Toronto, Canada
02:13 A.MDalam gelapnya malam yang berselimut dingin dan sepi, seorang gadis remaja berjalan mengendap di sepanjang koridor yang sunyi. Langkah kakinya nyaris tak bersuara. Kedua tangannya mendekap erat bingkai kanvas, palet serta sebuah kotak berisikan berbagai jenis kuas dan cat warna. Sepasang manik birunya memandang penuh waspada ditemani penerangan lampu taman yang berpendar.Baiklah, ini memang bukan pertama kalinya ia menyelinap dari kamar asramanya dan pergi secara diam-diam menuju ke halaman belakang. Gadis itu tahu benar para penjaga yang biasanya berkeliaran untuk memastikan keamanan seluruh wilayah asrama, baru saja melewati koridor ini. Maka ia cukup yakin, tak ada seorang pun yang akan melihatnya mengendap di pukul dua pagi. Kecuali jika ia harus tertangkap basah oleh salah satu penjaga pribadinya yang ditempatkan di sekeliling batas asrama.Itu adalah hal yang terburuk.Sesampainya di area halaman belakang, sebuah senyuman merekah. Gadis itu kembali mengedarkan pandangannya untuk memastikan tak ada seorang pun di sana. Kemudian ia berjalan melantasi taman hingga menemukan rumpun bunga mawar di dekat pagar pembatas.Dugaannya benar, pemandangan pada malam hari mempunyai daya tarik tersendiri. Bunga-bunga itu tampak seperti kecantikan misterius yang bersembunyi di kegelapan dan dia sudah siap untuk mengabadikan keindahan itu dalam bentuk coretan di kanvas.Melukis bukanlah sesuatu yang dilarang. Namun melakukannya saat semua orang tengah terlelap adalah hal yang ilegal. Sekolah asrama ini mempunyai aturan, dimana setiap siswi harus mengikuti jadwal yang telah ditentukan, termasuk tidur di waktu yang tepat. Sayangnya gadis ini begitu keras kepala. Ia terlalu bersemangat dan tak sabar untuk menyelesaikan karya terbaiknya. Semoga saja, lukisannya nanti dapat terjual di acara galang dana sekolah dengan nilai yang tinggi.Dengan antusias ia mencari posisi duduk yang pas untuk melukis rumpun bunga mawar yang menjadi favoritnya. Namun tanpa diduga, pandangannya menangkap sesuatu yang aneh pada salah satu mawar di sana. Kening gadis itu berkerut ketika ia melihat merah pada kelopak bunga itu seakan meleleh dan jatuh pada daun sebelum meluncur hingga akhirnya meresap dalam tanah.Apa itu? Tanpa sadar ia mengedipkan matanya berkali-kali kemudian berjalan mendekat untuk memastikan. Dan saat menyentuh kelopak marun itu, yang dia rasakan justru cairan kental hangat yang menyisakan jejak merah pekat di jemari lentiknya. Bau amis mulai menguar di indra menciumannya, lalu spontan ketakutan menyergap.Gadis itu membeku dengan jantung yang berdegup lebih kencang. Ini jelas hal yang buruk. Ia berpikir untuk segera pergi, tapi saat mencoba melangkah mundur, kakinya menyentuh sesuatu di bawah sana. Semua peralatan lukis di tangannya jatuh berserakan, tapi tak ia pedulikan saat pandangannya menangkap seonggok tubuh terkapar di balik semak. Sontak gadis itu membekap mulutnya sendiri untuk meredam pekikannya.Apakah sosok itu sudah menjadi mayat? Dia bergidig ngeri. Apa pun itu, siapa pun dan segala apa yang terjadi dengannya, gadis itu memilih untuk tidak terlibat. Dia berniat untuk segera lari dan kembali ke kamarnya demi meminimalisir berbagai hal buruk yang mungkin terjadi. Cepat-cepat ia kembali memunguti peralatan melukisnya tadi. Lantas suara erangan kesakitan terdengar, membuat sang gadis menghentikan geraknya.Orang itu masih hidup! Sepasang manik biru itu menatap lamat-lamat tubuh seorang pemuda yang tak berdaya di sana. Ia dapat melihat orang itu bernapas dengan berat dan tak beraturan. Kaus putihnya dipenuhi noda darah yang bersumber dari butir peluru yang bersarang di bahu kirinya. Dia tertembak!Sensasi hangat yang naik kemudian merosot dengan cepat membuat tubuh gadis itu menjadi