Maaf ya hiatus nya kelamaan.. dan makasih banyak buat yg terus dukung cerita ini 😊
Chapter 10 *** Ketiga pria itu menyusuri koridor dengan langkah-langkah panjang. James yang memimpin di depan bahkan tampak terburu, tak sabar untuk melihat hasil tangkapan dari orang kepercayaannya. Lantas ketika ketiganya sampai di depan pintu ruang rapat, Benicio dan Fausto yang sejak tadi mengekor membukakan pintu tinggi tersebut. Di dalam ruangan dengan pencahayaan temaram itu, terdapat sebuah meja besar berbentuk oval. Di kedua sisinya, tampak dua orang pria duduk saling berhadapan dan seorang pria lagi berdiri dengan melipat kedua tangannya di sisi ruangan. James tersenyum puas. Ia mengenyahkan keheningan di sana dengan bertepuk tangan sambil berjalan memasuki ruang rapat tersebut. "Manicci. Senang melihatmu kembali," sapa James menahan girang. Sementara Fredo Manicci, pria tua yang duduk berhadapan dengan pengacara James melayangkan tatapan tajam. "Draxler. Jadi kau yang menculikku di pagi buta seperti ini?" ucapnya terdengar mengumpat. James berdiri di belakang Sergei N
Cestershire, Inggris. Boneka kepala kelinci besar yang menempel pada sebuah tas itu bergoyang-goyang seiring langkah kaki seorang pria yang menentengnya. Sementara di belakang, seorang wanita baru saja turun dari mobil sambil memeluk bayi mungilnya ikut berjalan terburu bersama wanita paruh baya yang membawakan barang-barang. "Apa yang kalian lakukan? Apa si kecil baik-baik saja?" ucap Alexa cemas sambil membuka kedua tangannya. Sang ayah tak menjawab. Dengan tas bayi besar di tangannya dia hanya merangkul Alexa sekilas lalu melewatinya menuju pria yang berdiri di depan pintu utama. "Kalian hanya bertiga? Sama sekali tak ada penjagaan?" "Berempat," ralat David lalu membalas rangkulan Zack cepat kemudian menuju tiga orang lagi yang menyambut kedatangan mereka di pelataran. "Kami mencemaskan sang pangeran kecil," sapa Clara. David mengecup pipi ibu tiri dan aunty nya secara bergantian sebelum ia merangkul ayahnya yang menyambut dengan tersenyum lebar. "Dia baik-baik saja," ujar D
"Aku setuju." Hanya itu kalimat yang bisa keluar dari mulut kelu Grassiela. Seusai makan malam, Veronica beserta para pria dari keluarga Stamford berkumpul di salah satu ruang duduk dengan perapian menyala. Grassiela dan ibunya, Helena ikut hadir di sana dengan hanya menyimak diskusi yang sedang berlangsung. Mereka membicarakan rencana mengenai Grassiela yang serba pernikahan serta berbagai permintaan dari pihak calon pria. Lalu ketika semua orang di ruangan itu mencapai kata-kata, Grassiela tahu bahwa dirinya tidak memiliki hak suara dalam pernikahannya sendiri. Maka mau tidak mau ia harus menelan mentah-mantah semua serta protesnya dan menyetujui saja rencana apapun itu. *** "Lihatlah semua barang-barang ini, Grace!" Helena tampak senang melihat para pelayan sibuk keluar masuk ruangan dengan membawakan berbagai hadiah pernikahan untuk Grassiela. Macam-macam barang bermerek dalam bentuk pakaian, tas, sepatu, produk perawatan tubuh bahkan perhiasan mahal memenuhi kamar wanita muda
Suara anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang kastil terdengar riang dan ceria. Saat itu, Grassiela mungkin berpikir bahwa dirinya dapat bersembunyi di balik tirai putih tipis yang berkibar ditiup angin pagi sambil diam-diam mengamati dari balik jendela. Sayangnya ia salah. Seorang wanita yang berjalan di koridor tersenyum melihat apa yang dia lakukan. Sementara di area taman, beberapa orang wanita tampak sedang berbincang dikelilingi anak-anak mereka yang sedang bermain. Pemandangan itu mengingatkan Grassiela pada sebuah lukisan klasik yang pernah ia lihat. Oh, Grassiela tak ingat siapa pelukisnya dan apa judul dari lukisan itu, tapi kini jemarinya merasa gemas ingin memegang sebuah kuas dan mencoretkannya di atas kanvas. Begitulah, bagi Grassiela hal-hal indah di matanya tak lebih dari sebuah karya seni seperti lukisan atau novel yang hanya bisa ia nikmati dengan memandang atau membacanya saja. Tidak untuk hadir di dunia nyata. "Kenapa kau tidak ikut bergabung?" Grassie
