Sepertinya dia akan tetap menjalankan rencananya walau ditentang oleh banyak orang. Dengan sikapnya yang keras kepala ini, tidak ada gunanya untukku mencoba membuatnya berubah pikiran, sampai mulutku berbusa pun dia tidak akan mengubah pikirannya.
"Karena aku sudah menolak tawaranmu, sekarang pergilah sebelum aku memanggil orang untuk menyeretmu keluar," usirnya dengan nada sombong dan merendahkan diriku.
Aku menghembuskan napas kasar lalu membalikkan badanku dan berjalan menuju pintu. Kubuka pintu itu lalu melangkah keluar dari kantornya.
Aku beranjak dari tempat ini dan berjalan menyusuri lorong yang panjang ini lagi. 'Kalau aku tidak bisa membuat Nona Tabella membatalkan rencananya, lebih baik aku bujuk Layla untuk tidak menjalankan rencana itu.'
Tibalah aku di depan ruang tidur Layla. Ada 4 orang berseragam biru navy berjaga di depan pintu ruangan itu. Mereka membiarkanku masuk ke dalam ruangan yang mereka jaga tanpa bertanya apa-apa.
Menjadi o
Bulu mata wanita yang berbaring di sampingku bergetar. Dia tampak berusaha membuka matanya dan terbangun dari mimpi buruknya, mungkin.Selama beberapa menit aku duduk diam di tepi ranjangnya dan mengamati dirinya yang tak kunjung sadarkan diri, dia terus mengerutkan dahinya dan bergumam tidak jelas. Tidak hanya itu, keringat dingin juga bercucuran keluar dari pori-pori wajahnya.Matanya terbuka dengan lebar lalu dia bangun dari posisi tidurnya. Dia terduduk dengan tegak, terlihat tegang dan berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Tampaknya dia tidak menyadari keberadaanku yang daritadi duduk di samping kanannya."Ternyata itu mimpi ...," gumamnya sambil menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Tangannya mengelus-elus dadanya yang sesak.Manik biru pucatnya mengarah ke kanan, memandangku dengan terkejut. Dia tersentak kaget dan langsung menarik dirinya menjauh dariku. "Trystan?!" pekiknya yang baru saja menyadari kehadiranku.Aku berdiri da
Beberapa hari telah berlalu, intensitas serangan dari Fylax kian berkurang hingga sama sekali tidak ada penyerangan dari mereka lagi. Itu berarti tidak lama lagi aku tak akan dibutuhkan lagi untuk mengawal Layla.Saat ini aku dan Layla sedang berjalan-jalan di taman istana. Dia terlihat bersemangat melangkah melewati semak bunga sambil mencabuti beberapa pucuk bunga dan menghirup aroma harum dan segar tanaman itu.Setelah hampir 2 minggu dia tidak diizinkan untuk keluar dari gedung istana, jelas dia sangat merindukan dunia luar yang indah. Kutatap punggungnya yang berjalan di depanku sembari menarik sebuah senyuman pada bibirku.Dia menari dengan bahagianya sambil memeluk rangkaian bunga berwarna-warni. Rambut panjangnya berkibar seperti bendera saat diterpa oleh angin yang sejuk dan menyegarkan.Layla menghentikan langkahnya dan mendongakkan kepalanya ke atas. "Ah, akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi." Dia berbicara pada dirinya sendiri dengan n
Aku tercengang saat baru saja mengetahui bahwa Layla tidak lagi dapat menggunakan 'Arte'-nya untuk mengendalikan pikiran orang lain tanpa izin atau perintah dari Quattor. Bahkan sekarang dia lebih dibatasi daripada saat aku masih berada di bawah kontrak Treis."Bukannya kamu juga anggota Quattor? Tapi sepertinya posisimu berada di bawah mereka, ya?" komentarku menanggapi penjelasannya.Layla hanya tersenyum hambar setelah mendengar komentarku. "Ya, jabatan ini hanyalah pajangan, padahal aslinya aku ini tidak lebih dari boneka mereka."Aku terdiam mendengarnya menyebut dirinya sebagai boneka Quattor. Kutundukkan kepalaku dan mengepal tanganku.Aku dapat mengerti dengan maksud perkataannya itu karena dulu aku juga pernah memiliki pemikiran yang sama sepertinya, tetapi tidak lagi sejak aku terlepas dari kontrak itu."Aku ini hanyalah boneka dalang yang memainkan boneka lainnya untuk mereka," lanjutnya dengan suara kecil yang nyaris tak terdengar
Ruangan yang serba putih dengan sebuah meja bundar di tengah-tengahnya. Tempat yang terlihat familier dan penuh nostalgia tak mengenakan. Ruangan ini adalah aula pertemuan, dimana pelaksanaan sidang Treis, yang sekarang berubah nama menjadi Quattor bertempat. Terdapat dua orang wanita bergaun serupa yang berwarna biru navy duduk di meja bundar itu. Dua kursi lainnya kosong karena ketidakhadiran dua anggota dewan lainnya. Aku hanya berdiri tegap di belakang Layla dan menyimak apa yang mereka bicarakan. Ternyata mereka membahas tentang kapan rencana 'itu' akan dilaksanakan. "Lebih cepat lebih baik sebelum ada yang mencoba menggagalkannya," tegas Nona Tabella sambil melemparkan tatapan tajam ke arahku. Kukerutkan alisku karena sepertinya dia menyinggung aku. "Tergesa-gesa itu tidak baik. Lebih baik kita merencanakannya sematang mungkin terlebih dahulu," saran Layla yang menolak untuk melaksanakan rencana itu secepat mungkin seperti yang diinginkan oleh N
