Chapter 4
***Apa yang kalian harapkan ketika baru saja sampai di rumah setelah sekian tahun lamanya tak kembali?Penyambutan? Grassiela tersenyum kecut saat melihat seorang pelayan wanita membukakan pintu lalu bersama sopir turut membawakan barang-barangnya dari dalam mobil."Selamat datang, Nona," ujar wanita muda berseragam hitam dan putih itu seraya mengantarkan ke kamarnya di lantai atas.Grassiela mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru rumah yang sepi. Tidakkah ini keterlaluan? Ketika dirinya baru saja pulang, kedua orangtuanya masih saja sibuk dengan urusan masing-masing.Akhirnya dia menghela napas setelah sampai dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda. Kamarnya. Dan semuanya masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkan tempat itu.Ranjang kayu berkanopi dengan tirai berenda putih. Seprei tempat tidurnya masih bermotif bunga-bunga kecil yang ia sukai. Beberapa boneka pun masih duduk berjejer rapi di sofa yang berhadapan dengan tempat tidur. Grassiela tak tahu bagaimana para pelayan merawat kamarnya hingga ruangan itu tak pernah terlihat berubah setiap kali ia pulang untuk berlibur.Benar. Ibunya tidak menyukai perubahan. Helena mungkin tak mau repot-repot mengurus hal sepele seperti itu. Baginya, tidak ada yang berubah, seperti wanita itu memperlakulan putrinya. Meski usia Grassiela telah dewasa, keluarganya akan tetap menganggapnya seperti anak-anak, terkungkung dalam aturan.Selepas pelayan wanita itu pergi, pandangan Grassiela kemudian beralih pada jendela yang menampakkan pemandangan sekitar halaman belakang rumah. Ia berjalan melintasi ruangan lalu membuka jendela tersebut hingga angin segar menyapu lembut wajahnya.Grassiela termenung. Bayangan seorang anak lelaki dan seorang gadis kecil berlarian di halaman belakang memerangkapnya dalam kenangan. Tanpa sadar air mata menggenang di kedua lensa matanya. Oh, betapa Grassiela merindukan masa-masa itu.Tak lama, suara ketukan di pintu membuatnya terkesiap. Grassiela segera menyeka kedua matanya yang terasa basah lalu mengijinkan siapa pun itu untuk masuk.Pelayan muda tadi kembali muncul di sana. Dia berkata, "Nyonya baru saja kembali dan beliau menunggu anda di ruangannya.""Apa kau pelayan baru di rumah ini?" tanya Grassiela membuat wanita muda di hadapannya mendadak tergagap."Be-benar. Maafkan saya karena belum memperkenalkan diri. Nama saya Gretta. Saya ditugaskan untuk melayani segala kebutuhan anda."Grassiela mengangguk sekali, lalu memalingkan pandangannya kembali ke arah jendela. Ada perasaan enggan di hati wanita muda itu untuk bertemu ibunya kembali.Untuk apa? Grassiela berpikir bahwa Helena sudah tidak peduli lagi pada putrinya. Tapi kini ia tidak punya pilihan. Maka dengan berat hati, Grassiela memutuskan untuk kekuar dari kamarnya dan turun ke lantai dasar.Langkah kaki yang diayun dengan terpaksa itu akhirnya sampai di depan pintu salah satu ruang duduk. Gretta membukakan pintu untuknya. Kemudian pandangan Grassiela langsung tertuju pada seorang wanita yang tampak sibuk di sana.Helena baru saja pulang berbelanja. Tas-tas kertas dengan merk ternama mengelilinginya. Wanita itu tengah repot-repot memeriksanya satu-persatu untuk memastikan bahwa dia telah membeli barang-barang terbaik."Apa kau akan berdiri saja di sana? Kemarilah," ucap Helena menyadari kehadiran putrinya.Grassiela berjalan memasuki ruangan. Entah karena canggung atau memang tak ada hal yang menarik baginya, ia memilih untuk tetap terdiam. Menunggu ibunya untuk memulai pembicaraan."Mendekatlah," ujar Helena.Grassiela kembali melangkah maju. Kemudian spontan ia terkejut ketika tiba-tiba Helena menempelkan sebuah gaun di tubuhnya."Aku rasa ukurannya sesuai dengan tubuhmu," gumam wanita itu lebih pada dirinya sendiri. Lalu Helena melakukannya lagi pada gaun-gaun lain yang baru saja ia beli.Kening Grassiela berkerut. Ia memandang ibunya tidak mengerti. Bukannya menanyakan kabar atau