Kalau kalian suka cerita ini, mohon dukungannya :)
Suara anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang kastil terdengar riang dan ceria. Saat itu, Grassiela mungkin berpikir bahwa dirinya dapat bersembunyi di balik tirai putih tipis yang berkibar ditiup angin pagi sambil diam-diam mengamati dari balik jendela. Sayangnya ia salah. Seorang wanita yang berjalan di koridor tersenyum melihat apa yang dia lakukan. Sementara di area taman, beberapa orang wanita tampak sedang berbincang dikelilingi anak-anak mereka yang sedang bermain. Pemandangan itu mengingatkan Grassiela pada sebuah lukisan klasik yang pernah ia lihat. Oh, Grassiela tak ingat siapa pelukisnya dan apa judul dari lukisan itu, tapi kini jemarinya merasa gemas ingin memegang sebuah kuas dan mencoretkannya di atas kanvas. Begitulah, bagi Grassiela hal-hal indah di matanya tak lebih dari sebuah karya seni seperti lukisan atau novel yang hanya bisa ia nikmati dengan memandang atau membacanya saja. Tidak untuk hadir di dunia nyata. "Kenapa kau tidak ikut bergabung?" Grassie
Suasana di halaman kastil Cestershire pagi ini tampak lebih ramai dari biasanya. Suatu momen yang langka, jarang sekali seluruh keluarga berkumpul di titik yang sama dengan para pelayan pribadi serta sopir mereka. Kali ini, tujuannya adalah melepas kepergian Grassiela untuk bertunangan di Moldovanskaya, sebuah desa kecil di pinggiran Distrik Krymsk wilayah Krasnodar, Rusia. Ya, dia memang tidak akan pergi sendiri, kedua orang tua beserta seorang bibi dan neneknya akan ikut mengantarkan. Tentu saja berikut beberapa pelayan serta penjaga pribadi yang akan bertugas melayani mereka selama perjalanan. Sementara anggota keluarga yang lain akan menyusul nanti tepat di malam pesta pertunangan tersebut. Di antara orang-orang yang larut dengan pembicaraan mereka, dan para pelayan yang sibuk mempersiapkan barang-barang, mari kita lihat sang tokoh utama yang tampak tersenyum simpul. Mereka pasti mengira bahwa Grassiela teramat bahagia dengan rencana pertunangannya. Tetapi tak banyak yang tahu ba
Suasananya sedikit kurang nyaman. Ketika kau berada di tengah sekumpulan orang yang akan menjalin hubungan kekeluargaan, sementara kau tidak mengenal sebagian besar dari mereka. Baiklah, ini bukan pertama kalinya Grassiela merasa canggung di antara banyak orang. Dia bahkan merasakannya saat berada di tengah keluarga besarnya sendiri. Tapi itu bukan berarti dia suka atau sudah terbiasa hingga mahir mengatasi hal ini. Tidak. Grassiela tetap tidak menyukai situasinya dan dia jadi merasa kikuk sendiri. Ketika mereka sampai di desa kecil itu, Fyodor Draxler dan keluarganya memberikan sambutan yang luar biasa. Kedua keluarga itu layaknya kerabat lama yang sudah sangat dekat. Dan takjub, adalah kesan pertama yang Grassiela dapatkan ketika ia sampai di Moldovanskaya. Jika Cestershire memesona oleh hamparan rumput hijau serta peternakannya, maka Moldovanskaya adalah surganya anggur. Tapi sepertinya hanya Grassiela lah satu-satunya yang tidak tahu bahwa selain sebagai produsen gas terbesar d
Suara ketukan-ketukan pada tong barel terdengar menggema di sebuah lorong gudang anggur yang sepi. Setelah memastikan bahwa tong pilihannya yang terbaik, sang pemilik Dax Winery itu membuka satu keran barel lalu menuangkan cairan berwarna kemerahan pada dua buah gelas yang sudah tersedia di sana. "Luar biasa," puji Alfonso setelah menyicipi anggur yang diberikan oleh Fyodor. "Ini adalah hartaku yang berharga," ucap Fyodor setelah meneguk anggur dari gelasnya. "Pantas saja, sedikit berbeda dari yang lain." "Sesuatu yang sangat berharga tak akan ditunjukan pada siapa saja. Bukankah begitu?" Alfonso menyorotkan pandangan pada pria pemilik perkebunan anggur di hadapannya. Dia menyadari bahwa ucapan ironis Fyodor jelas ditujukan untuk menyindir dirinya. Apa lagi jika bukan mengenai lamaran untuk Grassiela yang sebelumnya pernah ia tolak. Hal itu sudah lama, tetapi mungkin pernah membuat sang penguasa Moldovanskaya itu kecewa. "Aku mengerti jika kau sempat tersinggung mengenai lamaran
