Telingaku menangkap suara orang yang memanggil namaku berulang kali. Suaranya terdengar tidak begitu jelas, tetapi aku yakin jika dia atau mereka memanggilku.
Aku tersadar dari lamunanku. Kupijat keningku yang pusing sekali, rasanya kepalaku akan pecah. Mataku berusaha menyesuaikan cahaya terang yang menghampari diriku.
Begitu aku dapat melihat dengan jelas, kusadari diriku berada di suatu ruangan yang tidak begitu luas. Ruangan berbentuk persegi panjang ini memiliki lantai dan dinding yang terbuat dari papan kayu dan perabotan yang sederhana.
Tak begitu jauh dariku ada seseorang yang duduk di atas kursi kayu yang berada di depan perapian dan beberapa meter di sisi kiriku juga ada seseorang yang berdiri di depan tungku yang menyala.
Aku berdiri dari sofa dan melihat-lihat tempat ini. 'Entah kenapa aku merasa familier dengan tempat ini. Dimana aku pernah melihatnya? Apa sebelumnya aku sudah pernah berada di tempat ini?'
Kutatap punggung orang yang d
Mimpi buruk itu terus menghantuiku selama beberapa hari. Setelah pemberontakan Fylax terselesaikan dengan kemenangan dari pemerintah pun mimpi itu masih berlanjut. Bahkan mimpi buruk itu jauh lebih mengerikan seusai kekalahan Fylax kali ini.Tidak hanya 'hantu' kakek dan nenek saja yang terus mengganggu tidur malamku, orang-orang tak berdosa yang menjadi korban dalam peristiwa itu pun ikut meramaikan mimpi buruk ini."Trystan, kenapa mukamu pucat begitu? Kamu sakit?" tanya Layla yang duduk di seberang mejaku. Beberapa hari ini aku selalu bersama dengannya karena ditugaskan untuk menjadi pengawalnya.Di situasi yang masih belum stabil ini, tidak aman baginya untuk tidak didampingi oleh penjaga karena Fylax terus mencari kesempatan untuk melukai bahkan membunuh anggota Quattor yang merupakan dewan eksekutif atau pemerintah negara ini."Hanya sakit kepala saja," jawabku sambil memijat keningku yang nyut-nyutan karena kurang tidur. Layla berdehem lalu mengali
Aku menganggukkan kepalaku menerima tawarannya. Entah kenapa aku merasa informasi tentang eksperimen itu penting untukku walau sepertinya hal itu tidak ada hubungannya denganku."Puluhan tahun yang lalu, ada sebuah fasilitas yang dibangun untuk menciptakan 'Arte buatan' dengan menggunakan bayi yang belum membangkitkan 'Arte'-nya.Mereka dikurung di fasilitas itu dan harus menjalani banyak percobaan yang menyakitkan. Tak heran ada beberapa anak yang meninggal. Lalu-" penjelasan Layla terputus karena aku memotong perkataannya."Tunggu dulu, darimana kamu bisa tahu semua itu? Bahkan sampai sedetail itu?" tanyaku dengan curiga.Layla terdiam sejenak dan menundukkan kepalanya. Tangannya yang dilipat di atas meja tampak sedikit bergetar. Dia menarik napas panjang-panjang lalu menghembuskannya.Layla mengangkat kepalanya dan memandang ke arahku. Raut muka yang terpasang pada wajahnya membuatku diam membisu. Ekspresi itu menampakkan sebuah senyuman, tetapi
"Tapi karena perjanjianku dengan Nona Tabella, mau tidak mau aku harus melakukannya," lanjut Layla yang membuatku tercengang. Itu artinya dia akan menjalankan rencana yang tidak berperikemanusiaan itu dan membiarkan dirinya menjadi kaki tangan pemerintah yang berperan sebagai dalang yang mengendalikan orang lain seperti boneka."Sebenarnya apa yang akan kamu dapatkan dari perjanjian itu sampai-sampai kamu setuju untuk menjalankan rencana itu?" tanyaku heran. Layla terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaanku."Jawab aku, Layla," desakku memaksanya untuk segera menjawab pertanyaanku. Kutatap Layla yang memandangku dengan ekspresi seperti orang yang sedang menahan tangis.Aku menghenbuskan napas kasar dan berkata, "Kalau kamu tidak mau menjawabnya maka tidak perlu menjawab pertanyaanku. Lupakan saja pertanyaanku tadi." Aku berdiri dari dudukku lalu melangkah menuju pintu keluar, tetapi suara Layla menghentikan langkahku."Aku mendapatkan jaminan kebebasanm
Setelah mengantar Layla ke kamarnya, aku meninggalkannya di sana bersama beberapa pengawal perempuan yang berjaga di sekitar ruang tidurnya. Kuharap orang-orang itu mampu menjaga Layla selama aku tidak ada di sisinya. Sungguh memalukan jika pasukan elit itu gagal dalam melindungi atasannya.Aku berjalan menyusuri lorong menuju kantor Nona Tabella. Sebenarnya sebisa mungkin aku tidak ingin berurusan dengan wanita itu, tetapi karena ini hal yang sangat penting makanya aku harus menemuinya walau aku benci padanya.Beberapa menit telah berlalu. Aku berjalan menelusuri lorong yang panjang yang berlika-liku ini. Akhirnya aku tiba di tempat tujuan setelah cukup lama berjalan kaki. "Kenapa sih bangunan ini luas sekali? Kakiku jadi lemas karena harus berjalan sejauh ini," gerutuku sambil memegangi bagian belakang lututku yang terasa pegal.Kugenggam gagang pintu yang terbuat dari emas lalu mendorongnya. Papan putih di depanku terbuka lebar dan menampakkan isi ruangan yan
