Chapter 2
***Sebelas tahun kemudian.Newcastle, Inggris.Awan yang menggumpal benar-benar terlihat sangat gelap siang ini. Padahal prakiraan cuaca yang ditayangkan di televisi memperediksikan bahwa cuaca akan cerah meski berawan. Namun rupanya langit mempunyai rencana lain untuk turut menunjukan duka, seperti hal nya orang-orang yang berkumpul dengan pakaian hitam mereka. Saat sang pendeta mengucapkan doa di depan makam, orang-orang yang hadir di sana menundukan pandangannya. Tak ada yang tahu siapa yang bener-benar ikut bersedih atau hanya berpura-pura demi menghormati keluarga yang baru saja ditinggalkan. Tapi setidaknya mereka tahu bagaimana caranya bersimpati.Rintik hujan mulai turun tepat setelah pemakaman selesai. Orang-orang yang berkumpul membubarkan diri setelah mereka kembali mengucapkan sesuatu yang berarti pada keluarga yang berduka. Termasuk seorang wanita yang usianya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih tampak cantik di balik topi fascinator dengan aksen fishnet yang tampak menutupi sebagian wajahnya. Dia memeluk wanita yang hampir seusia dengannya sambil mengucapkan belasungkawa dan memberikan kata-kata penyemangat sebelum pergi menghampiri suaminya.Pria paruh baya itu berdiri dengan bantuan tongkat di dekat mobilnya bersama seorang sopir. Ia tak banyak berbicara, tapi mereka tahu benar bahwa dia turut bersedih atas kematian putra dari salah seorang relasinya.Raut yang muram masih tampak jelas di wajah pasangan suami istri itu setelah mereka memasuki mobil. Selama beberapa saat dalam perjalanan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing sampai suara hela napas panjang terdengar."Ini adalah mimpi buruk bagi mereka. Setidaknya aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang putra," gumam Helena memecah keheningan.Suaminya bergeming dan tak mengalihkan pendangannya dari arah jendela. Helena tahu, bukan kesedihan yang membuat suaminya terdiam, tetapi ada banyak hal rumit yang bergelayut di benak pria itu."Apa yang kau pikirkan?" tanya Helena mengamati wajah pria di sampingnya.Lagi-lagi Alfonso tak menjawab. Raut wajahnya yang tampak serius membuat Helena mengerti bahwa ini bukan saatnya untuk berbincang. Akhirnya wanita itu menyandarkan pungungnya dan kembali menghela napas."Grace bahkan masih belum mengetahui mengenai rencana pertunangannya dan ini untuk ketiga kalinya." Suara tawa ironis terdengar. Helena memandang ke arah jendela sambil mengurut pelipisnya yang terasa pening. Wanita itu melanjutkan, "setidaknya belum ada media yang tahu. Jika tidak, putri kita bisa dicap sebagai gadis terkutuk karena ketiga calon suaminya selalu meninggal tepat tiga hari setelah pembicaraan antar keluarga.""Pemuda mana lagi yang menarik perhatianmu?" pancing Helena menyadari bahwa ada hal lain yang suaminya pikirkan. "Alfonso, katakan sesuatu!"Setelah hening lama, sorot mata pria itu beralih memandang istrinya dengan tajam. Akhirnya dia berkata, "seseorang sedang mencoba bermain-main dengan kita."***Toronto adalah kota metropolitan terbesar di Kanada. Meskipun masyarakat yang tinggal adalah pendatang dari seluruh penjuru dunia yang merantau, tapi kota ini termasuk dalam daftar kota yang paling aman di dunia. Hebat, 'kan?Ada banyak hal yang dapat kota ini tawarkan. Mulai dari sektor pendidikan, bisnis, pariwisata bahkan kuliner. Kau bisa mulai menelusuri Toronto Island, CN Tower, pasar dengan toko-toko yang unik dan artistik di Kensington Market hingga Distillery District, yaitu perpaduan toko dan rumah dengan bangunan unik dan trotoar yang apik.Setiap musim menjanjikan beragam hal menarik serta pemandangan yang cantik. Saat temperatur udara mulai menghangat, sungai Ontario yang berkilauan menjadi objek yang mengagumkan. Kafe-kafe di pinggir jalanan akan kembali menggelar kursi di luar. Mengundang para tamu menikmati segarnya udara sambil menikmati kopi dan camilan lainnya.Seperti apa yang di lakukan oleh dua orang wanita muda yang tengah asyik berbincang di salah satu kafe pinggiran jalan. Keduanya sepakat bahwa kota ini adalah pilihan terbaik di mana mereka bisa berkarier."Kau sudah mencoba gaun yang aku kirimkan kemarin?" tanya wanita bermata hazel sebelum ia menyuap satu sendok eskrim vanila ke dalam mulutnya."Sangat cantik. Ukurannya pas dengan tubuhku.""Aku ingin kau memakainya di hari pernikahanku nanti."Grassiela menghantikan kegiatan makannya lalu tersenyum simpul pada wanita muda di hadapannya. "Aku tahu. Apa persiapannya sudah selesai?""Sejujurnya aku tidak begitu tahu semua detailnya. Keluarga Thom dan orangtuaku membentuk tim dan mereka bekerjasama untuk mempersiapkan semuanya," ungkap Isabele."Aku bisa