Layla menghentikan langkah kakinya dan menatapku dengan tatapan tidak percaya. "Apa ...?" Wajahnya menampakkan ekspresi terkejut, tidak menyangka akan mendengarkan berita yang sulit dipercaya ini.
Kubuka mulutku lagi untuk memberi tahu dia bahwa dua orang yang pernah merawat kami dengan baik di perbatasan utara telah meninggal, tetapi aku tidak jadi memberi memberitahukan hal itu karena aku menyadari ada kehadiran orang lain di tempat ini selain kami berdua. Aku merasakan 'Arte' yang kuat, tetapi aku tidak tahu pasti darimana asalnya.
"Trystan, apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Layla dengan suara kecil. Sepertinya dia tidak mempercayai ucapanku dan mengira jika dia salah dengar. Aku terdiam sejenak sebelum menjawabnya.
"Kakek dan nenek sudah meninggal," bisikku mengulangi perkataanku sebelumnya. Kedua matanya terbelalak kaget setelah mendengar kalimat yang sama dan tahu kalau dia tidak salah mendengar.
Tangan kanannya terangkat dan menutupi mulutnya yan
Jarum es itu tiba-tiba mencuat keluar dari lantai marmer putih di antara aku dan Layla. Sontak kami langsung menghindar serangan dadakan itu.'Serangan es?! Jangan-jangan itu adalah serangan dari Alcyone, anaknya nenek dan kakek?!' Aku celingak-celinguk mencari keberadaan orang yang telah menyerang kami tanpa aba-aba.Tiba-tiba keluar sebuah tangan dari jarum es setinggi orang dewasa di depanku. Tangan itu mengarah ke arahku dan mencengkeram leherku. Kugenggam tangan itu yang sedingin es dan berusaha melepaskan diriku dari cengkeramannya.Sosok pemilik tangan itu mulai keluar dari jarum es di depanku, dimulai dari kepalanya. Sosok itu tempak mengenakan tudung berwarna hitam dan topeng putih dengan logo yang familier pada sisi kiri topengnya."Kamu ... jadi kamu yang sudah membunuh orang tuaku!" serunya yang setengah tubuhnya telah kekuar dari es itu. Cekikkan tangannya semakin menguat seolah hendak mematahkan leherku."Argh! A-aku tidak pernah bern
"Layla, aku akan mengirimmu ke tempat yang aman. Tolong jangan kembali ke sini apa pun yang terjadi," bisikku kepada Layla. Kulihat daun telinganya memerah karena tanpa aba-aba aku berbisik tepat pada telinganya."Tidak mau. Ak-" Protesannya terputus saat bayangan hitam tiba-tiba muncul dan menyelimuti dirinya. Tubuhnya yang tadi berada dalam dekapanku langsung lenyap bersama dengan bayangan itu.Kini, di lorong ini, hanya ada aku dan Alcyone yang sangat ingin membalas dendam kepadaku. Dia terdiam setelah melihat Layla hilang dari penglihatannya dalam sekejap mata."Bagaimana, ya? Kamu tidak akan bisa merebutnya dariku kalau dia tidak ada di sini," ledekku sambil tersenyum mengejek. Aku sudah tidak peduli lagi untuk menjaga sikapku terhadapnya karena dia telah bertekad untuk menghancurkanku."Kurang ajar ...," geramnya mengepalkan tangannya dengan erat. Dia mengangkat tangan kanannya ke atas. Muncul ratusan anak panah yang terbuat dari es di udara.
Dia menendang perutku dan menjauh dariku. Tendangannya meninggalkan sedikit kristal es yang menempel di bajuku. Kusibakkan pakaianku untuk menghilangkan es itu."Lebih baik hentikan pertarungan ini. Kamu juga sudah mulai kelelahan dan kehabisan energi, kan?" bujukku sekali lagi agar dia mau berhenti menyerangku."Aku tidak akan berhenti sampai salah satu dari kita mati," tolaknya dengan niat membunuh yang kuat.Aku mengepalkan tanganku mendengarnya berkata demikian. 'Sampai salah satu dari kami mati katanya? Itu sama saja berarti dia ingin membunuhku atau aku membunuhnya.Mendadak suhu di ruangan terbuka ini menjadi dingin sekali. Temperatur tempat ini turun dengan drastis. Bahkan suhu di tempat ini jauh lebih dingin daripada di Kota Boreus yang setiap hari bersalju.Udara yang kuhirup terasa begitu dingin sehingga tenggorokan dan paru-paruku serasa akan membeku. Kepulan uap dingin tampak keluar dari hembusan napas kami."Kamu ... apa kamu s
