Home / Romansa / Broken Flower / 2. Damned girl

Share

2. Damned girl

Author: Ikabelatrix
last update Last Updated: 2021-09-09 20:32:10

Chapter 2

***

Sebelas tahun kemudian.

Newcastle, Inggris.

Awan yang menggumpal benar-benar terlihat sangat gelap siang ini. Padahal prakiraan cuaca yang ditayangkan di televisi memperediksikan bahwa cuaca akan cerah meski berawan. Namun rupanya langit mempunyai rencana lain untuk turut menunjukan duka, seperti hal nya orang-orang yang berkumpul dengan pakaian hitam mereka. Saat sang pendeta mengucapkan doa di depan makam, orang-orang yang hadir di sana menundukan pandangannya. Tak ada yang tahu siapa yang bener-benar ikut bersedih atau hanya berpura-pura demi menghormati keluarga yang baru saja ditinggalkan. Tapi setidaknya mereka tahu bagaimana caranya bersimpati.

Rintik hujan mulai turun tepat setelah pemakaman selesai. Orang-orang yang berkumpul membubarkan diri setelah mereka kembali mengucapkan sesuatu yang berarti pada keluarga yang berduka. Termasuk seorang wanita yang usianya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih tampak cantik di balik topi fascinator dengan aksen fishnet yang tampak menutupi sebagian wajahnya. Dia memeluk wanita yang hampir seusia dengannya sambil mengucapkan belasungkawa dan memberikan kata-kata penyemangat sebelum pergi menghampiri suaminya.

Pria paruh baya itu berdiri dengan bantuan tongkat di dekat mobilnya bersama seorang sopir. Ia tak banyak berbicara, tapi mereka tahu benar bahwa dia turut bersedih atas kematian putra dari salah seorang relasinya.

Raut yang muram masih tampak jelas di wajah pasangan suami istri itu setelah mereka memasuki mobil. Selama beberapa saat dalam perjalanan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing sampai suara hela napas panjang terdengar.

"Ini adalah mimpi buruk bagi mereka. Setidaknya aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang putra," gumam Helena memecah keheningan.

Suaminya bergeming dan tak mengalihkan pendangannya dari arah jendela. Helena tahu, bukan kesedihan yang membuat suaminya terdiam, tetapi ada banyak hal rumit yang bergelayut di benak pria itu.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Helena mengamati wajah pria di sampingnya.

Lagi-lagi Alfonso tak menjawab. Raut wajahnya yang tampak serius membuat Helena mengerti bahwa ini bukan saatnya untuk berbincang. Akhirnya wanita itu menyandarkan pungungnya dan kembali menghela napas.

"Grace bahkan masih belum mengetahui mengenai rencana pertunangannya dan ini untuk ketiga kalinya." Suara tawa ironis terdengar. Helena memandang ke arah jendela sambil mengurut pelipisnya yang terasa pening. Wanita itu melanjutkan, "setidaknya belum ada media yang tahu. Jika tidak, putri kita bisa dicap sebagai gadis terkutuk karena ketiga calon suaminya selalu meninggal tepat tiga hari setelah pembicaraan antar keluarga."

"Pemuda mana lagi yang menarik perhatianmu?" pancing Helena menyadari bahwa ada hal lain yang suaminya pikirkan. "Alfonso, katakan sesuatu!"

Setelah hening lama, sorot mata pria itu beralih memandang istrinya dengan tajam. Akhirnya dia berkata, "seseorang sedang mencoba bermain-main dengan kita."

***

Toronto adalah kota metropolitan terbesar di Kanada. Meskipun masyarakat yang tinggal adalah pendatang dari seluruh penjuru dunia yang merantau, tapi kota ini termasuk dalam daftar kota yang paling aman di dunia. Hebat, 'kan?

Ada banyak hal yang dapat kota ini tawarkan. Mulai dari sektor pendidikan, bisnis, pariwisata bahkan kuliner. Kau bisa mulai menelusuri Toronto Island, CN Tower, pasar dengan toko-toko yang unik dan artistik di Kensington Market hingga Distillery District, yaitu perpaduan toko dan rumah dengan bangunan unik dan trotoar yang apik.

Setiap musim menjanjikan beragam hal menarik serta pemandangan yang cantik. Saat temperatur udara mulai menghangat, sungai Ontario yang berkilauan menjadi objek yang mengagumkan. Kafe-kafe di pinggir jalanan akan kembali menggelar kursi di luar. Mengundang para tamu menikmati segarnya udara sambil menikmati kopi dan camilan lainnya.

Seperti apa yang di lakukan oleh dua orang wanita muda yang tengah asyik berbincang di salah satu kafe pinggiran jalan. Keduanya sepakat bahwa kota ini adalah pilihan terbaik di mana mereka bisa berkarier.

"Kau sudah mencoba gaun yang aku kirimkan kemarin?" tanya wanita bermata hazel sebelum ia menyuap satu sendok eskrim vanila ke dalam mulutnya.

"Sangat cantik. Ukurannya pas dengan tubuhku."

"Aku ingin kau memakainya di hari pernikahanku nanti."

Grassiela menghantikan kegiatan makannya lalu tersenyum simpul pada wanita muda di hadapannya. "Aku tahu. Apa persiapannya sudah selesai?"

