Aku melepaskan kepalan tanganku dan mendengus kesal. ' 'Ini semua demi negara kita' katanya? Manusia munafik.
'Mengendalikan pikiran rakyatnya itu bukan untuk kebaikan negara, tapi untuk keuntungannya sendiri supaya semua orang bergerak sesuai kehendaknya.'
Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku membuatku tersadar dari lamunanku. Suara itu berasal dari Layla yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.
"Trystan, ayo kita keluar," ajaknya sambil menunjuk pintu keluar dengan jari jempolnya. Kuanggukkan kepalaku dan mengayunkan kakiku ke arahnya.
Lebih baik kami pergi dari sini. Terlalu lama berada di tempat ini membuatku pengap. Walaupun ruangan ini begitu luas dan kosong, ini malah membuatku merasa sesak karena kenangan buruk yang kualami 13 tahun lalu.
Kami melangkah keluar dari aula pertemuan dan berjalan menuju entah kemana. Aku tidak bertanya kepada Layla kemana kami akan pergi karena kelihatannya dia tenggelam dalam pikirannya.
Ti
Layla hanya berdiri diam di depanku, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Kuhela napas frustrasi dan menggeleng-gelengkan kepalaku."Sepertinya tadi aku terbawa suasana, tolong lupakan saja apa yang barusan kukatakan," pintaku kepada Layla yang masih tak bergeming.Keheningan ini membuatku merasa canggung. 'Ugh ... sekarang apa yang harus kukatakan? Diam-diaman seperti ini benar-benar mencanggungkan.'Akhirnya Layla membuka mulutnya dan memecahkan keheningan ini. "Kita bisa saja tetap bersama, tapi ...," ujarnya yang tidak diselesaikannya.Tanpa dia selesaikan kalimat itu pun aku sudah tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya."Pikiranmu harus dikendalikan sesuai dengan apa yang Nona Tabella kehendaki," lanjutnya dengan nada lirih. Sudah kuduga dia akan mengatakan itu.Aku tertawa mendengar perkataannya, bukan karena ada yang lucu dari perkataannya, tetapi karena menertawai diriku yang malang ini."Haha. Kamu benar. Kita memang bisa t
Dua hari kemudian, ini adalah hari terakhirku untuk tinggal di Istana Putih dan mengawal Layla. Tidak ada alasan bagiku tetap tinggal di sini lebih lama lagi.Semenjak perbincangan hari itu, yaitu saat aku mengatakan bahwa aku akan pergi dari negara ini, hubunganaku dengan Layla menjadi canggung. Contohnya saat ini, kami menghabiskan waktu di taman tanpa berbicara dengan satu dan yang lainnya.Kutatap punggungnya yang berada di depanku. Dia berjalan sambil memetik-metik bunga. 'Sepertinya dia memilih untuk tetap tinggal di sini. Sampai sekarang pun dia belum memberi tahuku kalau dia mengubah pikirannya.'Aku menarik senyum kecewa pada bibirku. 'Sayang sekali, besok aku akan pergi sendirian, padahal aku masih ingin berada di sisinya seperti sekarang, tapi aku tidak bisa memaksanya untuk ikut denganku.'Senyumam itu sirna dan berubah menjadi cemberut. 'Aku harus menghargai keputusannya.' Itulah yang terus kurapalkan dalam pikiranku, tetapi di lubuk hatiku y
Ruangan ini adalah kamar asrama pasukan elit yang berada tak begitu jauh dari gedung istana sehingga para personel dapat pulang-pergi tanpa menempuh jalan yang jauh.Aku menutup koper yang berisikan pakaian-pakaianku dengan rapat. Kutolehkan pandanganku ke kamar tidur yang tampak kosong ini. Ruangan yang hanya berperabotkan sebuah ranjang single bed, lemari, dan meja-kursi."Tiba juga hari terakhirku untuk menjadi pengawal Layla dan pergi dari sini, tapi benarkah ini yang kumau?" gumamku sambil menatap kosong ke luar jendela.Kualihkan pandanganku ke kedua telapak tanganku yang diletakkan di atas koper hitam. Tanganku mengepal dengan erat. "Pada akhirnya aku akan kembali sendirian."Aku berdiri dari posisiku yang berjongkok di lantai saat mengemasi barang bawaanku. Kuangkat koper yang berisikan barang-barangku dengan satu tangan lalu berjalan menuju yang berada di samping kiriku.Tangan kiriku menggenggam kenop pintu dan memutarnya. Kutarik pintu k
Kuserang lagi dia dengan lembing yang ada pada tangan kananku. Sengaja kubuat serangan itu meleset sehingga hanya menggores pipi kirinya. Cairan merah mulai keluar dari luka gores itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya. Darahnya menetes ke permukaan lantai yang putih bersih, sekarang marmer putih itu ternodai oleh cairan merah itu. "Sudah cukup aku bersabar atas segala penghinaan darimu, sekarang meja sudah terbalikkan," ujarku sambil tersenyum miring. Nona Tabella yang masih berada dalam posisi terduduk di lantai menatapku dengan syok. Dia tidak melakukan apa-apa ataupun mengeluarkan kata-kata pedas dari mulutnya lagi. "Kalau aku membunuhmu, rencana busukmu itu akan dibatalkan, kan?" tanyaku yang tidak mengharapkan jawabannya. Pertanyaan retoris itu hanya untuk menakut-nakutinya. Muka Nona Tabella memucat. Mata biru cerahnya bergetar dan pupil matanya mengecil. Melihat orang yang paling kubenci ketakutan terhadapku benar-benar memuaskan.
