Akhirnya dia menjawab pertanyaanku dengan serius. "Itu karena kita mempunyai tujuan yang sama."
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran. "Tujuan yang sama?" tanyaku mengulangi frasa yang dia ucapkan. Pemuda itu menganggukkan kepalanya.
Dia balik bertanya kepadaku. "Kamu mau memberontak terhadap Quattor, kan? Makanya kamu menyerang dua orang anggotanya."
Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Kubuka mulutku untuk menjawab pertanyaannya. "Ya, aku memang pernah berpikir untuk membalas dendam kepada pemerintah, tapi sekarang tujuanku bukan untuk balas dendam."
"Tujuanku yang sekarang adalah untuk menghentikan rencana yang nanti akan mereka jalankan," lanjutku dengan penuh keyakinan dan tekad.
Pemuda itu menjauh dari bingkai pintu, tempat dia bersandar. Dia melangkahkan kakinya menghampiriku.
Aku tersadar jika aku sempat menurunkan pertahananku saat menjawab pertanyaannya tadi. Langsung kupasang lagi kuda-kuda bersiaga terhadapny
Aku menganggukkan kepalaku mengerti. 'Sabtu malam, ya ... berarti masih ada 4 hari lagi sebelum aku bisa bertemu dengan kelompoknya.'"Oke, kalau urusan kita sudah selesai, aku akan pergi," balasku sambil memegangi pagar balkon."Kemana kamu akan pergi di saat pasukan elit negara dan Custodia mencari kamu?" tanyanya yang membuatku tersadar. 'Benar juga. Aku tidak mungkin kembali ke asrama Custodia karena sekarang aku menjadi buronan mereka.'Aku terdiam, memikirkan kemana aku harus pergi. Tiba-tiba kudengar suara jentikkan jari yang berasal dari pemuda yang berdiri di depanku. "Bagaimana kalau kamu tinggal di apartemenku?" tawarnya yang membuatku melemparkan tatapan tajam kepadanya."Kita baru saja bertemu hari ini dan kamu menawarkanku untuk tinggal di apartemenmu?" tanyaku yang dijawab dengan anggukkan kepalanya. Dia menatapku dengan memelas seperti berharap jika aku akan menerima tawarannya.Aku menghembuskan napas panjang sebelum berkata, "Kita
Kukendalikan keempat pedang yang terarah ke lehernya untuk menyerangnya. Pedang-pedang itu langsung bergerak menusuk badannya. Senjata tajam itu menusuk badannya, tetapi tidak ada sedikit pun darah yang mengucur keluar dari tubuhnya.Sebuah seringaian terbentuk pada bibirnya. Dia menyeringai kepadaku membuatku menyadari ada yang aneh dengannya. Aku melangkah mundur menjauhinya hingga punggungku bersentuhan dengan pagar balkon."Hahahahaha!! Seranganmu itu tidak ada rasanya kepadaku!" serunya sambil tertawa seperti orang gila.Dia beranjak dari tempatnya berdiri dan menerjang ke arahku. Senjata-senjata yang tadi menusuknya terlepas dari tubuhnya dan tetap melayang diam di tempatnya semula.Aku melebarkan mataku saat melihat tidak ada satu pun luka yang tampak pada tubuhnya, padahal aku yakin keempat pedang itu sudah menusuk badannya.Dia melemparkan sebuah tinjuan kepadaku. Kuhindari tinjuannya dengan mengelak ke kanan lalu menyerang balik dia denga
Pemuda itu menopang tubuhnya dengan kedua tangannya dan bangkit berdiri. Tidak kuberikan dia waktu untuk bersiap-siap menyerangku lagi, aku langsung menerjang ke arahnya.Kuhantam dia dengan pedang besar yang kugenggam dengan kedua tanganku. Akan tetapi, seraganku gagal melukainya karena pedangku menembus dia.Aku berdecak kesal karena seraganku tidak lagi mempan kepadanya. 'Sial, lagi-lagi dia tidak bisa diserang seperti ini ... sebenarnya bagaimana konsep kekuatannya itu?'Aku melangkah mundur menjauhinya dan memasang kuda-kuda berpedang lagi jika seandainya dia akan menyerangku. Kuperhatikan pemuda itu yang berdiri diam di tempatnya."Kalau begini apartemenku bisa hancur," gumamnya dengan nada datar."Lihat, lantai balkon ini retak semua. Bahkan pagar pun sampai berkeluk," kesalnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah kerusakan yang dibuat olehku.Aku merasa bersalah karena telah merusak properti orang, tetapi ini bukan waktunya untuk merasa be
Dia menggertakkan giginya. Matanya menatap tajam ke arahku. 'Apa hanya perasaanku saja, ya? Seharusnya dia tidak bisa melihatku di tempat yang gelap gulita ini.' Pemuda itu bangkit berdiri sambil merintih kesakitan. Sepasang mata yang berwarna emas terarah tepat ke arahku. Kaki kanannya bergeser ke belakang lalu dia beranjak dari tempatnya. Dia menerjang ke arahku dengan cepat. Aku tersentak kaget melihatnya yang berlari ke arahku. 'Ini bukan perasaanku saja. Dia benar-benar bisa melihatku. Bagaimana bisa dia melihat dalam kegelapan ini?' Kuayunkan tangan kananku dari kanan ke kiri untuk menghempaskannya lagi, tetapi seranganku gagal mengenainya. Dia menembus seranganku dan berlari lurus ke arahku. Dia mengayunkan tangannya secara vertikal. Seketika itu juga, dimensi kegelapanku terbelah menjadi dua. Cahaya dari luar menyeruak masuk ke dalam ruang hampa ini. Aku berdesis dan mengernyitkan mataku akibat cahaya yang menyilaukan itu. "Apa-apaan i
