Chapter 3
***"Kau akan mendapat masalah jika tidak membawa gaunnya. Jangan terlambat, aku akan berada di panti asuhan lima belas menit lagi."Grassiela nyaris melempar ponselnya setelah membaca pesan text tersebut. Sial! Dia sudah terlambat. Isabele benar-benar menyebalkan dan Grassiela tak punya pilihan selain menyambar tas kertas berisikan gaun yang belum lama ini ia miliki sebelum terburu-buru menuju mobilnya di pelataran.Entah permasalahan macam apa yang akan Isabele ciptakan jika Grssiela tidak melakukan perintahnya. Sesungguhnya ia yakin bahwa ancaman itu hanyalah omong kosong belaka dan Grassiela sama sekali tidak peduli. Tapi pagi ini suasana hati wanita itu sedang tidak baik. Ada resah yang sejak semalam bergumul dalam hatinya. Grassiela tak tahu mengapa, tapi ia merasa bahwa pagi ini dirinya memang harus segera menemui sahabatnya.Lari-lari kecil itu mendadak terhenti tepat di depan pintu utama. Grassiela mendengus kesal saat mendapati seorang pria pelontos bertubuh besar berdiri di hadapannya."Apa lagi? Jangan halangi jalanku!" bentak wanita muda itu."Saya harus mengingatkan, bahwa sekarang adalah hari terakhir anda berada di kota ini."Grassiela berdecak. Ia sudah mengetahuinnya. Berkali-kali pengawal pribadinnya itu mengingatkan tetapi ia sama sekali tak peduli. Lantas dengan menghela napas panjang, ia menahan segala emosinya. "Bagaimana jika aku tetap tak ingin pergi?""Maka Tuan besar akan memberi anda peringatan terakhir," jawab sang pengawal pasti."Sungguh? Kalau begitu mari kita lihat, peringatan terakhir apa yang akan ayahku kirimkan sebagai kejutan." Grassiela menabrak sisi tubuh pria itu kemudian masuk ke dalam mobilnya dan pergi melaju.---Pria baya berusia lebih dari setengah abad itu kini tengah menatap sebuah foto berukuran besar yang menggantung di atas perapian. Pasangan suami istri yang baru saja menikah tampak bahagia pada gambar hitam putih di hadapannya. Seakan masih bisa merasakan kebahagiaannya dahulu, Fyodor Draxler tersenyum. Meski rasa rindu selalu merasuk setiap kali ia memandang foto mendiang istrinya, tapi pria itu telah lama merelakannya.Setidaknya, Yulia sudah bahagia di alam sana.Saat ketukan di pintu kayu yang besar terdengar, secara refleks Fyodor menoleh. Matanya yang kelabu memandang seorang wanita muda bertubuh ramping yang melenggang masuk. Tercium aroma lezat dari dua cangkir kopi panas pada nampan di tangan wanita itu."Kau masih tampan seperti dulu," gurau Violet sambil meletakan nampannya di atas meja.Fyodor terhibur mendengarnya hingga ia tertawa kecil. Lantas Violet merangkulnya dan ikut memandangi foto berbingkai emas itu."Aku sudah tua sekarang," ucap Fyodor setelah menghela napas panjang.Violet memandang pria di sampingnya dan memberikan senyuman menggoda. "Bagiku kau yang paling tampan." Satu kecupan singkat ia hadiahkan tepat di bibir pria yang lebih pantas menjadi ayahnya itu."Apa kau tidak pernah melihat pria muda lain?""Pria muda mana? Sudah kukatakan, di mataku kau yang paling tampan.""Bagaimana dengan James?"Violet mendengus lalu menjauh untuk mengambilkan secangkir kopi untuk suaminya. "Dia sangat mirip denganmu. Tampan, berkarisma dan menggoda. Tapi aku tidak yakin berapa banyak wanita yang berani mendekatinya.""Hal itulah yang sedang aku cemaskan." Fyodor menerima kopi itu kemudian mendudukkan tubuhnya di sofa. "Kau tahu bagaimana dia. Aku khawatir James tidak bisa bersikap baik pada wanita manapun."Kening Violet berkerut. "Apa yang sebenarnya kau bicarakan?" Lalu sebuah pemikiran membuatnya mendadak terkejut. "Tunggu dulu. Kau sudah menemukannya?"Fyodor menyesap kopi di cangkir itu dan menikmati sensasi pahit yang khas sambil memejamkan mata. Ia lantas berkata, "Aku sudah mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai anak gadis lain kecuali salah seorang putri dari janda Roseu. Tapi si berengsek itu bersih keras.""Kau sudah menelusuri keluarga Stamford. Tapi James tak mungkin salah. Dia tak mungkin bermain-main saat mengatakan apa yang benar-benar dia inginkan," Violet berpendapat.Fyodor mengangguk. Ia meletakkan cangkir kopi itu di atas meja lalu melipat kedua tangannya. "Awalnya aku berpikir seperti itu. Sampai secara mengejutkan Alfonso Stamford menghubungiku.""Benarkah? Apa yang kalian bicarakan?" ucap Violet antusias.Fyodor tersenyum penuh arti. "James akan segera bertolak ke Inggris."---Dengan kecepatan sedang Grassiela membawa mobilnya pergi meninggalkan st. Leonard, sebuah kawasan perumahan di mana selama beberapa tahun terakhir ini ia tinggal. Bagi Grassiela, rumah mungil yang nyaman dan tenang sudah cukup untuk ia tinggali bersama kedua pelayannya. Sementara bagi ayahnya, keamanan lah yang terpenting. Alfonso mengirimkan beberapa orang pengawal dan itu bukan masalah selama Grassiela masih diijinkan untuk tinggal di kota ini.Kedua iris biru itu masih tertuju ke jalanan di depannya, tapi benaknya tak berada di sana. Ancaman dari Isabele Lerager mungkin sama sekali tidak ia pedulikan, namun peringatan dari ayahnya sukses membuat Grassiela gelisah.Demi Tuhan, sekarang untuk apa keluarganya menginginkan ia kembali ke Newcastle? Pemikiran itu membuat Grassiela geram. Bertahun-tahun yang lalu mereka meninggalkannya sendirian di Toronto sampai kekecewaan yang mendalam perlahan berubah menjadi kebencian. Grassiela bersumpah, ia tak akan pernah mau kembali ke rumahnya lagi.Selama ini Alfonso dan Helena telah memberi Grassiela kebebasan untuk melakukan apa yang dia inginkan, menjamin seluruh kehidupannya serta menjaga keamanannya. Mereka bahkan tidak ambil pusing meski putrinya memilih tak pulang di hari-hari libur. Selama Grassiela tetap aman dan tidak mencemarkan nama baik keluarga, itu sudah cukup. Tapi apakah hubungan seperti itu bisa dikatakan sebagai keluarga?Grassiela tak merasakannya.Lantas mengapa kini ia harus menjadi bagian dari keluarga Stamford lagi? Apa yang akan ayahnya lakukan jika ia bersih keras tak ingin kembali? Apakah para pengawalnya itu akan memaksa dengan melakukan kekerasan? Apapun yang terjadi, Grassiela bertekad untuk tetap kembali ke kota ini.Tanpa terasa, mobil yang ia kemudikan sampai di area parkir sebuah panti asuhan. Humanitarian Gift adalah salah satu lembaga filantropi yang dipercaya mengelola serta menyalurkan dana sosial untuk pemberdayaan masyarakat. Mereka mempunyai banyak program yang berfokus dari kota ini hingga ke berbagai negara. Grassiela berpikir bahwa dengan mengabdikan dirinya untuk kegiatan amal, ia dapat mengapus sedikit demi sedikit rasa bersalahnya di masa lalu. Jika saja, Alfonso memberinya kebebasan lebih, Grassiela akan memilih untuk menjadi seorang relawan di medan perang. Tapi tentu saja, keluarganya tak memberi ijin.Dan pagi ini, dia mendapat tugas untuk melangsungkan sebuah acara sosial bersama timnya di sebuah panti asuhan. Jaraknya sekitar dua belas meter dari tempat Grassiela memarkirkan mobilnya sampai ke geduang tua itu. Saat ia berjalan, tanpa sengaja pandangannya menangkap pasangan muda yang tengah berbincang dengan seorang teman relawannya. Lalu tak lama, mereka tampak masuk melalui pintu utama.Grassiela mengangkat sudut bibirnya sambil terus berjalan. Rupanya Isabele memang sudah datang lebih dulu. Tapi ia yakin bahwa hal itu tidak akan terjadi jika Thom tidak menjemput kekasihnya tepat waktu. Grassiela teringat bagaimana dirinya dan Isabele kerap bangun kesiangan dan mereka harus berlari di sepanjang koridor asrama agar tidak terlambat masuk kelas. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan ia tidak menyangka bahwa pertemanan mereka akan sampai hingga hari ini.Ada sedikit perasaan sedih saat Grassiela mengingat jika sahabat lamanya itu akan segera menikah. Ia tak lupa bahwa salah satu cita-cita Isabela ketika masih kecil adalah menjadi seorang putri dan menikah dengan pangeran. Itu adalah impian setiap gadis kecil, termasuk dirinya. Namun saat Isabele mengenalkannya dengan Thomas Hansen, Grassiela dapat melihat bahwa pria itu memang mencintai sahabatnya. Thom mungkin bersikap baik dan tampak menyayangi Isabele. Hal itu membuat Grassiela lega. Akhirnya Isabele benar-benar akan menikah bersama pangerannya.Lantas, bagaimana dengan masa depan Grassiela sendiri? Akankah seseorang hadir dalam hidupnya? Tepat ketika pemikiran itu melintas, suara dentuman keras terdengar hingga menggetarakan tempatnya berpijak.Boom.Tubuh Grassiela terhempas sejauh setengah meter ke dasar tanah.Semua orang berteriak panik ketika ledakan keras mengguncang sebuah panti asuhan ternama di Toronto.Grassiela membuka kedua matanya dan yang ia lihat adalah kabut debu yang tebal. Telinganya masih berdengung saat ia mencoba untuk bernapas dengan normal tanpa terbatuk-batuk lagi.Ketika ia berusaha bangkit, seseorang datang untuk membantunya berdiri. Grassiela mengangguk berkali-kali pada pria plontos itu sebagai jawaban bahwa dirinya baik-baik saja.Tapi tunggu dulu, apa yang baru saja terjadi? Grassiela mendadak terserang panik mengingat bahwa ada banyak anak-anak bersama tim relawannya terjebak di dalam gedung yang meledak itu!Lalu Isabele?Spontan Grssiela meronta dan meneriakkan nama sahabatnya. Suaranya nyaris tak terdengar ditelan keramaian. Entah apa yang terjadi pada Isabele karena dia berada di dalam bersama Thom saat ledakan terjadi. Ketika kabut debu sedikit menipis, Grassiela dapat melihat gedung yang rusak bersama beberapa titik api dari balik jendelanya. Ia menangis dan tak bisa berbuat apa-apa karena pengawalnya tetap berusaha membatasi pergerakannya.Lantas perlahan pandangan Grassiela beralih pada pria di sampingnya. Tak ada kekhawatiran yang berarti dari ekspresi sang pengawal. Tatapannya dalam dan tangis Grassiela terhenti. Ia mulai menyadari apa yang baru saja terjadi.Perlahan ia bergerak untuk menjauh. Grassiela menatap kepanikan serta gedung rusak di hadapannya dengan nanar. Kabut debu masih berputar di udara. Suara sirine mobil polisi, pemadam kebakaran dan ambulan terdengar. Mereka mulai sibuk mengevakuasi korban. Beruntung, Grassiela tidak mendapatkan luka yang berarti. Atau mereka mungkin sudah memperhitungkannya. Maka dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, Grassiela berbalik dan mulai melangkah.Rasa bersalah yang mendalam seakan menamparnya hingga ia tersadar siapa dirinya dan bagaimana cara keluarganya bekerja. Grassiela menyadari bahwa dirinya harus segera mengambil sebuah keputusan. Ia menyeka air matanya dengan kasar lalu melangkah pasti bersama amarah serta kekecewaan yang melukai hati.Mungkin ini akhirnya. Mungkin ini saatnya. Grassiela benar-benar harus kembali.Di depannya, dua buah mobil berwarna hitam tengah menunggu. Pria plontos berseragam hitam tadi berjalan mendahuluinya dan membukakan pintu mobil untuknya. Mereka benar, Grassiela tidak punya pilihan.Seolah tak tahu menahu dengan ledakan yang terjadi di sana, wanita muda itu memasuki mobil. Mereka kemudian melaju meninggalkan kekacauan yang ada.