"Sejujurnya aku tidak begitu tahu semua detailnya. Keluarga Thom dan orangtuaku membentuk tim dan mereka bekerjasama untuk mempersiapkan semuanya," ungkap Isabele.

"Aku bisa membayangkannya. Kau akan menjadi pengantin tercantik yang pernah kulihat. Thom beruntung mendapatkanmu."

Pujian itu cukup membuat Isabele tersenyum tipis. Lalu diam-diam dia memperhatikan wanita muda di hadapannya yang kembali mengaduk eskrim di mangkuknya dengan malas. Tak ada ekspresi apa pun yang terbaca dari wajah Grassiela. Tapi sesuatu jelas telah terjadi sehingga wanita itu tampak murung selama beberapa hari terakhir.

"Grace, aku tidak akan marah jika kau tidak bisa menghadiri pesta pernikahanku nanti," ucap Isabele secara tiba-tiba.

Grassiela mendongkak. Ia mengangkat kedua alisnya dan memandang Isabele tidak mengerti. "Memangnya kenapa?"

"Bukankah ada banyak hal yang harus kau lakukan?"

Grassiela mendengus mendengar alasan tidak masuk akal itu. "Isabele, kau adalah teman baikku. Sesibuk apa pun, aku tidak mungkin melewatkan hari terpenting untukmu."

"Sungguh?"

"Tentu saja."

"Aku senang mendengarnya," jawab Isabele singkat. Pandangannya beralih ke arah sungai Ontario yang memantulkan cahaya mentari, tapi pikirannya tidak berada di sana.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Grassiela kemudian.

Isabele hanya menggidikkan kedua bahu acuh tanpa mengalihkan pandangannya. "Tak ada."

Grassiela tahu benar, raut cemas itu tak mungkin tanpa alasan. Isabele Lerager adalah teman baiknya semenjak mereka bersekolah di asrama yang sama. Mereka bahkan melanjutkan kuliah di universitas yang sama.

Grassiela mengenalnya dengan baik. Isabele memang keturunan asli Kanada. Kedua orangtuanya tinggal di Montreal, sementara dia memilih untuk berkarier di salah satu perusahaan asuransi yang bonafide di Ontario. Tidak buruk, Isabele mendapat gaji yang lebih dari cukup untuk menutupi biaya hidup yang tinggi di kota ini. Dan kelebihan lainnya, dia mampu menaklukan hati seorang petinggi di perusahaan tempat dirinya bekerja. Isabele memang cantik. Kadang kala dia bersikap manja tapi wanita berambut coklat terang itu bukan termasuk seorang yang bisa bersikap spontan. Maka permintaannya untuk bertemu secara mendadak hari ini, cukup membuat Grassiela terkejut.

Lantas kemana arah pembicaraan Isabele sekarang? Apa yang sesungguhnya ingin dia bicarakan?

"Oh, Lerager. Jangan membuatku menunggu. Aku tahu ada sesuatu yang ingin kau sampaikan," desak Grassiela menuntut penjelasan dari sahabatnya.

"Lupakan," jawab Isabele membuat kening wanita di hadapannya berkerut.

"Memangnya apa yang kau pikirkan?"

Isabele bergeming dan hal itu membuat Grassiela memutar kedua bola matanya. "Tolong jangan katakan bahwa kau sedang mengalami kekacauan emosional yang membuatmu berpikir banyak hal sebelum menikahi Thomas Hansen."

"Jangan sebutkan namanya. Entah kenapa aku membenci nama pria itu."

"Setidaknya kalian saling mencintai." Grassiela mengangkat kedua bahunya acuh.

"Terserah. Tapi kali ini, bukan itu yang ingin aku bicarakan." Tanpa sadar, pandangan Isabele kembali tertuju pada lawan bicaranya.

"Lalu?"

Tatapan Isabele berubah tajam, mengisyaratkan bahwa apa yang akan dia ungkapkan adalah sesuatu yang serius. "Grace, satu minggu yang lalu aku datang ke rumahmu dan tanpa sengaja mendengar pembicaraanmu dengan pengawal pribadimu."

Seketika Grassiela membeku. Apa yang Isabele katakan sungguh di luar dugaannya. Merasa seperti tertangkap basah, kini Grassiela tak tahu apakah dirinya masih bernapas saat isi kepalanya berusaha untuk mencari-cari jawaban yang sesuai untuk di ucapkan. Oh, apakah Isabele sudah mengetahuinya?

"Pembicaraan yang mana maksudmu?" ucap Grassiela sambil berusaha mengendalikan dirinya yang salah tingkah. Ia tak berani membalas tatapan sahabatnya dan memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah kilauan cahaya di sungai itu. Grasiella berharap bisa menenggelamkan diri di dalamnya jika Isabele berkata lebih banyak lagi.

Sayangnya, sorot mata Isabele menunjukan bahwa ia tidak menyerah dan bersungguh-sungguh dengan pembicaraannya kali ini. "Kau harus kembali, bukan?"

"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan," tukas Grassiela mengelak.

Isabele tahu, wanita bermata biru itu tengah berbohong. Pandangan Grassiela yang menuju ke sambarang arah sudah cukup untuk menjelaskan bahwa dia tidak mau mengatakan apa pun mengenai permasalahan pribadinya. Dan membuat wanita muda itu mau bercerita memang hal yang sia-sia. Kadang kala Isabele merasa bahwa Grassiela tidak benar-benar menganggapnya sebagai sahabat.