memberi putrinya sebuah pelukan hangat, Helena justru sibuk dengan belanjaannya.Lihat? Wanita itu tidak seperti seorang ibu. Dan lagi-lagi hal itu membuat Grassiela kecewa."Mom." Grassiela mencoba menyapa ibunya.Helena memejamkan mata sejenak dan tampak berpikir. Ia kemudian kembali bergumam pada dirinya sendiri, "Sepertinya aku melupakan sesuatu ... ah, aku belum menghubungi Clara untuk memesan sebuah gaun pesta.""Mom," ulang Grassiela. Tapi lagi-lagi Helena tampak sibuk memilah-milih pakaian dari setiap tas kertas yang berjejer di sofa."Ini cocok denganmu," ujar Helena."Mom.""Kau pasti pulang tanpa membawa pakaian yang layak.""Mom!" Kali ini suara Grassiela meninggi hingga sukses menarik perhatian sang ibu.Sontak Helena menatap putrinya dengan tajam. "Seorang wanita terpelajar tidak berteriak seperti itu.""Kau tidak mendengarku," kilah Grassiela."Apa yang mau kau katakan?""Untuk apa aku dipanggil kemari?"Sesaat Helena terdiam dan hening itu menjalarkan gugup pada diri Grassiela. Apakah dirinya baru saja bertanya dengan lancang? Entahlah, Grassiela hanya meminta sebuah kejelasan.Akhirnya Helena berkata dengan nada dingin, "Sudah saatnya kau pulang.""Untuk apa?""Kau terlalu lama tinggal di Kanada," jawab wanita itu singkat dan tanpa memandang putrinya.Grassiela menatap Helena lamat-lamat. Ia tidak percaya pada jawaban sang ibu. Tidak mungkin kedua orangtuanya memanggil Grassiela untuk pulang tanpa ada alasan yang berarti."Jadi hanya karena itu kalian sampai menghancurkan sebuah panti asuhan?" Tanpa sadar capan itu lolos dari mulut wanita muda itu.Helena kembali menatap putrinya tajam. Ia berkata dengan berdesis, "Ayahmu sudah memperingatkan hal ini sejak lama. Maka ledakan itu adalah salahmu sendiri."Mendadak udara terasa menipis. Hanya ada sesak di rongga dada Grassiela saat ibunya malah menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi di Toronto.Dengan penuh kekecewaan, Grassiela menatap ibunya nanar. "Mengapa Mom membiarkan ayah melakukannya?""Lalu apa yang harus kami lakukan untuk membawamu kembali?" balas Helena menohok.Sekuat mungkin Grassiela menahan dirinya untuk tidak menangis. Ibunya benar, tak ada yang bisa membawanya kembali. Kekecewaan itu telah lama terpendam dan tumbuh di hati Grassiela. Semenjak terakhir kali ia pulang ke Inggris, dirinya bersumpah untuk tidak kembali lagi. Meski neneknya yang penyayang memintanya untuk pulang, Grassiela tetap enggan. Maka mengancamnya dengan sebuah bom untuk menyakiti banyak orang adalah ide yang cemerlang. Dengan begitu Grassiela menyadari bahwa kali ini keluarganya tidak main-main. Akan ada yang terluka jika dirinya tak mau menurut."Sudahlah. Sebaiknya kau menjadikan jejak dari kebodohanmu itu sebagai pelajaran," tukas Helena kembali sibuk dengan barang-barang belanjaannya. "Aku sudah menyumbangkan sejumlah uang melalui yayasan untuk biaya perbaikan serta pengobatan para korban yang terluka. Lagipula tak ada seorang pun yang menjadi korban jiwa di sana. Kau tak perlu terlalu memikirkannya."Seketika Grassiela melebarkan kedua matanya. Ia tak percaya bahwa tanpa rasa bersalah, ibunya sanggup berkata demikian. Gedung panti asuhan yang hancur, anak-anak yang terluka, teman-teman relawan, termasuk Isabele dan Thom, sesungguhnya mereka telah menjadi korban dari kekejaman keluaga Stamford.Lantas apakah semunya dapat selesai dengan uang? Apakah Helena dan Alfonso dapat menjamin bahwa semua korban yang telah terluka akan kembali seperti semula? Apakah mereka menyadari bahwa apa yang terjadi bisa merusak lebih dari apa yang mereka lihat?Tidak semua hal dapat dibayar dengan uang. Sayangnya kedua orangtua Grassiela tutup mata dan tak peduli akan hal tersebut."Luar biasa. Aku tidak tahu bahwa keluarga kita bisa sekotor ini," gumam Grassiela dengan tatapan dingin.Sontak Helena menatapnya nyalang. "Hati-hati dengan ucapanmu!""Lalu aku harus menyebutnya apa? Menjijikan?""Grassiela! Dari mana kau mempelajari bahasa kasar seperti itu? Rupanya Kanada telah membuatmu menjadi seorang pembangkang," bentak Helena tersulut emosi.Tapi saat ini, Grassiela lah yang tengah berperang melawan amarahnya sendiri. "Dan kalianlah yang membuangku ke sana saat aku masih kecil."Helena bangkit dari sofa bersama sorot tajam pada putrinya. "Cukup. Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi.""Apa sekarang Mom menyesalinya?""Kembali ke kamarmu!" usir Helena geram.Grassiela tidak berhenti sampai di sana. Kebencian yang menjalar membuatnya muak dengan keluarganya sendiri. "Jika tidak ada sesuatu yang berarti, kalian tidak akan memaksaku kembali sampai harus menyakiti banyak orang.""Apa lagi yang kau inginkan? Apa kau tidak mendengar perintahku?""Apa yang terjadi? Jelaskan padaku!" hardik Grassiela dengan suara meninggi.Helena menatap putrinya tak percaya. Meski terjebak amarah, saat ini ia tak ingin berdebat dengan putrinya sendiri."Ayahmu yang akan menjelaskannya nanti. Sekarang kembali ke kamarmu," tuntas wanita itu mengakhiri.---Pria bermata kelabu itu duduk dengan kedua kaki bertumpu di atas meja kerjanya. Ia hanya mengangguk-anggukan kepala menyimak pemaparan dari kedua orang kepercayaannya yang tengah memberi laporan bagaimana geriliya kelompok mereka bekerja di berbagai wilayah, termasuk Amerika."Seorang dari mereka mendatangi Alexei dan menegaskan bahwa mereka tidak memerlukan perlindungan kita," ungkap Fausto Michalov, seorang yang bertugas sebagai Brigadir, atau Kapten yang bertanggung jawab atas beberapa kelompok dalam organisasi mereka.Sebagai seorang pimpinan, James mendengarkan dengan saksama dan lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bergumam pelan dengan tatapan lurus ke depan, "Berani sekali.""Anggota mereka cukup banyak, James. Kita tidak bisa meremehkannya," lanjut Fausto menyembunyikan kecemasannya.Sementara James tetap terlihat tenang. Tatapannya tampak kosong, namun pikirannya menerawang jauh segala kemungkinan dan menyusun strategi. Ambisinya untuk menguasi wilayah Amerika tak akan lenyap begitu saja hanya karena sedikit hambatan. Semuanya butuh proses, tentu saja.Sicarovskaya, kelompok mafia terbesar di Rusia yang dia kendalikan selama beberapa tahun terakhir telah mengalami peningkatan yang signifikan. Keberhasilannya menguasai sebagian besar wilayah Eropa dan menempatkan kelompok-kelompoknya hampir di setiap penjuru dunia mendapat pengakuan tersendiri dari para mafia kelas kakap lainnya. James memang mendapat tahta sebagai penerus urama kartel tersebut dari Fyodor Draxler, ayahnya. Tapi kini Sicarovskaya berada di puncak kekuasaan berkat ambisi pemimpinnya, James Draxler."Aku dengar jumlah mereka terus bertambah. Hal itu memudahkan mereka untuk menguasai wilayah barat sepenuhnya," tambah Benicio Mirzoyev, pria tengah baya mantan tangan kanan Fyodor yang kini menjadi kapten kelompok inti.James mengangkat kedua alisnya. "Menurutmu apa yang bisa kita lakukan?"Banicio dan Fausto saling berpandangan. Keduanya mendadak terdiam dan menyesali karena mereka tak mempersiapkan strategi lain untuk melancarkan rencana sang bos."Lakukan negosiasi," tukas James sambil beranjak dari kursinya. Pria itu bersiap untuk pergi dan mengakhiri pembicaraan mereka. "Besok aku akan bertolak ke Inggris selama tiga hari. Setelah kembali, aku ingin mendengar kabar keberhasilan dari kalian."Sontak kedua bawahannya terkejut."Tapi, James, mereka juga mendapat dukungan dari Borsellino," potong Fausto menghentikan langkah bos'nya.Sejenak James tampak berpikir. Tak hanya menjadi orang nomor satu dalam organisasi kriminal di Italia, rupanya Borsellino juga memiliki kekuasaan di wilayah Amerika. Mafia Italia memang kuat, tapi bukankah James juga memiliki dukungan serta hubungan baik dengan mereka? "Menarik," gumam pria bermata kelabu itu."Kita tidak bisa sembarangan," ucap Benicio mengingatkan."Kau benar." James mengangguk. "Baiklah. Jika cara itu tidak berhasil, maka buatlah