lemas. Entah bagaimana ia merasa ingin menangis dan sesuatu seakan menyentaknya pada suara tembakan yang tak pernah ia lupakan dalam ingatan.Gadis itu terkesiap lalu kesadarannya kembali ke malam yang sepi ini. Sebuah perasaan yang bergejolak mendorongnya untuk kembali mendekat. Ia berjongkok dengan tubuh gemetar lalu memerhatikan raut wajah lelaki itu yang tampak sangat kesakitan.Ini bukan saatnya untuk menangis! Gadis itu menanamkan pada diri sendiri. Sambil berusaha mengendalikan emosinya, ia mengedarkan pandangan ke seluruh area taman belakang, tapi tak mendapati seorang pun di sana kecuali desiran angin malam yang dingin dan mencekam.Kini tak ada pilihan dalam benaknya. Dia harus mempertahankan nyawa lelaki itu apapun risikonya. Tanpa berpikir panjang, dia segera merobek bagian bawah gaun tidurnya untuk menekan luka yang menganga. Suara erangan kembali terdengar. Kesakitan tampak semakin jelas di raut wajah pemuda itu."Bertahanlah. Aku tidak akan membiarkanmu mati.""Si-siapa kau?"Pandangan sang gadis beralih pada paras tampan yang baru saja tersadar. Sesaat dunianya teralihkan pada sorot mata kelabu yang mencoba menatapnya. Namun suara yang ia dengar begitu serak dan berat. Lelaki itu pasti mengucapkannya dengan kesulitan."Kau tidak perlu tahu siapa aku. Tetaplah bernapas. Aku akan mencari bantuan." Sang gadis beranjak, menyadari bahwa dirinya tak bisa berbuat banyak selain menahan aliran darah yang terus merembes.Sementara kesadaran yang kian menipis, membuat lelaki itu hanya dapat menatap punggung seorang gadis yang tak ia kenal kian menjauh. Dia akan kembali. Dia pasti kembali. Lelaki itu meyakinkan diri sendiri sebelum gelap kembali mendekapnya.Setengah berlari gadis berusia lima belas tahun itu menyusuri koridor menuju ke unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada di gedung lain dari asrama. Jaraknya cukup jauh dan ini membutuhkan waktu. Tapi dia tak mempunyai cara lain.Apa yang bisa dilakukan seorang remaja untuk menangani luka tembak? Meski mempunyai peralatan medis yang lengkap, ia tak cukup paham bagaimana cara mengeluarkan peluru dari tubuh seseorang. Mungkin suatu hari ia perlu mempelajari hal ini dengan serius. Tapi sekarang yang harus ia lakukan adalah menemukan seorang dokter yang bisa membantunya secara diam-diam. Tak boleh ada yang mengetahuinya jika tidak ingin menciptakan kepanikan di asrama ini. Maka menyodorkan sejumlah uang untuk menyuap seorang dokter bukan lah hal yang berarti asalkan lelaki asing itu dapat selamat.Kita memang tidak tahu siapa dia, bagaimana dia bisa tertembak dan apakah dia berada di pihak yang benar atau mungkin sebaliknya. Tetapi luka tembak yang bersarang di tubuhnya, menjadi alasan terkuat mengapa sang gadis berusaha untuk menyelamatkannya.Dengan napas terengah, akhirnya ia sampai di gedung klinik. Namun sebelum tangannya menyentuh pintu kaca di hadapannya, suara langkah kaki terdengar hingga gadis itu menghentikan geraknya."Sebaiknya anda kembali."Suara tegas yang berasal dari seseorang di belakangnya terdengar penuh peringatan. Gadis itu mengembuskan napas lelah dan mengeratkan rahangnya dengan kesal. Lantas ia berbalik, menatap tajam seorang pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam yang berdiri di sana."Aku merasa ada masalah dalam pencernaanku," kilahnya. Semoga saja penjaga pribadinya percaya. Tetapi pria dengan kepala plontos itu tak menunjukan ekspresi apapun. Hal itu menciptakan cemas hingga sang gadis benar-benar merasakan ada yang salah di dalam perutnya."Jika yang anda khawatirkan adalah seseorang yang terluka di halaman belakang, maka kami sudah mengatasinya."Seketika tubuh gadis itu menegang. Ia menelan salivanya dengan kesulitan sebelum berkata dengat terbata, "A-apa yang kau bicarakan?""Kami sudah