membayangkannya. Kau akan menjadi pengantin tercantik yang pernah kulihat. Thom beruntung mendapatkanmu."Pujian itu cukup membuat Isabele tersenyum tipis. Lalu diam-diam dia memperhatikan wanita muda di hadapannya yang kembali mengaduk eskrim di mangkuknya dengan malas. Tak ada ekspresi apa pun yang terbaca dari wajah Grassiela. Tapi sesuatu jelas telah terjadi sehingga wanita itu tampak murung selama beberapa hari terakhir."Grace, aku tidak akan marah jika kau tidak bisa menghadiri pesta pernikahanku nanti," ucap Isabele secara tiba-tiba.Grassiela mendongkak. Ia mengangkat kedua alisnya dan memandang Isabele tidak mengerti. "Memangnya kenapa?""Bukankah ada banyak hal yang harus kau lakukan?"Grassiela mendengus mendengar alasan tidak masuk akal itu. "Isabele, kau adalah teman baikku. Sesibuk apa pun, aku tidak mungkin melewatkan hari terpenting untukmu.""Sungguh?""Tentu saja.""Aku senang mendengarnya," jawab Isabele singkat. Pandangannya beralih ke arah sungai Ontario yang memantulkan cahaya mentari, tapi pikirannya tidak berada di sana."Apa yang kau pikirkan?" tanya Grassiela kemudian.Isabele hanya menggidikkan kedua bahu acuh tanpa mengalihkan pandangannya. "Tak ada."Grassiela tahu benar, raut cemas itu tak mungkin tanpa alasan. Isabele Lerager adalah teman baiknya semenjak mereka bersekolah di asrama yang sama. Mereka bahkan melanjutkan kuliah di universitas yang sama.Grassiela mengenalnya dengan baik. Isabele memang keturunan asli Kanada. Kedua orangtuanya tinggal di Montreal, sementara dia memilih untuk berkarier di salah satu perusahaan asuransi yang bonafide di Ontario. Tidak buruk, Isabele mendapat gaji yang lebih dari cukup untuk menutupi biaya hidup yang tinggi di kota ini. Dan kelebihan lainnya, dia mampu menaklukan hati seorang petinggi di perusahaan tempat dirinya bekerja. Isabele memang cantik. Kadang kala dia bersikap manja tapi wanita berambut coklat terang itu bukan termasuk seorang yang bisa bersikap spontan. Maka permintaannya untuk bertemu secara mendadak hari ini, cukup membuat Grassiela terkejut.Lantas kemana arah pembicaraan Isabele sekarang? Apa yang sesungguhnya ingin dia bicarakan?"Oh, Lerager. Jangan membuatku menunggu. Aku tahu ada sesuatu yang ingin kau sampaikan," desak Grassiela menuntut penjelasan dari sahabatnya."Lupakan," jawab Isabele membuat kening wanita di hadapannya berkerut."Memangnya apa yang kau pikirkan?"Isabele bergeming dan hal itu membuat Grassiela memutar kedua bola matanya. "Tolong jangan katakan bahwa kau sedang mengalami kekacauan emosional yang membuatmu berpikir banyak hal sebelum menikahi Thomas Hansen.""Jangan sebutkan namanya. Entah kenapa aku membenci nama pria itu.""Setidaknya kalian saling mencintai." Grassiela mengangkat kedua bahunya acuh."Terserah. Tapi kali ini, bukan itu yang ingin aku bicarakan." Tanpa sadar, pandangan Isabele kembali tertuju pada lawan bicaranya."Lalu?"Tatapan Isabele berubah tajam, mengisyaratkan bahwa apa yang akan dia ungkapkan adalah sesuatu yang serius. "Grace, satu minggu yang lalu aku datang ke rumahmu dan tanpa sengaja mendengar pembicaraanmu dengan pengawal pribadimu."Seketika Grassiela membeku. Apa yang Isabele katakan sungguh di luar dugaannya. Merasa seperti tertangkap basah, kini Grassiela tak tahu apakah dirinya masih bernapas saat isi kepalanya berusaha untuk mencari-cari jawaban yang sesuai untuk di ucapkan. Oh, apakah Isabele sudah mengetahuinya?"Pembicaraan yang mana maksudmu?" ucap Grassiela sambil berusaha mengendalikan dirinya yang salah tingkah. Ia tak berani membalas tatapan sahabatnya dan memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah kilauan cahaya di sungai itu. Grasiella berharap bisa menenggelamkan diri di dalamnya jika Isabele berkata lebih banyak lagi.Sayangnya, sorot mata Isabele menunjukan bahwa ia tidak menyerah dan bersungguh-sungguh dengan pembicaraannya kali ini. "Kau harus kembali, bukan?""Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan," tukas Grassiela mengelak.Isabele tahu, wanita bermata biru itu tengah berbohong. Pandangan Grassiela yang menuju ke sambarang arah sudah cukup untuk menjelaskan bahwa dia tidak mau mengatakan apa pun mengenai permasalahan pribadinya. Dan membuat wanita muda itu mau bercerita memang hal yang sia-sia. Kadang kala Isabele merasa bahwa Grassiela tidak benar-benar menganggapnya sebagai sahabat.Lantas Isabele menghela napas. Ia memasukkan satu sendok es krim vanila ke dalam mulutnya lagi setelah berkata, "sudah bertahun-tahun semenjak kita berteman dan aku tidak pernah melihat beberapa pria berseragam hitam yang mengikutimu sejak satu minggu terakhir."Grassiela tertawa. "Omong kosong apa ini?" tukasnya.Sesaat