rencana penyerangan."Sontak Benicio dan Fausto melebarkan kedua matanya."Apa kau gila?!""Jumlah anggota mereka bahkan lebih banyak dari klan kita. Jika Borsellino sampai turun tangan maka-""Maka apa?" potong James seraya menyorotkan tatapan tajam pada Fausto.Mendapat intimidasi dari atasannya, pria itu tergagap. "Ki-kita tidak mungkin menang.""Apa kau bilang?!" bentak James. Pesimis adalah salah satu hal yang ia benci. Maka dengan geram dia berjalan menuju Fausto dan menarik kerah kemejanya."Tak ada sesuatu yang tidak mungkin," desis James di sela rahangnya yang mengetat. Fausto tak berani membalas tatapan tajam sang pimpinan. Dengan menahan gugup ia menyadari kesalahannya."Sekarang katakan padaku siapa yang akan menjadi Godfather selanjutnya?" ucapan pelan James membuat Fausto perlahan kembali menatapnya.Ya. Godfather, bos dari semua bos mafia. Itulah obsesi James Draxler. Dan hal itu juga yang membuat seluruh anggota Sicarovskaya berjuang untuk menjadi yang terkuat."Kau. Kau lah orangnya," tegas Fausto penuh keyakinan."Kalau begitu jalankan perintahku. Suruh Alexei untuk bersiap. Jika kalian tidak mampu, aku yang akan memenggal kepala bos mereka dengan tanganku sendiri."Fausto masih tercekat di tempatnya saat James melangkah pergi. Setelah itu Benicio mendekatinya. Pria paruh baya itu menepuk pundaknya dengan tatapan penuh arti.Tak ada sesuatu yang tidak mungkin, itulah yang selalu James katakan semenjak dirinya diangkat menjadi pimpinan kelompok.Sicario atau pembunuh bayaran adalah nama yang Fyodor Draxler ambil saat ia membentuk sebuah kelompok mafia kecil. Tanpa diduga, kini putranya membawa kelompok itu menjadi kartel mafia yang disegani. Anggota mereka selalu bertambah. Kekuasaan mereka semakin meluas. Nama mereka ditakuti dan diperhitungkan. Semua itu tak lain, berkat ambisi seorang James. Hasratnya untuk mencapai posisi tertinggi tak bisa dihalangi oleh apapun.Benicio dan Fausto telah bersumpah, mereka akan menjadi tiang demi kejayaan kelompoknya. Sicarovskaya akan tercatat sebagai mafia terkuat. Dan James Draxler, akan menjadi seorang Godfather, bos dari semua bos yang pernah ada.---Setengah berlari Grassiela kembali menuju ke kamarnya dengan menahan tangis. Ia tak menyangka bahwa kedua orangtuanya dapat bertindak sekejam itu. Sungguh, Grassiela benci terlahir di keluarga Stamford.Ketika baru saja akan masuk ke kamarnya, perhatian wanita muda itu teralihkan pada pintu yang berseberangan dengan kamarnya. Bersama berbagai perasaan yang berkecamuk, Grassiela memutuskan untuk masuk ke ruangan tersebut.Setelah pintu berwatna putih itu dibukanya, hati Grassiela terasa mencelos melihat sebuah kamar yang tak berubah sama sekali. Sebuah ruangan bernuansa biru muda khas anak laki-laki dengan pernak-pernik pesawat tak tampak seperti telah ditinggalkan oleh pemiliknya.Jika Helena sama sekali tidak merubah kamar Grassiela, itu mungkin saja karena dia tak mau mendapat protes saat putrinya kembali mengisi kamar tersebut. Tapi jika wanita itu juga tidak merubah kamar putranya yang telah tiada, Grassiela menyimpulkan bahwa diam-diam, ibunya masih terpenjara dalam masa lalu.Lantas tangis itu pecah. Tubuh Grassiela yang terasa lemas merosot ke lantai seiring kedua tangannya yang menutupi wajah. Grassiela menangis di sana.Tak hanya Helena, dirinya pun sesungguhnya masih sangat merindukan Nicholas, kakanya yang sudah tiada. Grassiela teramat merindukan masa-masa saat mereka masih kecil dan tinggal bersama dalam keluarga yang utuh. Namun tragedi memilukan itu telah merenggut segalanya.Seorang anak lelaki berusia delapan tahun harus tewas oleh bidikan seorang penembak jitu. Mereka telah membunuhnya! Para mafia Italia itu menjadikan Nicholas sebagai sasaran demi melumpuhkan kekuasaan Alfonso, ayahnya yang saat itu memegang kekuasan sebagian wilayah di dunia hitam.Ketika itu Grassiela kecil tak mengerti apa-apa. Setelah dirinya menemukan tubuh Nick yang bersimbah