***Chapter 4 *** Apa yang kalian harapkan ketika baru saja sampai di rumah setelah sekian tahun lamanya tak kembali? Penyambutan? Grassiela tersenyum kecut saat melihat seorang pelayan wanita membukakan pintu lalu bersama sopir turut membawakan barang-barangnya dari dalam mobil. "Selamat datang, Nona," ujar wanita muda berseragam hitam dan putih itu seraya mengantarkan ke kamarnya di lantai atas. Grassiela mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru rumah yang sepi. Tidakkah ini keterlaluan? Ketika dirinya baru saja pulang, kedua orangtuanya masih saja sibuk dengan urusan masing-masing. Akhirnya dia menghela napas setelah sampai dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda. Kamarnya. Dan semuanya masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkan tempat itu. Ranjang kayu berkanopi dengan tirai berenda putih. Seprei tempat tidurnya masih bermotif bunga-bunga kecil yang ia sukai. Beberapa boneka pun masih duduk berjejer rapi di sofa yang berhadapan dengan tempat tidur. Grassiela tak tahu
*** Newcastle, Inggris.  "Satu." "Dua." "Tiga." "Kau curang!" Cetus seorang anak lelaki berusia delapan tahun. Ia menatap kesal pada adiknya yang baru saja membuka kedua tangan yang semula menutupi wajah. "Aku tidak curang," kilah gadis kecil itu tanpa rasa bersalah. "Kau mengintip barusan." "Aku tidak melakukannya." Nicholas mendesah. Ia melihat bagaimana gadis itu diam-diam mengintip dari jemari mungilnya. Tapi Grassiela tidak mau mengakuinya. "Sudahlah. Bermain saja dengan Anna dan Bella," pungkas Nicholas sambil melengos pergi. "Mereka dan Zack sedang berada di keluarga aunty Eveline dan baru akan kembali besok pagi," tutur Grassiela menghentikan langkah kakaknya. "Kalau begitu carilah Bianca." "Kau tidak mau bermain denganku?" Nicholas kembali berbalik. "Bermainlah dengan anak perempuan." "Kau mau ke mana?" tanya Grassiel dengan nada memprotes. "Aku melihat Arthur bersama guru privatnya di perpustakaan. Sementara Dave masih mengurung diri di kamarnya," ungkap gadi
Newcastle, Britania Raya. 10.07 AM. Wanita muda itu menuruni satu per satu anak tangga sambil memeluk sebuah bingkai kanvas beserta peralatan lukis miliknya. Pagi-pagi sekali ia meminta Gretta membelikan semua benda itu untuk mengisi hari-harinya yang membosankan. Grassiela tidak tahu sampai kapan dirinya akan berkutat dalam kejenuhan di rumah ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam. Meski ayahnya pernah mengatakan bahwa melukis adalah hal yang tak berguna, Grassiela tidak peduli. Ia menyukainya dan tetap akan melakukannya selama hal itu bukan lah sesuatu yang buruk. Lantas ia terus melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Tetapi sebelum sampai di sana, langkah kaki itu berhenti tepat di depan ruang makan. Grassiela terdiam memandang meja makan yang kosong. Pemandangan ruang makan yang sepi itu membuat benak Grassiela terbang ke masa lalu. Tepatnya ketika ia masih berusia tiga belas tahun dan baru saja menghabiskan masa libur sekolahnya selama
*** Lima belas tahun yang lalu. Toronto, Canada. Malam itu belum larut. Masih sekitar pukul sembilan ketika Rebecca, seorang wali asrama di sekolah perempuan itu menemui Grassiela di kamarnya dan mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya. Grassiela tidak dapat menebak siapa yang datang di malam hari dan menunggunya di ruangan kepala sekolah. Sebelumnya ia tak pernah sekali pun mendapat kunjungan dari seorang tamu. Dan sepertinya orang itu cukup penting karena sang kepala sekolah menerima kunjungan ini bahkan membuka pintu ruang kerja pribadinya di malam hari. Rasa penasaran membuat gadis itu berjalan cepat menyusuri koridor bersama dengan wali asramanya. Sementara diam-diam, cemas serta gugup turut menghantuinya. Siapa yang datang? Apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan orang asing yang ia temukan di halaman belakang tiga hari yang lalu? Semoga saja tidak. Berkali-kali Grassiela menepis