Ruangan ini adalah kamar asrama pasukan elit yang berada tak begitu jauh dari gedung istana sehingga para personel dapat pulang-pergi tanpa menempuh jalan yang jauh.
Aku menutup koper yang berisikan pakaian-pakaianku dengan rapat. Kutolehkan pandanganku ke kamar tidur yang tampak kosong ini. Ruangan yang hanya berperabotkan sebuah ranjang single bed, lemari, dan meja-kursi.
"Tiba juga hari terakhirku untuk menjadi pengawal Layla dan pergi dari sini, tapi benarkah ini yang kumau?" gumamku sambil menatap kosong ke luar jendela.
Kualihkan pandanganku ke kedua telapak tanganku yang diletakkan di atas koper hitam. Tanganku mengepal dengan erat. "Pada akhirnya aku akan kembali sendirian."
Aku berdiri dari posisiku yang berjongkok di lantai saat mengemasi barang bawaanku. Kuangkat koper yang berisikan barang-barangku dengan satu tangan lalu berjalan menuju yang berada di samping kiriku.
Tangan kiriku menggenggam kenop pintu dan memutarnya. Kutarik pintu k
Kuserang lagi dia dengan lembing yang ada pada tangan kananku. Sengaja kubuat serangan itu meleset sehingga hanya menggores pipi kirinya. Cairan merah mulai keluar dari luka gores itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya. Darahnya menetes ke permukaan lantai yang putih bersih, sekarang marmer putih itu ternodai oleh cairan merah itu. "Sudah cukup aku bersabar atas segala penghinaan darimu, sekarang meja sudah terbalikkan," ujarku sambil tersenyum miring. Nona Tabella yang masih berada dalam posisi terduduk di lantai menatapku dengan syok. Dia tidak melakukan apa-apa ataupun mengeluarkan kata-kata pedas dari mulutnya lagi. "Kalau aku membunuhmu, rencana busukmu itu akan dibatalkan, kan?" tanyaku yang tidak mengharapkan jawabannya. Pertanyaan retoris itu hanya untuk menakut-nakutinya. Muka Nona Tabella memucat. Mata biru cerahnya bergetar dan pupil matanya mengecil. Melihat orang yang paling kubenci ketakutan terhadapku benar-benar memuaskan.
Saat ini aku berada di luar gedung istana. Lebih tepatnya di dekat teras belakang. Aku bersembunyi di antara pilar teras dan pepohonan taman.Menerobos keluar menghadapi ratusan personel pasukan elit negara akan sangat merepotkanku. Aku lebih memilih untuk menyelinap keluar daripada melalui pertarungan yang menguras energi dan tenaga.Orang-orang berseragam biru navy berlalu-lalang mencari aku. Kudengar keluh kesah dan gosip yang mereka keluarkan saat berjalan melewati tempatku bersembunyi."Sial, padahal belakangan ini kita bisa bersantai karena Fylax sudah berhenti menyerang, kenapa sekarang malah ada keributan begini sih? Merepotkan saja.""Kudengar pengkhianat itu adalah pengawal pribadinya Nona Layla. Jangan-jangan Nona Layla juga terlibat dalan masalah ini?""Tidak mungkin lah. Nona Layla itu ramah, perhatian, dan tulus. Tidak mungkin beliau adalah komplotan dari pengkhianat itu. Pasti itu kebetulan saja pengkhianat itu menjadi pengawalnya No
Layla mengikuti sandiwara ini dengan baik. Dia tidak melakukan gerakan sedikit pun agar pisau yang kuarahkan ke lehernya tidak melukai dia.Kujauhkan senjata tajam ini beberapa centimeter dari lehernya untuk memberikan ruang baginya sedangkan lengan kiriku masih mengunci lehernya dengan erat."Kalau kamu mau ikut denganku, anggukkan kepalamu. Kalau tidak mau, gelengkan kepalamu," bisikku pada telinga kanannya dan tetap menatap tajam ke dua orang yang berdiri beberapa belas meter di depan kami.Layla menggelengkan kepalanya menjawab pilihan yang kuberikan kepadanya. Kuhembuskan napas pasrah setelah mendapatkan jawabannya.Aku tersenyum pahit. 'Pada akhirnya kamu tetap memilih untuk tetap tinggal di tempat ini.'Kedua personel pasukan elit tersentak kaget saat melihatku tiba-tiba tersenyum seperti ini, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa karena takut aku akan langsung menyerang Layla.Aku membuka mulutku untuk berbicara dengan kedua orang it
