar kekasihnya begitu ikhlas merelakan dia untuk memilih."Maafkan aku sayang, aku mengakuinya. Aku memang bodoh," sesalnya merutuki diri sendiri di hadapan Adila.Kelopak mata wanita itu mulai membasah. Sakit sekali mendengar pengakuan Nico, meskipun itulah yang ia ingin dengar. Hubungan yang selama ini ia kira sangat sempurna, ternyata penuh dengan kubangan sebagai ujian.Adila mengangguk pelan, memberi waktu pria itu untuk menjelaskan."Sayang, aku janji, aku nggak akan mengulangi kesalahanku lagi. Tolong maafin aku sayang, please!" Nico menggenggam kedua tangan Adila memohon."Aku nggak tahu, Mas. Aku masih bisa atau tidak untuk melanjutkan." lirihnya membalas."Kamu nggak boleh bilang begitu sayang. Kita akan tetap menikah sesuai rencana kita. Kamu tau 'kan, aku sangat cinta sama kamu. Dan kamu juga sangat cinta sama aku."Tampak raut Nico yang ter gugup, takut Adila memutuskan hubungan dengannya. Andai kedua orang tua mereka tahu tentan
Pagi menyingsing. Suara alarm yang belum sempat dimatikan terus berulang di ponsel Adila. Wanita itu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk memulai aktivitasnya.Beberapa kali ia mengoleskan concealer tipis-tipis untuk menyamarkan mata sembabnya. Sisa menangis semalam.Usai puas dengan hasil riasan wajahnya, Adila bergegas keluar menuju garasi. Namun ia sangat terkejut, saat melihat Nico sudah menunggunya di halaman rumahnya. Adila mengernyitkan dahi, terpaksa ia berjalan menghampiri."Kamu ngapain, pagi-pagi udah kesini?"Pria itu sangat bersemangat kala melihat Adila menghampirinya."Sayang, aku antar berangkat kerja ya." Bujuk Nico memohon."Nggak usah repot-repot, aku bisa kok bawa mobil sendiri.""Tapi aku pengen mengantar kamu, Sayang."Adila membuang nafasnya dalam. "Tapi aku nggak pengen diantar, Nico." jawabnya tegas.Adila meninggalkan pria itu menuju mobilnya. Namun Nico meraih tangannya menahan Adila. Terpaksa wanita itu berhenti sekejap."Tolong kasih aku kesempatan untuk
"Apa aku membuat kesalahan, sampai harus menjauhi Adila?"Nico bergeming sekejap. "Aku hanya ingin melindungi ikatan pertunangan kami. Dan aku tidak ingin, perjalanan menuju pernikahan kami mendapatkan rintangan apapun."Bagas berusaha mencerna kalimat Nico dengan kepala dingin. Bibir Bagas menyungging senyum. "Apa kamu takut kalah denganku?"Nico terkesiap. Ia tak menduga Bagas akan meng-ulti nya dengan kalimat demikian. Ya, memang Nico sudah mulai ketakutan, mungkin Bagas memang seorang duda anak satu. Namun untuk pesona dan karirnya, bisa dibilang, Nico kalah beberapa tingkatan di bawahnya.Terlebih lagi setelah kesalahan fatal yang Nico lakukan. Membayangkannya saja Nico sudah tak sanggup. Bagaimana jika Adila tiba-tiba memintanya untuk berhenti mengejar dan mencintainya. Tidak, dia benar-benar tak akan sanggup mendengarkan kalimat itu dari Adila."Huh. Kamu terlalu percaya diri, Bagas. Apa kamu sangat yakin bisa mengalahkanku?" Meskipun tampak tidak gentar, sejujurnya Nico tengah
"Gimana hubunganmu sama Vivian? Apa kamu yakin meninggalkan dia?" "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu, Sayang?"Adila tersenyum tipis. Ia hanya ingin mendengar jawaban dari Nico secara langsung. "Aku sama Vivian benar-benar sudah nggak ada apa-apa sayang."Adila masih sibuk mengunyah, menikmati martabak telur kesukaannya. "Terus terang, nggak tahu apa aku masih mencintaimu, Nic. Aku udah capek nangis. Aku mau berdamai sama keadaan."Adila bergeming sekejap. Menghela nafas. "Aku pasrah kalau kamu memilih dia, belum terlambat untuk memilih, Nic.""Aku sudah memilih, Dil. Aku milih kamu."Adila mengangguk. "Tapi dengan satu syarat," pinta Adila cepat."Apa itu?""Aku mau mundurin acara pernikahan, sampai aku benar-benar siap dan yakin."Nico melebarkan matanya. Ia tak menyangka, Adila akan mundur sejauh itu. "Apa keputusanmu sudah bulat?"Adila mengangguk. Nico tidak bisa memaksa. Dialah yang menyebabkan hal ini terjadi. Andai saja ia bisa menjaga kepercayaan Adila, pasti tidak ak