Beberapa hari telah berlalu, intensitas serangan dari Fylax kian berkurang hingga sama sekali tidak ada penyerangan dari mereka lagi. Itu berarti tidak lama lagi aku tak akan dibutuhkan lagi untuk mengawal Layla.
Saat ini aku dan Layla sedang berjalan-jalan di taman istana. Dia terlihat bersemangat melangkah melewati semak bunga sambil mencabuti beberapa pucuk bunga dan menghirup aroma harum dan segar tanaman itu.
Setelah hampir 2 minggu dia tidak diizinkan untuk keluar dari gedung istana, jelas dia sangat merindukan dunia luar yang indah. Kutatap punggungnya yang berjalan di depanku sembari menarik sebuah senyuman pada bibirku.
Dia menari dengan bahagianya sambil memeluk rangkaian bunga berwarna-warni. Rambut panjangnya berkibar seperti bendera saat diterpa oleh angin yang sejuk dan menyegarkan.
Layla menghentikan langkahnya dan mendongakkan kepalanya ke atas. "Ah, akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi." Dia berbicara pada dirinya sendiri dengan n
Aku tercengang saat baru saja mengetahui bahwa Layla tidak lagi dapat menggunakan 'Arte'-nya untuk mengendalikan pikiran orang lain tanpa izin atau perintah dari Quattor. Bahkan sekarang dia lebih dibatasi daripada saat aku masih berada di bawah kontrak Treis."Bukannya kamu juga anggota Quattor? Tapi sepertinya posisimu berada di bawah mereka, ya?" komentarku menanggapi penjelasannya.Layla hanya tersenyum hambar setelah mendengar komentarku. "Ya, jabatan ini hanyalah pajangan, padahal aslinya aku ini tidak lebih dari boneka mereka."Aku terdiam mendengarnya menyebut dirinya sebagai boneka Quattor. Kutundukkan kepalaku dan mengepal tanganku.Aku dapat mengerti dengan maksud perkataannya itu karena dulu aku juga pernah memiliki pemikiran yang sama sepertinya, tetapi tidak lagi sejak aku terlepas dari kontrak itu."Aku ini hanyalah boneka dalang yang memainkan boneka lainnya untuk mereka," lanjutnya dengan suara kecil yang nyaris tak terdengar
Ruangan yang serba putih dengan sebuah meja bundar di tengah-tengahnya. Tempat yang terlihat familier dan penuh nostalgia tak mengenakan. Ruangan ini adalah aula pertemuan, dimana pelaksanaan sidang Treis, yang sekarang berubah nama menjadi Quattor bertempat. Terdapat dua orang wanita bergaun serupa yang berwarna biru navy duduk di meja bundar itu. Dua kursi lainnya kosong karena ketidakhadiran dua anggota dewan lainnya. Aku hanya berdiri tegap di belakang Layla dan menyimak apa yang mereka bicarakan. Ternyata mereka membahas tentang kapan rencana 'itu' akan dilaksanakan. "Lebih cepat lebih baik sebelum ada yang mencoba menggagalkannya," tegas Nona Tabella sambil melemparkan tatapan tajam ke arahku. Kukerutkan alisku karena sepertinya dia menyinggung aku. "Tergesa-gesa itu tidak baik. Lebih baik kita merencanakannya sematang mungkin terlebih dahulu," saran Layla yang menolak untuk melaksanakan rencana itu secepat mungkin seperti yang diinginkan oleh N
"Huh? Maksudnya pikiranku juga harus dikendalikan?!" tanyaku yang terkejut mendengarnya mengatakan tak terkecuali aku. Nona Tabella menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaanku.Layla bangkit berdiri dari kursinya lagi dan merentangkan tangan kanannya seolah-olah melindungiku yang berada di belakangnya."Bu-bukankah Anda telah berjanji agar Trystan dapat memiliki kebebasan? Dapat hidup tanpa terikat dengan kontrak lagi?" protes Layla sedikit terbata-bata karena keterkejutannya.Nona Tabella tersenyum menyeringai dan menatap kami dengan tatapan merendahkan. "Ada yang salah? Saya memang berjanji untuk membiarkan Trystan hidup tanpa terikat dengan kontrak," balasnya dengan penekanan pada akhir kalimatnya."Itu berarti, mengendalikan pikirannya tidak ada hubungannya dengan perjanjian kita. Karena itu adalah 'mengendalikan pikiran', bukan 'mengikat kontrak'," lanjutnya dengan penekanan pada beberapa frasa.Aku tidak mengerti tentang apa yang Nona tab
Aku melepaskan kepalan tanganku dan mendengus kesal. ' 'Ini semua demi negara kita' katanya? Manusia munafik.'Mengendalikan pikiran rakyatnya itu bukan untuk kebaikan negara, tapi untuk keuntungannya sendiri supaya semua orang bergerak sesuai kehendaknya.'Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku membuatku tersadar dari lamunanku. Suara itu berasal dari Layla yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri."Trystan, ayo kita keluar," ajaknya sambil menunjuk pintu keluar dengan jari jempolnya. Kuanggukkan kepalaku dan mengayunkan kakiku ke arahnya.Lebih baik kami pergi dari sini. Terlalu lama berada di tempat ini membuatku pengap. Walaupun ruangan ini begitu luas dan kosong, ini malah membuatku merasa sesak karena kenangan buruk yang kualami 13 tahun lalu.Kami melangkah keluar dari aula pertemuan dan berjalan menuju entah kemana. Aku tidak bertanya kepada Layla kemana kami akan pergi karena kelihatannya dia tenggelam dalam pikirannya.Ti
