"Kami tidak mungkin menyerah begitu saja setelah semua pengorbanan yang sudah kami lakukan!" Puluhan anggota Fylax yang tersisa memilih untuk tetap menyerangku. Mereka tidak menyerah setelah melihat rekan-rekannya terbantai dalam sekejap mata.
Aku menggertakkan gigiku dan menatap kesal mereka yang tetap ingin melawanku. "Dasar pemberontak keras kepala, padahal sudah diberi kesempatan untuk hidup, tapi malah lebih memilih untuk mati."
Orang-orang berjubah hitam dan bertopeng putih berlari ke arahku sambil mengangkat senjatanya dan melemparkan serangan jarak jauh kepadaku. Mereka membuatku tidak memiliki pilihan lain selain menghabisi mereka.
"Jangan membenciku karena membunuh kalian," ujarku sambil mengarahkan pedangku ke mereka. "Aku hanya menjalankan tugasku."
Aku menerjang ke arah kelompok Fylax yang juga berlari ke arahku. Setiap tebasan yang kulakukan diikuti oleh suara pekikkan yang menyakitkan.
Dari puluhan orang yang berusaha untuk memb
Aku menahan tangannya agar tidak semakin memperbesar robekan pada dada kirinya. Aku juga tidah tahu kenapa aku sampai melakukan ini kepada orang yang tadi mencoba membunuhku.Suara tawa keluar dari mulutnya dan diikuti oleh suara batuk. "Biarkan aku mati, Nak," ujarnya dengan suara serak.Mataku terbelalak setelah mendengar suaranya yang terdengar familier di telingaku. Tangan kiriku langsung memegang topeng putihnya lalu melepaskannya dari mukanya. Tampak wajah yang familier dari balik benda yang menutupi wajahnya.Topeng itu terlepas dari pegangan tanganku dan jatuh ke permukaan aspal. Mulutku menganga, tetapi tidak mengeluarkan suara."Lama tidak jumpa, Trystan," sapa orang yang duduk di hadapanku. Senyuman kecil terpasang pada wajahnya dengan cairan merah yang mengalir keluar dari mulutnya seperti air terjun."Kakek Fero ...," ucapku menyebut nama orang yang berada di depanku dengan suara kecil. Perasaanku bercampur aduk, haru karena akhirnya b
"Kakek?" Aku menyentuh bahunya dengan tangan yang bergetar hebat. Dia tidak membalasku yang memanggil namanya.Kulihat wajahnya yang pucat pasi dan berlumuran darah yang mengucur keluar dari hidung dan mulutnya. Kedua matanya tertutup rapat seperti tertidur nyenyak untuk selama-lamanya.Aku mengguncang-guncangkan bahunya dan terus memanggil namanya dengan setengah berteriak. "Buka matamu, Kakek Fero!" raungku sambil memeluk badannya yang dingin.Aku berteriak sejadi-jadinya dan mempererat pelukanku pada tubuh yang tak bernyawa ini. "Kenapa kalian harus mati di tanganku? Kenapa?!" raungku dengan pedih. "Kalau saja aku tidak kembali ke Custodia ... mungkin kalian tidak akan menghadapi akhir seperti ini!"Kulepaskan pelukanku darinya dan menurunkan tubuhnya ke permukaan jalanan yang digenangi oleh cairan merah. "Menangisi kematian orang lain tidak akan membawa mereka kembali hidup. Aku harus berhenti terpuruk seperti ini, tapi ...."Aku menundukkan ke
Aku diantarkan ke ruang tamu yang berisikan 3 sofa bludru putih, sebuah meja kaca yang ada di tengah-tengah ruangan ini, dan kabinet dan lemari buku pada setiap sisi dinding. Seorang wanita berambut perak dengan gaun berwarna biru navy duduk di salah satu sofa. Manik biru pucatnya menatap diriku dari atas ke bawah seperti sedang menilai penampilanku yang berantakan. "Kalau begitu, saya permisi," pamit orang yang mengantarku ke ruangan ini sambil menundukkan kepalanya lalu keluar dan menutup pintu, meninggalkan aku dan Layla berduaan di ruangan ini. "Kenapa kamu memanggilku?" tanyaku tanpa basa-basi sembari memalingkan mukaku darinya. "Sikapmu dingin sekali, padahal dulu kamu itu selalu hangat kepadaku. Kamu sudah berubah, ya," ujar Layla yang duduk sambil menyilangkan kakinya. Tawa sinis keluar dari mulutku. "Aku sudah berubah? Ya, itu benar, tapi yang lebih dulu berubah itu kamu," balasku menatap sinis ke arahnya dan menunjuknya dengan
Layla menghentikan langkah kakinya dan menatapku dengan tatapan tidak percaya. "Apa ...?" Wajahnya menampakkan ekspresi terkejut, tidak menyangka akan mendengarkan berita yang sulit dipercaya ini.Kubuka mulutku lagi untuk memberi tahu dia bahwa dua orang yang pernah merawat kami dengan baik di perbatasan utara telah meninggal, tetapi aku tidak jadi memberi memberitahukan hal itu karena aku menyadari ada kehadiran orang lain di tempat ini selain kami berdua. Aku merasakan 'Arte' yang kuat, tetapi aku tidak tahu pasti darimana asalnya."Trystan, apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Layla dengan suara kecil. Sepertinya dia tidak mempercayai ucapanku dan mengira jika dia salah dengar. Aku terdiam sejenak sebelum menjawabnya."Kakek dan nenek sudah meninggal," bisikku mengulangi perkataanku sebelumnya. Kedua matanya terbelalak kaget setelah mendengar kalimat yang sama dan tahu kalau dia tidak salah mendengar.Tangan kanannya terangkat dan menutupi mulutnya yan
