Newcastle, Britania Raya.
10.07 AM.Wanita muda itu menuruni satu per satu anak tangga sambil memeluk sebuah bingkai kanvas beserta peralatan lukis miliknya. Pagi-pagi sekali ia meminta Gretta membelikan semua benda itu untuk mengisi hari-harinya yang membosankan. Grassiela tidak tahu sampai kapan dirinya akan berkutat dalam kejenuhan di rumah ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam.Meski ayahnya pernah mengatakan bahwa melukis adalah hal yang tak berguna, Grassiela tidak peduli. Ia menyukainya dan tetap akan melakukannya selama hal itu bukan lah sesuatu yang buruk.Lantas ia terus melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Tetapi sebelum sampai di sana, langkah kaki itu berhenti tepat di depan ruang makan. Grassiela terdiam memandang meja makan yang kosong.Pemandangan ruang makan yang sepi itu membuat benak Grassiela terbang ke masa lalu. Tepatnya ketika ia masih berusia tiga belas tahun dan baru saja menghabiskan masa libur sekolahnya selama dua hari.Jika bukan karena larangan Helena yang tidak masuk akal, Grassiela akan memilih untuk menghabiskan waktu liburannya di asrama saja. Itu memang membosankan, tapi tidak lebih buruk dari pada dirinya harus kembali ke Newcastle dan menyaksikan betapa kedua orangtuanya tidak peduli akan kehadirannya di rumah ini.Suatu pagi, Grassiela baru saja turun ke ruang makan, namun bukan kedua orangtuanya yang ia lihat di sana. Melainkan seorang lelaki muda yang tengah melahap sarapannya seorang diri dengan tenang.Grassiela menatap tajam sepupunya itu dan menebak bahwa Alfonso dan Helena sudah pergi pagi-pagi sekali untuk urusan masing-masing. Kemudian ia melenggang masuk dan duduk di kursi yang tepat berseberangan dengan David."Aku membencimu," tukas gadis itu tajam.David sama sekali tidak terpengaruh. Dia tetap memakan sarapannya dengan tenang seolah tak mendengar ataupun melihat kedatangan saudarinya.Ketika seorang pelayan datang untuk menyediakan makanan untuk sang nona muda, Grassiela masih menatap sepupunya tajam. Ia mencengkeram garpu dan pisau di kedua tangannya dan merasakan emosinya meluap saat melihat David masih saja bersikap acuh padanya.Sialan! Mereka berada di rumah orangtua Grassiela, tetapi David lah yang mengambil alih semuanya!Semenjak Nicholas tiada dan Grassiela diasingkan ke Kanada, David lah yang mengisi kekosongan di rumah ini. Alih-alih memperhatikan putri tunggalnya, Alfonso justru memilih untuk membawa David dan merawatnya seperti anak sendiri. Helena yang masih dirundung duka saat itu hanya membiarkannya saja. Kesedihan yang mendalam membuat wanita itu tidak peduli pada dirinya, suaminya, putrinya atau bahkan keponakannya yang menjadi tuan muda di rumahnya sendiri.Hal itu membuat Grassiela teramat kecewa. Ia tak mengerti mengapa ayahnya lebih memperhatikan David di banding dirinya? Mengapa Grassiela harus dibuang sementara David tinggal di rumahnya? Mengapa uncle Richard pergi ke Scotland begitu saja dan mengijinkan Alfonso untuk merawat putranya?Apakah Grassiela egois? Dia hanya merasa terluka melihat ayahnya lebih menyayangi David dibanding dirinya.Lantas bersama sorot mata tajam, ia berkata pada sepupunya, "asal kau tahu, sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Nick di rumah ini."Lantas David membalas tatapan sepupunya tak kalah tajam. Mendadak kekesalan yang tersirat di wajah lelaki itu membuat Grassiela terdiam. David bangkit dari kursi makan dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia berdesis dengan rahangnya yang mengeras, "Aku berada di sini bukan untuk menggantikan posisi kakakmu. Tapi untuk membalaskan dendam atas kematiannya!"David beranjak pergi. Meninggalkan Grassiela yang mematung di tempat duduknya.Suara klakson mobil terdengar. Grassiela terkesiap dan kesadarannya kembali ketika mendengar suara mobil baru saja sampai di pelataran.Entah siapa yang datang. Grassiela tidak mempunyai teman di Newcastle maka tidak mungkin seseorang datang untuk menemuinya. Kemudian ia memilih untuk pergi menuju halaman belakang dan melukis di sana.