Isabele hanya memandangnya. Ia mengambil jeda, menunggu respon sahabatnya untuk mengatakan sesuatu meski ia tahu bahwa sedikit kemungkinan bahwa Grssiela akan melakukannya.Lantas Isabele menyendok es krim dalam mangkuk di hadapannya dan ia kembali melanjutkan, "ada sekitar enam orang yang jarak masing-masing berbeda mengelilingi kursi kita. Sementara pria dengan kepala plontos berada tepat lima meter di belakangmu."Spontan Grassiela menoleh ke belakang dan ia menahan diri untuk mengumpat. Sial! Apakah orang-orang itu terlalu mencolok sehingga Isabele pun dapat menyadarinya?Akhirnya ia mendengus kesal. Entah sudah berapa kali dia berusaha mengusir para pengawal itu tapi tak ada yang menggubrisnya.Sedikit memajukan tubuhnya ke depan, Grassiela berdesis, "Baiklah, Lerager, kau benar. Saat ini aku sedang menjadi seorang tawanan dan kau sedang mengolokku dengan membahas mengenai hari pernikahanmu, huh?""Aku hanya mencemaskanmu," tukas Isabele tak terima.Kening Grassiela berkerut. Ia memandang sahabat lamanya penuh antisispasi. "Apa yang kau cemaskan? Aku sudah mengatakannya padamu, aku akan hadir di hari pernikahanmu nanti. Apa itu tidak cukup?""Grace, apa yang terjadi?"Mendadak hening menyelimuti kedua wanita muda itu. Grassiela tahu, ia tak bisa menghindar lagi saat tatapan Isabele menuntut penjelasan dan penuh kekhawatiran. Situasi ini sudah beberapa kali terjadi selama mereka berteman dan selalu sukses dengan cara Grassiela menghindar. Tapi kali ini entah bagaimana, situasi seakan mendesaknya hingga terasa sulit.Di sisi lain, Isabele tahu, selama bertahun-tahun ada banyak hal yang Grassiela sembunyikan. Wanita berambut karamel itu tak pernah mau bercerita apa pun mengenai masalah pribadinya. Yang Isabele tahu, Grassiela hanya berasal dari Inggris dan memiliki nama Stamford sebagai nama belakangnya. Ya, keluarga besar pemilik dari salah satu perusahaan yang berpengaruh di Eropa.Well, kita tahu bahwa Stamcorp merupakan salah satu perusahaan energi terbesar yang berpusat di Inggris. Perusahaan Multi-National Company yang bergerak dalam industri sumber daya alam itu telah berdiri selama puluhan tahun dan dikelola secara turun temurun oleh keluarga Stamford. Mereka mempunyai nama yang bergengsi di Newcastle. Tapi tak banyak orang yang tahu bahwa di pinggiran Toronto, salah seorang bagian dari anggota keluarga besar tersebut memilih untuk mengabdikan dirinya pada sebuah lembaga kemanusiaan di kota ini.Ya, Grassiela melakukannya. Seolah melupakan identitasnya demi aksi sosialnya yang mungkin tak menghasilkan banyak uang. Tidak masuk akal, bukan?Lantas ketika Isabele menanyakan apa yang dia lakukan dengan gelar pendidikan ekonominya, wanita itu hanya berkata dengan ringan, "Aku tidak pernah merasa menyesal karena telah mendapatkan banyak ilmu."Pertemanan selama bertahun-tahun tak membuat Isabele mengerti jalan pikiran wanita bermata biru itu. Grassiela seorang yang cerdas, dia memiliki riwayat pendidikan yang sangat baik tetapi mengambil keputusan yang bodoh dengan mengabaikan keluarganya sendiri. Dia seakan lupa bahwa dirinya bisa saja kembali ke negri Ratu Elizabeth untuk tinggal bersama kedua orangtuanya yang kaya raya dan berkontribusi di perusahaan milik keluarganya. Namun apa yang dia lakukan? Isabele tidak pernah tahu bahwa gaji sebagai pengelola sebuah lembaga kemanusiaan dapat mencukupi biaya hidup yang tinggi di Toronto."Baiklah," ujar Isabele setelah dia menghela napas panjang. "Meski pun kau tidak mau berbicara, aku tahu. Mereka harus membawamu kembali."Grassiela memandangnya dalam diam."Grace, aku tidak pernah tahu apa yang membuatmu selalu menghindar saat aku membahas mengenai keluargamu. Tapi apa pun itu, kembalilah.""Apa kau sedang mencoba untuk mendikte ku?""Tak ada yang bisa mengaturmu. Aku tahu, kau begitu keras kepala dan tak seorang pun bisa merubahnya. Tapi kali ini saja, dengarkan aku. Kau bisa saja bersembunyi dari sebuah permasalahan. Tapi kau tidak bisa terus menerus menghindar. Apa pun itu, kau bisa menghadapinya.""Kau bukan pengecut, Grace. Aku mengenalmu," tuntas Isabele penuh penekanan.Grassiela mendengus. Raut wajahnya jelas menunjukan bahwa ia tidak suka dengan pembicaraan ini. "Isabele, bukankah kita sedang membahas mengenai hari pernikahanmu?""Lupakan itu dan kembalilah ke Inggris.""Kenapa aku harus melakukannya?" Suara Grassiela meninggi. "Apa hal itu mempengaruhi hidupmu?""Kenapa kau begitu keras kepala? Ini demi kebaikanmu.""Kebaikan apa? Apa yang kau tahu tentang hidupku?"Isabele terdiam. Pertanyaan serta tatapan Grassiela yang menyorot tajam membuat hatinya terluka."Tak ada. Tidak ada, Grace. Kau tidak pernah bercerita apa pun