Jarum es itu tiba-tiba mencuat keluar dari lantai marmer putih di antara aku dan Layla. Sontak kami langsung menghindar serangan dadakan itu.'Serangan es?! Jangan-jangan itu adalah serangan dari Alcyone, anaknya nenek dan kakek?!' Aku celingak-celinguk mencari keberadaan orang yang telah menyerang kami tanpa aba-aba.Tiba-tiba keluar sebuah tangan dari jarum es setinggi orang dewasa di depanku. Tangan itu mengarah ke arahku dan mencengkeram leherku. Kugenggam tangan itu yang sedingin es dan berusaha melepaskan diriku dari cengkeramannya.Sosok pemilik tangan itu mulai keluar dari jarum es di depanku, dimulai dari kepalanya. Sosok itu tempak mengenakan tudung berwarna hitam dan topeng putih dengan logo yang familier pada sisi kiri topengnya."Kamu ... jadi kamu yang sudah membunuh orang tuaku!" serunya yang setengah tubuhnya telah kekuar dari es itu. Cekikkan tangannya semakin menguat seolah hendak mematahkan leherku."Argh! A-aku tidak pernah bern
"Layla, aku akan mengirimmu ke tempat yang aman. Tolong jangan kembali ke sini apa pun yang terjadi," bisikku kepada Layla. Kulihat daun telinganya memerah karena tanpa aba-aba aku berbisik tepat pada telinganya."Tidak mau. Ak-" Protesannya terputus saat bayangan hitam tiba-tiba muncul dan menyelimuti dirinya. Tubuhnya yang tadi berada dalam dekapanku langsung lenyap bersama dengan bayangan itu.Kini, di lorong ini, hanya ada aku dan Alcyone yang sangat ingin membalas dendam kepadaku. Dia terdiam setelah melihat Layla hilang dari penglihatannya dalam sekejap mata."Bagaimana, ya? Kamu tidak akan bisa merebutnya dariku kalau dia tidak ada di sini," ledekku sambil tersenyum mengejek. Aku sudah tidak peduli lagi untuk menjaga sikapku terhadapnya karena dia telah bertekad untuk menghancurkanku."Kurang ajar ...," geramnya mengepalkan tangannya dengan erat. Dia mengangkat tangan kanannya ke atas. Muncul ratusan anak panah yang terbuat dari es di udara.
Dia menendang perutku dan menjauh dariku. Tendangannya meninggalkan sedikit kristal es yang menempel di bajuku. Kusibakkan pakaianku untuk menghilangkan es itu."Lebih baik hentikan pertarungan ini. Kamu juga sudah mulai kelelahan dan kehabisan energi, kan?" bujukku sekali lagi agar dia mau berhenti menyerangku."Aku tidak akan berhenti sampai salah satu dari kita mati," tolaknya dengan niat membunuh yang kuat.Aku mengepalkan tanganku mendengarnya berkata demikian. 'Sampai salah satu dari kami mati katanya? Itu sama saja berarti dia ingin membunuhku atau aku membunuhnya.Mendadak suhu di ruangan terbuka ini menjadi dingin sekali. Temperatur tempat ini turun dengan drastis. Bahkan suhu di tempat ini jauh lebih dingin daripada di Kota Boreus yang setiap hari bersalju.Udara yang kuhirup terasa begitu dingin sehingga tenggorokan dan paru-paruku serasa akan membeku. Kepulan uap dingin tampak keluar dari hembusan napas kami."Kamu ... apa kamu s
Aku tercengang menyaksikan serangan-seranganku dihentikan olehnya. 'Bagaimana bisa dia menghentikan seranganku?! Bahkan menghancurkannya bagaikan memecahkan kaca tipis?!'Kabut dingin mulai bermunculan di area ini. Kurasakan temperatur udara semakin menurun melewati titik beku. Suhu ini terlalu dingin hingga tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sepertinya ini adalah suhu terendah yang pernah ada.Kudengar suaranya yang lirih menanyakan pertanyaan. "Kenapa?" Aku hanya terdiam mendengar satu patah kata itu. Entah kenapa aku merasa bahwa pertanyaan itu bukan ditujukan kepadaku, melainkan untuk dirinya sendiri."Kenapa aku tidak ada bersama dengan mereka saat mereka menghadapi mimpi buruk itu?" tanyanya lagi dengan nada yang menyayat hati.Rasa bersalah mulai menggerogoti diriku lagi setelah mendengarkan pertanyaan itu. Yang dia maksudkan pasti tentang nenek dan kakek yang menghadapi kematian oleh karena diriku."Kenapa mereka begitu kejam terhadap