***"My Darl," Helena merantangkan kedua tangannya untuk memeluk seorang wanita muda yang melanggang masuk dengan membawa sebuah kotak berukuran besar."Aunty." Arabella mendapat pelukan lalu mencium kedua pipi Helena."Apa kabarmu, Sayang? Apa yang membuatmu datang kemari?" Helena membawa Arabella duduk di sofa."Semalam Aunty Clara baru saja sampai di Cestershire. Saat mengetahui bahwa aku akan ke Newcastle hari ini, dia memintaku untuk membawakan ini untukmu." Arabella meletakkan kotak berukuran besar itu di atas meja."Oh, ini pasti pesananku." Helena membukanya kemudian megangumi sebuah gaun pesta berwarna merah di dalam kotak itu. "Sangat cantik," gumam Helena merasa puas atas pesanannya."Apa itu untuk Grace? Aku dengar dia sudah kembali," ucap Arabella penasaran."Kau benar.""Di mana dia? Apa aku boleh menemuinya?"Helena tersenyum pada keponakan kesayangannya itu.***"Akhirnya sang anak buangan kembali."Grassiela yang tengah duduk di pinggiran kolam air mancur sambil melukis, menghentikan kegiatannya. Ia memutar kedua matanya dan tanpa menoleh untuk melihat, dia sudah dapat memastikan berasal dari mulut siapa ucapan menjengkelkan itu."Apa pedulimu? Pergilah," usir Grassiela merasa malas untuk berbicara dengan wanita yang baru saja datang.Bukan tanpa sebab. Sejak kecil ia memang merasa tidak pernah cocok dengan kedua sepupunya, Arabella dan kembarannya Annastasia. Mereka sama saja, senang mencari masalah dengan lidahnya yang berbisa."Aku datang kemari karena peduli padamu. Aku dengar kau akan menikah," ucap Arabella sembari turun dari teras dan menghampiri sepupunya.Holy shit! Si penggosip itu berhasil membuat Grassiela tak bisa berkonsentrasi lagi. Akhirnya ia menghela napas kesal kemudian memandangnya. "Lalu?""Apa kau tahu siapa calon suamimu?" Arabella menyeringai dan mencoba memancing rasa ingin tahu Grassiela meski dia tak menjawab."Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Nenek dengan seseorang di telepon. Fyodor Draxler," ungkap Arabella melanjutkan. "Seorang pengusaha tua asal Rusia. Dia pemilik perusahaan minyak terbesar di Eropa."Grassiela tak memberi respon yang berarti, mungkin saja dia tidak peduli. Dan hal itu membuat Arabella sedikit kesal."Kau tahu, dia memiliki tiga orang istri. Dan sepertinya, kau akan menjadi yang keempat." Arabella terkekeh di akhir ucapannya. "Aku yakin aunty dan uncle tak mengatakan hal ini padamu."Tunggu dulu. Apa Grassiela harus mempercayainya? Si licik Arabella jelas seorang pembual. Maka Grassiela memilih untuk tidak menanggapi ocehan itu."Kau tidak percaya? Dia mempunyai seorang putra yang kini memegang posisi sebagai CEO DX-Prom. Tapi sayang sekali, yang aku tahu, pria itu sudah bertunangan dengan seorang gadis yang hampir menjadi bagian dari keluarga kita. Jadi kemungkinan besar, yang akan menikahimu adalah ayahnya." Arabella kembali tertawa.Grassiela berdecak kemudian meletakkan kanvas di pangkuannya ke pinggiran kolam lalu bangkit dari duduknya. Ia menatap tajam wanita menyebalkan di hadapannya. "Apa aku harus mengucapkan terima kasih atas informasi yang kau berikan ini?""Tidak. Tidak. Kau tidak perlu melakukannya. Aku hanya merasa kasihan padamu.""Lebih baik kasihani saja dirimu sendiri," tukas Grassiela berusaha mengendalikan emosinya yang nyaris tersulut.Sayangnya, Arabella tidak menyerah. Ia kembali menghasut dengan berkata, "Pria tua itu menyukai wanita cantik. Dan dia menginginkan keturunan. Kau boleh saja tidak mempercayaiku. Tapi bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi?"Ya, Grassiela sendiri memang tidak tahu siapa yang akan menjadi calon suaminya. Bahkan ketika rencana pernikahan itu sudah ditentukan. Lalu apakah informasi dari Arabella membantunya?Sama sekali tidak. Siapapun pria itu, Grassiela tetap tidak mempunyai hak untuk menghentikan perjodohan sialan