darah, semuanya berubah. Keluarga mereka hancur begitu saja. Tak ada lagi tawa, kebahagiaan serta kasih sayang. Kedua orangtuanya tenggelam dalam duka.Tiga nyawa telah melayang dalam waktu yang dekat. Hingga semua hati keluarga besar Stamford membeku.Seusai pemakaman terakhir, Alfonso memerintahkan anak buahnya untuk membawa Grassiela pergi jauh dari Newcastle. Memenjarakannya di sebuah sekolah asrama dan tak pernah mengunjunginya lagi.Grassiela diusir. Diasingkan. Dibuang. Hanya karena dirinya seorang anak perempuan yang tak dapat memegang tongkat estafet kekuasaan keluarga, maka hidupnya sudah tak berarti.Lantas untuk apa kini Grassiela dipanggil kembali? Takdir macam apa yang menantinya di depan? Di sela tangisnya, Grassiela bertanya-tanya dalam hati.****** Newcastle, Inggris.  "Satu." "Dua." "Tiga." "Kau curang!" Cetus seorang anak lelaki berusia delapan tahun. Ia menatap kesal pada adiknya yang baru saja membuka kedua tangan yang semula menutupi wajah. "Aku tidak curang," kilah gadis kecil itu tanpa rasa bersalah. "Kau mengintip barusan." "Aku tidak melakukannya." Nicholas mendesah. Ia melihat bagaimana gadis itu diam-diam mengintip dari jemari mungilnya. Tapi Grassiela tidak mau mengakuinya. "Sudahlah. Bermain saja dengan Anna dan Bella," pungkas Nicholas sambil melengos pergi. "Mereka dan Zack sedang berada di keluarga aunty Eveline dan baru akan kembali besok pagi," tutur Grassiela menghentikan langkah kakaknya. "Kalau begitu carilah Bianca." "Kau tidak mau bermain denganku?" Nicholas kembali berbalik. "Bermainlah dengan anak perempuan." "Kau mau ke mana?" tanya Grassiel dengan nada memprotes. "Aku melihat Arthur bersama guru privatnya di perpustakaan. Sementara Dave masih mengurung diri di kamarnya," ungkap gadi
Newcastle, Britania Raya. 10.07 AM. Wanita muda itu menuruni satu per satu anak tangga sambil memeluk sebuah bingkai kanvas beserta peralatan lukis miliknya. Pagi-pagi sekali ia meminta Gretta membelikan semua benda itu untuk mengisi hari-harinya yang membosankan. Grassiela tidak tahu sampai kapan dirinya akan berkutat dalam kejenuhan di rumah ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam. Meski ayahnya pernah mengatakan bahwa melukis adalah hal yang tak berguna, Grassiela tidak peduli. Ia menyukainya dan tetap akan melakukannya selama hal itu bukan lah sesuatu yang buruk. Lantas ia terus melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Tetapi sebelum sampai di sana, langkah kaki itu berhenti tepat di depan ruang makan. Grassiela terdiam memandang meja makan yang kosong. Pemandangan ruang makan yang sepi itu membuat benak Grassiela terbang ke masa lalu. Tepatnya ketika ia masih berusia tiga belas tahun dan baru saja menghabiskan masa libur sekolahnya selama
*** Lima belas tahun yang lalu. Toronto, Canada. Malam itu belum larut. Masih sekitar pukul sembilan ketika Rebecca, seorang wali asrama di sekolah perempuan itu menemui Grassiela di kamarnya dan mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya. Grassiela tidak dapat menebak siapa yang datang di malam hari dan menunggunya di ruangan kepala sekolah. Sebelumnya ia tak pernah sekali pun mendapat kunjungan dari seorang tamu. Dan sepertinya orang itu cukup penting karena sang kepala sekolah menerima kunjungan ini bahkan membuka pintu ruang kerja pribadinya di malam hari. Rasa penasaran membuat gadis itu berjalan cepat menyusuri koridor bersama dengan wali asramanya. Sementara diam-diam, cemas serta gugup turut menghantuinya. Siapa yang datang? Apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan orang asing yang ia temukan di halaman belakang tiga hari yang lalu? Semoga saja tidak. Berkali-kali Grassiela menepis firasat buruk dalam hatinya. Ketika Rebecca membuka pintu ruangan kepala
*** "Dia sangat tampan. Rambut hitamnya terpotong rapi, alis yang tebal, netra kelabu yang bersorot tajam serta rahang yang kokoh. Saya tidak berani memandanginya, tapi dia juga memiliki