Mimpi buruk itu terus menghantuiku selama beberapa hari. Setelah pemberontakan Fylax terselesaikan dengan kemenangan dari pemerintah pun mimpi itu masih berlanjut. Bahkan mimpi buruk itu jauh lebih mengerikan seusai kekalahan Fylax kali ini.
Tidak hanya 'hantu' kakek dan nenek saja yang terus mengganggu tidur malamku, orang-orang tak berdosa yang menjadi korban dalam peristiwa itu pun ikut meramaikan mimpi buruk ini.
"Trystan, kenapa mukamu pucat begitu? Kamu sakit?" tanya Layla yang duduk di seberang mejaku. Beberapa hari ini aku selalu bersama dengannya karena ditugaskan untuk menjadi pengawalnya.
Di situasi yang masih belum stabil ini, tidak aman baginya untuk tidak didampingi oleh penjaga karena Fylax terus mencari kesempatan untuk melukai bahkan membunuh anggota Quattor yang merupakan dewan eksekutif atau pemerintah negara ini.
"Hanya sakit kepala saja," jawabku sambil memijat keningku yang nyut-nyutan karena kurang tidur. Layla berdehem lalu mengali
Aku menganggukkan kepalaku menerima tawarannya. Entah kenapa aku merasa informasi tentang eksperimen itu penting untukku walau sepertinya hal itu tidak ada hubungannya denganku."Puluhan tahun yang lalu, ada sebuah fasilitas yang dibangun untuk menciptakan 'Arte buatan' dengan menggunakan bayi yang belum membangkitkan 'Arte'-nya.Mereka dikurung di fasilitas itu dan harus menjalani banyak percobaan yang menyakitkan. Tak heran ada beberapa anak yang meninggal. Lalu-" penjelasan Layla terputus karena aku memotong perkataannya."Tunggu dulu, darimana kamu bisa tahu semua itu? Bahkan sampai sedetail itu?" tanyaku dengan curiga.Layla terdiam sejenak dan menundukkan kepalanya. Tangannya yang dilipat di atas meja tampak sedikit bergetar. Dia menarik napas panjang-panjang lalu menghembuskannya.Layla mengangkat kepalanya dan memandang ke arahku. Raut muka yang terpasang pada wajahnya membuatku diam membisu. Ekspresi itu menampakkan sebuah senyuman, tetapi
"Tapi karena perjanjianku dengan Nona Tabella, mau tidak mau aku harus melakukannya," lanjut Layla yang membuatku tercengang. Itu artinya dia akan menjalankan rencana yang tidak berperikemanusiaan itu dan membiarkan dirinya menjadi kaki tangan pemerintah yang berperan sebagai dalang yang mengendalikan orang lain seperti boneka."Sebenarnya apa yang akan kamu dapatkan dari perjanjian itu sampai-sampai kamu setuju untuk menjalankan rencana itu?" tanyaku heran. Layla terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaanku."Jawab aku, Layla," desakku memaksanya untuk segera menjawab pertanyaanku. Kutatap Layla yang memandangku dengan ekspresi seperti orang yang sedang menahan tangis.Aku menghenbuskan napas kasar dan berkata, "Kalau kamu tidak mau menjawabnya maka tidak perlu menjawab pertanyaanku. Lupakan saja pertanyaanku tadi." Aku berdiri dari dudukku lalu melangkah menuju pintu keluar, tetapi suara Layla menghentikan langkahku."Aku mendapatkan jaminan kebebasanm
Setelah mengantar Layla ke kamarnya, aku meninggalkannya di sana bersama beberapa pengawal perempuan yang berjaga di sekitar ruang tidurnya. Kuharap orang-orang itu mampu menjaga Layla selama aku tidak ada di sisinya. Sungguh memalukan jika pasukan elit itu gagal dalam melindungi atasannya.Aku berjalan menyusuri lorong menuju kantor Nona Tabella. Sebenarnya sebisa mungkin aku tidak ingin berurusan dengan wanita itu, tetapi karena ini hal yang sangat penting makanya aku harus menemuinya walau aku benci padanya.Beberapa menit telah berlalu. Aku berjalan menelusuri lorong yang panjang yang berlika-liku ini. Akhirnya aku tiba di tempat tujuan setelah cukup lama berjalan kaki. "Kenapa sih bangunan ini luas sekali? Kakiku jadi lemas karena harus berjalan sejauh ini," gerutuku sambil memegangi bagian belakang lututku yang terasa pegal.Kugenggam gagang pintu yang terbuat dari emas lalu mendorongnya. Papan putih di depanku terbuka lebar dan menampakkan isi ruangan yan