Suasana di halaman kastil Cestershire pagi ini tampak lebih ramai dari biasanya. Suatu momen yang langka, jarang sekali seluruh keluarga berkumpul di titik yang sama dengan para pelayan pribadi serta sopir mereka. Kali ini, tujuannya adalah melepas kepergian Grassiela untuk bertunangan di Moldovanskaya, sebuah desa kecil di pinggiran Distrik Krymsk wilayah Krasnodar, Rusia. Ya, dia memang tidak akan pergi sendiri, kedua orang tua beserta seorang bibi dan neneknya akan ikut mengantarkan. Tentu saja berikut beberapa pelayan serta penjaga pribadi yang akan bertugas melayani mereka selama perjalanan. Sementara anggota keluarga yang lain akan menyusul nanti tepat di malam pesta pertunangan tersebut. Di antara orang-orang yang larut dengan pembicaraan mereka, dan para pelayan yang sibuk mempersiapkan barang-barang, mari kita lihat sang tokoh utama yang tampak tersenyum simpul. Mereka pasti mengira bahwa Grassiela teramat bahagia dengan rencana pertunangannya. Tetapi tak banyak yang tahu ba
Suasananya sedikit kurang nyaman. Ketika kau berada di tengah sekumpulan orang yang akan menjalin hubungan kekeluargaan, sementara kau tidak mengenal sebagian besar dari mereka. Baiklah, ini bukan pertama kalinya Grassiela merasa canggung di antara banyak orang. Dia bahkan merasakannya saat berada di tengah keluarga besarnya sendiri. Tapi itu bukan berarti dia suka atau sudah terbiasa hingga mahir mengatasi hal ini. Tidak. Grassiela tetap tidak menyukai situasinya dan dia jadi merasa kikuk sendiri. Ketika mereka sampai di desa kecil itu, Fyodor Draxler dan keluarganya memberikan sambutan yang luar biasa. Kedua keluarga itu layaknya kerabat lama yang sudah sangat dekat. Dan takjub, adalah kesan pertama yang Grassiela dapatkan ketika ia sampai di Moldovanskaya. Jika Cestershire memesona oleh hamparan rumput hijau serta peternakannya, maka Moldovanskaya adalah surganya anggur. Tapi sepertinya hanya Grassiela lah satu-satunya yang tidak tahu bahwa selain sebagai produsen gas terbesar d
Suara ketukan-ketukan pada tong barel terdengar menggema di sebuah lorong gudang anggur yang sepi. Setelah memastikan bahwa tong pilihannya yang terbaik, sang pemilik Dax Winery itu membuka satu keran barel lalu menuangkan cairan berwarna kemerahan pada dua buah gelas yang sudah tersedia di sana. "Luar biasa," puji Alfonso setelah menyicipi anggur yang diberikan oleh Fyodor. "Ini adalah hartaku yang berharga," ucap Fyodor setelah meneguk anggur dari gelasnya. "Pantas saja, sedikit berbeda dari yang lain." "Sesuatu yang sangat berharga tak akan ditunjukan pada siapa saja. Bukankah begitu?" Alfonso menyorotkan pandangan pada pria pemilik perkebunan anggur di hadapannya. Dia menyadari bahwa ucapan ironis Fyodor jelas ditujukan untuk menyindir dirinya. Apa lagi jika bukan mengenai lamaran untuk Grassiela yang sebelumnya pernah ia tolak. Hal itu sudah lama, tetapi mungkin pernah membuat sang penguasa Moldovanskaya itu kecewa. "Aku mengerti jika kau sempat tersinggung mengenai lamaran