tubuh tegap yang terpahat dengan sempurna. Anda akan jatuh cinta ketika melihatnya." Grassiela tersenyum mendengar ungkapan wanita muda berseragam pelayan itu. "Semudah itukah cara seseorang untuk jatuh cinta?" simpulnya. Gretta berjalan menuju meja rias lalu merapikan barang-barang yang berantakan di sana. "Saya tidak tahu. Tapi bukankah ada yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama?" "Lalu apa kau mencintainya?" Seketika Gretta memandang wanita muda yang tengah duduk di atas tempat tidur itu. "Tentu saja tidak," jawabnya spontan. "Kau menceritakan bahwa pria itu begitu menakjubkan. Lalu kenapa kau tidak jatuh cinta pada pandangan pertama?" Kening Gretta berkerut memikirkan pertanyaan dari nona muda nya. Lantas Grassiela terkekeh. "Bagaimana aku bisa mencintainya jika aku tidak mengen
*** Lebih dari empat jam waktu tempuh dari Newcastle untuk sampai di Cestershire. Sebuah desa indah nan asri yang berada di distrik Costwold. Meski cukup lama dan membosankan dalam perjalanan, tapi Grassiela sangat menantikannya. Seperti biasa, suasana di dalam limusin Mercedes Benz S-600 Pullma berwarna hitam itu cukup canggung dan hening. Tak perlu diingatkan bahwa mereka adalah keluarga. Grassiela benar-benar paham bahwa Alfonso lebih tertarik pada surat kabar di menghadapi masalah politik lokal dari berbicara pada putrinya sendiri. Sementara Helena terlalu sibuk berinteraksi dengan teman-teman sosialita-nya lewat layar ponsel. Akhirnya gadis itu menghela napas. Grassiela menyadari bahwa ia tidak bisa mengharapkan kedua orangtuanya terlibat dalam kontak yang hangat. jangan harap. Lantas iris mata biru terang itu pandangannya ke arah jendela mobil. Grassiela melawan kejenuhan selama perjalanan dengan menikmati pemandangan yang indah dan pilihan dari sana. Di luar tampak cottage-
Chapter 10 *** Ketiga pria itu menyusuri koridor dengan langkah-langkah panjang. James yang memimpin di depan bahkan tampak terburu, tak sabar untuk melihat hasil tangkapan dari orang kepercayaannya. Lantas ketika ketiganya sampai di depan pintu ruang rapat, Benicio dan Fausto yang sejak tadi mengekor membukakan pintu tinggi tersebut. Di dalam ruangan dengan pencahayaan temaram itu, terdapat sebuah meja besar berbentuk oval. Di kedua sisinya, tampak dua orang pria duduk saling berhadapan dan seorang pria lagi berdiri dengan melipat kedua tangannya di sisi ruangan. James tersenyum puas. Ia mengenyahkan keheningan di sana dengan bertepuk tangan sambil berjalan memasuki ruang rapat tersebut. "Manicci. Senang melihatmu kembali," sapa James menahan girang. Sementara Fredo Manicci, pria tua yang duduk berhadapan dengan pengacara James melayangkan tatapan tajam. "Draxler. Jadi kau yang menculikku di pagi buta seperti ini?" ucapnya terdengar mengumpat. James berdiri di belakang Sergei N
Cestershire, Inggris. Boneka kepala kelinci besar yang menempel pada sebuah tas itu bergoyang-goyang seiring langkah kaki seorang pria yang menentengnya. Sementara di belakang, seorang wanita baru saja turun dari mobil sambil memeluk bayi mungilnya ikut berjalan terburu bersama wanita paruh baya yang membawakan barang-barang. "Apa yang kalian lakukan? Apa si kecil baik-baik saja?" ucap Alexa cemas sambil membuka kedua tangannya. Sang ayah tak menjawab. Dengan tas bayi besar di tangannya dia hanya merangkul Alexa sekilas lalu melewatinya menuju pria yang berdiri di depan pintu utama. "Kalian hanya bertiga? Sama sekali tak ada penjagaan?" "Berempat," ralat David lalu membalas rangkulan Zack cepat kemudian menuju tiga orang lagi yang menyambut kedatangan mereka di pelataran. "Kami mencemaskan sang pangeran kecil," sapa Clara. David mengecup pipi ibu tiri dan aunty nya secara bergantian sebelum ia merangkul ayahnya yang menyambut dengan tersenyum lebar. "Dia baik-baik saja," ujar D