"Huh? Maksudnya pikiranku juga harus dikendalikan?!" tanyaku yang terkejut mendengarnya mengatakan tak terkecuali aku. Nona Tabella menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaanku.Layla bangkit berdiri dari kursinya lagi dan merentangkan tangan kanannya seolah-olah melindungiku yang berada di belakangnya."Bu-bukankah Anda telah berjanji agar Trystan dapat memiliki kebebasan? Dapat hidup tanpa terikat dengan kontrak lagi?" protes Layla sedikit terbata-bata karena keterkejutannya.Nona Tabella tersenyum menyeringai dan menatap kami dengan tatapan merendahkan. "Ada yang salah? Saya memang berjanji untuk membiarkan Trystan hidup tanpa terikat dengan kontrak," balasnya dengan penekanan pada akhir kalimatnya."Itu berarti, mengendalikan pikirannya tidak ada hubungannya dengan perjanjian kita. Karena itu adalah 'mengendalikan pikiran', bukan 'mengikat kontrak'," lanjutnya dengan penekanan pada beberapa frasa.Aku tidak mengerti tentang apa yang Nona tab
Aku melepaskan kepalan tanganku dan mendengus kesal. ' 'Ini semua demi negara kita' katanya? Manusia munafik.'Mengendalikan pikiran rakyatnya itu bukan untuk kebaikan negara, tapi untuk keuntungannya sendiri supaya semua orang bergerak sesuai kehendaknya.'Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku membuatku tersadar dari lamunanku. Suara itu berasal dari Layla yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri."Trystan, ayo kita keluar," ajaknya sambil menunjuk pintu keluar dengan jari jempolnya. Kuanggukkan kepalaku dan mengayunkan kakiku ke arahnya.Lebih baik kami pergi dari sini. Terlalu lama berada di tempat ini membuatku pengap. Walaupun ruangan ini begitu luas dan kosong, ini malah membuatku merasa sesak karena kenangan buruk yang kualami 13 tahun lalu.Kami melangkah keluar dari aula pertemuan dan berjalan menuju entah kemana. Aku tidak bertanya kepada Layla kemana kami akan pergi karena kelihatannya dia tenggelam dalam pikirannya.Ti
Layla hanya berdiri diam di depanku, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Kuhela napas frustrasi dan menggeleng-gelengkan kepalaku."Sepertinya tadi aku terbawa suasana, tolong lupakan saja apa yang barusan kukatakan," pintaku kepada Layla yang masih tak bergeming.Keheningan ini membuatku merasa canggung. 'Ugh ... sekarang apa yang harus kukatakan? Diam-diaman seperti ini benar-benar mencanggungkan.'Akhirnya Layla membuka mulutnya dan memecahkan keheningan ini. "Kita bisa saja tetap bersama, tapi ...," ujarnya yang tidak diselesaikannya.Tanpa dia selesaikan kalimat itu pun aku sudah tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya."Pikiranmu harus dikendalikan sesuai dengan apa yang Nona Tabella kehendaki," lanjutnya dengan nada lirih. Sudah kuduga dia akan mengatakan itu.Aku tertawa mendengar perkataannya, bukan karena ada yang lucu dari perkataannya, tetapi karena menertawai diriku yang malang ini."Haha. Kamu benar. Kita memang bisa t
Dua hari kemudian, ini adalah hari terakhirku untuk tinggal di Istana Putih dan mengawal Layla. Tidak ada alasan bagiku tetap tinggal di sini lebih lama lagi.Semenjak perbincangan hari itu, yaitu saat aku mengatakan bahwa aku akan pergi dari negara ini, hubunganaku dengan Layla menjadi canggung. Contohnya saat ini, kami menghabiskan waktu di taman tanpa berbicara dengan satu dan yang lainnya.Kutatap punggungnya yang berada di depanku. Dia berjalan sambil memetik-metik bunga. 'Sepertinya dia memilih untuk tetap tinggal di sini. Sampai sekarang pun dia belum memberi tahuku kalau dia mengubah pikirannya.'Aku menarik senyum kecewa pada bibirku. 'Sayang sekali, besok aku akan pergi sendirian, padahal aku masih ingin berada di sisinya seperti sekarang, tapi aku tidak bisa memaksanya untuk ikut denganku.'Senyumam itu sirna dan berubah menjadi cemberut. 'Aku harus menghargai keputusannya.' Itulah yang terus kurapalkan dalam pikiranku, tetapi di lubuk hatiku y