Suara derap langkah dari sepasang kaki yang beradu dengan lantai terdengar di sebuah koridor. Dengan mengulum senyum wanita itu terus berjalan menuju ke kamarnya sendirian. Helena tertawa kecil mengingat pembicaraan dengan Paula Genovese barusan. Rupanya istri kedua Fyodor itu seorang yang menyenangkan. Mereka mempunyai banyak kesamaan. Helena berpikir bahwa sosok Paula seperti cerminan dirinya sebelum menjadi bagian dari klan Stamford. Berjiwa bebas, tetapi juga menyukai barang-barang langka serta mahal. Dan menikahi pria kaya menjadi pilihan untuk memuaskan hasratnya pada berbelanja. Itu bukan kesalahan. Sekali lagi, itu pilihan. Akhirnya wanita itu sampai di depan pintu kamar tamu yang sementara ia tempati. Helena membuka pintu kemudian betapa terkejutnya ia mendapati putrinya bersandar di atas tempat tidur sambil melipat kedua tangannya. "Grassiela? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Helena bingung. Wanita muda itu tak merubah posisinya. Dia hanya tersenyum dan menjawab. "Men
Kabut tipis masih menyelimuti taman luas di belakang mansion. Matahari pagi mulai mengintip di antara pepohonan, memberikan kehangatan samar yang terasa ironis di tengah suasana mencekam. Di tengah taman, tiga pria berlutut di atas tanah lembap. Wajah mereka pucat, napas tersengal, dan tangan gemetar. Di atas kepala mereka masing-masing bertengger sebuah apel merah yang tampak kontras dengan ekspresi ketakutan di wajah mereka. James berdiri beberapa meter jauhnya, memegang senapan laras panjang dengan sikap santai namun mematikan. Matanya tajam, penuh konsentrasi, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Di sampingnya, Alexsei, Benicio, dan Fausto duduk di kursi taman sambil menyeruput kopi dan menikmati croissant, seolah tontonan pagi itu adalah hiburan biasa. “Siapa yang mau taruhan? Apakah aku bisa mengenai apel itu atau tidak?” tanya James dengan nada bercanda.Fausto tertawa kecil. “Aku bertaruh kau bahkan tidak akan meleset satu kali pun
Apakah sebuah pernikahan yang didasari oleh kepentingan akan berjalan sebagaimana hubungan pernikahan pada umumnya? Apakah cinta akan tumbuh di antara dua insan dengan ikatan semacam ini?Mungkin ya, mungkin juga tidak. Grassiela tidak bisa memastikannya. Helena dan Alfonso, kedua orangtuanya juga menjalani pernikahan tanpa cinta. Entah perjanjian macam apa yang mendasari perjodohan itu, namun pada akhirnya pernikahan mereka tetap berjalan sampai puluhan tahun hingga menghadirkan seorang anak yang tumbuh tanpa cinta. Ya, begitulah kira-kira. Dan Grassiela akan memastikan bahwa pernikahannya tidak akan sama seperti pernikahan kedua orangtuanya.Ketika sampai di depan pintu kamar James, dia berhenti sejenak. Memandang gagang pintu itu, seolah menimbang-nimbang keputusannya. Lalu akhirnya dia memutuskan membuka pintu dan melangkah masuk. Kamar itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari lampu taman yang menyusup melalui tirai. Udara di dal
Dua minggu yang lalu. Keramaian pesta malam itu terasa megah namun penuh dengan ketegangan bagi Grassiela dan James. Musik klasik mengalun lembut, gelas-gelas anggur beradu dalam percakapan santai para tamu. Grassiela, dalam balutan gaun hitam elegan yang mencerminkan keanggunannya, menyusup tanpa menarik perhatian, mengiringi Valentina keluar dari ruang utama. Dia menyentuh lengan Valentina dengan lembut, menenangkan wanita itu dari kecemasannya. "Percayalah padaku, kita akan keluar dari sini dengan selamat," bisiknya sambil tetap melangkah dengan percaya diri. Mereka menyusuri lorong panjang yang redup, menjauh dari keramaian pesta. Grassiela mengarahkan Valentina ke sebuah ruangan terpencil, dimana terdapat jalan rahasia yang akan membawa mereka keluar dari vila tanpa terlihat.Ketika mereka hampir mencapai ruangan itu, langkah keduanya terhenti. Seorang pria muncul dari belokan, mengenakan jas biru tua yang rapi. Dia berhenti sejenak, matanya terbelalak seolah tak percaya pad
