Dah lh aq menyerah sama kata2 yg sedikit berubah setelah copy disini.. dh bolak balik edit tp kembali lg.. yah.. semoga mengerti..
Suara ketukan-ketukan pada tong barel terdengar menggema di sebuah lorong gudang anggur yang sepi. Setelah memastikan bahwa tong pilihannya yang terbaik, sang pemilik Dax Winery itu membuka satu keran barel lalu menuangkan cairan berwarna kemerahan pada dua buah gelas yang sudah tersedia di sana. "Luar biasa," puji Alfonso setelah menyicipi anggur yang diberikan oleh Fyodor. "Ini adalah hartaku yang berharga," ucap Fyodor setelah meneguk anggur dari gelasnya. "Pantas saja, sedikit berbeda dari yang lain." "Sesuatu yang sangat berharga tak akan ditunjukan pada siapa saja. Bukankah begitu?" Alfonso menyorotkan pandangan pada pria pemilik perkebunan anggur di hadapannya. Dia menyadari bahwa ucapan ironis Fyodor jelas ditujukan untuk menyindir dirinya. Apa lagi jika bukan mengenai lamaran untuk Grassiela yang sebelumnya pernah ia tolak. Hal itu sudah lama, tetapi mungkin pernah membuat sang penguasa Moldovanskaya itu kecewa. "Aku mengerti jika kau sempat tersinggung mengenai lamaran
Suara derap langkah dari sepasang kaki yang beradu dengan lantai terdengar di sebuah koridor. Dengan mengulum senyum wanita itu terus berjalan menuju ke kamarnya sendirian. Helena tertawa kecil mengingat pembicaraan dengan Paula Genovese barusan. Rupanya istri kedua Fyodor itu seorang yang menyenangkan. Mereka mempunyai banyak kesamaan. Helena berpikir bahwa sosok Paula seperti cerminan dirinya sebelum menjadi bagian dari klan Stamford. Berjiwa bebas, tetapi juga menyukai barang-barang langka serta mahal. Dan menikahi pria kaya menjadi pilihan untuk memuaskan hasratnya pada berbelanja. Itu bukan kesalahan. Sekali lagi, itu pilihan. Akhirnya wanita itu sampai di depan pintu kamar tamu yang sementara ia tempati. Helena membuka pintu kemudian betapa terkejutnya ia mendapati putrinya bersandar di atas tempat tidur sambil melipat kedua tangannya. "Grassiela? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Helena bingung. Wanita muda itu tak merubah posisinya. Dia hanya tersenyum dan menjawab. "Men
Pencucian uang. Kasus suap para hakim. Tuduhan pembunuhan pada seorang politisi. Manipulasi taruhan ajang bergengsi. Penggelapan pajak. Kekerasan di sebuah kelab malam. Pemerkosaan serta penganiayaan pada seorang wanita. Keterlibatan dengan jaringan kriminal kartel narkoba. Grassiela cukup yakin bahwa yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari kejahatan yang pernah James Draxler lakukan. Ironisnya, semua tuduhan itu seolah menguap di udara hingga menghilang secara ajaib. Kenyataannya pria penuh skandal itu masih berkeliaran dengan segala aktivitas bersama kekuasaannya yang disegani. Tidak mengagetkan bagi Grassiela. Mengingat bahwa dirinya juga berasal dari keluarga pemegang bisnis gelap. Tapi setidaknya, nama besar Stamford tak pernah tercoreng sedikit pun. Maka kini Grassiela mulai mengerti mengapa James Draxler membutuhkannya. Itu mungkin baru benang kusut yang pertama. Masih banyak pertanyaan di benak Grassiela yang sampai kini tak terjawab. Misalnya, alasan di balik pem
Sudah lebih dari setengah jam dia terdiam di dalam kubangan air hangat dengan sabun beraroma floral. Termenung di dalam bathtub dan membiarkan Greta yang sudah mempersiapkan gaun tidur menunggunya di dalam kamar sendirian. Grassiela menghela napas panjang. Pesta tadi cukup melelahkan baginya dan seharusnya ia segera beristirahat. Tetapi entah kenapa Grassiela merasa enggan untuk keluar dari kenyamanan ini. Lantas ia mengangkat tangan kirinya lalu memerhatikan sebuah cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Sangat indah. Mereka mengatakan bahwa benda berkilau ini sudah dipesan jauh-jauh hari bahkan sebelum James Draxler menentukan siapa yang akan menjadi calon pendampinya. Suara hela napas panjang kembali terdengar. Pikiran Grassiela seolah terbang lalu berputar arah ke pesta beberapa jam yang lalu. Seorang pria menyematkan sebuah cincin di jari manis Grassiela kemudian orang-orang bersulang untuk merayakannya. Saat itu Grassiela tak berkata apa-apa. James Draxler dan ayahnya l