Lantas Isabele menghela napas. Ia memasukkan satu sendok es krim vanila ke dalam mulutnya lagi setelah berkata, "sudah bertahun-tahun semenjak kita berteman dan aku tidak pernah melihat beberapa pria berseragam hitam yang mengikutimu sejak satu minggu terakhir."

Grassiela tertawa. "Omong kosong apa ini?" tukasnya.

Sesaat Isabele hanya memandangnya. Ia mengambil jeda, menunggu respon sahabatnya untuk mengatakan sesuatu meski ia tahu bahwa sedikit kemungkinan bahwa Grssiela akan melakukannya.

Lantas Isabele menyendok es krim dalam mangkuk di hadapannya dan ia kembali melanjutkan, "ada sekitar enam orang yang jarak masing-masing berbeda mengelilingi kursi kita. Sementara pria dengan kepala plontos berada tepat lima meter di belakangmu."

Spontan Grassiela menoleh ke belakang dan ia menahan diri untuk mengumpat. Sial! Apakah orang-orang itu terlalu mencolok sehingga Isabele pun dapat menyadarinya?

Akhirnya ia mendengus kesal. Entah sudah berapa kali dia berusaha mengusir para pengawal itu tapi tak ada yang menggubrisnya.

Sedikit memajukan tubuhnya ke depan, Grassiela berdesis, "Baiklah, Lerager, kau benar. Saat ini aku sedang menjadi seorang tawanan dan kau sedang mengolokku dengan membahas mengenai hari pernikahanmu, huh?"

"Aku hanya mencemaskanmu," tukas Isabele tak terima.

Kening Grassiela berkerut. Ia memandang sahabat lamanya penuh antisispasi. "Apa yang kau cemaskan? Aku sudah mengatakannya padamu, aku akan hadir di hari pernikahanmu nanti. Apa itu tidak cukup?"

"Grace, apa yang terjadi?"

Mendadak hening menyelimuti kedua wanita muda itu. Grassiela tahu, ia tak bisa menghindar lagi saat tatapan Isabele menuntut penjelasan dan penuh kekhawatiran. Situasi ini sudah beberapa kali terjadi selama mereka berteman dan selalu sukses dengan cara Grassiela menghindar. Tapi kali ini entah bagaimana, situasi seakan mendesaknya hingga terasa sulit.

Di sisi lain, Isabele tahu, selama bertahun-tahun ada banyak hal yang Grassiela sembunyikan. Wanita berambut karamel itu tak pernah mau bercerita apa pun mengenai masalah pribadinya. Yang Isabele tahu, Grassiela hanya berasal dari Inggris dan memiliki nama Stamford sebagai nama belakangnya. Ya, keluarga besar pemilik dari salah satu perusahaan yang berpengaruh di Eropa.

Well, kita tahu bahwa Stamcorp merupakan salah satu perusahaan energi terbesar yang berpusat di Inggris. Perusahaan Multi-National Company yang bergerak dalam industri sumber daya alam itu telah berdiri selama puluhan tahun dan dikelola secara turun temurun oleh keluarga Stamford. Mereka mempunyai nama yang bergengsi di Newcastle. Tapi tak banyak orang yang tahu bahwa di pinggiran Toronto, salah seorang bagian dari anggota keluarga besar tersebut memilih untuk mengabdikan dirinya pada sebuah lembaga kemanusiaan di kota ini.

Ya, Grassiela melakukannya. Seolah melupakan identitasnya demi aksi sosialnya yang mungkin tak menghasilkan banyak uang. Tidak masuk akal, bukan?

Lantas ketika Isabele menanyakan apa yang dia lakukan dengan gelar pendidikan ekonominya, wanita itu hanya berkata dengan ringan, "Aku tidak pernah merasa menyesal karena telah mendapatkan banyak ilmu."

Pertemanan selama bertahun-tahun tak membuat Isabele mengerti jalan pikiran wanita bermata biru itu. Grassiela seorang yang cerdas, dia memiliki riwayat pendidikan yang sangat baik tetapi mengambil keputusan yang bodoh dengan mengabaikan keluarganya sendiri. Dia seakan lupa bahwa dirinya bisa saja kembali ke negri Ratu Elizabeth untuk tinggal bersama kedua orangtuanya yang kaya raya dan berkontribusi di perusahaan milik keluarganya. Namun apa yang dia lakukan? Isabele tidak pernah tahu bahwa gaji sebagai pengelola sebuah lembaga kemanusiaan dapat mencukupi biaya hidup yang tinggi di Toronto.

"Baiklah," ujar Isabele setelah dia menghela napas panjang. "Meski pun kau tidak mau berbicara, aku tahu. Mereka harus membawamu kembali."

Grassiela memandangnya dalam diam.

"Grace, aku tidak pernah tahu apa yang membuatmu selalu menghindar saat aku membahas mengenai keluargamu. Tapi apa pun itu, kembalilah."

"Apa kau sedang mencoba untuk mendikte ku?"

"Tak ada yang bisa mengaturmu. Aku tahu, kau begitu keras kepala dan tak seorang pun bisa merubahnya. Tapi kali ini saja, dengarkan aku. Kau bisa saja bersembunyi dari sebuah permasalahan. Tapi kau tidak bisa terus menerus menghindar. Apa pun itu, kau bisa menghadapinya."