firasat buruk dalam hatinya. Ketika Rebecca membuka pintu ruangan kepala
*** "Dia sangat tampan. Rambut hitamnya terpotong rapi, alis yang tebal, netra kelabu yang bersorot tajam serta rahang yang kokoh. Saya tidak berani memandanginya, tapi dia juga memiliki tubuh tegap yang terpahat dengan sempurna. Anda akan jatuh cinta ketika melihatnya." Grassiela tersenyum mendengar ungkapan wanita muda berseragam pelayan itu. "Semudah itukah cara seseorang untuk jatuh cinta?" simpulnya. Gretta berjalan menuju meja rias lalu merapikan barang-barang yang berantakan di sana. "Saya tidak tahu. Tapi bukankah ada yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama?" "Lalu apa kau mencintainya?" Seketika Gretta memandang wanita muda yang tengah duduk di atas tempat tidur itu. "Tentu saja tidak," jawabnya spontan. "Kau menceritakan bahwa pria itu begitu menakjubkan. Lalu kenapa kau tidak jatuh cinta pada pandangan pertama?" Kening Gretta berkerut memikirkan pertanyaan dari nona muda nya. Lantas Grassiela terkekeh. "Bagaimana aku bisa mencintainya jika aku tidak mengen
*** Lebih dari empat jam waktu tempuh dari Newcastle untuk sampai di Cestershire. Sebuah desa indah nan asri yang berada di distrik Costwold. Meski cukup lama dan membosankan dalam perjalanan, tapi Grassiela sangat menantikannya. Seperti biasa, suasana di dalam limusin Mercedes Benz S-600 Pullma berwarna hitam itu cukup canggung dan hening. Tak perlu diingatkan bahwa mereka adalah keluarga. Grassiela benar-benar paham bahwa Alfonso lebih tertarik pada surat kabar di menghadapi masalah politik lokal dari berbicara pada putrinya sendiri. Sementara Helena terlalu sibuk berinteraksi dengan teman-teman sosialita-nya lewat layar ponsel. Akhirnya gadis itu menghela napas. Grassiela menyadari bahwa ia tidak bisa mengharapkan kedua orangtuanya terlibat dalam kontak yang hangat. jangan harap. Lantas iris mata biru terang itu pandangannya ke arah jendela mobil. Grassiela melawan kejenuhan selama perjalanan dengan menikmati pemandangan yang indah dan pilihan dari sana. Di luar tampak cottage-
Chapter 10 *** Ketiga pria itu menyusuri koridor dengan langkah-langkah panjang. James yang memimpin di depan bahkan tampak terburu, tak sabar untuk melihat hasil tangkapan dari orang kepercayaannya. Lantas ketika ketiganya sampai di depan pintu ruang rapat, Benicio dan Fausto yang sejak tadi mengekor membukakan pintu tinggi tersebut. Di dalam ruangan dengan pencahayaan temaram itu, terdapat sebuah meja besar berbentuk oval. Di kedua sisinya, tampak dua orang pria duduk saling berhadapan dan seorang pria lagi berdiri dengan melipat kedua tangannya di sisi ruangan. James tersenyum puas. Ia mengenyahkan keheningan di sana dengan bertepuk tangan sambil berjalan memasuki ruang rapat tersebut. "Manicci. Senang melihatmu kembali," sapa James menahan girang. Sementara Fredo Manicci, pria tua yang duduk berhadapan dengan pengacara James melayangkan tatapan tajam. "Draxler. Jadi kau yang menculikku di pagi buta seperti ini?" ucapnya terdengar mengumpat. James berdiri di belakang Sergei N
Cestershire, Inggris. Boneka kepala kelinci besar yang menempel pada sebuah tas itu bergoyang-goyang seiring langkah kaki seorang pria yang menentengnya. Sementara di belakang, seorang wanita baru saja turun dari mobil sambil memeluk bayi mungilnya ikut berjalan terburu bersama wanita paruh baya yang membawakan barang-barang. "Apa yang kalian lakukan? Apa si kecil baik-baik saja?" ucap Alexa cemas sambil membuka kedua tangannya. Sang ayah tak menjawab. Dengan tas bayi besar di tangannya dia hanya merangkul Alexa sekilas lalu melewatinya menuju pria yang berdiri di depan pintu utama. "Kalian hanya bertiga? Sama sekali tak ada penjagaan?" "Berempat," ralat David lalu membalas rangkulan Zack cepat kemudian menuju tiga orang lagi yang menyambut kedatangan mereka di pelataran. "Kami mencemaskan sang pangeran kecil," sapa Clara. David mengecup pipi ibu tiri dan aunty nya secara bergantian sebelum ia merangkul ayahnya yang menyambut dengan tersenyum lebar. "Dia baik-baik saja," ujar D