Layla hanya berdiri diam di depanku, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Kuhela napas frustrasi dan menggeleng-gelengkan kepalaku."Sepertinya tadi aku terbawa suasana, tolong lupakan saja apa yang barusan kukatakan," pintaku kepada Layla yang masih tak bergeming.Keheningan ini membuatku merasa canggung. 'Ugh ... sekarang apa yang harus kukatakan? Diam-diaman seperti ini benar-benar mencanggungkan.'Akhirnya Layla membuka mulutnya dan memecahkan keheningan ini. "Kita bisa saja tetap bersama, tapi ...," ujarnya yang tidak diselesaikannya.Tanpa dia selesaikan kalimat itu pun aku sudah tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya."Pikiranmu harus dikendalikan sesuai dengan apa yang Nona Tabella kehendaki," lanjutnya dengan nada lirih. Sudah kuduga dia akan mengatakan itu.Aku tertawa mendengar perkataannya, bukan karena ada yang lucu dari perkataannya, tetapi karena menertawai diriku yang malang ini."Haha. Kamu benar. Kita memang bisa t
Dua hari kemudian, ini adalah hari terakhirku untuk tinggal di Istana Putih dan mengawal Layla. Tidak ada alasan bagiku tetap tinggal di sini lebih lama lagi.Semenjak perbincangan hari itu, yaitu saat aku mengatakan bahwa aku akan pergi dari negara ini, hubunganaku dengan Layla menjadi canggung. Contohnya saat ini, kami menghabiskan waktu di taman tanpa berbicara dengan satu dan yang lainnya.Kutatap punggungnya yang berada di depanku. Dia berjalan sambil memetik-metik bunga. 'Sepertinya dia memilih untuk tetap tinggal di sini. Sampai sekarang pun dia belum memberi tahuku kalau dia mengubah pikirannya.'Aku menarik senyum kecewa pada bibirku. 'Sayang sekali, besok aku akan pergi sendirian, padahal aku masih ingin berada di sisinya seperti sekarang, tapi aku tidak bisa memaksanya untuk ikut denganku.'Senyumam itu sirna dan berubah menjadi cemberut. 'Aku harus menghargai keputusannya.' Itulah yang terus kurapalkan dalam pikiranku, tetapi di lubuk hatiku y
Ruangan ini adalah kamar asrama pasukan elit yang berada tak begitu jauh dari gedung istana sehingga para personel dapat pulang-pergi tanpa menempuh jalan yang jauh.Aku menutup koper yang berisikan pakaian-pakaianku dengan rapat. Kutolehkan pandanganku ke kamar tidur yang tampak kosong ini. Ruangan yang hanya berperabotkan sebuah ranjang single bed, lemari, dan meja-kursi."Tiba juga hari terakhirku untuk menjadi pengawal Layla dan pergi dari sini, tapi benarkah ini yang kumau?" gumamku sambil menatap kosong ke luar jendela.Kualihkan pandanganku ke kedua telapak tanganku yang diletakkan di atas koper hitam. Tanganku mengepal dengan erat. "Pada akhirnya aku akan kembali sendirian."Aku berdiri dari posisiku yang berjongkok di lantai saat mengemasi barang bawaanku. Kuangkat koper yang berisikan barang-barangku dengan satu tangan lalu berjalan menuju yang berada di samping kiriku.Tangan kiriku menggenggam kenop pintu dan memutarnya. Kutarik pintu k
Kuserang lagi dia dengan lembing yang ada pada tangan kananku. Sengaja kubuat serangan itu meleset sehingga hanya menggores pipi kirinya. Cairan merah mulai keluar dari luka gores itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya. Darahnya menetes ke permukaan lantai yang putih bersih, sekarang marmer putih itu ternodai oleh cairan merah itu. "Sudah cukup aku bersabar atas segala penghinaan darimu, sekarang meja sudah terbalikkan," ujarku sambil tersenyum miring. Nona Tabella yang masih berada dalam posisi terduduk di lantai menatapku dengan syok. Dia tidak melakukan apa-apa ataupun mengeluarkan kata-kata pedas dari mulutnya lagi. "Kalau aku membunuhmu, rencana busukmu itu akan dibatalkan, kan?" tanyaku yang tidak mengharapkan jawabannya. Pertanyaan retoris itu hanya untuk menakut-nakutinya. Muka Nona Tabella memucat. Mata biru cerahnya bergetar dan pupil matanya mengecil. Melihat orang yang paling kubenci ketakutan terhadapku benar-benar memuaskan.
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s