membawanya."Mereka mengetahuinya! Tentu saja, para bodyguard yang ditugaskan untuk menjaganya secara pribadi adalah orang-orang pilihan. Tak mungkin mereka membiarkan seorang putri yang harus dijaga dengan hati-hati bertemu dengan lelaki asing yang mungkin saja berbahaya.Lantas ia melangkahkan kakinya untuk mendekat dan bertanya dengan menahan emosinya, "kemana kalian membawanya?""Anda tidak perlu mengetahui hal tersebut."Gadis itu memejamkan mata demi meredam kekesalannya sendiri. "Siapa dia? Kau mengetahui identitasnya?""Sebaiknya kembali lah ke kamar anda.""Jawab pertanyaanku!" Suaranya yang meninggi terdengar memecah malam. Gadis itu sudah tak peduli meski ada orang lain yang terbangun karena mendengarnya. Kali ini kesabarannya mulai terkikis."Saya hanya ditugaskan untuk menjaga anda."Jawaban singkat serta ekspresi datar yang ditunjukan oleh penjaga pribadinya itu seolah mengingatkan bahwa sang gadis tidak punya kuasa. Ayahnya-lah yang membayar pria plontos itu, maka tak perlu dipertanyakan lagi, siapa pemilik kesetiaannya."Setidaknya beritahu aku, siapa dia?" Suaranya mulai bergetar. Ada kekecewaan yang mendalam seiring pandangannya yang berkabut.Namun sia-sia. Pria bertubuh besar itu tak menjawab hingga akhirnya dia terpaksa harus menyerah. Berusaha menerima kekecewaannya, gadis itu melangkah gontai untuk kembali ke kamarnya. Entah mengapa rasa sakit terasa menjalar di hati.Satu langkah.Dua langkah.Lima langkah.Haruskah ia melupakan lelaki asing yang terluka itu?Langkahnya terhenti. Pandangannya masih kosong, namun hatinya mungkin baru saja terisi. Rasa muak akan berbagai kekangan dari keluarganya membuat gadis itu mulai berani mengambil keputusan.Tanpa berbalik, akhirnya ia berkata penuh penekanan, "Selamatkan dia. Ini satu-satunya perintah dariku."***"Apa yang kau lakuakan di sini, Grace?"Gadis dengan rambut berwarna karamel itu menoleh. Matanya yang biru terang membalas tatapan temannya yang berdiri dengan raut cemas."Acaranya sedang berlangsung dan kau malah bersembunyi di sudut taman belakang."Grassiela hanya menghela napas dan kembali memandang rumpun bunga mawar di hadapannya. "Memangnya kenapa?" gumamnya malas.Isabele melebarkan kedua mata hazelnya. "Apa maksudmu dengan kenapa? Bukankah kau akan ikut berpartisipasi dengan menjual lukisan rahasiamu itu?""Tak ada lukisan rahasia. Sebaiknya kau kembali," tukas Grassiela tak peduli."Ada apa, Grace? Di mana lukisanmu?""Itu hanya sebuah lukisan yang gagal."Sejenak Isabele terdiam. Ia mengamati punggung temannya itu sambil mencari-cari kebenaran dari pernyataan Grace barusan. Isabele mengingat bahwa beberapa hari terakhir ini Grassiela tampak murung dan lukisan bunga mawar setengah jadi yang selalu berada di kamarnya seakan lenyap tak terlihat lagi. Mungkinkah Grace merasa tidak puas hingga merusaknya sendiri?"Aku rasa lukisanmu adalah yang terbaik. Tapi tak masalah jika kau tidak menyukainya," ucap Isabele bersungguh-sungguh.Grassiela menoleh dan memandang teman baiknya dengan tersenyum tipis. Ia menghargai bagaimana Isabele berempati. "Terima kasih.""Jadi, kau mau ikut denganku ke aula? Aku dengar ibumu juga ikut memberikan banyak donasi saat sesi galang dana."Isabele membuat kesalahan. Suasana hati Grassiela yang sedang tidak baik justru semakin memburuk saat ia mendengar bahwa ibunya berada di sekolah ini. Diam-diam gadis itu tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Helena akan turut hadir dalam acara amal sekolahnya tahun ini. Yang benar saja, wanita itu jelas-jelas sudah tidak peduli lagi pada putrinya. Lantas apa yang membuatnya datang kemari?Oh, Grassiela hampir lupa bahwa gengsi dan eksistensi adalah yang terpenting bagi ibunya."Aku lebih suka di sini," ucap Grassiela singkat.Isabele tak dapat menutupi rasa penasaran