Adila berusaha tersenyum pada semua karyawan yang ditemuinya di yayasan sekolah milik sang ayah. Sebenarnya, wanita yang baru menyelesaikan pendidikan S2-nya di Jepang itu–belum mau mengurusi usaha keluarga mereka ini. Namun, ia tak punya pilihan lain.
Untungnya, wajah lucu para murid di ruang kelas 2 SD seketika menyambut Adila, hingga membuat wanita itu tersenyum tanpa sadar.Namun, observasi pembelajaran itu terhenti ketika Adila merasakan keanehan pada gadis kecil di bagian pojok yang terus saja menunduk.Ia sontak menghampirinya. "Namamu siapa, Nak?""Zahira," jawabnya lirih. Dari dekat, gadis mungil itu tampak sangat pucat.“Maaf, Zahira. Ibu izin pegang keningmu, ya?” tanyanya, khawatir.Anak itu mengangguk. Segera, wanita yang sedang mengunjungi yayasan sekolah milik ayahnya itu–menempelkan tangannya ke kening Zahira.Ia bisa merasakan panas luar biasa dari sana.“Pak,” panggil wanita itu dan meminta tolong pada wali kelas Zahira, “tolong bawa anak ini ke UKS sekolah untuk diperiksa.”Pria itu sontak langsung menghampiri Zahira dan menggendongnya menuju UKS. Tampak, ada penyesalan di wajahnya karena tidak segera menyadari keadaan sang murid.Adila menghela nafas lega. Ia juga meminta Bu Siska yang mendampinginya agar menghubungi orang tua murid untuk menjemput Zahira.Bu Siska mengangguk paham.Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi nomor telepon orang tua murid. Hanya saja, setelah ditelepon beberapa kali, nomor tersebut tetap tidak dapat terhubung.“Ada apa?” tanya sang wali kelas yang sudah kembali dari UKS.“Nomor orang tua dari murid Zahira tidak aktif,” ucap Adila, “apa ada nomor lain yang Bapak ketahui?”Pria itu sontak mengangguk. Selaku wali kelas yang sering berkomunikasi dengan orang tua murid, ia memberikan satu nomor darurat yang baru-baru ini diberikan ayah dari anak tersebut bila sedang tidak bisa dihubungi."Halo, selamat siang.""Ya, selamat siang. Siapa nih?" Suara perempuan terdengar dari seberang sana."Bu, maaf. Saya Siska, guru dari sekolah Yayasan Bunga Bangsa School. Mau mengabarkan bahwa Zahira sedang sakit. Dan sekarang, Zahira sedang menerima perawatan di UKS. Tolong segera dijemput ya Bu, agar mendapatkan penanganan yang lebih baik.""Oh, Zahira sakit? Ya udah, deh. Bentar lagi, aku jemput, habis pulang Shopping," ujarnya acuh tak acuh.Tut!Sambungan telepon itu dimatikan sepihak.Adila yang memperhatikan itu semua–sontak terkejut.Ia merasa perlakuan itu sangat tidak pantas. Bagaimana mungkin, wali anak lucu itu tidak menunjukkan rasa khawatir sama sekali?Sayangnya, Adila tidak bisa berlama-lama. Ia masih harus kembali berkeliling ke seluruh kelas agar nanti ia bisa memberikan laporan pada sang ayah, serta memberikan beberapa masukan untuk pengembangan sekolah mereka.“Mohon jaga anak itu dengan baik,” ucap Adila pada akhirnya.****"Saya mau jemput Zahira."Seorang wanita dengan pakaian sangat minim berkata malas-malasan. Ia tampak tak peduli jika penampilannya itu sangat tidak pantas untuk berada di lingkungan sekolah.Adila yang baru saja beristirahat, sontak terkejut. Wali anak itu baru tiba dua jam kemudian?"Maaf, apakah Anda wali dari Zahira?” tanyanya sopan.