"Kau bukan pengecut, Grace. Aku mengenalmu," tuntas Isabele penuh penekanan.

Grassiela mendengus. Raut wajahnya jelas menunjukan bahwa ia tidak suka dengan pembicaraan ini. "Isabele, bukankah kita sedang membahas mengenai hari pernikahanmu?"

"Lupakan itu dan kembalilah ke Inggris."

"Kenapa aku harus melakukannya?" Suara Grassiela meninggi. "Apa hal itu mempengaruhi hidupmu?"

"Kenapa kau begitu keras kepala? Ini demi kebaikanmu."

"Kebaikan apa? Apa yang kau tahu tentang hidupku?"

Isabele terdiam. Pertanyaan serta tatapan Grassiela yang menyorot tajam membuat hatinya terluka.

"Tak ada. Tidak ada, Grace. Kau tidak pernah bercerita apa pun mengenai hidupmu. Satu-satunya yang aku tahu, bahwa kau adalah bagian dari keluarga Stamford yang membuang-buang waktumu dengan bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan."

"Kau berkata bahwa bekerja di untuk amal adalah membuang-buang waktu?" ulang Grassiela tak terima.

Kali ini Isabele mengangkat wajahnya. Kekecewaan di hatinya segera lenyap saat dia menyadari bahwa sesungguhnya Grassiela hanya melindungi egonya yang sedang terpojok.

"Biaya hidup di kota ini cukup tinggi dan kau bahkan sanggup membeli sebuah rumah sendiri. Sementara berapa gajimu dari Humanitarian Gifts?" ungkap Isabele membuat sahabatnya itu menatapnya tak mengerti.

"Apakah itu penting?"

"Grace, aku tidak pernah tahu alasan apa yang membuatmu enggan kembali ke Newcastle. Kau bisa saja bekerja di Stamcorp, perusahaan milik keluargamu, tapi apa yang membuatmu bertahan sendirian di sini?"

"Aku menyukai tempat ini. Ok?"

Isabele memejam kedua mata demi nenahan kekesalannya sendiri. Hell, dia menyerah. Sepertinya pembicaraan ini memang sia-sia. Cepat-cepat Isabele membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pergi.

"Terserah. Suatu saat para penjagamu akan menyeretmu kembali dan sebelum hal itu terjadi, kembalikan gaun yang aku kirimkan kemarin."

Grassiela melebarkan kedua matanya tak percaya. "Gaun itu sudah menjadi milikku," tolaknya.

"Aku dengar besok Humanitarian Gifts akan mengadakan acara di sebuah panti asuhan. Thom mengajakku untuk hadir di sana. Aku harap kau tidak lupa untuk membawa gaunnya."

Isabele beranjak tapi sebelum ia melangkah pergi, Grassiela menahannya dengan berkata, "Kau pikir kau bisa memaksaku untuk kembali?"

"Dengar Stamford, aku sangat menyayangimu. Aku hanya ingin kau bersikap dewasa. Pikirkan keluargamu, pikirkan masa depanmu. Sampai kapan kau akan berada di sini? Sendirian. Kau tidak bisa terus menerus bersikap egois."

"Aku egois?"

"Aku akan menemuimu besok. Jangan lupa untuk membayar semua makanan ini."

Grassiela terperangah saat Isabele melenggang pergi dengan tidak tahu dirinya. "Kau begitu menyebalkan, Lerager! Aku harap Thom memiliki banyak kesabaran untuk menghadapimu."

Isabele menoleh dan dia mengangkat kedua bahunya acuh. "Setidaknya kami saling mencintai."

Grassiela kembali terperangah. Sikap Isabele benar-benar membuatnya kesal. Entah bagaimana mereka bisa berteman selama bertahun-tahun.

Semantara Grassiela menahan dirinya untuk tidak mengumpat, seorang pengawal pribadinya yang berpakaian serba hitam terus menatapnya penuh pengawasan. Oh, rasanya Grassiela ingin melepas sepatunya dan melemparnya ke arah kepala plontos itu.

***

Cetak!

Bola berwarna merah dengan angka tujuh meluncur masuk ke dalam lubang di sudut meja billiard disusul bola-bola lainnya. Seorang pria menyeringai puas sebelum menegakkan tubuhnya kembali. Saat suara pintu terdengar terbuka, ia bergeming. Dari sudut matanya yang kelabu ia dapat melihat seseorang berpakaian serba hitam melangkah masuk ke dalam ruangan temaram itu.

"Kenapa lama sekali? Aku hampir saja mematahkan tongkat ini karena terlalu lama menunggu."

"Kau bisa mematahkannya sekarang." Aleksei Gazinsky, seorang underboss, berjalan menuju meja bar lalu mengambil sebotol air mineral dan menenggaknya.

"Bagaimana? Apa pemakamannya sudah selesai?"

Alexsei tak menjawab, ia kembali memunum air dari botol di genggamannya dan mengabaikan pertanyaan itu. Namun sang bos tentu tahu, keterdiaman Alexsei adalah bentuk dari jawaban. Lantas sebuah kekehan terdengar, menggema ke seluruh ruangan berlenarangan redup tersebut.

Alexsei tak berkata apa pun, ia hanya menatap pria yang masih mengenakan stelan jas formal di hadapannya tertawa puas. Dia tak mengerti, kebahagiaan macam apa yang merasuki seorang James Daraxler setelah mendengar bahwa salah seorang kawannya baru saja tewas akibat rencananya sendiri. Sama sekali tak ada rasa bersalah di sana. James bertepuk tangan dengan wajah sumringah.