yang selama ini selalu ia sembunyikan. Dan sekarang ia benar-benar terkejut. "Bukan kah sudah sangat lama kalian tidak bertemu? Aku ingat kapan terakir kali kau pulang ke Newcaste dan sekarang kau tidak mau menemui ibumu?"Ada hening yang sesaat menggantung di antara kedua gadis remaja itu. Grassiela sedang tidak mau mengatakan apa-apa, terlebih mengenai hubungannya dengan keluargannya. Tidak, sampai kapan pun ia tidak akan pernah mau membahasnya."Kembalilah, Isabele. Jika ada yang menanyakan mengenai keberadaanku, katakan bahwa kau tidak mengetahui apa-apa," tukas gadis keturunan Inggris itu mengakhiri pembicaraan mereka.Isabele tak mengerti, tapi ia dapat menangkap kesedihan di balik senyuman Grassiela yang dipaksakan. Pertemanan mereka selama bertahun-tahun di asrama ini sejujurnya tak membuat Isabele tahu benar apa yang membuat gadis itu tampak menghindari keluarganya sendiri. Tapi setidaknya, ia bisa memahami bagaimana karakter temannya itu. Grassiela sedikit tertutup, atau lebih tepatnya egois."Baiklah, aku akan kembali ke aula. Sebaiknya kau bersembunyi di sudut sana sebelum Ny. Elroy menemukanmu."Akhirnya sebuah senyuman tipis terlukis di wajah Grassiela. Keduanya menahan tawa mengingat bahwa kepala sekolah yang dikenal tegas dan tak segan memberi hukuman adalah mimpi buruk bagi semua siswi. Tapi bukankah saat ini semua orang penting di sekolah sedang berkumpul di aula?Isabele menghargai keputusan temannya, ia kemudian pergi menuju ke aula sendirian. Dan setelah itu, senyuman Grassiela kembali memudar.Saat angin di musim semi ini berembus mengacak rambutnya yang semula diikat rapi, Grassiela menengadahkan kepala. Pandangannya menerawang jauh ke langit biru yang luas sementara benaknya kembali pada sebuah malam yang sunyi. Bayangan seorang pemuda yang terluka tak berhenti mengusik pikirannya. Kedua matanya terpejam, mengingat terlalu banyak pertanyaan berlarian tanpa jawaban.Siapa lelaki itu? Mengapa dia bisa mendapat luka tembak sementara Grassiela sama sekali tidak mendengar suara tembakan di malam itu. Lalu bagaimana dia bisa tersesat di asrama ini?Tidak. Dia tidak sedang tersesat. Lelaki itu bisa menembus penjagaan ketat di tempat ini. Maka dia bukanlah orang biasa.Tapi apa yang dia cari? Dan untuk alasan apa para penjaga pribadinya tetap bungkam meski mereka telah menyingkirkan semua jejak termasuk peralatan lukis miliknya?Grassiela membuka kedua kelopak matanya lalu menghela napas panjang. Seharusnya ia melupakan hal itu seolah pertemuannya mereka hanya mimpi. Tapi lelaki itu telah mengusik ketenangannya. Dan mungkin, juga mencuri hatinya. Grassiela percaya, bahwa apa yang telah terjadi bukanlah sebuah kebetulan.***Chapter 2 *** Sebelas tahun kemudian. Newcastle, Inggris. Awan yang menggumpal benar-benar terlihat sangat gelap siang ini. Padahal prakiraan cuaca yang ditayangkan di televisi memperediksikan bahwa cuaca akan cerah meski berawan. Namun rupanya langit mempunyai rencana lain untuk turut menunjukan duka, seperti hal nya orang-orang yang berkumpul dengan pakaian hitam mereka. Saat sang pendeta mengucapkan doa di depan makam, orang-orang yang hadir di sana menundukan pandangannya. Tak ada yang tahu siapa yang bener-benar ikut bersedih atau hanya berpura-pura demi menghormati keluarga yang baru saja ditinggalkan. Tapi setidaknya mereka tahu bagaimana caranya bersimpati. Rintik hujan mulai turun tepat setelah pemakaman selesai. Orang-orang yang berkumpul membubarkan diri setelah mereka kembali mengucapkan sesuatu yang berarti pada keluarga yang berduka. Termasuk seorang wanita yang usianya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih tampak cantik di balik topi fascinator dengan aksen fi