Suara derap langkah dari sepasang kaki yang beradu dengan lantai terdengar di sebuah koridor. Dengan mengulum senyum wanita itu terus berjalan menuju ke kamarnya sendirian. Helena tertawa kecil mengingat pembicaraan dengan Paula Genovese barusan. Rupanya istri kedua Fyodor itu seorang yang menyenangkan. Mereka mempunyai banyak kesamaan. Helena berpikir bahwa sosok Paula seperti cerminan dirinya sebelum menjadi bagian dari klan Stamford. Berjiwa bebas, tetapi juga menyukai barang-barang langka serta mahal. Dan menikahi pria kaya menjadi pilihan untuk memuaskan hasratnya pada berbelanja. Itu bukan kesalahan. Sekali lagi, itu pilihan. Akhirnya wanita itu sampai di depan pintu kamar tamu yang sementara ia tempati. Helena membuka pintu kemudian betapa terkejutnya ia mendapati putrinya bersandar di atas tempat tidur sambil melipat kedua tangannya. "Grassiela? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Helena bingung. Wanita muda itu tak merubah posisinya. Dia hanya tersenyum dan menjawab. "Men
Pencucian uang. Kasus suap para hakim. Tuduhan pembunuhan pada seorang politisi. Manipulasi taruhan ajang bergengsi. Penggelapan pajak. Kekerasan di sebuah kelab malam. Pemerkosaan serta penganiayaan pada seorang wanita. Keterlibatan dengan jaringan kriminal kartel narkoba. Grassiela cukup yakin bahwa yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari kejahatan yang pernah James Draxler lakukan. Ironisnya, semua tuduhan itu seolah menguap di udara hingga menghilang secara ajaib. Kenyataannya pria penuh skandal itu masih berkeliaran dengan segala aktivitas bersama kekuasaannya yang disegani. Tidak mengagetkan bagi Grassiela. Mengingat bahwa dirinya juga berasal dari keluarga pemegang bisnis gelap. Tapi setidaknya, nama besar Stamford tak pernah tercoreng sedikit pun. Maka kini Grassiela mulai mengerti mengapa James Draxler membutuhkannya. Itu mungkin baru benang kusut yang pertama. Masih banyak pertanyaan di benak Grassiela yang sampai kini tak terjawab. Misalnya, alasan di balik pem
Sudah lebih dari setengah jam dia terdiam di dalam kubangan air hangat dengan sabun beraroma floral. Termenung di dalam bathtub dan membiarkan Greta yang sudah mempersiapkan gaun tidur menunggunya di dalam kamar sendirian. Grassiela menghela napas panjang. Pesta tadi cukup melelahkan baginya dan seharusnya ia segera beristirahat. Tetapi entah kenapa Grassiela merasa enggan untuk keluar dari kenyamanan ini. Lantas ia mengangkat tangan kirinya lalu memerhatikan sebuah cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Sangat indah. Mereka mengatakan bahwa benda berkilau ini sudah dipesan jauh-jauh hari bahkan sebelum James Draxler menentukan siapa yang akan menjadi calon pendampinya. Suara hela napas panjang kembali terdengar. Pikiran Grassiela seolah terbang lalu berputar arah ke pesta beberapa jam yang lalu. Seorang pria menyematkan sebuah cincin di jari manis Grassiela kemudian orang-orang bersulang untuk merayakannya. Saat itu Grassiela tak berkata apa-apa. James Draxler dan ayahnya l
Grassiela berdiri di hadapan pintu tinggi berwarna gelap bersama degup jantungnya yang berdebar kencang. Seorang penjaga yang bertugas di sana memberi isyarat pada dua orang pelayan untuk membukakan pintu. Lantas kegugupan menelan wanita muda itu manakala pintu mulai terbuka secara perlahan. Di sana dia berada. Grassiela memandang lurus ke depan hingga tatapannya bertemu dengan sepasang netra kelabu yang juga menatapnya tajam. Sang pangeran menunggunya. James Draxler masih mengenakan tuxedo hitam lengkap dan dia tengah duduk pada sebuah sofa lebar bersama seekor anjing besar di sampingnya. Ketakutan Grassiela semakin menjadi melihat hewan peliharaan berwarna hitam yang ikut duduk bersama pria itu. Sesungguhnya Grassiela takut pada hewan mana pun. Maka ia tidak menyadari bahwa wajahnya mulai memucat. Sementara ketakutan Grassiela menjadi hiburan tersendiri bagi James. Hingga bibir maskulinnya terangkat membentuk seringai licik. "Masuklah," titah pria itu. Meski enggan, Grassiela ta
