Melihat situasi itu, Adila menghela napas panjang.
“Maaf, Pak Bagas. Mungkin, kita bisa duduk dan berbicara masalah Zahira terlebih dahulu,” ucapnya tenang.Adila juga meminta Bik Muti, asisten rumah tangganya untuk membawakan minuman.Setelah keadaan mulai tenang, wanita itu kembali berbicara. "Begini, Pak. Mohon maaf sebelumnya, saya terpaksa membawa pulang Zahira karena dia tidak mau pulang ke rumah,” jelasnya, “sebelumnya, saya ingin bertanya pada Pak Bagas, apakah selama ini Zahira berperilaku nakal di rumah?"Pria berparas tampan itu mengerutkan kening. "Tidak. Anak saya baik dan penurut. Apakah Zahira berperilaku nakal di sekolah?""Tidak,” ucap Adila cepat, “tapi, saya menemukan lebam biru pada tubuh Zahira, seperti bekas cubitan atau pukulan orang dewasa. Apa Bapak yang melakukannya?"“Maksudmu?”Bagas tampak terkejut mendengar perkataan Adila. Dia sama sekali tidak pernah mencubit atau melakukan kekerasan lainnya pada anaknya.Sementara itu, Naila mulai kepanasan karena takut rahasianya selama ini terbongkar."Ah itu mah biasa, mungkin berantem sama temennya. Bukannya gitu, Zahira?" potong Naila sembari menatap tajam Zahira–seolah mengancam untuk tidak buka suara.Gadis kecil itu sontak beringsut takut dan memeluk Adila sekencang mungkin.Menyadari itu, Adila angkat suara, "Zahira sudah menceritakan semuanya kepada saya.""Cepat jelaskan!” Bagas tampak bingung. “Ada apa ini sebenarnya?"“Selama ini, wanita yang berada di sampingnya Bapak sering melakukan kekerasan verbal dan non verbal pada Zahira. Ia juga mengancam agar Zahira tidak pernah menceritakannya.”“Puncaknya saat Zahira dititipkan di rumah wanita ini. Ia dipukul dan juga disuruh merapikan rumah. Karena tubuh Zahira tidak kuat, akhirnya ia tumbang di sekolah,” jelas Adila tenang, “tapi, wanita di samping Anda memaksanya untuk pulang secara kasar."Tangan Bagas mengepal keras. Ditatapnya, Naila tak percaya.“Sa–sayang, dia bohong. Kamu percaya sama aku, kan?” ucap wanita itu gelagapan lalu menatap tajam Adila. “Kamu jangan memfitnah saya, ya! Saya bisa laporkan–”"Laporkan saja. Saya tidak takut,” balas Adila cepat, “sebenarnya, saya sendiri bisa melaporkan hal ini pada polisi dan melakukan visum. Tapi, mengingat ini urusan keluarga kalian, saya tidak mau terlibat terlalu jauh. Namun saya tegaskan, jika saya masih menemukan bekas luka itu pada tubuh Zahira, sebagai pemimpin lembaga pendidikan sekolah, saya tidak akan diam dan mengambil itu sebagai tanggung jawab saya!"Rahang Bagas mengeras.Ditatapnya lebam biru di sekujur tubuh anaknya.Bagaimana bisa selama ini dia membiarkan putrinya tersiksa? Almarhumah istrinya pasti akan membenci Bagas."Naila, jelaskan!" bentak Bagas.Wanita itu menggeleng. Namun, wajahnya tidak bisa berbohong."NAILA. Aku minta kamu jawab pertanyaanku! Apa itu perbuatan kamu?""I–iya, tapi itu nggak sengaja sayang. Aku kemarin pas lagi mens perut aku sakit banget nggak bisa ngapa-ngapain. Terus aku–""Cukup, Naila. Mulai sekarang hubungan kita selesai," potong Bagas.“Mas!”Pria itu menatap Naila semakin tajam.Ia pikir wanita itu bisa menyayangi putrinya, seperti yang dia lakukan pada Bagas. Sayangnya, tidak.Padahal, Bagas tidak hanya mencari istri untuk dirinya, namun yang paling penting ia ingin mencari ibu untuk anaknya. Apalagi kesibukan bagas sangatlah padat, ia tidak bisa lagi mengurusi Zahira.Meskipun ada asisten rumah tangga yang bisa membantunya, tetapi seorang anak sangat membutuhkan pendidikan dini dari sekolah pertamanya di rumah, yaitu Ibu.