Chapter 3 *** "Kau akan mendapat masalah jika tidak membawa gaunnya. Jangan terlambat, aku akan berada di panti asuhan lima belas menit lagi." Grassiela nyaris melempar ponselnya setelah membaca pesan text tersebut. Sial! Dia sudah terlambat. Isabele benar-benar menyebalkan dan Grassiela tak punya pilihan selain menyambar tas kertas berisikan gaun yang belum lama ini ia miliki sebelum terburu-buru menuju mobilnya di pelataran. Entah permasalahan macam apa yang akan Isabele ciptakan jika Grssiela tidak melakukan perintahnya. Sesungguhnya ia yakin bahwa ancaman itu hanyalah omong kosong belaka dan Grassiela sama sekali tidak peduli. Tapi pagi ini suasana hati wanita itu sedang tidak baik. Ada resah yang sejak semalam bergumul dalam hatinya. Grassiela tak tahu mengapa, tapi ia merasa bahwa pagi ini dirinya memang harus segera menemui sahabatnya. Lari-lari kecil itu mendadak terhenti tepat di depan pintu utama. Grassiela mendengus kesal saat mendapati seorang pria pelontos bertubuh be
Chapter 4 *** Apa yang kalian harapkan ketika baru saja sampai di rumah setelah sekian tahun lamanya tak kembali? Penyambutan? Grassiela tersenyum kecut saat melihat seorang pelayan wanita membukakan pintu lalu bersama sopir turut membawakan barang-barangnya dari dalam mobil. "Selamat datang, Nona," ujar wanita muda berseragam hitam dan putih itu seraya mengantarkan ke kamarnya di lantai atas. Grassiela mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru rumah yang sepi. Tidakkah ini keterlaluan? Ketika dirinya baru saja pulang, kedua orangtuanya masih saja sibuk dengan urusan masing-masing. Akhirnya dia menghela napas setelah sampai dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda. Kamarnya. Dan semuanya masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkan tempat itu. Ranjang kayu berkanopi dengan tirai berenda putih. Seprei tempat tidurnya masih bermotif bunga-bunga kecil yang ia sukai. Beberapa boneka pun masih duduk berjejer rapi di sofa yang berhadapan dengan tempat tidur. Grassiela tak tahu
*** Newcastle, Inggris.  "Satu." "Dua." "Tiga." "Kau curang!" Cetus seorang anak lelaki berusia delapan tahun. Ia menatap kesal pada adiknya yang baru saja membuka kedua tangan yang semula menutupi wajah. "Aku tidak curang," kilah gadis kecil itu tanpa rasa bersalah. "Kau mengintip barusan." "Aku tidak melakukannya." Nicholas mendesah. Ia melihat bagaimana gadis itu diam-diam mengintip dari jemari mungilnya. Tapi Grassiela tidak mau mengakuinya. "Sudahlah. Bermain saja dengan Anna dan Bella," pungkas Nicholas sambil melengos pergi. "Mereka dan Zack sedang berada di keluarga aunty Eveline dan baru akan kembali besok pagi," tutur Grassiela menghentikan langkah kakaknya. "Kalau begitu carilah Bianca." "Kau tidak mau bermain denganku?" Nicholas kembali berbalik. "Bermainlah dengan anak perempuan." "Kau mau ke mana?" tanya Grassiel dengan nada memprotes. "Aku melihat Arthur bersama guru privatnya di perpustakaan. Sementara Dave masih mengurung diri di kamarnya," ungkap gadi
Newcastle, Britania Raya. 10.07 AM. Wanita muda itu menuruni satu per satu anak tangga sambil memeluk sebuah bingkai kanvas beserta peralatan lukis miliknya. Pagi-pagi sekali ia meminta Gretta membelikan semua benda itu untuk mengisi hari-harinya yang membosankan. Grassiela tidak tahu sampai kapan dirinya akan berkutat dalam kejenuhan di rumah ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam. Meski ayahnya pernah mengatakan bahwa melukis adalah hal yang tak berguna, Grassiela tidak peduli. Ia menyukainya dan tetap akan melakukannya selama hal itu bukan lah sesuatu yang buruk. Lantas ia terus melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Tetapi sebelum sampai di sana, langkah kaki itu berhenti tepat di depan ruang makan. Grassiela terdiam memandang meja makan yang kosong. Pemandangan ruang makan yang sepi itu membuat benak Grassiela terbang ke masa lalu. Tepatnya ketika ia masih berusia tiga belas tahun dan baru saja menghabiskan masa libur sekolahnya selama