Sepertinya dia akan tetap menjalankan rencananya walau ditentang oleh banyak orang. Dengan sikapnya yang keras kepala ini, tidak ada gunanya untukku mencoba membuatnya berubah pikiran, sampai mulutku berbusa pun dia tidak akan mengubah pikirannya."Karena aku sudah menolak tawaranmu, sekarang pergilah sebelum aku memanggil orang untuk menyeretmu keluar," usirnya dengan nada sombong dan merendahkan diriku.Aku menghembuskan napas kasar lalu membalikkan badanku dan berjalan menuju pintu. Kubuka pintu itu lalu melangkah keluar dari kantornya.Aku beranjak dari tempat ini dan berjalan menyusuri lorong yang panjang ini lagi. 'Kalau aku tidak bisa membuat Nona Tabella membatalkan rencananya, lebih baik aku bujuk Layla untuk tidak menjalankan rencana itu.'Tibalah aku di depan ruang tidur Layla. Ada 4 orang berseragam biru navy berjaga di depan pintu ruangan itu. Mereka membiarkanku masuk ke dalam ruangan yang mereka jaga tanpa bertanya apa-apa.Menjadi o
Bulu mata wanita yang berbaring di sampingku bergetar. Dia tampak berusaha membuka matanya dan terbangun dari mimpi buruknya, mungkin.Selama beberapa menit aku duduk diam di tepi ranjangnya dan mengamati dirinya yang tak kunjung sadarkan diri, dia terus mengerutkan dahinya dan bergumam tidak jelas. Tidak hanya itu, keringat dingin juga bercucuran keluar dari pori-pori wajahnya.Matanya terbuka dengan lebar lalu dia bangun dari posisi tidurnya. Dia terduduk dengan tegak, terlihat tegang dan berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Tampaknya dia tidak menyadari keberadaanku yang daritadi duduk di samping kanannya."Ternyata itu mimpi ...," gumamnya sambil menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Tangannya mengelus-elus dadanya yang sesak.Manik biru pucatnya mengarah ke kanan, memandangku dengan terkejut. Dia tersentak kaget dan langsung menarik dirinya menjauh dariku. "Trystan?!" pekiknya yang baru saja menyadari kehadiranku.Aku berdiri da
Beberapa hari telah berlalu, intensitas serangan dari Fylax kian berkurang hingga sama sekali tidak ada penyerangan dari mereka lagi. Itu berarti tidak lama lagi aku tak akan dibutuhkan lagi untuk mengawal Layla.Saat ini aku dan Layla sedang berjalan-jalan di taman istana. Dia terlihat bersemangat melangkah melewati semak bunga sambil mencabuti beberapa pucuk bunga dan menghirup aroma harum dan segar tanaman itu.Setelah hampir 2 minggu dia tidak diizinkan untuk keluar dari gedung istana, jelas dia sangat merindukan dunia luar yang indah. Kutatap punggungnya yang berjalan di depanku sembari menarik sebuah senyuman pada bibirku.Dia menari dengan bahagianya sambil memeluk rangkaian bunga berwarna-warni. Rambut panjangnya berkibar seperti bendera saat diterpa oleh angin yang sejuk dan menyegarkan.Layla menghentikan langkahnya dan mendongakkan kepalanya ke atas. "Ah, akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi." Dia berbicara pada dirinya sendiri dengan n
Aku tercengang saat baru saja mengetahui bahwa Layla tidak lagi dapat menggunakan 'Arte'-nya untuk mengendalikan pikiran orang lain tanpa izin atau perintah dari Quattor. Bahkan sekarang dia lebih dibatasi daripada saat aku masih berada di bawah kontrak Treis."Bukannya kamu juga anggota Quattor? Tapi sepertinya posisimu berada di bawah mereka, ya?" komentarku menanggapi penjelasannya.Layla hanya tersenyum hambar setelah mendengar komentarku. "Ya, jabatan ini hanyalah pajangan, padahal aslinya aku ini tidak lebih dari boneka mereka."Aku terdiam mendengarnya menyebut dirinya sebagai boneka Quattor. Kutundukkan kepalaku dan mengepal tanganku.Aku dapat mengerti dengan maksud perkataannya itu karena dulu aku juga pernah memiliki pemikiran yang sama sepertinya, tetapi tidak lagi sejak aku terlepas dari kontrak itu."Aku ini hanyalah boneka dalang yang memainkan boneka lainnya untuk mereka," lanjutnya dengan suara kecil yang nyaris tak terdengar
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s