ini. Merasa sangat marah, benci bahkan ingin berontak pun tak ada artinya. Grassiela tak bisa berbuat apa-apa selain memendam kekecewaannya sendirian. Lantas bagaimana jika dia benar-benar akan dinikahkan dengan seorang pria tua yang telah memiliki tiga orang istri?Yang jelas, Grassiela tidak akan membiarkan si licik Arabella tersenyum puas karena telah berhasil memprovokasinya.Grassiela berjalan mendekat menatap tajam sepupunya. Ia mengangkat wajahnya angkuh lalu berkata, "jika pria itu memang mempunyai banyak istri, maka aku tidak perlu repot-repot untuk merawatnya. Dan jika dia benar-benar sudah tua, maka aku cukup beruntung karena tidak akan menunggu lama untuk mendapat bagian dari perusahaan besar yang ia miliki."Seketika Arabella terperangah. Di luar dugaannya, ungkapan Grassiela yang naif dan licik justru membuat Arabella sulit berkata-kata.Benarkah Grassiela akan menghadapi pernikahannya dengan cara demikian? Siapa yang tahu."Dasar wanita licik," gumam Arabella."Apa kau sedang membicarakan dirimu sendiri?"Arabella mendengus kesal. Ia kemudian berbalik untuk melengos pergi. Tapi panggilan mendadak dari Grassiela, membuat langkah wanita itu terhenti."Bella."Arabella memutar kedua matanya lalu kembali berbalik."Apa maksudmu dengan ... seorang gadis yang hampir menjadi bagian dari keluarga kita?" tanya Grassiela penasaran."Seseorang mencampakkan calon tunangannya dan lebih memilih seorang simpanan," jawab Arabella malas."Benarkah? Zack melakukannya?""Bukan Zack. Tetapi Dave. Apa itu mengisnpirasimu?"Sejenak Grassiela terdiam. Ia mencoba mengingat dengan siapa akhirnya David menikah? Tapi ia tak hadir di pernikahan itu dan tak tahu siapa yang sepupu laki-lakinya nikahi. Terserah. Hal itu mungkin tidak begitu penting. Setidaknya, Grassiela tahu bahwa seorang Stamford dapat merubah takdirnya sendiri."Jika kau mempunyai seorang kekasih, kau bisa memberinya gagasan untuk membawamu lari lalu kalian menikah secara diam-diam. Hal itu akan menjadi daftar drama terbaru di keluarga kita," tukas Arabella kemudian tertawa mengejek."Terima kasih atas gagasannya, tapi hal itu tidak akan terjadi. Aku tetap memilih calon suamiku yang tua dan kaya raya."Tawa Arabella berhenti lalu ia menyorotkan tatapan kesal pada sepupunya. Arabella kembali berbalik untuk pergi, tapi lagi-lagi Grassiela menghentikan langkah kakinya."Bella.""Apa lagi?!""Jika suatu hari suamiku mencari istri lagi, maka aku akan merekomendasikamu. Jadi jangan marah padaku, ok?" Grassiela menahan tawa melihat permukaan wajah Arabella yang seketika memerah menahan emosi.Tanpa berkata lagi cepat-cepat wanita itu melangkah pergi menuju pintu."Aku tidak keberatan jika harus berbagi suami denganmu," teriak Grassiela sebelum ia tertawa puas sendirian.***Copthrone Hotel, Newcastle, Inggris.10.17 PM."Kau sudah sampai?""Ya.""Alexei bersamamu?""Begitulah.""Berapa kamar hotel yang kau sewa?""Sepuluh.""Berapa jumlah anggota yang kau bawa?""Tak ada.""Apa kau gila?!" Suara Fausto Michalov terdengar meninggi di seberang telepon.James menghela napas. Netra kelabunya masih memandang suasana malam sungai Tyne dari balik jendela kamar hotel. "Tenang saja. Aku yakin Zack Stamford telah mengetahui kedatanganku. Dia tak akan membiarkan kekacauan terjadi di wilayah kekuasaannya. Aku aman di sini.""Alfonso Stamford pernah berselisih dengan keponakannya. Mereka sudah tidak sejalan. Apa kau yakin dia tidak akan menjebakmu?" Kecemasan terdengar jelas dari nada suara pria baya itu. Sesekali James merasa bahwa Fausto lebih memperhatikannha dari Fyodor, ayahnya sendiri. James mulai berpikir untuk menjadikan Fausto sebagai penasihatnya."Aku datang dengan damai. Tenang saja, dia tidak akan menolak tawaran dariku," ungkap James penuh keyakinan.Fausto berdecak. Untuk kesekian kalinya ia kesal pada anak muda keras kepala yang kini menjadi pimpinan kelompok. "Mereka akan menggeledahmu di sana. Jaga dirimu."James terkekeh meremehkan. "Kau