Di dalam ruang rawat yang masih berbau khas antiseptik, Runova sibuk membereskan barang-barang Grassiela ke dalam koper. Tangannya cekatan melipat pakaian, sementara matanya sesekali melirik ke arah Grassiela dan Alexsei yang tengah berbicara di dekat jendela. Grassiela berdiri dengan wajahnya yang masih pucat, namun tatapannya serius. Alexsei, dengan sikap tenangnya yang khas, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatapnya dalam. "Jika kau pulang sekarang dan menghadapi James, maka kau akan mendapatkan keputusan saat itu juga," kata Alexsei, suaranya datar namun tegas. Grassiela tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke luar jendela, memandangi langit sore yang mulai berubah jingga. Napasnya terhela pelan sebelum ia berbalik menghadap Alexsei. "Aku siap dengan keputusan apa pun," ucapnya penuh keyakinan. "Aku tidak mau mengulur waktu dengan ketidak pastian. Semua harus diselesaikan secepatnya." Alexsei menatapnya beberapa detik, seolah ingin memastikan
Grassiela duduk diam di atas kasur ruang rawat VVIP, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian. Selimut putih membungkus tubuhnya yang terasa lemah, sementara tatapannya kosong menatap jendela besar di seberang ruangan. Matahari sudah mulai tenggelam, menyisakan warna jingga redup di langit. Di sampingnya, Runova dengan sabar mencoba membujuknya untuk makan. “Nyonya, anda harus makan sesuatu. Saya tahu anda tidak nafsu makan, tapi tubuh anda terlalu lemah. Setidaknya beberapa suap saja.” Grassiela tetap diam, pikirannya melayang entah ke mana. Mual, pusing, dan kelelahan terus menggerogoti tubuhnya, tapi bukan itu yang membuatnya merasa benar-benar hancur. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa James… mengabaikannya.Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Bagaimana keadaan James?” Runova tampak sedikit terkejut karena akhirnya Grassiela berbicara. “Kondisinya berangsur pulih. Sudah jauh lebih baik sekarang."Grassiela terdiam, mencoba mencerna kaba
Tangisan bayi pertama itu menggema di ruangan yang dipenuhi oleh dokter dan perawat. Seiring dengan suara tangisnya, sorak sorai dan tepuk tangan bergema di luar ruangan, di antara kerumunan keluarga, rekan bisnis, serta orang-orang kepercayaan Fyodor Draxler. Seorang putra telah lahir. Seorang pewaris. Seorang calon Bos mereka. Masa depan kerajaan bisnis Draxler kini memiliki penerus. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Fyodor justru berdiri membisu di samping ranjang istrinya. Tatapannya kosong, tangannya gemetar saat menggenggam tangan wanita yang kini terbaring tak lagi bernapas. Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan sesuatu, tapi yang keluar hanyalah bisikan berat yang dipenuhi kepedihan. Wanita yang paling dicintainya, yang ia janjikan akan hidup bahagia bersamanya, kini telah pergi. “Selamat, Tuan Draxler. Putra Anda sehat dan kuat.” Fyodor tak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat, seolah berharap kehangatan
Suasana ruang kerja Benicio masih dipenuhi aroma tembakau dan kayu mahoni setelah rapat panjang yang dihadiri para petinggi kelompok bisnis. Lampu gantung berwarna keemasan menerangi meja panjang yang penuh dengan dokumen, gelas-gelas wiski kosong, dan asbak berisi puntung cerutu. Sore itu, semua orang telah meninggalkan ruangan kecuali empat orang—Benicio, sang tuan rumah, Fausto yang duduk dengan ekspresi malas, Sergei yang masih memeriksa sesuatu di ponselnya, dan Alexsei yang tampak tenang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Benicio menuangkan wiski ke dalam gelasnya dengan gerakan santai, lalu menatap mereka. "Kalian pikir, seberapa buruk dampaknya jika James tidak bisa kembali memimpin dalam waktu dekat?" Sergei mendengus sambil mengangkat satu alisnya. "Bukan masalah jika hanya beberapa minggu. Tapi kalau lebih lama? Musuh akan mulai mencium kelemahan. Dan orang-orang kita… mereka mulai bertanya-tanya." Fausto akhi
Di dalam ruang rawat yang sunyi, hanya suara alat medis yang berbunyi pelan dan sesekali suara dentingan saat Grassiela menggerakkan sendok di piringnya. Mrs. Runova duduk di seberangnya, tersenyum senang melihat bagaimana wanita muda itu menyantap makanan yang ia bawakan dengan lahap."Apa anda benar-benar menyukai masakan saya?" Runova terkekeh, matanya berbinar penuh kasih.Grassiela mengangguk sambil mengunyah. "Masakan Anda memang yang terbaik, Mrs. Runova. Aku tak bisa menolaknya."Wanita paruh baya itu tertawa kecil dan menuangkan segelas jus jeruk segar. "Saya juga membuatkan jus jeruk yang banyak untuk anda, seperti pesanan anda biasanya."Grassiela menerima gelas itu dengan senang hati, menyesapnya perlahan. Rasa segar dan asam manis menyebar di lidahnya, membuatnya sedikit lebih rileks setelah semua ketegangan yang ia lalui. Ia melirik ke tempat tidur di mana James masih terbaring tak sadarkan diri, napasnya stabil namun tetap tak ada t