“Menurutmu?” Wanita itu menatap Adila tajam. “Saya Naila, calon ibu dari anak itu. Tadi, pihak sekolah yang menghubungi agar anak itu dijemput, kan? Jadi, di mana dia?”Adila menarik napas dalam sebelum akhirnya berkata, “Zahira sedang istirahat di UKS, Bu. Silakan lewat sini."Ia pun menunjukkan jalan menuju UKS–diikuti Naila.Setelah memastikan semua aman, Adila pun meninggalkan keduanya di sana.Namun, begitu ia pergi, Naila langsung membangunkan Zahira dengan kasar–seperti tidak memiliki rasa sayang sama sekali.Gadis kecil yang masih lemah dan pusing itu berusaha membuka matanya perlahan. Matanya membulat kala melihat Naila sudah berada di dekatnya."Heh bangun! Disuruh sekolah, kok malah tidur?!" bentak wanita itu.“Tan–te?”Wajah Zahira terlihat sangat ketakutan.“Ayo!” Naila kini menarik tangan Zahira, memaksanya untuk pulang.Gadis mungil itu mulai mencebik, namun tidak berani menangis. Tampak sekali, ia takut dengan perlakuan Naila di rumah nanti."Tante, Zahira nggak mau pulang," ungkapnya lirih menahan takut."Nggak mau pulang gimana? Kamu mau nginap di sekolah?" bentak Naila.Merasa Zahira menguras kesabarannya, wanita itu menarik paksa tangan si mungil untuk memasuki mobilnya.Zahira mulai menangis dan meronta tidak mau masuk ke mobil Naila. “Tolong, jangan pukul Zahira lagi,” lirihnya.“Berisik!” bentaknya, “kalau kamu berani macam-macam, tante akan beri kamu hukuman lebih berat.Kini, gadis kecil itu terdiam. Ia hanya mampu memandang ke segala arah dengan wajah memelas, seolah meminta pertolongan.Adila yang belum jauh dari sana–segera menyadari situasi yang memburuk. Ia pun bergegas menghampiri dan menarik tangan Zahira ke dalam pelukannya.Hal ini jelas membuat Naila terkejut."Apa-apaan kamu?” bentak wanita itu pada Adila, “Jangan ikut campur urusan orang lain.”Adila menarik nafas dalam. "Mohon maaf, Bu. Tapi, tidak sepatutnya Anda melakukan hal demikian pada anak kecil.""Ini urusan saya, ya! Ngapain, Anda ikut campur?” balasnya balik, “Zahira itu anak saya. Jadi, bebas dong saya mau narik-narik dia atau mau ngapain dia.""Tapi, anak ini sedang sakit, Bu. Tolong bersikap lembutlah."Menyadari Adila berada di pihaknya, Zahira tiba-tiba memeluk wanita itu semakin erat. Anak itu bahkan mulai menangis. “Bu, Zahira gak mau pulang sama Tante Naila. Zahira takut dipukul lagi.”“Tolong, Zahira,” lirihnya pedih.Mendengar itu, Adila membulatkan matanya. Seorang anak berumur delapan tahun sampai mengiba separah ini. Kekerasan fisik seperti apa yang ia dapat dari wanita di hadapannya?"Hei, kamu jangan fitnah ya. Ayo pulang, nanti Papa nyariin," ucap Naila melotot."Tante bukan mamaku! Zahira nggak mau pulang. Zahira mau sama Bu Guru saja."Merasa kesal dengan ucapan Zahira, tangan Naila dengan entengnya meraih telinga anak itu dan menjewernya. Mel
Melihat situasi itu, Adila menghela napas panjang.“Maaf, Pak Bagas. Mungkin, kita bisa duduk dan berbicara masalah Zahira terlebih dahulu,” ucapnya tenang. Adila juga meminta Bik Muti, asisten rumah tangganya untuk membawakan minuman. Setelah keadaan mulai tenang, wanita itu kembali berbicara. "Begini, Pak. Mohon maaf sebelumnya, saya terpaksa membawa pulang Zahira karena dia tidak mau pulang ke rumah,” jelasnya, “sebelumnya, saya ingin bertanya pada Pak Bagas, apakah selama ini Zahira berperilaku nakal di rumah?"Pria berparas tampan itu mengerutkan kening. "Tidak. Anak saya baik dan penurut. Apakah Zahira berperilaku nakal di sekolah?""Tidak,” ucap Adila cepat, “tapi, saya menemukan lebam biru pada tubuh Zahira, seperti bekas cubitan atau pukulan orang dewasa. Apa Bapak yang melakukannya?"“Maksudmu?” Bagas tampak terkejut mendengar perkataan Adila. Dia sama sekali tidak pernah mencubit atau melakukan kekerasan lainnya pada anaknya. Sementara itu, Naila mulai kepanasan karena t