tak perlu mencemaskanku. Mereka mempunyai integritas tinggi. Aku percaya, mereka tak akan menyerang seorang tanpa senjata."Fausto tak menjawab lagi. James pasti sudah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat. Mungkin kali ini dia harus mempercayai rencananya."Urus saja Brooklyn, Vegas, Meksiko," ujar James kemudian."Baiklah. Aku menunggu kabar selanjutnya."James memutus sambungan telepon. Pandangannya masih tertuju pada sungai Tyne yang diterangi pantulan cahaya lampu kota. Namun benaknya sibuk memikirkan hari esok.Alfonso Stamford, mantan pemimpin kartel bisnis gelap yang sangat berpengaruh di Inggris. Kini kekuasaan telah berada di tangan Zack Stamford, keponakannya. Tetapi James mengetahui bahwa diam-diam pria tua itu masih memiliki bisnis besar yang justru dikelola oleh orang lain. James menginginkannya. Dan ia cukup yakin, Alfonso tak akan menolak kesepakatan yang akan ia ajukan.***Grassiela tahu bahwa suatu hari hal ini akan terjadi. Dengan tradisi kolotnya, seluruh kekuarga Stamford harus menikah dengan cara perjodohan. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi David dan Zack. Mereka menikah dengan pilihannya sendiri. Entah karena tradisi mulai berubah hanya untuk para lelaki, atau keduanya memiliki keistimewaan tersendiri karena telah memegang tongkat estafet sebagai pemimpin kelompok. Entahlah, yang jelas Grassiela merasakan ketidak adilan di sini.Dan hari itu akhirnya tiba. Saat sinar mentari menarangi seisi kamarnya, Grassiela tengah duduk di depan meja rias bersama Gretta yang sedang mengeringkan rambutnya. Helena juga berada di sana, dia mempersiapkan sebuah dress putih sederhana dengan bordiran bunga-bunga kecil berwarna-warni. Dress yang cantik, pikir Grassiela. Tidak buruk untuk pertemuan pertamanya dengan sang calon suami.Setelah Gretta selesai, Helena menyuruhnya pergi untuk mempersiapkan hal lain sementara wanita itu lanjut menyisir rambut putrinya."Jaga sikapmu dan jangan terlalu banyak berbicara," ucap Helena mengingatkan.Grassiela bergeming. Ada berbagai hal yang kini bergelut dalam pikirannya.Oh, haruskah ia berontak dengan mencoba melarikan diri saat ini juga? Ataukah ia perlu melihat dulu siapa calon suaminya? Tapi bagimana pun, Grassiela belum ingin menikah. Lalu bagaimana jika apa yang dikatakan Arabella itu benar? Grassiela akan menikahi seorang lelaki tua yang sudah memiliki tiga orang istri?Sial! Bisakah hidupnya lebih buruk lagi dari ini?Tentu saja bisa.Ketika Helena pergi meninggalkannya sendirian di dalam kamar, Grassiela mulai merasakan jantungnya berdebar. Oh, kondisi macam apa ini? Ia menghela napas panjang demi menenangkan dirinya sendiri lalu berjalan menuju standing mirror dan memandang penampilannya.Ia sudah siap. Dengan dress yang Helena pilihkan, make up tipis yang Gretta poleskan serta rambut terurai yang hanya dihiasi jepit kecil berkilauan. Seharusnya Grassiela siap untuk menemui siapa pun itu yang akan datang.Lantas diam-diam ia keluar dari kamar. Grassiela tidak tahu apakah dirinya harus turun untuk membantu mempersiapkan kedatangan tamu spesial di lantai bawah, ataukah ia cukup menunggu di kamar saja? Helena tak mengatakan apa-apa selain mengingatkannya tentang tata krama yang sudah sangat ia hafal.Kemudian kegelisahan mendera. Berkali-kali Grassiela menanamkan pada diri sendiri bahwa dirinya tak peduli pada apa pun yang akan terjadi hari ini. Tapi sia-sia. Hal ini jelas-jelas menyangkut masa depannya. Akhirnya wanita muda itu berjalan mondar-mandir di koridor depan kamarnya sambil menimang-nimang apakah dirinya harus menuju tangga dan turun atau kembali masuk ke dalam kamar.Ah, sial! Ia gelisah, cemas dan berbagai perasaan tak karuan menghantam perasaannya. Demi Tuhan, tolong katakan siapa yang akan datang untuk melamarnya hari ini? Pria macam apa dia? Berani-beraninya mengusik ketenangan seorang anak buangan Stamford!Kemudian suara deru mobil yang baru datang