Di dalam ruang rawat eksklusif itu, suara detak monitor jantung James bergema samar, berpadu dengan dengung halus dari alat bantu pernapasan yang melekat di tubuhnya. Grassiela tetap duduk di tepi ranjang, jemarinya menggenggam erat tangan suaminya yang dingin dan tak bergerak. Matanya terus menatap wajah pria itu, memperhatikan setiap helaan napas yang naik turun dengan ritme lambat. Luka tembak di pinggang kirinya masih dibebat perban, selang infus serta alat medis lain tertempel di tubuhnya, membuatnya tampak begitu rapuh—sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi pada pria sekuat James. Suara langkah-langkah berat terdengar mendekat dari luar. Grassiela mengangkat kepalanya tepat saat pintu terbuka, dan di ambang pintu berdiri empat orang dengan aura yang begitu kuat hingga memenuhi ruangan. Fyodor Draxler.Pria itu adalah cerminan otoritas dan kebijaksanaan. Meski usianya sudah lebih dari enam puluh, dia masih berdiri tegak, penuh kh
Cahaya putih dari lampu di langit-langit terasa menyilaukan ketika Grassiela membuka kedua matanya. Pandangannya buram, kesadarannya masih setengah tersangkut di ambang mimpi. Udara di ruangan itu terasa steril, dengan aroma khas antiseptik yang memenuhi paru-parunya. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada. Perlahan, ingatan-ingatan berserakan memenuhi benaknya. Bayangan panggung teater, suara dentingan piano yang dimainkan Valerina, kilauan kalung berlian di lehernya, tatapan James yang tajam, lalu... suara tembakan. Seketika, napasnya tercekat. James!Dengan panik, Grassiela mencoba bangkit, tetapi sesuatu menarik pergelangan tangannya. Dia menoleh dan melihat infus terpasang di sana. Tubuhnya masih lemah, namun dorongan untuk mencari James lebih kuat dari rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. Saat itu, pintu terbuka. Seorang wanita berambut pirang dengan sorot mata yang lembut masuk ke dalam ruangan. Jas pu
Ruangan menjadi sunyi saat panggung diterangi cahaya keemasan. Tirai beludru merah terbuka, menampilkan seorang wanita duduk di depan grand piano hitam yang megah—Valerina. Jari-jarinya menyentuh tuts dengan penuh kelembutan, memainkan intro pertama dari The Phantom of the Opera. Nada-nada awal yang misterius dan megah memenuhi ruangan, membawa suasana ke dalam dunia kisah cinta tragis yang telah melegenda. Di atas panggung, seorang penyanyi soprano muncul dalam gaun putih, membawakan "Think of Me" dengan suara yang jernih dan penuh emosi. Grassiela menyandarkan punggungnya, membiarkan suara dan musik menyelimutinya. Namun, ketika pertunjukan berlanjut ke "The Music of the Night", dengan Phantom bernyanyi penuh hasrat dan kesedihan, sesuatu di dalam dirinya mulai bergetar. Ketika adegan berpindah ke "The point of no return", di mana Christine dan Phanton menyanyi bersama, Grassiela merasa dadanya sesak. "Now I am here with y
Langkah Grassiela bergema di lantai marmer saat ia memasuki gedung teater yang megah. Gaun malamnya yang elegan berkilau di bawah cahaya lampu gantung, namun bukan itu yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Bisikan-bisikan terdengar di udara, memenuhi ruangan dengan rumor yang selama ini beredar tentangnya—tentang pernikahannya dengan seorang mafia Rusia, tentang kutukan yang melekat padanya, tentang dosa-dosa yang bahkan tak pernah ia lakukan. Grassiela tetap berjalan dengan kepala tegak. Ia tidak peduli. Di salah satu sudut, seorang wanita paruh baya dengan gaun hijau gelap menatapnya dengan senyum sinis. Irina Dzanayev, bibi dari James. "Kau cukup berani muncul di sini," sindir Irina, suaranya tajam. "Setelah semua yang terjadi, aku pikir kau akan lebih suka bersembunyi dalam bayang-bayang keponakanku." Grassiela menatapnya sejenak sebelum memberi jawaban tenang. "Aku tidak punya alasan untuk bersembunyi, Tatya. Apalagi