“Baiklah. Aku biarkan Mas berpikir terlebih dahulu,” ucap Naila kembali berpura-pura tersakiti. Wanita kejam itu lantas keluar dari rumah itu dengan hati yang menyimpan dendam.Sebenarnya, ia tidak rela hubungannya hancur karena ulah Zahira. Namun, jika tidak menuruti Bagas untuk pergi, dirinya akan lebih sulit lagi mendekatinya. Bagas pasti akan menganggap dirinya sebagai calon istri pembangkang.Sementara itu, Bagas perlahan mendekati putrinya kembali. Ia menatap Zahira dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah. Lalu, meraih anak itu dalam pelukannya."Maafin Papa, Nak. Andai Papa tahu dari dulu, Papa nggak akan titipin kamu sama tante Naila."Anak kecil itu menangis. "Iya Papa. Zahira udah senang Papa pulang,” ucapnya, “tapi, Zahira nggak mau sama tante Naila lagi ya, Pa.""Iya sayang," balas Bagas cepat. Keduanya berpelukan untuk beberapa saat.Hanya saja, duda anak satu itu tiba-tiba menyadari keberadaan Adila yang masih berada di dekat keduanya.“Ekhem,” deham pria itu menormalkan suara, “terima kasih.”Bagas sungguh berterima kasih pada Adila. Berkat perempuan itu, dia bisa menemukan fakta tersembunyi itu sebelum menikahi Naila.“Sama-sama, Pak,” ucap Adila santai.Terjadi keheningan beberapa saat sebelum Bagas tersadar bahwa ia belum memperkenalkan diri secara resmi. Selain itu, Bagas juga merasa baru kali ini dia melihat Bu Adila yang dimaksud Bu Siska. Padahal, pria itu selalu aktif di kegiatan sekolah anaknya yang melibatkan orang tua.“Maaf, perkenalkan saya Bagas, ayah Zahira,” ucap pria itu menjulurkan tangan, “Anda Bu Adila?”“Benar, Pak. Maaf, saya juga belum mengenalkan diri,” balas Adila menyambut tangan Bagas, “saya Adila. Kebetulan, saya memang baru datang dari Jepang. Hari ini adalah pertama kalinya saya ke sekolah."Bagas mengangguk."Begitu rupanya. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih ya, Bu. Saya juga mohon pamit, bersama Zahira."“Baik, Pak. Tapi, saya akan ambilkan tas dan baju seragam Zahira di kamar saya.”Perempuan itu bergegas naik ke lantai dua untuk mengambilnya."Papa, Zahira suka sama Bu Adila," ucap Zahira mendadak.Bagas hanya menanggapi perkataan putri kecilnya dengan senyum.Ia berpikir, suka yang Zahira maksud hanyalah menyukai atau mengidolakan seorang gurunya. Ia tak menyadari maksud Zahira adalah, ia ingin Adila menjadi mamanya.Tak lama, Adila kembali turun membawakan tas dan juga seragam milik Zahira.Ia juga membawa sebuah boneka kuda poni pink kesukaan Zahira, yang sempat mereka beli sepulang sekolah tadi.Semua perlengkapan Zahira sudah diberikan pada Bagas. Untuk boneka kuda poninya diberikan pada Zahira, seraya memberikan beberapa pesan untuk anak manis itu."Zahira yang pinter ya, tetap jadi anak baik dan suka menolong."Zahira mengangguk dan memeluk boneka kuda poninya.Bagas berpamitan pada Adila dan mengucapkan terimakasih sekali lagi.Hanya saja, tiba-tiba Zahira lari datang kembali memeluk Adila. Bagas dan Adila terkejut serempak, terlebih mendengar ucapan anak itu selanjutnya."Mama."Adila berusaha tenang. Dibalasnya pelukan Zahira lembut. “Maaf,” ucap Bagas seketika. Tampak ekspresi tak nyaman di wajah pria itu.Hanya saja, Zahira kembali berbicara, "Tapi, Pa. Mulai sekarang, aku mau panggil Bu Guru, Mama.""Zahira jangan begitu," ucap Bagas cepat.Pria itu bahkan segera melepaskan tangan Zahira yang memeluk Adila. “Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih. Kami harus segera pulang,” pamit Bagas cepat.Adila pun mengangguk.Melihat itu, Bagas segera menggendong putri kecilnya ke mobil lalu menuju ke rumah mereka.Cukup lama, Zahira berceloteh tentang Adila sebelum akhirnya anak itu tertidur.“Hah,” hela nafas Bagas setelahnya.Dipandanginya wajah sang putri yang masih sangat polos dan menggemaskan itu.Sejujurnya, Ia tak menyangka. Niatnya memberikan kebahagiaan pada Zahira selama ini, justru melukainya. Entah apa jadinya, jika Bu Guru Adila tidak mengungkapkannya. Mungkin, ia akan menjadi sosok ayah yang jahat selama hidup Zahira tanpa ia ketahui.Tiba-tiba ia