Grassiela berdiri di hadapan pintu tinggi berwarna gelap bersama degup jantungnya yang berdebar kencang. Seorang penjaga yang bertugas di sana memberi isyarat pada dua orang pelayan untuk membukakan pintu. Lantas kegugupan menelan wanita muda itu manakala pintu mulai terbuka secara perlahan. Di sana dia berada. Grassiela memandang lurus ke depan hingga tatapannya bertemu dengan sepasang netra kelabu yang juga menatapnya tajam. Sang pangeran menunggunya. James Draxler masih mengenakan tuxedo hitam lengkap dan dia tengah duduk pada sebuah sofa lebar bersama seekor anjing besar di sampingnya. Ketakutan Grassiela semakin menjadi melihat hewan peliharaan berwarna hitam yang ikut duduk bersama pria itu. Sesungguhnya Grassiela takut pada hewan mana pun. Maka ia tidak menyadari bahwa wajahnya mulai memucat. Sementara ketakutan Grassiela menjadi hiburan tersendiri bagi James. Hingga bibir maskulinnya terangkat membentuk seringai licik. "Masuklah," titah pria itu. Meski enggan, Grassiela ta
"Grassiela, kemarilah," panggil Helena sambil melambaikan tangannya. Pagi itu, sang tuan putri baru saja tiba di teras belakang yang mereka sulap menjadi area untuk menikmati sarapan. Di sana, ada empat meja besar berbentuk lingkaran dengan masing-masing kursi yang mengelilinginya. Itu berarti, ada empat kelompok di mana terbagi menjadi dua lingkaran meja makan untuk pria dan dua untuk wanita. Dari bawah bulu mata lentiknya, Grassiela dapat melihat bahwa semua kursi hampir penuh. Artinya, dia mungkin datang sedikit terlambat. Sebetulnya Grassiela tidak bangun kesiangan. Dia sibuk di dalam kamarnya untuk memperbaiki penampilan serta memunguti sisa-sisa hatinya yang semalam pecah berserakan. Rasa-rasanya dia membutuhkan waktu yang lebih lama dari ini. Lantas, wanita muda itu mengedarkan pandangannya dan melihat bahwa ibunya duduk satu meja dengan neneknya, Veronica. Lalu ada Clara, Eveline, Violeta, Irina serta Paula. Mereka berkumpul membicarakan hal-hal yang Grassiela yakini akan me
Fyodor, ketiga istrinya serta Irina Dzanayev terdiam di sebuah ruang duduk. Hanya ada hening yang melingkupi serta kegugupan Irina yang berusaha ia tutupi di sana. Permukaan wajah wanita tengah baya itu merah padam menahan emosi yang tertahan oleh malu dan sesal. Fyodor tak berkata apa-apa setelah mengetahui bahwa calon menantunya hilang tanpa jejak. Pria tua itu langsung mengerahkan anak buahnya untuk mencari Grassiela tanpa menyalahkan siapa pun. Namun wajahnya jelas menunjukkan kekecewaan. Di sisi lain, tatapan Paula Genovse dan Katelina tampak mengejek serta memojokkan Irina. Dia tidak becus menjalankan tugasnya. Semua orang pasti akan berganggapan seperti itu setelah Grassiela hilang dari pengawasan Irina dan masih belum diketemukan hingga Fyodor serta James kembali. "Jika dia tidak mau tinggal sementara di sini, kenapa dia tidak ikut dengan keluarganya untuk kembali ke Inggris? Bukankah dia bisa mengatakannya saja?" gumam Paula memikirkan permasalahan ini. Tak ada yang menjaw