terdengar.Deg!Cepat-cepat Grassiela menuju jendela di ujung koridor yang menghadap ke pelataran. Rasa penasaran yang mendesak memaksanya untuk mengintip dari balik tirai.Sebuah mobil berwarna hitam terlihat berhenti di depan teras. Seorang kepercayaan Alfonso dan beberapa orang pelayan bersiap menyambut sang tamu. Kemudian pintu mobil itu terbuka. Seorang pria turun dari mobilnya dan Grassiela melebarkan kedua matanya.Ini tidak mungkin!Ketika orang kepercayaan Alfonso menyambut dengan berbicara sesuatu dan menjabat tangan tamu spesial itu, Grassiela terus memerhatikannya. Lantas mereka semua masuk ke dalam rumah dan Grassiela mematung di tempatnya berdiri. Ia mulai merasa yakin.Apakah itu benar-benar dia?****** Lima belas tahun yang lalu. Toronto, Canada. Malam itu belum larut. Masih sekitar pukul sembilan ketika Rebecca, seorang wali asrama di sekolah perempuan itu menemui Grassiela di kamarnya dan mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya. Grassiela tidak dapat menebak siapa yang datang di malam hari dan menunggunya di ruangan kepala sekolah. Sebelumnya ia tak pernah sekali pun mendapat kunjungan dari seorang tamu. Dan sepertinya orang itu cukup penting karena sang kepala sekolah menerima kunjungan ini bahkan membuka pintu ruang kerja pribadinya di malam hari. Rasa penasaran membuat gadis itu berjalan cepat menyusuri koridor bersama dengan wali asramanya. Sementara diam-diam, cemas serta gugup turut menghantuinya. Siapa yang datang? Apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan orang asing yang ia temukan di halaman belakang tiga hari yang lalu? Semoga saja tidak. Berkali-kali Grassiela menepis firasat buruk dalam hatinya. Ketika Rebecca membuka pintu ruangan kepala
*** "Dia sangat tampan. Rambut hitamnya terpotong rapi, alis yang tebal, netra kelabu yang bersorot tajam serta rahang yang kokoh. Saya tidak berani memandanginya, tapi dia juga memiliki tubuh tegap yang terpahat dengan sempurna. Anda akan jatuh cinta ketika melihatnya." Grassiela tersenyum mendengar ungkapan wanita muda berseragam pelayan itu. "Semudah itukah cara seseorang untuk jatuh cinta?" simpulnya. Gretta berjalan menuju meja rias lalu merapikan barang-barang yang berantakan di sana. "Saya tidak tahu. Tapi bukankah ada yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama?" "Lalu apa kau mencintainya?" Seketika Gretta memandang wanita muda yang tengah duduk di atas tempat tidur itu. "Tentu saja tidak," jawabnya spontan. "Kau menceritakan bahwa pria itu begitu menakjubkan. Lalu kenapa kau tidak jatuh cinta pada pandangan pertama?" Kening Gretta berkerut memikirkan pertanyaan dari nona muda nya. Lantas Grassiela terkekeh. "Bagaimana aku bisa mencintainya jika aku tidak mengen
*** Lebih dari empat jam waktu tempuh dari Newcastle untuk sampai di Cestershire. Sebuah desa indah nan asri yang berada di distrik Costwold. Meski cukup lama dan membosankan dalam perjalanan, tapi Grassiela sangat menantikannya. Seperti biasa, suasana di dalam limusin Mercedes Benz S-600 Pullma berwarna hitam itu cukup canggung dan hening. Tak perlu diingatkan bahwa mereka adalah keluarga. Grassiela benar-benar paham bahwa Alfonso lebih tertarik pada surat kabar di menghadapi masalah politik lokal dari berbicara pada putrinya sendiri. Sementara Helena terlalu sibuk berinteraksi dengan teman-teman sosialita-nya lewat layar ponsel. Akhirnya gadis itu menghela napas. Grassiela menyadari bahwa ia tidak bisa mengharapkan kedua orangtuanya terlibat dalam kontak yang hangat. jangan harap. Lantas iris mata biru terang itu pandangannya ke arah jendela mobil. Grassiela melawan kejenuhan selama perjalanan dengan menikmati pemandangan yang indah dan pilihan dari sana. Di luar tampak cottage-
Chapter 10 *** Ketiga pria itu menyusuri koridor dengan langkah-langkah panjang. James yang memimpin di depan bahkan tampak terburu, tak sabar untuk melihat hasil tangkapan dari orang kepercayaannya. Lantas