mengenai hidupmu. Satu-satunya yang aku tahu, bahwa kau adalah bagian dari keluarga Stamford yang membuang-buang waktumu dengan bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan.""Kau berkata bahwa bekerja di untuk amal adalah membuang-buang waktu?" ulang Grassiela tak terima.Kali ini Isabele mengangkat wajahnya. Kekecewaan di hatinya segera lenyap saat dia menyadari bahwa sesungguhnya Grassiela hanya melindungi egonya yang sedang terpojok."Biaya hidup di kota ini cukup tinggi dan kau bahkan sanggup membeli sebuah rumah sendiri. Sementara berapa gajimu dari Humanitarian Gifts?" ungkap Isabele membuat sahabatnya itu menatapnya tak mengerti."Apakah itu penting?""Grace, aku tidak pernah tahu alasan apa yang membuatmu enggan kembali ke Newcastle. Kau bisa saja bekerja di Stamcorp, perusahaan milik keluargamu, tapi apa yang membuatmu bertahan sendirian di sini?""Aku menyukai tempat ini. Ok?"Isabele memejam kedua mata demi nenahan kekesalannya sendiri. Hell, dia menyerah. Sepertinya pembicaraan ini memang sia-sia. Cepat-cepat Isabele membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pergi."Terserah. Suatu saat para penjagamu akan menyeretmu kembali dan sebelum hal itu terjadi, kembalikan gaun yang aku kirimkan kemarin."Grassiela melebarkan kedua matanya tak percaya. "Gaun itu sudah menjadi milikku," tolaknya."Aku dengar besok Humanitarian Gifts akan mengadakan acara di sebuah panti asuhan. Thom mengajakku untuk hadir di sana. Aku harap kau tidak lupa untuk membawa gaunnya."Isabele beranjak tapi sebelum ia melangkah pergi, Grassiela menahannya dengan berkata, "Kau pikir kau bisa memaksaku untuk kembali?""Dengar Stamford, aku sangat menyayangimu. Aku hanya ingin kau bersikap dewasa. Pikirkan keluargamu, pikirkan masa depanmu. Sampai kapan kau akan berada di sini? Sendirian. Kau tidak bisa terus menerus bersikap egois.""Aku egois?""Aku akan menemuimu besok. Jangan lupa untuk membayar semua makanan ini."Grassiela terperangah saat Isabele melenggang pergi dengan tidak tahu dirinya. "Kau begitu menyebalkan, Lerager! Aku harap Thom memiliki banyak kesabaran untuk menghadapimu."Isabele menoleh dan dia mengangkat kedua bahunya acuh. "Setidaknya kami saling mencintai."Grassiela kembali terperangah. Sikap Isabele benar-benar membuatnya kesal. Entah bagaimana mereka bisa berteman selama bertahun-tahun.Semantara Grassiela menahan dirinya untuk tidak mengumpat, seorang pengawal pribadinya yang berpakaian serba hitam terus menatapnya penuh pengawasan. Oh, rasanya Grassiela ingin melepas sepatunya dan melemparnya ke arah kepala plontos itu.***Cetak!Bola berwarna merah dengan angka tujuh meluncur masuk ke dalam lubang di sudut meja billiard disusul bola-bola lainnya. Seorang pria menyeringai puas sebelum menegakkan tubuhnya kembali. Saat suara pintu terdengar terbuka, ia bergeming. Dari sudut matanya yang kelabu ia dapat melihat seseorang berpakaian serba hitam melangkah masuk ke dalam ruangan temaram itu."Kenapa lama sekali? Aku hampir saja mematahkan tongkat ini karena terlalu lama menunggu.""Kau bisa mematahkannya sekarang." Aleksei Gazinsky, seorang underboss, berjalan menuju meja bar lalu mengambil sebotol air mineral dan menenggaknya."Bagaimana? Apa pemakamannya sudah selesai?"Alexsei tak menjawab, ia kembali memunum air dari botol di genggamannya dan mengabaikan pertanyaan itu. Namun sang bos tentu tahu, keterdiaman Alexsei adalah bentuk dari jawaban. Lantas sebuah kekehan terdengar, menggema ke seluruh ruangan berlenarangan redup tersebut.Alexsei tak berkata apa pun, ia hanya menatap pria yang masih mengenakan stelan jas formal di hadapannya tertawa puas. Dia tak mengerti, kebahagiaan macam apa yang merasuki seorang James Daraxler setelah mendengar bahwa salah seorang kawannya baru saja tewas akibat rencananya sendiri. Sama sekali tak ada rasa bersalah di sana. James bertepuk tangan dengan wajah sumringah."Kerja bagus," ujar pria itu di sela tawanya. "Katakan, apakah Alfonso berada di sana? Apa dia melihat karangan bunga yang kukirimkan untuk keluarga Zhirkov?"Alexsei mendengus. "Dia hanya berdiri di samping mobilnya. Apa kau senang?"James kembali terbahak. "Tentu saja. Aku senang. Aku sangat senang. Tidak salah aku memberimu kepercayaan ini. Sekarang kemarilah, teman." James berjalan menghampri Alexsei lalu mendekap dan menepuk-nepuk punggungnya. "Beri tahu aku, apa yang kau inginkan?"Alexsei melepas dekapan itu, ia berdecak. "Kau tahu apa yang selama ini kuinginkan." Pria itu berjalan memutari meja billiard sebelum mengambil tongkat stick yang tergeletak di sana. Matanya yang gelap menatap beberapa bola di atas meja dan memilih sasarannya. Alexsei menarik napas