Adila berusaha tenang. Dibalasnya pelukan Zahira lembut. “Maaf,” ucap Bagas seketika. Tampak ekspresi tak nyaman di wajah pria itu.Hanya saja, Zahira kembali berbicara, "Tapi, Pa. Mulai sekarang, aku mau panggil Bu Guru, Mama.""Zahira jangan begitu," ucap Bagas cepat.Pria itu bahkan segera melepaskan tangan Zahira yang memeluk Adila. “Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih. Kami harus segera pulang,” pamit Bagas cepat.Adila pun mengangguk.Melihat itu, Bagas segera menggendong putri kecilnya ke mobil lalu menuju ke rumah mereka.Cukup lama, Zahira berceloteh tentang Adila sebelum akhirnya anak itu tertidur.“Hah,” hela nafas Bagas setelahnya.Dipandanginya wajah sang putri yang masih sangat polos dan menggemaskan itu.Sejujurnya, Ia tak menyangka. Niatnya memberikan kebahagiaan pada Zahira selama ini, justru melukainya. Entah apa jadinya, jika Bu Guru Adila tidak mengungkapkannya. Mungkin, ia akan menjadi sosok ayah yang jahat selama hidup Zahira tanpa ia ketahui.Tiba-tiba ia
"Wah, Zahira panggil Bu Guru, Mama? Emang, Bu Guru itu mamamu apa?" celetuk teman yang duduk di bangku sebelah Zahira.Namun, anak itu tak menunjukkan rasa terganggu. Dengan bangga, ia justru berkata, "Iya. Bu Guru ini calon mamaku."Adila yang awalnya terkejut, seketika tertawa mendengar perkataan Zahira pada temannya. Baginya, ucapan anak itu terdengar seperti candaan.Lagi pula, gadis itu sudah memiliki tunangan sejak satu tahun lalu. Selain kepulangannya ke Indonesia untuk meneruskan yayasan ayahnya, Adila juga berencana menikah dalam waktu dekat. Terlebih, keluarga besar sudah menginginkan mereka untuk mempercepat acara pernikahan karena mereka khawatir jika jarak pertunangan dengan pernikahan terlalu lama–dapat menyebabkan keretakan hubungan. Bahkan, bisa gagal menuju pelaminan.***Waktu berlalu cepat.Suasana pulang sekolah begitu ramai. Para murid berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing dengan rapi, sedangkan orang tua mereka juga sudah banyak yang datang–menunggu
"Bu Adila, apa Ibu melihat Zahira pulang?"Ucapan Bagas membuat wanita itu terkejut. Rasanya, Zahira sudah tampak lebih tenang dan hubungan ayah-anak itu semakin dekat. Tapi, mengapa tiba-tiba pria itu tak dapat menemukan putrinya?"Tidak, saya baru selesai meeting,” ucap Adila cepat, “apa terjadi sesuatu dengan Zahira, Pak?""Zahira tidak ada di sekolah, Bu. Saya tidak bisa menemukan anak saya," panik Bagas.Melihat itu, Adila menarik napas dalam. "Tenang ya Pak, mari kita coba cari bersama."Sejurus kemudian, keduanya bertanya pada beberapa orang tua murid yang masih ada di sekolah. Namun, mereka mengatakan sama sekali tidak melihat anak yang mereka maksud. Mereka juga bertanya pada beberapa teman Zahira dan murid yang seumuran lainnya, mungkin saja mereka tahu keberadaan Zahira. Sayangnya, mereka juga tak tahu.“Astaga!” Bagas mulai frustasi. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Zahira. “Bagaimana sistem keamanan di sekolah ini?”"Tolong dibenahi ya Bu. Ini sudah sangat fatal menurut
