"Huh? Maksudnya pikiranku juga harus dikendalikan?!" tanyaku yang terkejut mendengarnya mengatakan tak terkecuali aku. Nona Tabella menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaanku.
Layla bangkit berdiri dari kursinya lagi dan merentangkan tangan kanannya seolah-olah melindungiku yang berada di belakangnya.
"Bu-bukankah Anda telah berjanji agar Trystan dapat memiliki kebebasan? Dapat hidup tanpa terikat dengan kontrak lagi?" protes Layla sedikit terbata-bata karena keterkejutannya.
Nona Tabella tersenyum menyeringai dan menatap kami dengan tatapan merendahkan. "Ada yang salah? Saya memang berjanji untuk membiarkan Trystan hidup tanpa terikat dengan kontrak," balasnya dengan penekanan pada akhir kalimatnya.
"Itu berarti, mengendalikan pikirannya tidak ada hubungannya dengan perjanjian kita. Karena itu adalah 'mengendalikan pikiran', bukan 'mengikat kontrak'," lanjutnya dengan penekanan pada beberapa frasa.
Aku tidak mengerti tentang apa yang Nona tab
Aku melepaskan kepalan tanganku dan mendengus kesal. ' 'Ini semua demi negara kita' katanya? Manusia munafik.'Mengendalikan pikiran rakyatnya itu bukan untuk kebaikan negara, tapi untuk keuntungannya sendiri supaya semua orang bergerak sesuai kehendaknya.'Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku membuatku tersadar dari lamunanku. Suara itu berasal dari Layla yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri."Trystan, ayo kita keluar," ajaknya sambil menunjuk pintu keluar dengan jari jempolnya. Kuanggukkan kepalaku dan mengayunkan kakiku ke arahnya.Lebih baik kami pergi dari sini. Terlalu lama berada di tempat ini membuatku pengap. Walaupun ruangan ini begitu luas dan kosong, ini malah membuatku merasa sesak karena kenangan buruk yang kualami 13 tahun lalu.Kami melangkah keluar dari aula pertemuan dan berjalan menuju entah kemana. Aku tidak bertanya kepada Layla kemana kami akan pergi karena kelihatannya dia tenggelam dalam pikirannya.Ti
Layla hanya berdiri diam di depanku, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Kuhela napas frustrasi dan menggeleng-gelengkan kepalaku."Sepertinya tadi aku terbawa suasana, tolong lupakan saja apa yang barusan kukatakan," pintaku kepada Layla yang masih tak bergeming.Keheningan ini membuatku merasa canggung. 'Ugh ... sekarang apa yang harus kukatakan? Diam-diaman seperti ini benar-benar mencanggungkan.'Akhirnya Layla membuka mulutnya dan memecahkan keheningan ini. "Kita bisa saja tetap bersama, tapi ...," ujarnya yang tidak diselesaikannya.Tanpa dia selesaikan kalimat itu pun aku sudah tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya."Pikiranmu harus dikendalikan sesuai dengan apa yang Nona Tabella kehendaki," lanjutnya dengan nada lirih. Sudah kuduga dia akan mengatakan itu.Aku tertawa mendengar perkataannya, bukan karena ada yang lucu dari perkataannya, tetapi karena menertawai diriku yang malang ini."Haha. Kamu benar. Kita memang bisa t
Dua hari kemudian, ini adalah hari terakhirku untuk tinggal di Istana Putih dan mengawal Layla. Tidak ada alasan bagiku tetap tinggal di sini lebih lama lagi.Semenjak perbincangan hari itu, yaitu saat aku mengatakan bahwa aku akan pergi dari negara ini, hubunganaku dengan Layla menjadi canggung. Contohnya saat ini, kami menghabiskan waktu di taman tanpa berbicara dengan satu dan yang lainnya.Kutatap punggungnya yang berada di depanku. Dia berjalan sambil memetik-metik bunga. 'Sepertinya dia memilih untuk tetap tinggal di sini. Sampai sekarang pun dia belum memberi tahuku kalau dia mengubah pikirannya.'Aku menarik senyum kecewa pada bibirku. 'Sayang sekali, besok aku akan pergi sendirian, padahal aku masih ingin berada di sisinya seperti sekarang, tapi aku tidak bisa memaksanya untuk ikut denganku.'Senyumam itu sirna dan berubah menjadi cemberut. 'Aku harus menghargai keputusannya.' Itulah yang terus kurapalkan dalam pikiranku, tetapi di lubuk hatiku y