Beberapa menit telah berlalu sejak aku berhasil keluar dari area Istana Putih walau aku terpaksa harus melukai beberapa personel pasukan elit yang menghalangi jalanku. Bunyi sirene terdengar setiap menitnya. Mobil-mobil milik Custodia dan pasukan elit dikerahkan untuk mencari aku. Suasana ini mengingatkanku pada saat aku dan Layla kabur dari Ibu Kota untuk pertama kalinya. Aku membalikkan badanku dari balkon yang berada di lantai 3 ini karena sudah cukup melihat kondisi jalanan di bawah yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan yang mencariku. Tampak seorang pemuda yang tampak beberapa tahun lebih muda dariku berdiri tak jauh dariku. Dia bersandar pada bingkai pintu dan menyilangkan tangannya di dada. "Kenapa kamu menolongku?" tanyaku kepada pemuda itu. Dia adalah orang yang membantuku kabur dari Istana Putih. Dilihat dari seragam biru navy yang dia kenakan, sudah jelas dia merupakan personel pasukan elit negara. Lalu kenapa dia menolongku? Aku pu
Tiba-tiba aku terlempar keluar dari portal itu ke tempat yang tidak kuketahui. Sesuatu yang keras mengenai punggung dan kepalaku begitu dilempar keluar dari portal itu.Aku meringis kesakitan karena benturan yang cukup kuat itu. Kulihat portal yang membawaku ke tempat ini mengecil dan menghilang dari pandanganku."Apa-apaan ini ...?" heranku yang tidak tahu kenapa aku dibawa ke sini dan dimana ini. Kulihat ke sekelilingku yang kelihatannya seperti ruang keluarga.Ruangan yang tampak biasa saja dengan perabotan ruang keluarga pada umumnya, yakni sofa, meja, kursi, kabinet, televisi, dan dekorasi dinding yang tidak begitu ramai.Aku bangkit berdiri dari posisiku yang duduk berselonjor di lantai. Kurasakan rasa sakit pada punggung dan ubun-ubun kepalaku masih belum hilang juga."Sial, apa aku diculik? Siapa pula yang berani menculik orang yang sudah menyerang 2 orang anggota Quattor sepertiku?" gumamku sambil memperhatikan sekelilingku untuk mencari j
Terdengar bunyi langkah kaki dari belakangku. Mataku terbuka lebar karena kaget, tidak menyangka ada orang lain di apartment ini. 'Bagaimana bisa ada orang lain di tempat ini? Padahal aku tidak mendengarkan bunyi pintu dibuka!'Sontak aku langsung membalikkan badanku untuk melihat siapa yang membuat bunyi itu. Tampak seorang pemuda yang kelihatan lebih muda beberapa tahun dariku, sepertinya dia berusia 18 tahun. Di samping itu, pakaian yang dia kenakan membuatku lebih kaget lagi.Kulihat penampilannya dari atas ke bawah. Pemuda itu mengenakan seragam biru navy yang khas. Lencana lambang negara juga terpasang pada bajunya. 'Itu ... seragam pasukan elit negara?!'Aku langsung memasang kuda-kuda siaga terhadap pemuda itu. 'Kalau dia bisa tiba-tiba muncul di dalam ruangan ini, kemungkinan besar dia adalah orang yang membawaku ke sini.'"Apa maumu?" tanyaku dengan tajam dan tanpa basa-basi.Dia hanya menatapku tanpa mengatakan apa-apa. Tak lama kemudian
Akhirnya dia menjawab pertanyaanku dengan serius. "Itu karena kita mempunyai tujuan yang sama."Aku menaikkan salah satu alisku karena heran. "Tujuan yang sama?" tanyaku mengulangi frasa yang dia ucapkan. Pemuda itu menganggukkan kepalanya.Dia balik bertanya kepadaku. "Kamu mau memberontak terhadap Quattor, kan? Makanya kamu menyerang dua orang anggotanya."Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Kubuka mulutku untuk menjawab pertanyaannya. "Ya, aku memang pernah berpikir untuk membalas dendam kepada pemerintah, tapi sekarang tujuanku bukan untuk balas dendam.""Tujuanku yang sekarang adalah untuk menghentikan rencana yang nanti akan mereka jalankan," lanjutku dengan penuh keyakinan dan tekad.Pemuda itu menjauh dari bingkai pintu, tempat dia bersandar. Dia melangkahkan kakinya menghampiriku.Aku tersadar jika aku sempat menurunkan pertahananku saat menjawab pertanyaannya tadi. Langsung kupasang lagi kuda-kuda bersiaga terhadapny
Aku menganggukkan kepalaku mengerti. 'Sabtu malam, ya ... berarti masih ada 4 hari lagi sebelum aku bisa bertemu dengan kelompoknya.'"Oke, kalau urusan kita sudah selesai, aku akan pergi," balasku sambil memegangi pagar balkon."Kemana kamu akan pergi di saat pasukan elit negara dan Custodia mencari kamu?" tanyanya yang membuatku tersadar. 'Benar juga. Aku tidak mungkin kembali ke asrama Custodia karena sekarang aku menjadi buronan mereka.'Aku terdiam, memikirkan kemana aku harus pergi. Tiba-tiba kudengar suara jentikkan jari yang berasal dari pemuda yang berdiri di depanku. "Bagaimana kalau kamu tinggal di apartemenku?" tawarnya yang membuatku melemparkan tatapan tajam kepadanya."Kita baru saja bertemu hari ini dan kamu menawarkanku untuk tinggal di apartemenmu?" tanyaku yang dijawab dengan anggukkan kepalanya. Dia menatapku dengan memelas seperti berharap jika aku akan menerima tawarannya.Aku menghembuskan napas panjang sebelum berkata, "Kita