ketika ketiganya sampai di depan pintu ruang rapat, Benicio dan Fausto yang sejak tadi mengekor membukakan pintu tinggi tersebut. Di dalam ruangan dengan pencahayaan temaram itu, terdapat sebuah meja besar berbentuk oval. Di kedua sisinya, tampak dua orang pria duduk saling berhadapan dan seorang pria lagi berdiri dengan melipat kedua tangannya di sisi ruangan. James tersenyum puas. Ia mengenyahkan keheningan di sana dengan bertepuk tangan sambil berjalan memasuki ruang rapat tersebut. "Manicci. Senang melihatmu kembali," sapa James menahan girang. Sementara Fredo Manicci, pria tua yang duduk berhadapan dengan pengacara James melayangkan tatapan tajam. "Draxler. Jadi kau yang menculikku di pagi buta seperti ini?" ucapnya terdengar mengumpat. James berdiri di belakang Sergei N
Cestershire, Inggris. Boneka kepala kelinci besar yang menempel pada sebuah tas itu bergoyang-goyang seiring langkah kaki seorang pria yang menentengnya. Sementara di belakang, seorang wanita baru saja turun dari mobil sambil memeluk bayi mungilnya ikut berjalan terburu bersama wanita paruh baya yang membawakan barang-barang. "Apa yang kalian lakukan? Apa si kecil baik-baik saja?" ucap Alexa cemas sambil membuka kedua tangannya. Sang ayah tak menjawab. Dengan tas bayi besar di tangannya dia hanya merangkul Alexa sekilas lalu melewatinya menuju pria yang berdiri di depan pintu utama. "Kalian hanya bertiga? Sama sekali tak ada penjagaan?" "Berempat," ralat David lalu membalas rangkulan Zack cepat kemudian menuju tiga orang lagi yang menyambut kedatangan mereka di pelataran. "Kami mencemaskan sang pangeran kecil," sapa Clara. David mengecup pipi ibu tiri dan aunty nya secara bergantian sebelum ia merangkul ayahnya yang menyambut dengan tersenyum lebar. "Dia baik-baik saja," ujar D
"Aku setuju." Hanya itu kalimat yang bisa keluar dari mulut kelu Grassiela. Seusai makan malam, Veronica beserta para pria dari keluarga Stamford berkumpul di salah satu ruang duduk dengan perapian menyala. Grassiela dan ibunya, Helena ikut hadir di sana dengan hanya menyimak diskusi yang sedang berlangsung. Mereka membicarakan rencana mengenai Grassiela yang serba pernikahan serta berbagai permintaan dari pihak calon pria. Lalu ketika semua orang di ruangan itu mencapai kata-kata, Grassiela tahu bahwa dirinya tidak memiliki hak suara dalam pernikahannya sendiri. Maka mau tidak mau ia harus menelan mentah-mantah semua serta protesnya dan menyetujui saja rencana apapun itu. *** "Lihatlah semua barang-barang ini, Grace!" Helena tampak senang melihat para pelayan sibuk keluar masuk ruangan dengan membawakan berbagai hadiah pernikahan untuk Grassiela. Macam-macam barang bermerek dalam bentuk pakaian, tas, sepatu, produk perawatan tubuh bahkan perhiasan mahal memenuhi kamar wanita muda
Suara anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang kastil terdengar riang dan ceria. Saat itu, Grassiela mungkin berpikir bahwa dirinya dapat bersembunyi di balik tirai putih tipis yang berkibar ditiup angin pagi sambil diam-diam mengamati dari balik jendela. Sayangnya ia salah. Seorang wanita yang berjalan di koridor tersenyum melihat apa yang dia lakukan. Sementara di area taman, beberapa orang wanita tampak sedang berbincang dikelilingi anak-anak mereka yang sedang bermain. Pemandangan itu mengingatkan Grassiela pada sebuah lukisan klasik yang pernah ia lihat. Oh, Grassiela tak ingat siapa pelukisnya dan apa judul dari lukisan itu, tapi kini jemarinya merasa gemas ingin memegang sebuah kuas dan mencoretkannya di atas kanvas. Begitulah, bagi Grassiela hal-hal indah di matanya tak lebih dari sebuah karya seni seperti lukisan atau novel yang hanya bisa ia nikmati dengan memandang atau membacanya saja. Tidak untuk hadir di dunia nyata. "Kenapa kau tidak ikut bergabung?" Grassie