dalam dan mulai menyodok. Kemudian suara pantulan bola keras kembali terdengar."Beberapa hari ini seseorang tengah mengawasiku," ujar Alexsei dingin.Sektika kebahagiaan di wajah James lenyap. Ia mengangkat kedua alisnya lalu bertanya dengan hati-hati, "Benarkah? Apa mereka juga mengikutimu?""Seperti yang kau inginkan."James mengangkat sudut bibirnya. "Bagus. Bagus," gumam James sembari menggosok kedua tangannya dengan antusias. "Buat mereka datang kemari. Buat mereka menemuiku.""Apa yang kau harapkan? Mereka bisa saja menyerangmu," tukas Alexsei mengingatkan."Apa ini adalah tanda bahaya?"Mendadak Alexsei terdiam. Tatapannya yang tajam terpaku pada sepasang mata kelabu milik James penuh perhitungan.Alfonso bukanlah orang biasa, meski masa kekuasaannya telah selesai, tapi secara diam-diam si tua itu masih memiliki beberapa orang anak buah yang kesetiaan dan kemampuannya tak perlu diragukan lagi. Berurusan dengan mereka sama dengan mencari mati. Dan seorang James Draxler, baru saja melakukannya. Dia berani mengambil segala konsekuensi demi menggapai ambisinya.Maka dalam hening kedua pria itu saling menatap bersama pikiran masing-masing. Lantas perlahan, seringai mengerikan kembali terukir di bibir maskulin itu. Alexsei mungkin lupa, bahwa James tak mengenal rasa takut.Sialan! Tawa kedua pria itu akhirnya pecah. Keduanya terbahak seolah apa yang baru saja mereka lakukan hanyalah lelucon."Ini akan menyenangkan," ujar Alexsei masih terkekeh."Sudah kubilang," timpal James. Pria itu mengambil sebotol minuman beralkohol dan berpikir sejenak sebelum menuangkannya ke dalam seloki. Ia meyakini bahwa Alfonso Stamford telah mengetahui perbuatannya. Sekarang mari kita lihat, keputusan apa yang akan si tua itu ambil selain menerima kesepakatan yang telah James ajukan padanya."Bawa bahaya itu kemari," desis James bersama sorot mata liciknya. "Karena aku akan menundukkan serangan apa pun demi membuatku semakin dekat dengan Grassiela."***Chapter 3 *** "Kau akan mendapat masalah jika tidak membawa gaunnya. Jangan terlambat, aku akan berada di panti asuhan lima belas menit lagi." Grassiela nyaris melempar ponselnya setelah membaca pesan text tersebut. Sial! Dia sudah terlambat. Isabele benar-benar menyebalkan dan Grassiela tak punya pilihan selain menyambar tas kertas berisikan gaun yang belum lama ini ia miliki sebelum terburu-buru menuju mobilnya di pelataran. Entah permasalahan macam apa yang akan Isabele ciptakan jika Grssiela tidak melakukan perintahnya. Sesungguhnya ia yakin bahwa ancaman itu hanyalah omong kosong belaka dan Grassiela sama sekali tidak peduli. Tapi pagi ini suasana hati wanita itu sedang tidak baik. Ada resah yang sejak semalam bergumul dalam hatinya. Grassiela tak tahu mengapa, tapi ia merasa bahwa pagi ini dirinya memang harus segera menemui sahabatnya. Lari-lari kecil itu mendadak terhenti tepat di depan pintu utama. Grassiela mendengus kesal saat mendapati seorang pria pelontos bertubuh be
Chapter 4 *** Apa yang kalian harapkan ketika baru saja sampai di rumah setelah sekian tahun lamanya tak kembali? Penyambutan? Grassiela tersenyum kecut saat melihat seorang pelayan wanita membukakan pintu lalu bersama sopir turut membawakan barang-barangnya dari dalam mobil. "Selamat datang, Nona," ujar wanita muda berseragam hitam dan putih itu seraya mengantarkan ke kamarnya di lantai atas. Grassiela mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru rumah yang sepi. Tidakkah ini keterlaluan? Ketika dirinya baru saja pulang, kedua orangtuanya masih saja sibuk dengan urusan masing-masing. Akhirnya dia menghela napas setelah sampai dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda. Kamarnya. Dan semuanya masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkan tempat itu. Ranjang kayu berkanopi dengan tirai berenda putih. Seprei tempat tidurnya masih bermotif bunga-bunga kecil yang ia sukai. Beberapa boneka pun masih duduk berjejer rapi di sofa yang berhadapan dengan tempat tidur. Grassiela tak tahu