Apa moment terburuk yang pernah kau hadapi? Menyaksikan saudaramu tewas tertembak tepat di depan matamu? Diusir dari rumah dan diasingkan ke sebuah sekolah asrama? Atau, apa kau pernah menyaksikan sebuah ledakan hebat yang menjatuhkan banyak korban dan itu semua adalah karena kesalahanmu? Tidak, itu baru sebagian kecil. Masih banyak hal buruk yang Grassiela lewati selama hidupnya. Terlebih lagi, setelah dia dinikahi oleh seorang bos mafia yang tak kenal ampun. Semua itu jelas mengerikan. Sikap angkuh kedua orangtuanya juga suaminya membuat Grassiela tertekan dan frustasi. Jika begitu, lantas kapan moment terbaik yang pernah ia rasakan dalam hidupnya? Kini, sebuah senyuman merekah di wajah jelita itu. Matahari mulai merangkak naik hingga pagi menjadi terang. Mereka tiba di kawasan perkotaan Krasnodar. Suasana yang ramai dengan deretan bangunan klasik dan modern bercampur dalam musim semi yang memancarkan kehangatan. Keduanya turun dari mobil, berjalan sambil saling berpegangan tan
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi setelah mereka kembali dari pemakaman. Valentina berdiri di balkon kamar, gaun hitam panjangnya berkibar pelan terkena angin malam. Wajahnya tampak murung, bayangan kesedihan dan kecemasan menghiasi tatapannya yang kosong, memandangi langit malam tanpa benar-benar melihat apa pun. Di dalam dirinya, ribuan pikiran berkeliaran, menghantui setiap detik yang berlalu. Pemakaman Borsellino, suaminya baru saja selesai meninggalkan perasaan yang campur aduk. Valentina memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya angin yang merembes hingga ke tulang. Dia tidak bisa menghentikan kegelisahan yang terus merayap dalam hatinya—kegelisahan tentang bagaimana orang-orang akan memandang hubungannya dengan Paolo setelah ini. Pria yang selama ini menemaninya, sekarang menjadi pusat dari segala rumor dan spekulasi. Dunia mafia penuh intrik, dan hubungan mereka pasti akan dipandang dari segala sisi yang penuh kecurigaan. Paolo muncul dari dalam kamar, mendekati Valent
Di dalam ruangan dengan perapian yang menyala lembut, sinar api memantulkan bayang-bayang di dinding kayu yang tebal. Malam telah larut, dan udara dingin perlahan merasuk. Sebuah papan catur kayu tua dipasang di atas meja kecil di depan kursi empuk tempat Grassiela dan Fyodor, ayah mertuanya, duduk berhadapan. Pria tua itu menatap papan dengan intens, alisnya mengerut dalam, menggumamkan pikirannya sambil mempertimbangkan langkah berikutnya. "Hm, kau bermain dengan sangat baik," katanya sambil memindahkan bentengnya ke tengah papan. Grassiela tersenyum tipis, pandangannya tak lepas dari bidak-bidak di depan mereka. “Terima kasih, Papa," jawabnya halus. Keheningan kembali menyelimuti. Grassiela menyentuh salah satu bidak kuda miliknya dan memutarnya sedikit sebelum akhirnya menggerakkan kuda tersebut ke arah yang tak terduga. Dia tersenyum puas, menyadari langkah itu membuat Fyodor semakin terdesak. "Langkah yang brilian," puji Fyodor sambil mengangguk. "Kau tahu, permainan catur in