Sinar matahari pagi sedikit demi sedikit masuk menembus jendela kamar seseorang yang masih terlelap di atas tempat tidur. Saat kicau burung mulai terdengar, wanita itu mengerjapkan kedua mata perlahan lalu membukanya dan memperhatikan sekitar. Dengan masih berbaring, sepasang netra biru terang mengedarkan pandangannya mengamati sebuah kamar yang tertata rapi dan bersih di pondok kayu tua. Tempat ini cukup nyaman, tempat tidurnya juga nyaman. Sampai-sampai Grassiela merasa enggan untuk bangun dan barharap bahwa semua perjalanan yang telah ia lewati hanyalah mimpi. Tetapi apakah kenyataan memang seburuk itu?Grassiela memaksa tubuhnya untuk bangun lalu beranjak malas menuju jendela. Dia membuka tirai serta jendela berbingkai kayu kemudian menghirup udara segar dari luar. Sinar matahari yang menembus pori-pori kulitnya membuat tubuhnya terasa hangat. Dan pemandangan desa yang menakjubkan membuat kedua lensa mata berwarna biru terang itu berbinar segar. Setelah sekian lama akhirnya dia bis
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi setelah mereka kembali dari pemakaman. Valentina berdiri di balkon kamar, gaun hitam panjangnya berkibar pelan terkena angin malam. Wajahnya tampak murung, bayangan kesedihan dan kecemasan menghiasi tatapannya yang kosong, memandangi langit malam tanpa benar-benar melihat apa pun. Di dalam dirinya, ribuan pikiran berkeliaran, menghantui setiap detik yang berlalu. Pemakaman Borsellino, suaminya baru saja selesai meninggalkan perasaan yang campur aduk. Valentina memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya angin yang merembes hingga ke tulang. Dia tidak bisa menghentikan kegelisahan yang terus merayap dalam hatinya—kegelisahan tentang bagaimana orang-orang akan memandang hubungannya dengan Paolo setelah ini. Pria yang selama ini menemaninya, sekarang menjadi pusat dari segala rumor dan spekulasi. Dunia mafia penuh intrik, dan hubungan mereka pasti akan dipandang dari segala sisi yang penuh kecurigaan. Paolo muncul dari dalam kamar, mendekati Valent
Di dalam ruangan dengan perapian yang menyala lembut, sinar api memantulkan bayang-bayang di dinding kayu yang tebal. Malam telah larut, dan udara dingin perlahan merasuk. Sebuah papan catur kayu tua dipasang di atas meja kecil di depan kursi empuk tempat Grassiela dan Fyodor, ayah mertuanya, duduk berhadapan. Pria tua itu menatap papan dengan intens, alisnya mengerut dalam, menggumamkan pikirannya sambil mempertimbangkan langkah berikutnya. "Hm, kau bermain dengan sangat baik," katanya sambil memindahkan bentengnya ke tengah papan. Grassiela tersenyum tipis, pandangannya tak lepas dari bidak-bidak di depan mereka. “Terima kasih, Papa," jawabnya halus. Keheningan kembali menyelimuti. Grassiela menyentuh salah satu bidak kuda miliknya dan memutarnya sedikit sebelum akhirnya menggerakkan kuda tersebut ke arah yang tak terduga. Dia tersenyum puas, menyadari langkah itu membuat Fyodor semakin terdesak. "Langkah yang brilian," puji Fyodor sambil mengangguk. "Kau tahu, permainan catur in
Pagi itu, udara pegunungan terasa sejuk dan segar. Sinar matahari yang lembut menerobos masuk melalui jendela besar di ruang tamu rumah persembunyian. Grassiela berdiri di tepi jendela, mengenakan gaun tidurnya, dengan secangkir kopi hangat di tangan. Pandangannya terfokus pada jalan setapak yang berkelok menuju rumah, saat debu mulai terangkat oleh deretan mobil yang mendekat. Lima mobil hitam melaju pelan, mesin-mesinnya terdengar samar dari kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, Grassiela dapat melihat sosok James yang berdiri di halaman, memandang lurus ke arah mobil-mobil itu. Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di dada, tenang namun tegas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Mata Grassiela menyipit, mencoba menebak apa yang akan terjadi. Namun sikap tenang James memberitahunya bahwa itu bukanlah sebuah ancaman. Mobil pertama berhenti, diikuti oleh yang lainnya. Pintu terbuka, lalu Alexsei keluar dengan cepat disusul oleh Fausto yang mengikutinya. Pria bertubuh besar itu