"Aku setuju." Hanya itu kalimat yang bisa keluar dari mulut kelu Grassiela. Seusai makan malam, Veronica beserta para pria dari keluarga Stamford berkumpul di salah satu ruang duduk dengan perapian menyala. Grassiela dan ibunya, Helena ikut hadir di sana dengan hanya menyimak diskusi yang sedang berlangsung. Mereka membicarakan rencana mengenai Grassiela yang serba pernikahan serta berbagai permintaan dari pihak calon pria. Lalu ketika semua orang di ruangan itu mencapai kata-kata, Grassiela tahu bahwa dirinya tidak memiliki hak suara dalam pernikahannya sendiri. Maka mau tidak mau ia harus menelan mentah-mantah semua serta protesnya dan menyetujui saja rencana apapun itu. *** "Lihatlah semua barang-barang ini, Grace!" Helena tampak senang melihat para pelayan sibuk keluar masuk ruangan dengan membawakan berbagai hadiah pernikahan untuk Grassiela. Macam-macam barang bermerek dalam bentuk pakaian, tas, sepatu, produk perawatan tubuh bahkan perhiasan mahal memenuhi kamar wanita muda
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi setelah mereka kembali dari pemakaman. Valentina berdiri di balkon kamar, gaun hitam panjangnya berkibar pelan terkena angin malam. Wajahnya tampak murung, bayangan kesedihan dan kecemasan menghiasi tatapannya yang kosong, memandangi langit malam tanpa benar-benar melihat apa pun. Di dalam dirinya, ribuan pikiran berkeliaran, menghantui setiap detik yang berlalu. Pemakaman Borsellino, suaminya baru saja selesai meninggalkan perasaan yang campur aduk. Valentina memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya angin yang merembes hingga ke tulang. Dia tidak bisa menghentikan kegelisahan yang terus merayap dalam hatinya—kegelisahan tentang bagaimana orang-orang akan memandang hubungannya dengan Paolo setelah ini. Pria yang selama ini menemaninya, sekarang menjadi pusat dari segala rumor dan spekulasi. Dunia mafia penuh intrik, dan hubungan mereka pasti akan dipandang dari segala sisi yang penuh kecurigaan. Paolo muncul dari dalam kamar, mendekati Valent
Di dalam ruangan dengan perapian yang menyala lembut, sinar api memantulkan bayang-bayang di dinding kayu yang tebal. Malam telah larut, dan udara dingin perlahan merasuk. Sebuah papan catur kayu tua dipasang di atas meja kecil di depan kursi empuk tempat Grassiela dan Fyodor, ayah mertuanya, duduk berhadapan. Pria tua itu menatap papan dengan intens, alisnya mengerut dalam, menggumamkan pikirannya sambil mempertimbangkan langkah berikutnya. "Hm, kau bermain dengan sangat baik," katanya sambil memindahkan bentengnya ke tengah papan. Grassiela tersenyum tipis, pandangannya tak lepas dari bidak-bidak di depan mereka. “Terima kasih, Papa," jawabnya halus. Keheningan kembali menyelimuti. Grassiela menyentuh salah satu bidak kuda miliknya dan memutarnya sedikit sebelum akhirnya menggerakkan kuda tersebut ke arah yang tak terduga. Dia tersenyum puas, menyadari langkah itu membuat Fyodor semakin terdesak. "Langkah yang brilian," puji Fyodor sambil mengangguk. "Kau tahu, permainan catur in
Pagi itu, udara pegunungan terasa sejuk dan segar. Sinar matahari yang lembut menerobos masuk melalui jendela besar di ruang tamu rumah persembunyian. Grassiela berdiri di tepi jendela, mengenakan gaun tidurnya, dengan secangkir kopi hangat di tangan. Pandangannya terfokus pada jalan setapak yang berkelok menuju rumah, saat debu mulai terangkat oleh deretan mobil yang mendekat. Lima mobil hitam melaju pelan, mesin-mesinnya terdengar samar dari kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, Grassiela dapat melihat sosok James yang berdiri di halaman, memandang lurus ke arah mobil-mobil itu. Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di dada, tenang namun tegas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Mata Grassiela menyipit, mencoba menebak apa yang akan terjadi. Namun sikap tenang James memberitahunya bahwa itu bukanlah sebuah ancaman. Mobil pertama berhenti, diikuti oleh yang lainnya. Pintu terbuka, lalu Alexsei keluar dengan cepat disusul oleh Fausto yang mengikutinya. Pria bertubuh besar itu