Pagi itu, udara pegunungan terasa sejuk dan segar. Sinar matahari yang lembut menerobos masuk melalui jendela besar di ruang tamu rumah persembunyian. Grassiela berdiri di tepi jendela, mengenakan gaun tidurnya, dengan secangkir kopi hangat di tangan. Pandangannya terfokus pada jalan setapak yang berkelok menuju rumah, saat debu mulai terangkat oleh deretan mobil yang mendekat. Lima mobil hitam melaju pelan, mesin-mesinnya terdengar samar dari kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, Grassiela dapat melihat sosok James yang berdiri di halaman, memandang lurus ke arah mobil-mobil itu. Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di dada, tenang namun tegas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Mata Grassiela menyipit, mencoba menebak apa yang akan terjadi. Namun sikap tenang James memberitahunya bahwa itu bukanlah sebuah ancaman. Mobil pertama berhenti, diikuti oleh yang lainnya. Pintu terbuka, lalu Alexsei keluar dengan cepat disusul oleh Fausto yang mengikutinya. Pria bertubuh besar itu
Cestershire, Inggris. Helena duduk di kursi goyang berlapis kain beludru merah tua, menggenggam cangkir teh camomile antik dengan erat. Sesekali dia menyeruput teh hangat itu bersama Eveline, saudari iparnya. "Seharusnya dia sudah bertunangan atau menikah sekarang, bukannya berkeliaran entah ke mana," gumam Eveline menahan kekhawatirannya. Helena menurunkan cangkirnya, menatap Eveline dengan serius. "Maksudmu Arabella? Aku rasa dia seorang gadis yang mandiri, dan tahu apa yang harus dia lakukan." Eveline menggeleng pelan, tanda bahwa dia tidak setuju pendapat itu. "Dia ceroboh, egois dan sulit diatur. Seseorang bisa saja memanfaatkannya." Dia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara pelan. "Dia selalu membuatku khawatir. Kini sudah dua minggu Arabella pergi entah kemana." Helena terdiam mendengar sejenak. Seketika, pikirannya melayang ke sosok putrinya, Grassiela. Apakah dia pernah merasa khawatir seperti apa yang Eveline rasakan? Sejauh mana dirinya menc
Langit di atas hutan Castelbuono berwarna biru cerah, cahaya matahari yang lembut menerobos dedaunan, menciptakan permainan bayangan di atas tanah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma pinus dan dedaunan yang segar. Grassiela berjalan dengan langkah ringan, rambut berwarna karamelnya diikat ekor kuda dan berkibar lembut di bawah pepohonan bersama apron merah muda yang menghiasi dress putih polosnya. James mengikuti dari belakang, matanya tak pernah lepas dari sosok menarik itu. Di setiap langkahnya, dia tampak waspada, meski diam-diam ada kehangatan dalam tatapannya. "Kau tidak perlu mengikutiku," kata Grassiela tiba-tiba, tanpa berbalik bersama langkahnya yang tetap ringan dan bebas. "Tidak perlu khawatir. Aku bisa menemukan jalan pulang sendiri nanti." James mendengus pelan, meski senyumnya hampir tak terlihat. "Aku hanya memastikan kau tidak tersesat atau membuat masalah." "Masalah?" Seketika Grassiela berhenti untuk menoleh menatap suaminya tajam. "Di sini, satu-satunya masalah ada
Pagi itu, James terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak biasa. Sinar matahari menembus celah-celah tirai jendela, menerangi ruang tamu yang dia gunakan untuk beristirahat. Aroma lezat dari dapur mulai menggoda indera penciumannya, memanggilnya untuk bangun dan menyambut hari. Dengan enggan, ia menghempaskan selimut yang entah datangnya dari mana lalu bangkit dari sofa. Pria itu berjalan menuju dapur, masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi serta celana hitam yang sedikit kusut, sebuah tanda dari malam panjang yang baru saja berlalu. Dapur itu sederhana, tidak seperti dapur mewah yang biasa ia temui di rumah-rumah besar. Namun entah bagaimana, kesederhanaan ini terasa membawa kedamaian baginya. Saat ia memasuki dapur, matanya tertuju pada meja makan. Sarapan telah disiapkan dengan rapi, lengkap dengan roti, telur, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya—pintu dapur yang sedikit terbuka, membiarkan angin pagi masuk ke dalam r