"Selanjutnya, aku ada di pihak ...," lanjutnya dengan menggantungkan perkataannya. Aku menaikkan salah satu alisku karena penasaran dengan jawaban lengkapnya."Fylax!" Dia langsung memutar badannya sehingga kuncian tangannya terlepas dariku. Dia membenturkan kepalanya pada kepalaku. Sontak aku langsung beranjak menjauh darinya.Aku meringis kesakitan dan memegangi keningku dengan telapak tanganku. Rasanya sakit sekali seperti dihantam dengan tongkat bisbol. "Sial ... tadi itu mendadak sekali ...," gerutuku yang dibalas dengan suara tawanya."Hahahahaha! Kamu terlalu meremehkanku. Ini akibatnya kalau meremehkan lawanmu," cela pemuda itu sambil tersenyum miring kepadaku.Aku melemparkan tatapan tajam ke arahnya dan menggertakkan gigiku. Beberapa detik kemudian, kuhembuskan napas panjang. 'Tenang, jangan terbawa emosi atau dia akan semakin kegirangan.'"Fylax ada dimana-mana, ya? Tidak hanya menyusup ke Custodia, bahkan ada yang menyusup ke pasukan el
Pemuda itu melemparkan tinjuannya ke arahku. Kuhindari serangannya dengan bergerak mendekatinya lalu menyerang balik, tetapi seranganku menembus tubuhnya. 'Bagaimana caraku menyerangnya kalau dia seperti hantu begini?!'Dia kembali menyerangku dengan tinjuannya. Aku melompat mundur untuk menghindari serangannya. Tinjuannya itu gagal mengenaiku dan malah mengenai lantai. Muncullah kawah berdiameter 1 meter pada permukaan lantai itu.Setelah mengamati teknik bertarungnya selama ini, aku sampai pada sebuah kesimpulan. Dia tipe penyerang jarak dekat dan sulit untuk diserang. Daya hancurnya juga mengerikan sekali melihat bagaimana dia bisa melenyapkan dimensi kegelapanku dan membolongi lantai apartemennya."Sombong sekali kamu sampai bisa melamun saat bertarung denganku!" serunya yang kini berada tepat di hadapanku. Dia menarik tangan kanannya ke belakang untuk memperkuat serangannya.Aku menciptakan perisai bayangan untuk memblokir serangannya lalu melompat k
"Apa yang akan kulakukan? Jawabannya sudah jelas, aku akan menghentikanmu," balasku dengan nada serius.Dia tertawa terbahak-bahak mendengar balasanku. "Menghentikanku? Itu pun kalau kamu bisa!" serunya meremehkanku.Kurasakan energi 'Arte' yang meluap dari tubuhnya semakin besar dan kuat. Aku harus segera menghentikannya karena firasatku mengatakan bahwa serangannya kali ini akan sangat berbahaya.Kakiku beranjak dari tempatnya berdiri, menerjang ke arahnya. Dia masih berdiri tegap di tempatnya dan sedang berkonsentrasi mengumpulkan semua kekuatannya untuk mengeluarkan serangan pemungkasnya.Aku menciptakan sebilah pedang pada genggaman tangan kananku. Aku melompat ke arahnya dan mengangkat senjata yang ada di genggaman tanganku ke atas kepalaku, bersiap untuk menyerangnya.Kuayunkan pedangku ke bawah, ke kepalanya. 'Aku tidak tahu apakah strategi ini akan berhasil, tapi kuharap ini bisa berhasil untuk meminimalisir bencana yang akan datang.'
Sudah sekitar 20 menit aku terbang menuju Laboratorium Pengendalian Arte, tempat dimana Prof. Horan bekerja, akhirnya aku sampai ke tempat tujuanku setelah melalui banyak rintangan yang mengadangi jalanku.Tak kusangka aku berpapasan dengan mobil Custodia saat sedang dalam perjalanan ke laboratorium. Mereka pun langsung mengejarku dan memanggil bala bantuan, untungnya mereka kehilangan jejakku saat aku memasuki hutan yang ada di kawasan laboratorium.Aku berjalan ke arah gerbang yang berada beberapa meter di depanku dengan tertatih-tatih. Napasku juga tersengal-sengal karena kelelahan. Aku telah menggunakan terlalu banyak energi dan tenaga untuk sampai ke sini. Tubuhku sudah mencapai batasnya.Kulihat sesosok orang yang mengenakan mantel lab putih berlari ke arahku dari balik gerbang itu. Orang yang berlari menghampiriku itu meneriakkan namaku dengan nada kaget dan khawatir. Suara bariton yang memanggil namaku itu terdengar familier di telingaku."Prof. H
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s