Ruang rapat itu diterangi cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela berbingkai kayu ek, memantulkan kilau pada meja panjang yang mengisi ruangan. Jam menunjukkan pukul dua siang. James duduk di ujung meja dengan tubuh tegap, mengenakan setelan jas abu-abu tua yang sempurna. Di depannya tergeletak dokumen dan grafik yang menunjukkan data perdagangan dan rute penyelundupan. Alexsei, Benicio, Fausto, dan Sergei masing-masing mendengarkan dengan serius. James memulai pembicaraan, suaranya rendah namun sarat dengan ketegasan. “Kita sudah berhasil mendominasi jalur di Eropa utara. Tapi untuk memperbesar keuntungan, kita harus melangkah ke titik yang lebih strategis. Pasar di sana sangat menguntungkan, terutama di negara-negara seperti Jerman, Prancis, dan Inggris. Kita butuh rencana yang tak hanya licik, tapi juga sulit dilacak." James menunjuk layar presentasi di belakangnya, yang menunjukkan peta jalur perdagangan narkoba. “Gunakan Balkan sebagai pintu masuk utama. Barang ak
Ruang duduk utama kastil Cestershire yang megah dengan dinding batu kuno dan perabotan antik, dipenuhi keheningan yang mencekam. Veronica duduk di kursi merahnya dengan postur tegas, meskipun guratan keriput di wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Di depannya, Helena berdiri dengan tangan gemetar, meski sorot matanya menunjukkan keteguhan. “Apa yang kau katakan barusan?” suara Veronica terdengar rendah namun dingin, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Helena menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya. “Pria yang menikahi Grassiela… dia adalah seorang pemilik kartel narkoba. Aku tidak bisa membiarkan putriku terus hidup dalam bayang-bayang marabahaya.” Veronica terdiam, matanya menatap tajam ke arah jendela besar yang memandang ke halaman luas kastil. Pikirannya berputar. “Dan bagaimana kau baru mengetahuinya?” “Penyelidikan pribadi,” jawab Helena dengan nada tegas. “Grassiela sudah pernah men
Malam menjalar perlahan di balik tirai kamar itu, memberikan kehangatan yang berbeda setelah dinginnya udara di tebing tadi. Lampu di kamar menyala redup, menciptakan suasana intim. Grassiela berdiri di tengah ruangan, sibuk merapikan pakaian-pakaian baru yang ia beli di butik.Namun, matanya kemudian tertuju pada sebuah tas kecil di sudut ranjang. Tas itu berisi pilihan lingerie yang ia pilih dengan ragu-ragu tadi siang. Sesaat, pikiran nakalnya menerawang memikirkan James. Bibir Grassiela melengkung dalam senyum kecil yang hanya ia sadari saat memikirkan pria itu.Dia memutar-mutar jemari pada salah satu tali lingerie di dalam tas. Mengeluarkan dua potong lingerie, berwarna merah tua dengan renda halus dan satu lagi berwarna hitam dengan potongan berani yang memperlihatkan lekuk tubuh dengan indah. Grassiela membawa keduanya ke depan cermin besar di sudut kamar. Bayangannya menatap balik dengan rasa percaya diri yang baru ia temukan belakangan ini.
Apa moment terburuk yang pernah kau hadapi? Menyaksikan saudaramu tewas tertembak tepat di depan matamu? Diusir dari rumah dan diasingkan ke sebuah sekolah asrama? Atau, apa kau pernah menyaksikan sebuah ledakan hebat yang menjatuhkan banyak korban dan itu semua adalah karena kesalahanmu? Tidak, itu baru sebagian kecil. Masih banyak hal buruk yang Grassiela lewati selama hidupnya. Terlebih lagi, setelah dia dinikahi oleh seorang bos mafia yang tak kenal ampun. Semua itu jelas mengerikan. Sikap angkuh kedua orangtuanya juga suaminya membuat Grassiela tertekan dan frustasi. Jika begitu, lantas kapan moment terbaik yang pernah ia rasakan dalam hidupnya? Kini, sebuah senyuman merekah di wajah jelita itu. Matahari mulai merangkak naik hingga pagi menjadi terang. Mereka tiba di kawasan perkotaan Krasnodar. Suasana yang ramai dengan deretan bangunan klasik dan modern bercampur dalam musim semi yang memancarkan kehangatan. Keduanya turun dari mobil, berjalan sambil saling berpegangan tan
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t