Saat ini aku berada di luar gedung istana. Lebih tepatnya di dekat teras belakang. Aku bersembunyi di antara pilar teras dan pepohonan taman.Menerobos keluar menghadapi ratusan personel pasukan elit negara akan sangat merepotkanku. Aku lebih memilih untuk menyelinap keluar daripada melalui pertarungan yang menguras energi dan tenaga.Orang-orang berseragam biru navy berlalu-lalang mencari aku. Kudengar keluh kesah dan gosip yang mereka keluarkan saat berjalan melewati tempatku bersembunyi."Sial, padahal belakangan ini kita bisa bersantai karena Fylax sudah berhenti menyerang, kenapa sekarang malah ada keributan begini sih? Merepotkan saja.""Kudengar pengkhianat itu adalah pengawal pribadinya Nona Layla. Jangan-jangan Nona Layla juga terlibat dalan masalah ini?""Tidak mungkin lah. Nona Layla itu ramah, perhatian, dan tulus. Tidak mungkin beliau adalah komplotan dari pengkhianat itu. Pasti itu kebetulan saja pengkhianat itu menjadi pengawalnya No
Layla mengikuti sandiwara ini dengan baik. Dia tidak melakukan gerakan sedikit pun agar pisau yang kuarahkan ke lehernya tidak melukai dia.Kujauhkan senjata tajam ini beberapa centimeter dari lehernya untuk memberikan ruang baginya sedangkan lengan kiriku masih mengunci lehernya dengan erat."Kalau kamu mau ikut denganku, anggukkan kepalamu. Kalau tidak mau, gelengkan kepalamu," bisikku pada telinga kanannya dan tetap menatap tajam ke dua orang yang berdiri beberapa belas meter di depan kami.Layla menggelengkan kepalanya menjawab pilihan yang kuberikan kepadanya. Kuhembuskan napas pasrah setelah mendapatkan jawabannya.Aku tersenyum pahit. 'Pada akhirnya kamu tetap memilih untuk tetap tinggal di tempat ini.'Kedua personel pasukan elit tersentak kaget saat melihatku tiba-tiba tersenyum seperti ini, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa karena takut aku akan langsung menyerang Layla.Aku membuka mulutku untuk berbicara dengan kedua orang it
Beberapa menit telah berlalu sejak aku berhasil keluar dari area Istana Putih walau aku terpaksa harus melukai beberapa personel pasukan elit yang menghalangi jalanku. Bunyi sirene terdengar setiap menitnya. Mobil-mobil milik Custodia dan pasukan elit dikerahkan untuk mencari aku. Suasana ini mengingatkanku pada saat aku dan Layla kabur dari Ibu Kota untuk pertama kalinya. Aku membalikkan badanku dari balkon yang berada di lantai 3 ini karena sudah cukup melihat kondisi jalanan di bawah yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan yang mencariku. Tampak seorang pemuda yang tampak beberapa tahun lebih muda dariku berdiri tak jauh dariku. Dia bersandar pada bingkai pintu dan menyilangkan tangannya di dada. "Kenapa kamu menolongku?" tanyaku kepada pemuda itu. Dia adalah orang yang membantuku kabur dari Istana Putih. Dilihat dari seragam biru navy yang dia kenakan, sudah jelas dia merupakan personel pasukan elit negara. Lalu kenapa dia menolongku? Aku pu
Tiba-tiba aku terlempar keluar dari portal itu ke tempat yang tidak kuketahui. Sesuatu yang keras mengenai punggung dan kepalaku begitu dilempar keluar dari portal itu.Aku meringis kesakitan karena benturan yang cukup kuat itu. Kulihat portal yang membawaku ke tempat ini mengecil dan menghilang dari pandanganku."Apa-apaan ini ...?" heranku yang tidak tahu kenapa aku dibawa ke sini dan dimana ini. Kulihat ke sekelilingku yang kelihatannya seperti ruang keluarga.Ruangan yang tampak biasa saja dengan perabotan ruang keluarga pada umumnya, yakni sofa, meja, kursi, kabinet, televisi, dan dekorasi dinding yang tidak begitu ramai.Aku bangkit berdiri dari posisiku yang duduk berselonjor di lantai. Kurasakan rasa sakit pada punggung dan ubun-ubun kepalaku masih belum hilang juga."Sial, apa aku diculik? Siapa pula yang berani menculik orang yang sudah menyerang 2 orang anggota Quattor sepertiku?" gumamku sambil memperhatikan sekelilingku untuk mencari j
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s