"Kerja bagus," ujar pria itu di sela tawanya. "Katakan, apakah Alfonso berada di sana? Apa dia melihat karangan bunga yang kukirimkan untuk keluarga Zhirkov?"

Alexsei mendengus. "Dia hanya berdiri di samping mobilnya. Apa kau senang?"

James kembali terbahak. "Tentu saja. Aku senang. Aku sangat senang. Tidak salah aku memberimu kepercayaan ini. Sekarang kemarilah, teman." James berjalan menghampri Alexsei lalu mendekap dan menepuk-nepuk punggungnya. "Beri tahu aku, apa yang kau inginkan?"

Alexsei melepas dekapan itu, ia berdecak. "Kau tahu apa yang selama ini kuinginkan." Pria itu berjalan memutari meja billiard sebelum mengambil tongkat stick yang tergeletak di sana. Matanya yang gelap menatap beberapa bola di atas meja dan memilih sasarannya. Alexsei menarik napas dalam dan mulai menyodok. Kemudian suara pantulan bola keras kembali terdengar.

"Beberapa hari ini seseorang tengah mengawasiku," ujar Alexsei dingin.

Sektika kebahagiaan di wajah James lenyap. Ia mengangkat kedua alisnya lalu bertanya dengan hati-hati, "Benarkah? Apa mereka juga mengikutimu?"

"Seperti yang kau inginkan."

James mengangkat sudut bibirnya. "Bagus. Bagus," gumam James sembari menggosok kedua tangannya dengan antusias. "Buat mereka datang kemari. Buat mereka menemuiku."

"Apa yang kau harapkan? Mereka bisa saja menyerangmu," tukas Alexsei mengingatkan.

"Apa ini adalah tanda bahaya?"

Mendadak Alexsei terdiam. Tatapannya yang tajam terpaku pada sepasang mata kelabu milik James penuh perhitungan.

Alfonso bukanlah orang biasa, meski masa kekuasaannya telah selesai, tapi secara diam-diam si tua itu masih memiliki beberapa orang anak buah yang kesetiaan dan kemampuannya tak perlu diragukan lagi. Berurusan dengan mereka sama dengan mencari mati. Dan seorang James Draxler, baru saja melakukannya. Dia berani mengambil segala konsekuensi demi menggapai ambisinya.

Maka dalam hening kedua pria itu saling menatap bersama pikiran masing-masing. Lantas perlahan, seringai mengerikan kembali terukir di bibir maskulin itu. Alexsei mungkin lupa, bahwa James tak mengenal rasa takut.

Sialan! Tawa kedua pria itu akhirnya pecah. Keduanya terbahak seolah apa yang baru saja mereka lakukan hanyalah lelucon.

"Ini akan menyenangkan," ujar Alexsei masih terkekeh.

"Sudah kubilang," timpal James. Pria itu mengambil sebotol minuman beralkohol dan berpikir sejenak sebelum menuangkannya ke dalam seloki. Ia meyakini bahwa Alfonso Stamford telah mengetahui perbuatannya. Sekarang mari kita lihat, keputusan apa yang akan si tua itu ambil selain menerima kesepakatan yang telah James ajukan padanya.

"Bawa bahaya itu kemari," desis James bersama sorot mata liciknya. "Karena aku akan menundukkan serangan apa pun demi membuatku semakin dekat dengan Grassiela."

***

Related chapters

  • Broken Flower   3. Last warning

    Chapter 3 *** "Kau akan mendapat masalah jika tidak membawa gaunnya. Jangan terlambat, aku akan berada di panti asuhan lima belas menit lagi." Grassiela nyaris melempar ponselnya setelah membaca pesan text tersebut. Sial! Dia sudah terlambat. Isabele benar-benar menyebalkan dan Grassiela tak punya pilihan selain menyambar tas kertas berisikan gaun yang belum lama ini ia miliki sebelum terburu-buru menuju mobilnya di pelataran. Entah permasalahan macam apa yang akan Isabele ciptakan jika Grssiela tidak melakukan perintahnya. Sesungguhnya ia yakin bahwa ancaman itu hanyalah omong kosong belaka dan Grassiela sama sekali tidak peduli. Tapi pagi ini suasana hati wanita itu sedang tidak baik. Ada resah yang sejak semalam bergumul dalam hatinya. Grassiela tak tahu mengapa, tapi ia merasa bahwa pagi ini dirinya memang harus segera menemui sahabatnya. Lari-lari kecil itu mendadak terhenti tepat di depan pintu utama. Grassiela mendengus kesal saat mendapati seorang pria pelontos bertubuh be

    Last Updated : 2021-09-09
  • Broken Flower   4. Next Godfather

    Chapter 4 *** Apa yang kalian harapkan ketika baru saja sampai di rumah setelah sekian tahun lamanya tak kembali? Penyambutan? Grassiela tersenyum kecut saat melihat seorang pelayan wanita membukakan pintu lalu bersama sopir turut membawakan barang-barangnya dari dalam mobil. "Selamat datang, Nona," ujar wanita muda berseragam hitam dan putih itu seraya mengantarkan ke kamarnya di lantai atas. Grassiela mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru rumah yang sepi. Tidakkah ini keterlaluan? Ketika dirinya baru saja pulang, kedua orangtuanya masih saja sibuk dengan urusan masing-masing. Akhirnya dia menghela napas setelah sampai dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda. Kamarnya. Dan semuanya masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkan tempat itu. Ranjang kayu berkanopi dengan tirai berenda putih. Seprei tempat tidurnya masih bermotif bunga-bunga kecil yang ia sukai. Beberapa boneka pun masih duduk berjejer rapi di sofa yang berhadapan dengan tempat tidur. Grassiela tak tahu