Sepertinya dia akan tetap menjalankan rencananya walau ditentang oleh banyak orang. Dengan sikapnya yang keras kepala ini, tidak ada gunanya untukku mencoba membuatnya berubah pikiran, sampai mulutku berbusa pun dia tidak akan mengubah pikirannya."Karena aku sudah menolak tawaranmu, sekarang pergilah sebelum aku memanggil orang untuk menyeretmu keluar," usirnya dengan nada sombong dan merendahkan diriku.Aku menghembuskan napas kasar lalu membalikkan badanku dan berjalan menuju pintu. Kubuka pintu itu lalu melangkah keluar dari kantornya.Aku beranjak dari tempat ini dan berjalan menyusuri lorong yang panjang ini lagi. 'Kalau aku tidak bisa membuat Nona Tabella membatalkan rencananya, lebih baik aku bujuk Layla untuk tidak menjalankan rencana itu.'Tibalah aku di depan ruang tidur Layla. Ada 4 orang berseragam biru navy berjaga di depan pintu ruangan itu. Mereka membiarkanku masuk ke dalam ruangan yang mereka jaga tanpa bertanya apa-apa.Menjadi o
Bulu mata wanita yang berbaring di sampingku bergetar. Dia tampak berusaha membuka matanya dan terbangun dari mimpi buruknya, mungkin.Selama beberapa menit aku duduk diam di tepi ranjangnya dan mengamati dirinya yang tak kunjung sadarkan diri, dia terus mengerutkan dahinya dan bergumam tidak jelas. Tidak hanya itu, keringat dingin juga bercucuran keluar dari pori-pori wajahnya.Matanya terbuka dengan lebar lalu dia bangun dari posisi tidurnya. Dia terduduk dengan tegak, terlihat tegang dan berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Tampaknya dia tidak menyadari keberadaanku yang daritadi duduk di samping kanannya."Ternyata itu mimpi ...," gumamnya sambil menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Tangannya mengelus-elus dadanya yang sesak.Manik biru pucatnya mengarah ke kanan, memandangku dengan terkejut. Dia tersentak kaget dan langsung menarik dirinya menjauh dariku. "Trystan?!" pekiknya yang baru saja menyadari kehadiranku.Aku berdiri da
Beberapa hari telah berlalu, intensitas serangan dari Fylax kian berkurang hingga sama sekali tidak ada penyerangan dari mereka lagi. Itu berarti tidak lama lagi aku tak akan dibutuhkan lagi untuk mengawal Layla.Saat ini aku dan Layla sedang berjalan-jalan di taman istana. Dia terlihat bersemangat melangkah melewati semak bunga sambil mencabuti beberapa pucuk bunga dan menghirup aroma harum dan segar tanaman itu.Setelah hampir 2 minggu dia tidak diizinkan untuk keluar dari gedung istana, jelas dia sangat merindukan dunia luar yang indah. Kutatap punggungnya yang berjalan di depanku sembari menarik sebuah senyuman pada bibirku.Dia menari dengan bahagianya sambil memeluk rangkaian bunga berwarna-warni. Rambut panjangnya berkibar seperti bendera saat diterpa oleh angin yang sejuk dan menyegarkan.Layla menghentikan langkahnya dan mendongakkan kepalanya ke atas. "Ah, akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi." Dia berbicara pada dirinya sendiri dengan n
Aku tercengang saat baru saja mengetahui bahwa Layla tidak lagi dapat menggunakan 'Arte'-nya untuk mengendalikan pikiran orang lain tanpa izin atau perintah dari Quattor. Bahkan sekarang dia lebih dibatasi daripada saat aku masih berada di bawah kontrak Treis."Bukannya kamu juga anggota Quattor? Tapi sepertinya posisimu berada di bawah mereka, ya?" komentarku menanggapi penjelasannya.Layla hanya tersenyum hambar setelah mendengar komentarku. "Ya, jabatan ini hanyalah pajangan, padahal aslinya aku ini tidak lebih dari boneka mereka."Aku terdiam mendengarnya menyebut dirinya sebagai boneka Quattor. Kutundukkan kepalaku dan mengepal tanganku.Aku dapat mengerti dengan maksud perkataannya itu karena dulu aku juga pernah memiliki pemikiran yang sama sepertinya, tetapi tidak lagi sejak aku terlepas dari kontrak itu."Aku ini hanyalah boneka dalang yang memainkan boneka lainnya untuk mereka," lanjutnya dengan suara kecil yang nyaris tak terdengar
Ruangan yang serba putih dengan sebuah meja bundar di tengah-tengahnya. Tempat yang terlihat familier dan penuh nostalgia tak mengenakan. Ruangan ini adalah aula pertemuan, dimana pelaksanaan sidang Treis, yang sekarang berubah nama menjadi Quattor bertempat. Terdapat dua orang wanita bergaun serupa yang berwarna biru navy duduk di meja bundar itu. Dua kursi lainnya kosong karena ketidakhadiran dua anggota dewan lainnya. Aku hanya berdiri tegap di belakang Layla dan menyimak apa yang mereka bicarakan. Ternyata mereka membahas tentang kapan rencana 'itu' akan dilaksanakan. "Lebih cepat lebih baik sebelum ada yang mencoba menggagalkannya," tegas Nona Tabella sambil melemparkan tatapan tajam ke arahku. Kukerutkan alisku karena sepertinya dia menyinggung aku. "Tergesa-gesa itu tidak baik. Lebih baik kita merencanakannya sematang mungkin terlebih dahulu," saran Layla yang menolak untuk melaksanakan rencana itu secepat mungkin seperti yang diinginkan oleh N