Suasana di halaman kastil Cestershire pagi ini tampak lebih ramai dari biasanya. Suatu momen yang langka, jarang sekali seluruh keluarga berkumpul di titik yang sama dengan para pelayan pribadi serta sopir mereka. Kali ini, tujuannya adalah melepas kepergian Grassiela untuk bertunangan di Moldovanskaya, sebuah desa kecil di pinggiran Distrik Krymsk wilayah Krasnodar, Rusia. Ya, dia memang tidak akan pergi sendiri, kedua orang tua beserta seorang bibi dan neneknya akan ikut mengantarkan. Tentu saja berikut beberapa pelayan serta penjaga pribadi yang akan bertugas melayani mereka selama perjalanan. Sementara anggota keluarga yang lain akan menyusul nanti tepat di malam pesta pertunangan tersebut. Di antara orang-orang yang larut dengan pembicaraan mereka, dan para pelayan yang sibuk mempersiapkan barang-barang, mari kita lihat sang tokoh utama yang tampak tersenyum simpul. Mereka pasti mengira bahwa Grassiela teramat bahagia dengan rencana pertunangannya. Tetapi tak banyak yang tahu ba
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi setelah mereka kembali dari pemakaman. Valentina berdiri di balkon kamar, gaun hitam panjangnya berkibar pelan terkena angin malam. Wajahnya tampak murung, bayangan kesedihan dan kecemasan menghiasi tatapannya yang kosong, memandangi langit malam tanpa benar-benar melihat apa pun. Di dalam dirinya, ribuan pikiran berkeliaran, menghantui setiap detik yang berlalu. Pemakaman Borsellino, suaminya baru saja selesai meninggalkan perasaan yang campur aduk. Valentina memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya angin yang merembes hingga ke tulang. Dia tidak bisa menghentikan kegelisahan yang terus merayap dalam hatinya—kegelisahan tentang bagaimana orang-orang akan memandang hubungannya dengan Paolo setelah ini. Pria yang selama ini menemaninya, sekarang menjadi pusat dari segala rumor dan spekulasi. Dunia mafia penuh intrik, dan hubungan mereka pasti akan dipandang dari segala sisi yang penuh kecurigaan. Paolo muncul dari dalam kamar, mendekati Valent
Di dalam ruangan dengan perapian yang menyala lembut, sinar api memantulkan bayang-bayang di dinding kayu yang tebal. Malam telah larut, dan udara dingin perlahan merasuk. Sebuah papan catur kayu tua dipasang di atas meja kecil di depan kursi empuk tempat Grassiela dan Fyodor, ayah mertuanya, duduk berhadapan. Pria tua itu menatap papan dengan intens, alisnya mengerut dalam, menggumamkan pikirannya sambil mempertimbangkan langkah berikutnya. "Hm, kau bermain dengan sangat baik," katanya sambil memindahkan bentengnya ke tengah papan. Grassiela tersenyum tipis, pandangannya tak lepas dari bidak-bidak di depan mereka. “Terima kasih, Papa," jawabnya halus. Keheningan kembali menyelimuti. Grassiela menyentuh salah satu bidak kuda miliknya dan memutarnya sedikit sebelum akhirnya menggerakkan kuda tersebut ke arah yang tak terduga. Dia tersenyum puas, menyadari langkah itu membuat Fyodor semakin terdesak. "Langkah yang brilian," puji Fyodor sambil mengangguk. "Kau tahu, permainan catur in
Pagi itu, udara pegunungan terasa sejuk dan segar. Sinar matahari yang lembut menerobos masuk melalui jendela besar di ruang tamu rumah persembunyian. Grassiela berdiri di tepi jendela, mengenakan gaun tidurnya, dengan secangkir kopi hangat di tangan. Pandangannya terfokus pada jalan setapak yang berkelok menuju rumah, saat debu mulai terangkat oleh deretan mobil yang mendekat. Lima mobil hitam melaju pelan, mesin-mesinnya terdengar samar dari kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, Grassiela dapat melihat sosok James yang berdiri di halaman, memandang lurus ke arah mobil-mobil itu. Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di dada, tenang namun tegas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Mata Grassiela menyipit, mencoba menebak apa yang akan terjadi. Namun sikap tenang James memberitahunya bahwa itu bukanlah sebuah ancaman. Mobil pertama berhenti, diikuti oleh yang lainnya. Pintu terbuka, lalu Alexsei keluar dengan cepat disusul oleh Fausto yang mengikutinya. Pria bertubuh besar itu