*** Newcastle, Inggris.  "Satu." "Dua." "Tiga." "Kau curang!" Cetus seorang anak lelaki berusia delapan tahun. Ia menatap kesal pada adiknya yang baru saja membuka kedua tangan yang semula menutupi wajah. "Aku tidak curang," kilah gadis kecil itu tanpa rasa bersalah. "Kau mengintip barusan." "Aku tidak melakukannya." Nicholas mendesah. Ia melihat bagaimana gadis itu diam-diam mengintip dari jemari mungilnya. Tapi Grassiela tidak mau mengakuinya. "Sudahlah. Bermain saja dengan Anna dan Bella," pungkas Nicholas sambil melengos pergi. "Mereka dan Zack sedang berada di keluarga aunty Eveline dan baru akan kembali besok pagi," tutur Grassiela menghentikan langkah kakaknya. "Kalau begitu carilah Bianca." "Kau tidak mau bermain denganku?" Nicholas kembali berbalik. "Bermainlah dengan anak perempuan." "Kau mau ke mana?" tanya Grassiel dengan nada memprotes. "Aku melihat Arthur bersama guru privatnya di perpustakaan. Sementara Dave masih mengurung diri di kamarnya," ungkap gadi
Newcastle, Britania Raya. 10.07 AM. Wanita muda itu menuruni satu per satu anak tangga sambil memeluk sebuah bingkai kanvas beserta peralatan lukis miliknya. Pagi-pagi sekali ia meminta Gretta membelikan semua benda itu untuk mengisi hari-harinya yang membosankan. Grassiela tidak tahu sampai kapan dirinya akan berkutat dalam kejenuhan di rumah ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam. Meski ayahnya pernah mengatakan bahwa melukis adalah hal yang tak berguna, Grassiela tidak peduli. Ia menyukainya dan tetap akan melakukannya selama hal itu bukan lah sesuatu yang buruk. Lantas ia terus melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Tetapi sebelum sampai di sana, langkah kaki itu berhenti tepat di depan ruang makan. Grassiela terdiam memandang meja makan yang kosong. Pemandangan ruang makan yang sepi itu membuat benak Grassiela terbang ke masa lalu. Tepatnya ketika ia masih berusia tiga belas tahun dan baru saja menghabiskan masa libur sekolahnya selama
*** Lima belas tahun yang lalu. Toronto, Canada. Malam itu belum larut. Masih sekitar pukul sembilan ketika Rebecca, seorang wali asrama di sekolah perempuan itu menemui Grassiela di kamarnya dan mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya. Grassiela tidak dapat menebak siapa yang datang di malam hari dan menunggunya di ruangan kepala sekolah. Sebelumnya ia tak pernah sekali pun mendapat kunjungan dari seorang tamu. Dan sepertinya orang itu cukup penting karena sang kepala sekolah menerima kunjungan ini bahkan membuka pintu ruang kerja pribadinya di malam hari. Rasa penasaran membuat gadis itu berjalan cepat menyusuri koridor bersama dengan wali asramanya. Sementara diam-diam, cemas serta gugup turut menghantuinya. Siapa yang datang? Apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan orang asing yang ia temukan di halaman belakang tiga hari yang lalu? Semoga saja tidak. Berkali-kali Grassiela menepis firasat buruk dalam hatinya. Ketika Rebecca membuka pintu ruangan kepala
*** "Dia sangat tampan. Rambut hitamnya terpotong rapi, alis yang tebal, netra kelabu yang bersorot tajam serta rahang yang kokoh. Saya tidak berani memandanginya, tapi dia juga memiliki tubuh tegap yang terpahat dengan sempurna. Anda akan jatuh cinta ketika melihatnya." Grassiela tersenyum mendengar ungkapan wanita muda berseragam pelayan itu. "Semudah itukah cara seseorang untuk jatuh cinta?" simpulnya. Gretta berjalan menuju meja rias lalu merapikan barang-barang yang berantakan di sana. "Saya tidak tahu. Tapi bukankah ada yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama?" "Lalu apa kau mencintainya?" Seketika Gretta memandang wanita muda yang tengah duduk di atas tempat tidur itu. "Tentu saja tidak," jawabnya spontan. "Kau menceritakan bahwa pria itu begitu menakjubkan. Lalu kenapa kau tidak jatuh cinta pada pandangan pertama?" Kening Gretta berkerut memikirkan pertanyaan dari nona muda nya. Lantas Grassiela terkekeh. "Bagaimana aku bisa mencintainya jika aku tidak mengen
*** Lebih dari empat jam waktu tempuh dari Newcastle untuk sampai di Cestershire. Sebuah desa indah nan asri yang berada di distrik Costwold. Meski cukup lama dan membosankan dalam perjalanan, tapi Grassiela sangat menantikannya. Seperti biasa, suasana di dalam limusin Mercedes Benz S-600 Pullma berwarna hitam itu cukup canggung dan hening. Tak perlu diingatkan bahwa mereka adalah keluarga. Grassiela benar-benar paham bahwa Alfonso lebih tertarik pada surat kabar di menghadapi masalah politik lokal dari berbicara pada putrinya sendiri. Sementara Helena terlalu sibuk berinteraksi dengan teman-teman sosialita-nya lewat layar ponsel. Akhirnya gadis itu menghela napas. Grassiela menyadari bahwa ia tidak bisa mengharapkan kedua orangtuanya terlibat dalam kontak yang hangat. jangan harap. Lantas iris mata biru terang itu pandangannya ke arah jendela mobil. Grassiela melawan kejenuhan selama perjalanan dengan menikmati pemandangan yang indah dan pilihan dari sana. Di luar tampak cottage-
Chapter 10 *** Ketiga pria itu menyusuri koridor dengan langkah-langkah panjang. James yang memimpin di depan bahkan tampak terburu, tak sabar untuk melihat hasil tangkapan dari orang kepercayaannya. Lantas ketika ketiganya sampai di depan pintu ruang rapat, Benicio dan Fausto yang sejak tadi mengekor membukakan pintu tinggi tersebut. Di dalam ruangan dengan pencahayaan temaram itu, terdapat sebuah meja besar berbentuk oval. Di kedua sisinya, tampak dua orang pria duduk saling berhadapan dan seorang pria lagi berdiri dengan melipat kedua tangannya di sisi ruangan. James tersenyum puas. Ia mengenyahkan keheningan di sana dengan bertepuk tangan sambil berjalan memasuki ruang rapat tersebut. "Manicci. Senang melihatmu kembali," sapa James menahan girang. Sementara Fredo Manicci, pria tua yang duduk berhadapan dengan pengacara James melayangkan tatapan tajam. "Draxler. Jadi kau yang menculikku di pagi buta seperti ini?" ucapnya terdengar mengumpat. James berdiri di belakang Sergei N