Aku tercengang menyaksikan serangan-seranganku dihentikan olehnya. 'Bagaimana bisa dia menghentikan seranganku?! Bahkan menghancurkannya bagaikan memecahkan kaca tipis?!'Kabut dingin mulai bermunculan di area ini. Kurasakan temperatur udara semakin menurun melewati titik beku. Suhu ini terlalu dingin hingga tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sepertinya ini adalah suhu terendah yang pernah ada.Kudengar suaranya yang lirih menanyakan pertanyaan. "Kenapa?" Aku hanya terdiam mendengar satu patah kata itu. Entah kenapa aku merasa bahwa pertanyaan itu bukan ditujukan kepadaku, melainkan untuk dirinya sendiri."Kenapa aku tidak ada bersama dengan mereka saat mereka menghadapi mimpi buruk itu?" tanyanya lagi dengan nada yang menyayat hati.Rasa bersalah mulai menggerogoti diriku lagi setelah mendengarkan pertanyaan itu. Yang dia maksudkan pasti tentang nenek dan kakek yang menghadapi kematian oleh karena diriku."Kenapa mereka begitu kejam terhadap
Tubuhku ambruk ke atas lantai dengan posisi terlungkup. Sekujur tubuhku terasa lemas, tidak ada sisa tenaga yang tersisa untuk menggerakkan badanku, bahkan menggerakkan jari sekali pun."Akhirnya pertarungan ini berakhir dengan kemenanganku, tetapi benarkah ini adalah kemenangan?" gumamku sambil memandang orang yang tersungkur tak jauh di depanku.'Tidak, aku tidak memenangkan pertarungan ini. Tidak ada yang menang di antara kami. Yang ada hanyalah kekalahan karena gagal untuk melindungi orang yang seharusnya dilindungi.'Dia yang gagal melindungi orang tuanya yang telah terpisah darinya selama puluhan tahun dan aku yang gagal mempertahankannya agar tetap hidup. Lagi-lagi aku malah menjatuhkan lebih banyak korban.'Kudengar bunyi derap langkah yang berlari ke arahku. Sepertinya ada lebih dari satu orang yang berlari ke tempat ini. Aku tidak dapat menolehkan kepalaku untuk melihat siapa yang datang ke sini. Lalu tiba-tiba kudengar suara yang familier meman
Telingaku menangkap suara orang yang memanggil namaku berulang kali. Suaranya terdengar tidak begitu jelas, tetapi aku yakin jika dia atau mereka memanggilku.Aku tersadar dari lamunanku. Kupijat keningku yang pusing sekali, rasanya kepalaku akan pecah. Mataku berusaha menyesuaikan cahaya terang yang menghampari diriku.Begitu aku dapat melihat dengan jelas, kusadari diriku berada di suatu ruangan yang tidak begitu luas. Ruangan berbentuk persegi panjang ini memiliki lantai dan dinding yang terbuat dari papan kayu dan perabotan yang sederhana.Tak begitu jauh dariku ada seseorang yang duduk di atas kursi kayu yang berada di depan perapian dan beberapa meter di sisi kiriku juga ada seseorang yang berdiri di depan tungku yang menyala.Aku berdiri dari sofa dan melihat-lihat tempat ini. 'Entah kenapa aku merasa familier dengan tempat ini. Dimana aku pernah melihatnya? Apa sebelumnya aku sudah pernah berada di tempat ini?'Kutatap punggung orang yang d
Mimpi buruk itu terus menghantuiku selama beberapa hari. Setelah pemberontakan Fylax terselesaikan dengan kemenangan dari pemerintah pun mimpi itu masih berlanjut. Bahkan mimpi buruk itu jauh lebih mengerikan seusai kekalahan Fylax kali ini.Tidak hanya 'hantu' kakek dan nenek saja yang terus mengganggu tidur malamku, orang-orang tak berdosa yang menjadi korban dalam peristiwa itu pun ikut meramaikan mimpi buruk ini."Trystan, kenapa mukamu pucat begitu? Kamu sakit?" tanya Layla yang duduk di seberang mejaku. Beberapa hari ini aku selalu bersama dengannya karena ditugaskan untuk menjadi pengawalnya.Di situasi yang masih belum stabil ini, tidak aman baginya untuk tidak didampingi oleh penjaga karena Fylax terus mencari kesempatan untuk melukai bahkan membunuh anggota Quattor yang merupakan dewan eksekutif atau pemerintah negara ini."Hanya sakit kepala saja," jawabku sambil memijat keningku yang nyut-nyutan karena kurang tidur. Layla berdehem lalu mengali
Aku menganggukkan kepalaku menerima tawarannya. Entah kenapa aku merasa informasi tentang eksperimen itu penting untukku walau sepertinya hal itu tidak ada hubungannya denganku."Puluhan tahun yang lalu, ada sebuah fasilitas yang dibangun untuk menciptakan 'Arte buatan' dengan menggunakan bayi yang belum membangkitkan 'Arte'-nya.Mereka dikurung di fasilitas itu dan harus menjalani banyak percobaan yang menyakitkan. Tak heran ada beberapa anak yang meninggal. Lalu-" penjelasan Layla terputus karena aku memotong perkataannya."Tunggu dulu, darimana kamu bisa tahu semua itu? Bahkan sampai sedetail itu?" tanyaku dengan curiga.Layla terdiam sejenak dan menundukkan kepalanya. Tangannya yang dilipat di atas meja tampak sedikit bergetar. Dia menarik napas panjang-panjang lalu menghembuskannya.Layla mengangkat kepalanya dan memandang ke arahku. Raut muka yang terpasang pada wajahnya membuatku diam membisu. Ekspresi itu menampakkan sebuah senyuman, tetapi