Cestershire, Inggris. Helena duduk di kursi goyang berlapis kain beludru merah tua, menggenggam cangkir teh camomile antik dengan erat. Sesekali dia menyeruput teh hangat itu bersama Eveline, saudari iparnya. "Seharusnya dia sudah bertunangan atau menikah sekarang, bukannya berkeliaran entah ke mana," gumam Eveline menahan kekhawatirannya. Helena menurunkan cangkirnya, menatap Eveline dengan serius. "Maksudmu Arabella? Aku rasa dia seorang gadis yang mandiri, dan tahu apa yang harus dia lakukan." Eveline menggeleng pelan, tanda bahwa dia tidak setuju pendapat itu. "Dia ceroboh, egois dan sulit diatur. Seseorang bisa saja memanfaatkannya." Dia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara pelan. "Dia selalu membuatku khawatir. Kini sudah dua minggu Arabella pergi entah kemana." Helena terdiam mendengar sejenak. Seketika, pikirannya melayang ke sosok putrinya, Grassiela. Apakah dia pernah merasa khawatir seperti apa yang Eveline rasakan? Sejauh mana dirinya menc
Langit di atas hutan Castelbuono berwarna biru cerah, cahaya matahari yang lembut menerobos dedaunan, menciptakan permainan bayangan di atas tanah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma pinus dan dedaunan yang segar. Grassiela berjalan dengan langkah ringan, rambut berwarna karamelnya diikat ekor kuda dan berkibar lembut di bawah pepohonan bersama apron merah muda yang menghiasi dress putih polosnya. James mengikuti dari belakang, matanya tak pernah lepas dari sosok menarik itu. Di setiap langkahnya, dia tampak waspada, meski diam-diam ada kehangatan dalam tatapannya. "Kau tidak perlu mengikutiku," kata Grassiela tiba-tiba, tanpa berbalik bersama langkahnya yang tetap ringan dan bebas. "Tidak perlu khawatir. Aku bisa menemukan jalan pulang sendiri nanti." James mendengus pelan, meski senyumnya hampir tak terlihat. "Aku hanya memastikan kau tidak tersesat atau membuat masalah." "Masalah?" Seketika Grassiela berhenti untuk menoleh menatap suaminya tajam. "Di sini, satu-satunya masalah ada
Pagi itu, James terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak biasa. Sinar matahari menembus celah-celah tirai jendela, menerangi ruang tamu yang dia gunakan untuk beristirahat. Aroma lezat dari dapur mulai menggoda indera penciumannya, memanggilnya untuk bangun dan menyambut hari. Dengan enggan, ia menghempaskan selimut yang entah datangnya dari mana lalu bangkit dari sofa. Pria itu berjalan menuju dapur, masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi serta celana hitam yang sedikit kusut, sebuah tanda dari malam panjang yang baru saja berlalu. Dapur itu sederhana, tidak seperti dapur mewah yang biasa ia temui di rumah-rumah besar. Namun entah bagaimana, kesederhanaan ini terasa membawa kedamaian baginya. Saat ia memasuki dapur, matanya tertuju pada meja makan. Sarapan telah disiapkan dengan rapi, lengkap dengan roti, telur, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya—pintu dapur yang sedikit terbuka, membiarkan angin pagi masuk ke dalam r
Mobil melaju dengan kecepatan konstan, menembus kegelapan malam yang semakin dalam. Jalanan yang mereka lewati semakin sepi, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Grassiela memandang ke luar jendela, pikirannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. James, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Wajahnya tetap menunjukkan ketegangan dan fokus yang sama. Grassiela merasa semakin sulit untuk menembus dinding emosional yang dibangun James saat ini. Dia ingin sekali tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ada sesuatu dalam sikap James yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, James akhirnya berbicara, meskipun suaranya tetap dingin dan terkendali. "Kita akan menuju tempat persembunyian sementara. Di sana kita bisa menunggu kabar dari Paolo dan yang lainnya." Grassiela mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya mendapat jawaban. Malam i