Suasana ruang kerja Benicio masih dipenuhi aroma tembakau dan kayu mahoni setelah rapat panjang yang dihadiri para petinggi kelompok bisnis. Lampu gantung berwarna keemasan menerangi meja panjang yang penuh dengan dokumen, gelas-gelas wiski kosong, dan asbak berisi puntung cerutu. Sore itu, semua orang telah meninggalkan ruangan kecuali empat orang—Benicio, sang tuan rumah, Fausto yang duduk dengan ekspresi malas, Sergei yang masih memeriksa sesuatu di ponselnya, dan Alexsei yang tampak tenang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Benicio menuangkan wiski ke dalam gelasnya dengan gerakan santai, lalu menatap mereka. "Kalian pikir, seberapa buruk dampaknya jika James tidak bisa kembali memimpin dalam waktu dekat?" Sergei mendengus sambil mengangkat satu alisnya. "Bukan masalah jika hanya beberapa minggu. Tapi kalau lebih lama? Musuh akan mulai mencium kelemahan. Dan orang-orang kita… mereka mulai bertanya-tanya." Fausto akhi
Di dalam ruang rawat yang sunyi, hanya suara alat medis yang berbunyi pelan dan sesekali suara dentingan saat Grassiela menggerakkan sendok di piringnya. Mrs. Runova duduk di seberangnya, tersenyum senang melihat bagaimana wanita muda itu menyantap makanan yang ia bawakan dengan lahap."Apa anda benar-benar menyukai masakan saya?" Runova terkekeh, matanya berbinar penuh kasih.Grassiela mengangguk sambil mengunyah. "Masakan Anda memang yang terbaik, Mrs. Runova. Aku tak bisa menolaknya."Wanita paruh baya itu tertawa kecil dan menuangkan segelas jus jeruk segar. "Saya juga membuatkan jus jeruk yang banyak untuk anda, seperti pesanan anda biasanya."Grassiela menerima gelas itu dengan senang hati, menyesapnya perlahan. Rasa segar dan asam manis menyebar di lidahnya, membuatnya sedikit lebih rileks setelah semua ketegangan yang ia lalui. Ia melirik ke tempat tidur di mana James masih terbaring tak sadarkan diri, napasnya stabil namun tetap tak ada t
Di dalam ruang rawat eksklusif itu, suara detak monitor jantung James bergema samar, berpadu dengan dengung halus dari alat bantu pernapasan yang melekat di tubuhnya. Grassiela tetap duduk di tepi ranjang, jemarinya menggenggam erat tangan suaminya yang dingin dan tak bergerak. Matanya terus menatap wajah pria itu, memperhatikan setiap helaan napas yang naik turun dengan ritme lambat. Luka tembak di pinggang kirinya masih dibebat perban, selang infus serta alat medis lain tertempel di tubuhnya, membuatnya tampak begitu rapuh—sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi pada pria sekuat James. Suara langkah-langkah berat terdengar mendekat dari luar. Grassiela mengangkat kepalanya tepat saat pintu terbuka, dan di ambang pintu berdiri empat orang dengan aura yang begitu kuat hingga memenuhi ruangan. Fyodor Draxler.Pria itu adalah cerminan otoritas dan kebijaksanaan. Meski usianya sudah lebih dari enam puluh, dia masih berdiri tegak, penuh kh
Cahaya putih dari lampu di langit-langit terasa menyilaukan ketika Grassiela membuka kedua matanya. Pandangannya buram, kesadarannya masih setengah tersangkut di ambang mimpi. Udara di ruangan itu terasa steril, dengan aroma khas antiseptik yang memenuhi paru-parunya. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada. Perlahan, ingatan-ingatan berserakan memenuhi benaknya. Bayangan panggung teater, suara dentingan piano yang dimainkan Valerina, kilauan kalung berlian di lehernya, tatapan James yang tajam, lalu... suara tembakan. Seketika, napasnya tercekat. James!Dengan panik, Grassiela mencoba bangkit, tetapi sesuatu menarik pergelangan tangannya. Dia menoleh dan melihat infus terpasang di sana. Tubuhnya masih lemah, namun dorongan untuk mencari James lebih kuat dari rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. Saat itu, pintu terbuka. Seorang wanita berambut pirang dengan sorot mata yang lembut masuk ke dalam ruangan. Jas pu