    Last Updated : 2021-10-16
  • Broken Flower   5. Wedding plans

    *** Newcastle, Inggris.  "Satu." "Dua." "Tiga." "Kau curang!" Cetus seorang anak lelaki berusia delapan tahun. Ia menatap kesal pada adiknya yang baru saja membuka kedua tangan yang semula menutupi wajah. "Aku tidak curang," kilah gadis kecil itu tanpa rasa bersalah. "Kau mengintip barusan." "Aku tidak melakukannya." Nicholas mendesah. Ia melihat bagaimana gadis itu diam-diam mengintip dari jemari mungilnya. Tapi Grassiela tidak mau mengakuinya. "Sudahlah. Bermain saja dengan Anna dan Bella," pungkas Nicholas sambil melengos pergi. "Mereka dan Zack sedang berada di keluarga aunty Eveline dan baru akan kembali besok pagi," tutur Grassiela menghentikan langkah kakaknya. "Kalau begitu carilah Bianca." "Kau tidak mau bermain denganku?" Nicholas kembali berbalik. "Bermainlah dengan anak perempuan." "Kau mau ke mana?" tanya Grassiel dengan nada memprotes. "Aku melihat Arthur bersama guru privatnya di perpustakaan. Sementara Dave masih mengurung diri di kamarnya," ungkap gadi

    Last Updated : 2021-10-27
  • Broken Flower   6. Future husband

    Newcastle, Britania Raya. 10.07 AM. Wanita muda itu menuruni satu per satu anak tangga sambil memeluk sebuah bingkai kanvas beserta peralatan lukis miliknya. Pagi-pagi sekali ia meminta Gretta membelikan semua benda itu untuk mengisi hari-harinya yang membosankan. Grassiela tidak tahu sampai kapan dirinya akan berkutat dalam kejenuhan di rumah ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam. Meski ayahnya pernah mengatakan bahwa melukis adalah hal yang tak berguna, Grassiela tidak peduli. Ia menyukainya dan tetap akan melakukannya selama hal itu bukan lah sesuatu yang buruk. Lantas ia terus melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Tetapi sebelum sampai di sana, langkah kaki itu berhenti tepat di depan ruang makan. Grassiela terdiam memandang meja makan yang kosong. Pemandangan ruang makan yang sepi itu membuat benak Grassiela terbang ke masa lalu. Tepatnya ketika ia masih berusia tiga belas tahun dan baru saja menghabiskan masa libur sekolahnya selama

    Last Updated : 2021-10-30
  • Broken Flower   7. Can we meet again?

    *** Lima belas tahun yang lalu. Toronto, Canada. Malam itu belum larut. Masih sekitar pukul sembilan ketika Rebecca, seorang wali asrama di sekolah perempuan itu menemui Grassiela di kamarnya dan mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya. Grassiela tidak dapat menebak siapa yang datang di malam hari dan menunggunya di ruangan kepala sekolah. Sebelumnya ia tak pernah sekali pun mendapat kunjungan dari seorang tamu. Dan sepertinya orang itu cukup penting karena sang kepala sekolah menerima kunjungan ini bahkan membuka pintu ruang kerja pribadinya di malam hari. Rasa penasaran membuat gadis itu berjalan cepat menyusuri koridor bersama dengan wali asramanya. Sementara diam-diam, cemas serta gugup turut menghantuinya. Siapa yang datang? Apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan orang asing yang ia temukan di halaman belakang tiga hari yang lalu? Semoga saja tidak. Berkali-kali Grassiela menepis firasat buruk dalam hatinya. Ketika Rebecca membuka pintu ruangan kepala

    Last Updated : 2021-11-12
  • Broken Flower   8. Love at first sight

    *** "Dia sangat tampan. Rambut hitamnya terpotong rapi, alis yang tebal, netra kelabu yang bersorot tajam serta rahang yang kokoh. Saya tidak berani memandanginya, tapi dia juga memiliki tubuh tegap yang terpahat dengan sempurna. Anda akan jatuh cinta ketika melihatnya." Grassiela tersenyum mendengar ungkapan wanita muda berseragam pelayan itu. "Semudah itukah cara seseorang untuk jatuh cinta?" simpulnya. Gretta berjalan menuju meja rias lalu merapikan barang-barang yang berantakan di sana. "Saya tidak tahu. Tapi bukankah ada yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama?" "Lalu apa kau mencintainya?" Seketika Gretta memandang wanita muda yang tengah duduk di atas tempat tidur itu. "Tentu saja tidak," jawabnya spontan. "Kau menceritakan bahwa pria itu begitu menakjubkan. Lalu kenapa kau tidak jatuh cinta pada pandangan pertama?" Kening Gretta berkerut memikirkan pertanyaan dari nona muda nya. Lantas Grassiela terkekeh. "Bagaimana aku bisa mencintainya jika aku tidak mengen