Cestershire, Inggris. Helena duduk di kursi goyang berlapis kain beludru merah tua, menggenggam cangkir teh camomile antik dengan erat. Sesekali dia menyeruput teh hangat itu bersama Eveline, saudari iparnya. "Seharusnya dia sudah bertunangan atau menikah sekarang, bukannya berkeliaran entah ke mana," gumam Eveline menahan kekhawatirannya. Helena menurunkan cangkirnya, menatap Eveline dengan serius. "Maksudmu Arabella? Aku rasa dia seorang gadis yang mandiri, dan tahu apa yang harus dia lakukan." Eveline menggeleng pelan, tanda bahwa dia tidak setuju pendapat itu. "Dia ceroboh, egois dan sulit diatur. Seseorang bisa saja memanfaatkannya." Dia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara pelan. "Dia selalu membuatku khawatir. Kini sudah dua minggu Arabella pergi entah kemana." Helena terdiam mendengar sejenak. Seketika, pikirannya melayang ke sosok putrinya, Grassiela. Apakah dia pernah merasa khawatir seperti apa yang Eveline rasakan? Sejauh mana dirinya menc
Langit di atas hutan Castelbuono berwarna biru cerah, cahaya matahari yang lembut menerobos dedaunan, menciptakan permainan bayangan di atas tanah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma pinus dan dedaunan yang segar. Grassiela berjalan dengan langkah ringan, rambut berwarna karamelnya diikat ekor kuda dan berkibar lembut di bawah pepohonan bersama apron merah muda yang menghiasi dress putih polosnya. James mengikuti dari belakang, matanya tak pernah lepas dari sosok menarik itu. Di setiap langkahnya, dia tampak waspada, meski diam-diam ada kehangatan dalam tatapannya. "Kau tidak perlu mengikutiku," kata Grassiela tiba-tiba, tanpa berbalik bersama langkahnya yang tetap ringan dan bebas. "Tidak perlu khawatir. Aku bisa menemukan jalan pulang sendiri nanti." James mendengus pelan, meski senyumnya hampir tak terlihat. "Aku hanya memastikan kau tidak tersesat atau membuat masalah." "Masalah?" Seketika Grassiela berhenti untuk menoleh menatap suaminya tajam. "Di sini, satu-satunya masalah ada
Pagi itu, James terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak biasa. Sinar matahari menembus celah-celah tirai jendela, menerangi ruang tamu yang dia gunakan untuk beristirahat. Aroma lezat dari dapur mulai menggoda indera penciumannya, memanggilnya untuk bangun dan menyambut hari. Dengan enggan, ia menghempaskan selimut yang entah datangnya dari mana lalu bangkit dari sofa. Pria itu berjalan menuju dapur, masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi serta celana hitam yang sedikit kusut, sebuah tanda dari malam panjang yang baru saja berlalu. Dapur itu sederhana, tidak seperti dapur mewah yang biasa ia temui di rumah-rumah besar. Namun entah bagaimana, kesederhanaan ini terasa membawa kedamaian baginya. Saat ia memasuki dapur, matanya tertuju pada meja makan. Sarapan telah disiapkan dengan rapi, lengkap dengan roti, telur, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya—pintu dapur yang sedikit terbuka, membiarkan angin pagi masuk ke dalam r
Mobil melaju dengan kecepatan konstan, menembus kegelapan malam yang semakin dalam. Jalanan yang mereka lewati semakin sepi, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Grassiela memandang ke luar jendela, pikirannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. James, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Wajahnya tetap menunjukkan ketegangan dan fokus yang sama. Grassiela merasa semakin sulit untuk menembus dinding emosional yang dibangun James saat ini. Dia ingin sekali tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ada sesuatu dalam sikap James yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, James akhirnya berbicara, meskipun suaranya tetap dingin dan terkendali. "Kita akan menuju tempat persembunyian sementara. Di sana kita bisa menunggu kabar dari Paolo dan yang lainnya." Grassiela mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya mendapat jawaban. Malam i