Tiga orang dewasa itu sontak terkejut serentak mendengar pertanyaan polos seorang bocah.Bagas langsung membekap mulut Zahira karena merasa tidak enak pada Nico dan Adila. “Maaf.”Sementara itu, Nico mengangkat kedua alisnya bingung memberi jawaban. Adila juga hanya bisa tersenyum canggung, khawatir Nico salah paham dengan pertanyaan gadis kecil itu.Entah mengapa, biasanya Adila merasa tidak keberatan anak itu terus menerus memanggilnya mama. Adila selalu menganggap itu hanya candaan seorang bocah. Namun kali ini, Adila merasa terganggu karena hal itu ternyata cukup serius untuk menjadi salah paham."Pak Bagas. Kami langsung pamit, ya.""Iya, Bu. Silahkan."Adila buru-buru menarik lengan Nico menuju mobilnya. Nico yang masih bingung hanya diam menurut. Keduanya kini sudah berada di mobil yang melesat menuju rumah Adila."Sayang, makasih ya udah jemput aku."Adila mencoba membuka percakapan agar tidak teringat dengan pertanyaan Zahira. Nico hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara
“Ma?”Adila seketika mengurai pelukan anak gadis itu. Tak lama, Bagas juga muncul di hadapan Adila. Pria itu hanya mengulas senyum untuk menyapanya.Dalam hatinya, Adila merasa cemas jika Nico datang dan melihatnya sedang bersama Bagas juga anaknya. Bisa-bisa Nico salah paham seperti semalam."Bu Adila, sedang menunggu jemputan?" tanya Bagas."Iya, Pak Bagas.""Papa, kita aja yang antar Mama pulang."Mendengar Zahira memanggilnya dengan sebutan Mama lagi, Adila hanya tersenyum canggung. Ia ingin menegur, tapi Adila paham memberi pengertian pada anak seusia Zahira tidaklah mudah.Bagas yang menangkap kecanggungan Adila, sontak berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan putrinya untuk memberi nasehat."Zahira, sayang. Bu Adila itu Bu Guru kamu. Jadi manggilnya harus Bu Guru ya. Jangan Mama."Suara lembut dan sikap kebapakan Bagas membuat Adila tersentuh. Rasa canggung dan kesal lenyap begitu saja. Adila bahkan merasa dirinya berlebihan.Sementara itu, Zahira memanyunkan bibir mungilnya k
"Nico sudah dewasa. Bisa kok bersihin sendiri,” ucap Adila ketus.Mendengar itu, Vivian langsung menarik tangannya yang menempel di kemeja Nico dan pamit undur diri mempersilahkan mereka melanjutkan acara makan siang.Adila membuang pandangan dari Nico membuang nafas kasar. Ia meletakkan garpunya dan meminta Nico agar pulang saja menyudahi makan siangnya. Nico menuruti, ia tahu Adila tengah kesal padanya karena kejadian barusan.Tunangannya itu memang pria yang sangat baik dan ramah pada semua orang. Tidak peduli pria atau wanita. Tidak jarang membuat wanita salah paham atas sifatnya, yang mengira Nico suka pada mereka."Sayang, kamu marah?" tanya Nico.Adila bergeming. Ia semakin kesal pada tunangannya itu.Sudah jelas dirinya merasa kesal, bagaimana bisa di masih bertanya. Seharusnya dia sudah tahu dan langsung membujuk nya."Aku yang cuma ngobrol sama Bagas papanya Zahira aja kamu nggak suka. Lalu kejadian tadi, menurutmu aku gimana?" tanya Adila balik."Iya, maaf. Aku nggak akan