*** Lima belas tahun yang lalu. Toronto, Canada. Malam itu belum larut. Masih sekitar pukul sembilan ketika Rebecca, seorang wali asrama di sekolah perempuan itu menemui Grassiela di kamarnya dan mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya. Grassiela tidak dapat menebak siapa yang datang di malam hari dan menunggunya di ruangan kepala sekolah. Sebelumnya ia tak pernah sekali pun mendapat kunjungan dari seorang tamu. Dan sepertinya orang itu cukup penting karena sang kepala sekolah menerima kunjungan ini bahkan membuka pintu ruang kerja pribadinya di malam hari. Rasa penasaran membuat gadis itu berjalan cepat menyusuri koridor bersama dengan wali asramanya. Sementara diam-diam, cemas serta gugup turut menghantuinya. Siapa yang datang? Apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan orang asing yang ia temukan di halaman belakang tiga hari yang lalu? Semoga saja tidak. Berkali-kali Grassiela menepis firasat buruk dalam hatinya. Ketika Rebecca membuka pintu ruangan kepala
*** "Dia sangat tampan. Rambut hitamnya terpotong rapi, alis yang tebal, netra kelabu yang bersorot tajam serta rahang yang kokoh. Saya tidak berani memandanginya, tapi dia juga memiliki tubuh tegap yang terpahat dengan sempurna. Anda akan jatuh cinta ketika melihatnya." Grassiela tersenyum mendengar ungkapan wanita muda berseragam pelayan itu. "Semudah itukah cara seseorang untuk jatuh cinta?" simpulnya. Gretta berjalan menuju meja rias lalu merapikan barang-barang yang berantakan di sana. "Saya tidak tahu. Tapi bukankah ada yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama?" "Lalu apa kau mencintainya?" Seketika Gretta memandang wanita muda yang tengah duduk di atas tempat tidur itu. "Tentu saja tidak," jawabnya spontan. "Kau menceritakan bahwa pria itu begitu menakjubkan. Lalu kenapa kau tidak jatuh cinta pada pandangan pertama?" Kening Gretta berkerut memikirkan pertanyaan dari nona muda nya. Lantas Grassiela terkekeh. "Bagaimana aku bisa mencintainya jika aku tidak mengen
*** Lebih dari empat jam waktu tempuh dari Newcastle untuk sampai di Cestershire. Sebuah desa indah nan asri yang berada di distrik Costwold. Meski cukup lama dan membosankan dalam perjalanan, tapi Grassiela sangat menantikannya. Seperti biasa, suasana di dalam limusin Mercedes Benz S-600 Pullma berwarna hitam itu cukup canggung dan hening. Tak perlu diingatkan bahwa mereka adalah keluarga. Grassiela benar-benar paham bahwa Alfonso lebih tertarik pada surat kabar di menghadapi masalah politik lokal dari berbicara pada putrinya sendiri. Sementara Helena terlalu sibuk berinteraksi dengan teman-teman sosialita-nya lewat layar ponsel. Akhirnya gadis itu menghela napas. Grassiela menyadari bahwa ia tidak bisa mengharapkan kedua orangtuanya terlibat dalam kontak yang hangat. jangan harap. Lantas iris mata biru terang itu pandangannya ke arah jendela mobil. Grassiela melawan kejenuhan selama perjalanan dengan menikmati pemandangan yang indah dan pilihan dari sana. Di luar tampak cottage-
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi setelah mereka kembali dari pemakaman. Valentina berdiri di balkon kamar, gaun hitam panjangnya berkibar pelan terkena angin malam. Wajahnya tampak murung, bayangan kesedihan dan kecemasan menghiasi tatapannya yang kosong, memandangi langit malam tanpa benar-benar melihat apa pun. Di dalam dirinya, ribuan pikiran berkeliaran, menghantui setiap detik yang berlalu. Pemakaman Borsellino, suaminya baru saja selesai meninggalkan perasaan yang campur aduk. Valentina memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya angin yang merembes hingga ke tulang. Dia tidak bisa menghentikan kegelisahan yang terus merayap dalam hatinya—kegelisahan tentang bagaimana orang-orang akan memandang hubungannya dengan Paolo setelah ini. Pria yang selama ini menemaninya, sekarang menjadi pusat dari segala rumor dan spekulasi. Dunia mafia penuh intrik, dan hubungan mereka pasti akan dipandang dari segala sisi yang penuh kecurigaan. Paolo muncul dari dalam kamar, mendekati Valent