"Wah, Zahira panggil Bu Guru, Mama? Emang, Bu Guru itu mamamu apa?" celetuk teman yang duduk di bangku sebelah Zahira.Namun, anak itu tak menunjukkan rasa terganggu. Dengan bangga, ia justru berkata, "Iya. Bu Guru ini calon mamaku."Adila yang awalnya terkejut, seketika tertawa mendengar perkataan Zahira pada temannya. Baginya, ucapan anak itu terdengar seperti candaan.Lagi pula, gadis itu sudah memiliki tunangan sejak satu tahun lalu. Selain kepulangannya ke Indonesia untuk meneruskan yayasan ayahnya, Adila juga berencana menikah dalam waktu dekat. Terlebih, keluarga besar sudah menginginkan mereka untuk mempercepat acara pernikahan karena mereka khawatir jika jarak pertunangan dengan pernikahan terlalu lama–dapat menyebabkan keretakan hubungan. Bahkan, bisa gagal menuju pelaminan.***Waktu berlalu cepat.Suasana pulang sekolah begitu ramai. Para murid berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing dengan rapi, sedangkan orang tua mereka juga sudah banyak yang datang–menunggu
"Bu Adila, apa Ibu melihat Zahira pulang?"Ucapan Bagas membuat wanita itu terkejut. Rasanya, Zahira sudah tampak lebih tenang dan hubungan ayah-anak itu semakin dekat. Tapi, mengapa tiba-tiba pria itu tak dapat menemukan putrinya?"Tidak, saya baru selesai meeting,” ucap Adila cepat, “apa terjadi sesuatu dengan Zahira, Pak?""Zahira tidak ada di sekolah, Bu. Saya tidak bisa menemukan anak saya," panik Bagas.Melihat itu, Adila menarik napas dalam. "Tenang ya Pak, mari kita coba cari bersama."Sejurus kemudian, keduanya bertanya pada beberapa orang tua murid yang masih ada di sekolah. Namun, mereka mengatakan sama sekali tidak melihat anak yang mereka maksud. Mereka juga bertanya pada beberapa teman Zahira dan murid yang seumuran lainnya, mungkin saja mereka tahu keberadaan Zahira. Sayangnya, mereka juga tak tahu.“Astaga!” Bagas mulai frustasi. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Zahira. “Bagaimana sistem keamanan di sekolah ini?”"Tolong dibenahi ya Bu. Ini sudah sangat fatal menurut
Tiga orang dewasa itu sontak terkejut serentak mendengar pertanyaan polos seorang bocah.Bagas langsung membekap mulut Zahira karena merasa tidak enak pada Nico dan Adila. “Maaf.”Sementara itu, Nico mengangkat kedua alisnya bingung memberi jawaban. Adila juga hanya bisa tersenyum canggung, khawatir Nico salah paham dengan pertanyaan gadis kecil itu.Entah mengapa, biasanya Adila merasa tidak keberatan anak itu terus menerus memanggilnya mama. Adila selalu menganggap itu hanya candaan seorang bocah. Namun kali ini, Adila merasa terganggu karena hal itu ternyata cukup serius untuk menjadi salah paham."Pak Bagas. Kami langsung pamit, ya.""Iya, Bu. Silahkan."Adila buru-buru menarik lengan Nico menuju mobilnya. Nico yang masih bingung hanya diam menurut. Keduanya kini sudah berada di mobil yang melesat menuju rumah Adila."Sayang, makasih ya udah jemput aku."Adila mencoba membuka percakapan agar tidak teringat dengan pertanyaan Zahira. Nico hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara
“Ma?”Adila seketika mengurai pelukan anak gadis itu. Tak lama, Bagas juga muncul di hadapan Adila. Pria itu hanya mengulas senyum untuk menyapanya.Dalam hatinya, Adila merasa cemas jika Nico datang dan melihatnya sedang bersama Bagas juga anaknya. Bisa-bisa Nico salah paham seperti semalam."Bu Adila, sedang menunggu jemputan?" tanya Bagas."Iya, Pak Bagas.""Papa, kita aja yang antar Mama pulang."Mendengar Zahira memanggilnya dengan sebutan Mama lagi, Adila hanya tersenyum canggung. Ia ingin menegur, tapi Adila paham memberi pengertian pada anak seusia Zahira tidaklah mudah.Bagas yang menangkap kecanggungan Adila, sontak berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan putrinya untuk memberi nasehat."Zahira, sayang. Bu Adila itu Bu Guru kamu. Jadi manggilnya harus Bu Guru ya. Jangan Mama."Suara lembut dan sikap kebapakan Bagas membuat Adila tersentuh. Rasa canggung dan kesal lenyap begitu saja. Adila bahkan merasa dirinya berlebihan.Sementara itu, Zahira memanyunkan bibir mungilnya k
"Nico sudah dewasa. Bisa kok bersihin sendiri,” ucap Adila ketus.Mendengar itu, Vivian langsung menarik tangannya yang menempel di kemeja Nico dan pamit undur diri mempersilahkan mereka melanjutkan acara makan siang.Adila membuang pandangan dari Nico membuang nafas kasar. Ia meletakkan garpunya dan meminta Nico agar pulang saja menyudahi makan siangnya. Nico menuruti, ia tahu Adila tengah kesal padanya karena kejadian barusan.Tunangannya itu memang pria yang sangat baik dan ramah pada semua orang. Tidak peduli pria atau wanita. Tidak jarang membuat wanita salah paham atas sifatnya, yang mengira Nico suka pada mereka."Sayang, kamu marah?" tanya Nico.Adila bergeming. Ia semakin kesal pada tunangannya itu.Sudah jelas dirinya merasa kesal, bagaimana bisa di masih bertanya. Seharusnya dia sudah tahu dan langsung membujuk nya."Aku yang cuma ngobrol sama Bagas papanya Zahira aja kamu nggak suka. Lalu kejadian tadi, menurutmu aku gimana?" tanya Adila balik."Iya, maaf. Aku nggak akan
"Emang aku nggak boleh ya, cek ponsel kamu?""Bu-bukan gitu Sayang. Tapi 'kan nggak biasanya aja gitu."Adila tidak menanggapi lagi. Ia merapatkan kedua matanya ingin berpura-pura tidur. Nico mengemudi dengan segan. Ia was-was menunggu rentetan pertanyaan dari Adila mengenai pesan dari Vivian. Namun anehnya, justru sikap Adila tidak sesuai perkiraan Nico. Wanita disampingnya itu tidak bertanya apapun. Ia masih berpura-pura menutup mata. Hal itu membuat Nico semakin salah tingkah."Sayang, kita mampir ke apotik ya." bujuk Nico lirih.Terpaksa Adila menanggapi, "Untuk apa?""Untuk kamu dong, Sayang. Kamu 'kan lagi nggak enak badan.""Nggak usah. Aku cuma meriang biasa kok, besok juga sembuh.""Jangan gitu dong. Aku 'kan khawatir sama kamu."Muak sekali rasanya, Adila mendengar kalimat sok perhatian dari Nico. Tapi memang Nico adalah sosok pria yang perhatian selama ini. Apa mungkin karena isi pesan Vivian, Adila merasa sikap Nico padanya jadi memuakkan?"Nggak usah. Aku mau langsung pu
Ting Tung!Suara bel rumah membuyarkan keduanya. Bagas bergegas ke depan untuk memeriksa. Betapa terkejutnya saat ia melihat kedua orang tuanya datang secara tiba-tiba dari luar kota."Loh, Mama sama Papa kok nggak ngabarin dulu kalau mau datang?" Bagas memberi salam pada mamanya kemudian memeluk dan menciumnya."Kita tuh khawatir sama kamu, makanya kita langsung kesini. Gimana keadaan kamu?"Bagas mengernyitkan dahi bingung. Ia baru sadar, Adila juga tiba-tiba datang ke rumahnya, kali ini kedua orang tuanya juga datang dan mengetahui dia sedang sakit. "Zahira, yang telpon Mama ya?"Mamanya mengangguk. "Aku udah baikan. Udah nggak panas lagi, habis di kompres." Bagas meraih tas yang dibawa papanya untuk membantu."Udah nggak usah, Papa bisa bawanya," tepis sang papa.Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Bagas mempersilahkan kedua orang tuanya duduk di sofa terlebih dahulu beristirahat."Mana Zahira?" tanya sang mama seraya meraih tas yang berisi lauk pauk yang dibawa suaminy