Cestershire, Inggris. Helena duduk di kursi goyang berlapis kain beludru merah tua, menggenggam cangkir teh camomile antik dengan erat. Sesekali dia menyeruput teh hangat itu bersama Eveline, saudari iparnya. "Seharusnya dia sudah bertunangan atau menikah sekarang, bukannya berkeliaran entah ke mana," gumam Eveline menahan kekhawatirannya. Helena menurunkan cangkirnya, menatap Eveline dengan serius. "Maksudmu Arabella? Aku rasa dia seorang gadis yang mandiri, dan tahu apa yang harus dia lakukan." Eveline menggeleng pelan, tanda bahwa dia tidak setuju pendapat itu. "Dia ceroboh, egois dan sulit diatur. Seseorang bisa saja memanfaatkannya." Dia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara pelan. "Dia selalu membuatku khawatir. Kini sudah dua minggu Arabella pergi entah kemana." Helena terdiam mendengar sejenak. Seketika, pikirannya melayang ke sosok putrinya, Grassiela. Apakah dia pernah merasa khawatir seperti apa yang Eveline rasakan? Sejauh mana dirinya menc
Langit di atas hutan Castelbuono berwarna biru cerah, cahaya matahari yang lembut menerobos dedaunan, menciptakan permainan bayangan di atas tanah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma pinus dan dedaunan yang segar. Grassiela berjalan dengan langkah ringan, rambut berwarna karamelnya diikat ekor kuda dan berkibar lembut di bawah pepohonan bersama apron merah muda yang menghiasi dress putih polosnya. James mengikuti dari belakang, matanya tak pernah lepas dari sosok menarik itu. Di setiap langkahnya, dia tampak waspada, meski diam-diam ada kehangatan dalam tatapannya. "Kau tidak perlu mengikutiku," kata Grassiela tiba-tiba, tanpa berbalik bersama langkahnya yang tetap ringan dan bebas. "Tidak perlu khawatir. Aku bisa menemukan jalan pulang sendiri nanti." James mendengus pelan, meski senyumnya hampir tak terlihat. "Aku hanya memastikan kau tidak tersesat atau membuat masalah." "Masalah?" Seketika Grassiela berhenti untuk menoleh menatap suaminya tajam. "Di sini, satu-satunya masalah ada
Pagi itu, James terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak biasa. Sinar matahari menembus celah-celah tirai jendela, menerangi ruang tamu yang dia gunakan untuk beristirahat. Aroma lezat dari dapur mulai menggoda indera penciumannya, memanggilnya untuk bangun dan menyambut hari. Dengan enggan, ia menghempaskan selimut yang entah datangnya dari mana lalu bangkit dari sofa. Pria itu berjalan menuju dapur, masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi serta celana hitam yang sedikit kusut, sebuah tanda dari malam panjang yang baru saja berlalu. Dapur itu sederhana, tidak seperti dapur mewah yang biasa ia temui di rumah-rumah besar. Namun entah bagaimana, kesederhanaan ini terasa membawa kedamaian baginya. Saat ia memasuki dapur, matanya tertuju pada meja makan. Sarapan telah disiapkan dengan rapi, lengkap dengan roti, telur, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya—pintu dapur yang sedikit terbuka, membiarkan angin pagi masuk ke dalam r
Mobil melaju dengan kecepatan konstan, menembus kegelapan malam yang semakin dalam. Jalanan yang mereka lewati semakin sepi, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Grassiela memandang ke luar jendela, pikirannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. James, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Wajahnya tetap menunjukkan ketegangan dan fokus yang sama. Grassiela merasa semakin sulit untuk menembus dinding emosional yang dibangun James saat ini. Dia ingin sekali tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ada sesuatu dalam sikap James yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, James akhirnya berbicara, meskipun suaranya tetap dingin dan terkendali. "Kita akan menuju tempat persembunyian sementara. Di sana kita bisa menunggu kabar dari Paolo dan yang lainnya." Grassiela mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya mendapat jawaban. Malam i