    Last Updated : 2021-11-27
  • Broken Flower   9. Two different families

    *** Lebih dari empat jam waktu tempuh dari Newcastle untuk sampai di Cestershire. Sebuah desa indah nan asri yang berada di distrik Costwold. Meski cukup lama dan membosankan dalam perjalanan, tapi Grassiela sangat menantikannya. Seperti biasa, suasana di dalam limusin Mercedes Benz S-600 Pullma berwarna hitam itu cukup canggung dan hening. Tak perlu diingatkan bahwa mereka adalah keluarga. Grassiela benar-benar paham bahwa Alfonso lebih tertarik pada surat kabar di menghadapi masalah politik lokal dari berbicara pada putrinya sendiri. Sementara Helena terlalu sibuk berinteraksi dengan teman-teman sosialita-nya lewat layar ponsel. Akhirnya gadis itu menghela napas. Grassiela menyadari bahwa ia tidak bisa mengharapkan kedua orangtuanya terlibat dalam kontak yang hangat. jangan harap. Lantas iris mata biru terang itu pandangannya ke arah jendela mobil. Grassiela melawan kejenuhan selama perjalanan dengan menikmati pemandangan yang indah dan pilihan dari sana. Di luar tampak cottage-

    Last Updated : 2021-12-18
  • Broken Flower   10. Give me congratulations

    Chapter 10 *** Ketiga pria itu menyusuri koridor dengan langkah-langkah panjang. James yang memimpin di depan bahkan tampak terburu, tak sabar untuk melihat hasil tangkapan dari orang kepercayaannya. Lantas ketika ketiganya sampai di depan pintu ruang rapat, Benicio dan Fausto yang sejak tadi mengekor membukakan pintu tinggi tersebut. Di dalam ruangan dengan pencahayaan temaram itu, terdapat sebuah meja besar berbentuk oval. Di kedua sisinya, tampak dua orang pria duduk saling berhadapan dan seorang pria lagi berdiri dengan melipat kedua tangannya di sisi ruangan. James tersenyum puas. Ia mengenyahkan keheningan di sana dengan bertepuk tangan sambil berjalan memasuki ruang rapat tersebut. "Manicci. Senang melihatmu kembali," sapa James menahan girang. Sementara Fredo Manicci, pria tua yang duduk berhadapan dengan pengacara James melayangkan tatapan tajam. "Draxler. Jadi kau yang menculikku di pagi buta seperti ini?" ucapnya terdengar mengumpat. James berdiri di belakang Sergei N

    Last Updated : 2022-03-25

Latest chapter

  • Broken Flower   88. Real diamonds and fake sayings

    Kabut tipis masih menyelimuti taman luas di belakang mansion. Matahari pagi mulai mengintip di antara pepohonan, memberikan kehangatan samar yang terasa ironis di tengah suasana mencekam. Di tengah taman, tiga pria berlutut di atas tanah lembap. Wajah mereka pucat, napas tersengal, dan tangan gemetar. Di atas kepala mereka masing-masing bertengger sebuah apel merah yang tampak kontras dengan ekspresi ketakutan di wajah mereka. James berdiri beberapa meter jauhnya, memegang senapan laras panjang dengan sikap santai namun mematikan. Matanya tajam, penuh konsentrasi, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Di sampingnya, Alexsei, Benicio, dan Fausto duduk di kursi taman sambil menyeruput kopi dan menikmati croissant, seolah tontonan pagi itu adalah hiburan biasa. “Siapa yang mau taruhan? Apakah aku bisa mengenai apel itu atau tidak?” tanya James dengan nada bercanda.Fausto tertawa kecil. “Aku bertaruh kau bahkan tidak akan meleset satu kali pun

  • Broken Flower   87. Confession

    Apakah sebuah pernikahan yang didasari oleh kepentingan akan berjalan sebagaimana hubungan pernikahan pada umumnya? Apakah cinta akan tumbuh di antara dua insan dengan ikatan semacam ini?Mungkin ya, mungkin juga tidak. Grassiela tidak bisa memastikannya. Helena dan Alfonso, kedua orangtuanya juga menjalani pernikahan tanpa cinta. Entah perjanjian macam apa yang mendasari perjodohan itu, namun pada akhirnya pernikahan mereka tetap berjalan sampai puluhan tahun hingga menghadirkan seorang anak yang tumbuh tanpa cinta. Ya, begitulah kira-kira. Dan Grassiela akan memastikan bahwa pernikahannya tidak akan sama seperti pernikahan kedua orangtuanya.Ketika sampai di depan pintu kamar James, dia berhenti sejenak. Memandang gagang pintu itu, seolah menimbang-nimbang keputusannya. Lalu akhirnya dia memutuskan membuka pintu dan melangkah masuk. Kamar itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari lampu taman yang menyusup melalui tirai. Udara di dal