Ruangan ini adalah kamar asrama pasukan elit yang berada tak begitu jauh dari gedung istana sehingga para personel dapat pulang-pergi tanpa menempuh jalan yang jauh.Aku menutup koper yang berisikan pakaian-pakaianku dengan rapat. Kutolehkan pandanganku ke kamar tidur yang tampak kosong ini. Ruangan yang hanya berperabotkan sebuah ranjang single bed, lemari, dan meja-kursi."Tiba juga hari terakhirku untuk menjadi pengawal Layla dan pergi dari sini, tapi benarkah ini yang kumau?" gumamku sambil menatap kosong ke luar jendela.Kualihkan pandanganku ke kedua telapak tanganku yang diletakkan di atas koper hitam. Tanganku mengepal dengan erat. "Pada akhirnya aku akan kembali sendirian."Aku berdiri dari posisiku yang berjongkok di lantai saat mengemasi barang bawaanku. Kuangkat koper yang berisikan barang-barangku dengan satu tangan lalu berjalan menuju yang berada di samping kiriku.Tangan kiriku menggenggam kenop pintu dan memutarnya. Kutarik pintu k
Kuserang lagi dia dengan lembing yang ada pada tangan kananku. Sengaja kubuat serangan itu meleset sehingga hanya menggores pipi kirinya. Cairan merah mulai keluar dari luka gores itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya. Darahnya menetes ke permukaan lantai yang putih bersih, sekarang marmer putih itu ternodai oleh cairan merah itu. "Sudah cukup aku bersabar atas segala penghinaan darimu, sekarang meja sudah terbalikkan," ujarku sambil tersenyum miring. Nona Tabella yang masih berada dalam posisi terduduk di lantai menatapku dengan syok. Dia tidak melakukan apa-apa ataupun mengeluarkan kata-kata pedas dari mulutnya lagi. "Kalau aku membunuhmu, rencana busukmu itu akan dibatalkan, kan?" tanyaku yang tidak mengharapkan jawabannya. Pertanyaan retoris itu hanya untuk menakut-nakutinya. Muka Nona Tabella memucat. Mata biru cerahnya bergetar dan pupil matanya mengecil. Melihat orang yang paling kubenci ketakutan terhadapku benar-benar memuaskan.
Saat ini aku berada di luar gedung istana. Lebih tepatnya di dekat teras belakang. Aku bersembunyi di antara pilar teras dan pepohonan taman.Menerobos keluar menghadapi ratusan personel pasukan elit negara akan sangat merepotkanku. Aku lebih memilih untuk menyelinap keluar daripada melalui pertarungan yang menguras energi dan tenaga.Orang-orang berseragam biru navy berlalu-lalang mencari aku. Kudengar keluh kesah dan gosip yang mereka keluarkan saat berjalan melewati tempatku bersembunyi."Sial, padahal belakangan ini kita bisa bersantai karena Fylax sudah berhenti menyerang, kenapa sekarang malah ada keributan begini sih? Merepotkan saja.""Kudengar pengkhianat itu adalah pengawal pribadinya Nona Layla. Jangan-jangan Nona Layla juga terlibat dalan masalah ini?""Tidak mungkin lah. Nona Layla itu ramah, perhatian, dan tulus. Tidak mungkin beliau adalah komplotan dari pengkhianat itu. Pasti itu kebetulan saja pengkhianat itu menjadi pengawalnya No
Layla mengikuti sandiwara ini dengan baik. Dia tidak melakukan gerakan sedikit pun agar pisau yang kuarahkan ke lehernya tidak melukai dia.Kujauhkan senjata tajam ini beberapa centimeter dari lehernya untuk memberikan ruang baginya sedangkan lengan kiriku masih mengunci lehernya dengan erat."Kalau kamu mau ikut denganku, anggukkan kepalamu. Kalau tidak mau, gelengkan kepalamu," bisikku pada telinga kanannya dan tetap menatap tajam ke dua orang yang berdiri beberapa belas meter di depan kami.Layla menggelengkan kepalanya menjawab pilihan yang kuberikan kepadanya. Kuhembuskan napas pasrah setelah mendapatkan jawabannya.Aku tersenyum pahit. 'Pada akhirnya kamu tetap memilih untuk tetap tinggal di tempat ini.'Kedua personel pasukan elit tersentak kaget saat melihatku tiba-tiba tersenyum seperti ini, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa karena takut aku akan langsung menyerang Layla.Aku membuka mulutku untuk berbicara dengan kedua orang it
Beberapa menit telah berlalu sejak aku berhasil keluar dari area Istana Putih walau aku terpaksa harus melukai beberapa personel pasukan elit yang menghalangi jalanku. Bunyi sirene terdengar setiap menitnya. Mobil-mobil milik Custodia dan pasukan elit dikerahkan untuk mencari aku. Suasana ini mengingatkanku pada saat aku dan Layla kabur dari Ibu Kota untuk pertama kalinya. Aku membalikkan badanku dari balkon yang berada di lantai 3 ini karena sudah cukup melihat kondisi jalanan di bawah yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan yang mencariku. Tampak seorang pemuda yang tampak beberapa tahun lebih muda dariku berdiri tak jauh dariku. Dia bersandar pada bingkai pintu dan menyilangkan tangannya di dada. "Kenapa kamu menolongku?" tanyaku kepada pemuda itu. Dia adalah orang yang membantuku kabur dari Istana Putih. Dilihat dari seragam biru navy yang dia kenakan, sudah jelas dia merupakan personel pasukan elit negara. Lalu kenapa dia menolongku? Aku pu