Ruangan menjadi sunyi saat panggung diterangi cahaya keemasan. Tirai beludru merah terbuka, menampilkan seorang wanita duduk di depan grand piano hitam yang megah—Valerina. Jari-jarinya menyentuh tuts dengan penuh kelembutan, memainkan intro pertama dari The Phantom of the Opera. Nada-nada awal yang misterius dan megah memenuhi ruangan, membawa suasana ke dalam dunia kisah cinta tragis yang telah melegenda. Di atas panggung, seorang penyanyi soprano muncul dalam gaun putih, membawakan "Think of Me" dengan suara yang jernih dan penuh emosi. Grassiela menyandarkan punggungnya, membiarkan suara dan musik menyelimutinya. Namun, ketika pertunjukan berlanjut ke "The Music of the Night", dengan Phantom bernyanyi penuh hasrat dan kesedihan, sesuatu di dalam dirinya mulai bergetar. Ketika adegan berpindah ke "The point of no return", di mana Christine dan Phanton menyanyi bersama, Grassiela merasa dadanya sesak. "Now I am here with y
Langkah Grassiela bergema di lantai marmer saat ia memasuki gedung teater yang megah. Gaun malamnya yang elegan berkilau di bawah cahaya lampu gantung, namun bukan itu yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Bisikan-bisikan terdengar di udara, memenuhi ruangan dengan rumor yang selama ini beredar tentangnya—tentang pernikahannya dengan seorang mafia Rusia, tentang kutukan yang melekat padanya, tentang dosa-dosa yang bahkan tak pernah ia lakukan. Grassiela tetap berjalan dengan kepala tegak. Ia tidak peduli. Di salah satu sudut, seorang wanita paruh baya dengan gaun hijau gelap menatapnya dengan senyum sinis. Irina Dzanayev, bibi dari James. "Kau cukup berani muncul di sini," sindir Irina, suaranya tajam. "Setelah semua yang terjadi, aku pikir kau akan lebih suka bersembunyi dalam bayang-bayang keponakanku." Grassiela menatapnya sejenak sebelum memberi jawaban tenang. "Aku tidak punya alasan untuk bersembunyi, Tatya. Apalagi
Grassiela berdiri di depan cermin, memastikan gaunnya jatuh dengan sempurna. Gaun indah berwarna hitam itu membalut tubuhnya dengan anggun, memancarkan pesona klasik yang sesuai untuk malam di teater. Rambut caramelnya telah disanggul rapi, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajahnya dengan indah. Setelah merasa puas dengan penampilannya, ia duduk di depan meja rias. Di atas meja, ada sebuah kotak beludru hitam. Grassiela menatapnya sejenak, sebelum akhirnya tangannya yang ramping mengangkatnya dengan hati-hati. Ia membuka kotak itu perlahan, dan di dalamnya, berkilauan seuntai kalung berlian. Berlian hadiah dari James. Seharusnya, James yang akan memakaikan kalung ini untuknya. Seharusnya, dia ada di sini, berdiri di belakangnya, menyentuh kulitnya dengan jemarinya yang kasar namun hangat, lalu membisikkan sesuatu di telinganya sebelum mereka pergi ke teater bersama. Seharusnya. Tapi James masih belum pulang. Hati Gr
Grassiela duduk di ruang kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk amplop undangan berwarna krem yang baru saja ia buka. Di dalamnya, tertulis undangan untuk menghadiri sebuah pertunjukan amal di Teater Stainslavsky yang dikirimkan oleh Valerina. "Rupanya dia belum menyerah," gumam Grassiela sebelum menghela napas pelan. Tepat saat dia hendak meletakkan undangan itu di meja, pintu terbuka, dan Runova masuk dengan nampan berisi segelas jus jeruk segar. "Selamat pagi, Nyonya," kata Runova sambil meletakkan gelas di depan Grassiela. Grassiela tersenyum dan mengambil gelasnya. "Terima kasih, Mrs. Runova. Bisa kau bawakan juga untuk James dan yang lainnya? Mereka sedang bermain golf di halaman, bukan?" Runova membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. "Tentu, Nyonya. Akan segera saya siapkan." Setelah Runova pergi, Grassiela bangkit dari kursinya dan berjalan ke halaman belakang. Ia bisa melihat James dan orang-orangnya sedang
Ruang makan dipenuhi aroma kopi hitam yang baru saja dituangkan ke cangkir-cangkir porselen. Piring-piring berisi roti panggang, telur orak-arik, dan daging asap tersaji rapi di atas meja panjang dari kayu ek yang kokoh. James duduk di kursi ujung meja, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang sedikit tergulung, memperlihatkan lengan berototnya yang kuat. Di sekelilingnya, para pria kepercayaannya telah duduk: Fausto, Benicio, Sergei, dan Alexsei. Sementara Grassiela duduk di sisi kanan James, mencoba menikmati sarapannya, meski pikirannya mulai terganggu oleh pembicaraan para pria itu. Percakapan mereka dengan cepat bergeser dari topik ringan menjadi diskusi bisnis yang serius. "Ada laporan terbaru dari pelabuhan di Odessa," kata Sergei sambil menuangkan susu ke dalam kopinya. "Pengiriman dari Kolombia mengalami keterlambatan, dan menurut informan kita, kartel Mendez sedang bermain di belakang kita." James mengaduk kopinya tanpa banyak ekspresi. "Aku sudah menduga mereka akan