  • Broken Flower   86. Burning rose

    Dua minggu yang lalu. Keramaian pesta malam itu terasa megah namun penuh dengan ketegangan bagi Grassiela dan James. Musik klasik mengalun lembut, gelas-gelas anggur beradu dalam percakapan santai para tamu. Grassiela, dalam balutan gaun hitam elegan yang mencerminkan keanggunannya, menyusup tanpa menarik perhatian, mengiringi Valentina keluar dari ruang utama. Dia menyentuh lengan Valentina dengan lembut, menenangkan wanita itu dari kecemasannya. "Percayalah padaku, kita akan keluar dari sini dengan selamat," bisiknya sambil tetap melangkah dengan percaya diri. Mereka menyusuri lorong panjang yang redup, menjauh dari keramaian pesta. Grassiela mengarahkan Valentina ke sebuah ruangan terpencil, dimana terdapat jalan rahasia yang akan membawa mereka keluar dari vila tanpa terlihat.Ketika mereka hampir mencapai ruangan itu, langkah keduanya terhenti. Seorang pria muncul dari belokan, mengenakan jas biru tua yang rapi. Dia berhenti sejenak, matanya terbelalak seolah tak percaya pad

  • Broken Flower   85. Silent steps

    Ruang rapat itu diterangi cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela berbingkai kayu ek, memantulkan kilau pada meja panjang yang mengisi ruangan. Jam menunjukkan pukul dua siang. James duduk di ujung meja dengan tubuh tegap, mengenakan setelan jas abu-abu tua yang sempurna. Di depannya tergeletak dokumen dan grafik yang menunjukkan data perdagangan dan rute penyelundupan. Alexsei, Benicio, Fausto, dan Sergei masing-masing mendengarkan dengan serius. James memulai pembicaraan, suaranya rendah namun sarat dengan ketegasan. “Kita sudah berhasil mendominasi jalur di Eropa utara. Tapi untuk memperbesar keuntungan, kita harus melangkah ke titik yang lebih strategis. Pasar di sana sangat menguntungkan, terutama di negara-negara seperti Jerman, Prancis, dan Inggris. Kita butuh rencana yang tak hanya licik, tapi juga sulit dilacak." James menunjuk layar presentasi di belakangnya, yang menunjukkan peta jalur perdagangan narkoba. “Gunakan Balkan sebagai pintu masuk utama. Barang ak

  • Broken Flower   84. Passion in intrigue

    Ruang duduk utama kastil Cestershire yang megah dengan dinding batu kuno dan perabotan antik, dipenuhi keheningan yang mencekam. Veronica duduk di kursi merahnya dengan postur tegas, meskipun guratan keriput di wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Di depannya, Helena berdiri dengan tangan gemetar, meski sorot matanya menunjukkan keteguhan. “Apa yang kau katakan barusan?” suara Veronica terdengar rendah namun dingin, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Helena menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya. “Pria yang menikahi Grassiela… dia adalah seorang pemilik kartel narkoba. Aku tidak bisa membiarkan putriku terus hidup dalam bayang-bayang marabahaya.” Veronica terdiam, matanya menatap tajam ke arah jendela besar yang memandang ke halaman luas kastil. Pikirannya berputar. “Dan bagaimana kau baru mengetahuinya?” “Penyelidikan pribadi,” jawab Helena dengan nada tegas. “Grassiela sudah pernah men

  • Broken Flower   83. Illusion or belief

    Malam menjalar perlahan di balik tirai kamar itu, memberikan kehangatan yang berbeda setelah dinginnya udara di tebing tadi. Lampu di kamar menyala redup, menciptakan suasana intim. Grassiela berdiri di tengah ruangan, sibuk merapikan pakaian-pakaian baru yang ia beli di butik.Namun, matanya kemudian tertuju pada sebuah tas kecil di sudut ranjang. Tas itu berisi pilihan lingerie yang ia pilih dengan ragu-ragu tadi siang. Sesaat, pikiran nakalnya menerawang memikirkan James. Bibir Grassiela melengkung dalam senyum kecil yang hanya ia sadari saat memikirkan pria itu.Dia memutar-mutar jemari pada salah satu tali lingerie di dalam tas. Mengeluarkan dua potong lingerie, berwarna merah tua dengan renda halus dan satu lagi berwarna hitam dengan potongan berani yang memperlihatkan lekuk tubuh dengan indah. Grassiela membawa keduanya ke depan cermin besar di sudut kamar. Bayangannya menatap balik dengan rasa percaya diri yang baru ia temukan belakangan ini.

  • Broken Flower   82. I want to live

    Apa moment terburuk yang pernah kau hadapi? Menyaksikan saudaramu tewas tertembak tepat di depan matamu? Diusir dari rumah dan diasingkan ke sebuah sekolah asrama? Atau, apa kau pernah menyaksikan sebuah ledakan hebat yang menjatuhkan banyak korban dan itu semua adalah karena kesalahanmu? Tidak, itu baru sebagian kecil. Masih banyak hal buruk yang Grassiela lewati selama hidupnya. Terlebih lagi, setelah dia dinikahi oleh seorang bos mafia yang tak kenal ampun. Semua itu jelas mengerikan. Sikap angkuh kedua orangtuanya juga suaminya membuat Grassiela tertekan dan frustasi. Jika begitu, lantas kapan moment terbaik yang pernah ia rasakan dalam hidupnya? Kini, sebuah senyuman merekah di wajah jelita itu. Matahari mulai merangkak naik hingga pagi menjadi terang. Mereka tiba di kawasan perkotaan Krasnodar. Suasana yang ramai dengan deretan bangunan klasik dan modern bercampur dalam musim semi yang memancarkan kehangatan. Keduanya turun dari mobil, berjalan sambil saling berpegangan tan

  • Broken Flower   82. Change

    Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke

  • Broken Flower   80. Sin and redemption

    James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status