Di dalam ruangan dengan perapian yang menyala lembut, sinar api memantulkan bayang-bayang di dinding kayu yang tebal. Malam telah larut, dan udara dingin perlahan merasuk. Sebuah papan catur kayu tua dipasang di atas meja kecil di depan kursi empuk tempat Grassiela dan Fyodor, ayah mertuanya, duduk berhadapan. Pria tua itu menatap papan dengan intens, alisnya mengerut dalam, menggumamkan pikirannya sambil mempertimbangkan langkah berikutnya. "Hm, kau bermain dengan sangat baik," katanya sambil memindahkan bentengnya ke tengah papan. Grassiela tersenyum tipis, pandangannya tak lepas dari bidak-bidak di depan mereka. “Terima kasih, Papa," jawabnya halus. Keheningan kembali menyelimuti. Grassiela menyentuh salah satu bidak kuda miliknya dan memutarnya sedikit sebelum akhirnya menggerakkan kuda tersebut ke arah yang tak terduga. Dia tersenyum puas, menyadari langkah itu membuat Fyodor semakin terdesak. "Langkah yang brilian," puji Fyodor sambil mengangguk. "Kau tahu, permainan catur in
Pagi itu, udara pegunungan terasa sejuk dan segar. Sinar matahari yang lembut menerobos masuk melalui jendela besar di ruang tamu rumah persembunyian. Grassiela berdiri di tepi jendela, mengenakan gaun tidurnya, dengan secangkir kopi hangat di tangan. Pandangannya terfokus pada jalan setapak yang berkelok menuju rumah, saat debu mulai terangkat oleh deretan mobil yang mendekat. Lima mobil hitam melaju pelan, mesin-mesinnya terdengar samar dari kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, Grassiela dapat melihat sosok James yang berdiri di halaman, memandang lurus ke arah mobil-mobil itu. Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di dada, tenang namun tegas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Mata Grassiela menyipit, mencoba menebak apa yang akan terjadi. Namun sikap tenang James memberitahunya bahwa itu bukanlah sebuah ancaman. Mobil pertama berhenti, diikuti oleh yang lainnya. Pintu terbuka, lalu Alexsei keluar dengan cepat disusul oleh Fausto yang mengikutinya. Pria bertubuh besar itu
Cestershire, Inggris. Helena duduk di kursi goyang berlapis kain beludru merah tua, menggenggam cangkir teh camomile antik dengan erat. Sesekali dia menyeruput teh hangat itu bersama Eveline, saudari iparnya. "Seharusnya dia sudah bertunangan atau menikah sekarang, bukannya berkeliaran entah ke mana," gumam Eveline menahan kekhawatirannya. Helena menurunkan cangkirnya, menatap Eveline dengan serius. "Maksudmu Arabella? Aku rasa dia seorang gadis yang mandiri, dan tahu apa yang harus dia lakukan." Eveline menggeleng pelan, tanda bahwa dia tidak setuju pendapat itu. "Dia ceroboh, egois dan sulit diatur. Seseorang bisa saja memanfaatkannya." Dia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara pelan. "Dia selalu membuatku khawatir. Kini sudah dua minggu Arabella pergi entah kemana." Helena terdiam mendengar sejenak. Seketika, pikirannya melayang ke sosok putrinya, Grassiela. Apakah dia pernah merasa khawatir seperti apa yang Eveline rasakan? Sejauh mana dirinya menc
Langit di atas hutan Castelbuono berwarna biru cerah, cahaya matahari yang lembut menerobos dedaunan, menciptakan permainan bayangan di atas tanah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma pinus dan dedaunan yang segar. Grassiela berjalan dengan langkah ringan, rambut berwarna karamelnya diikat ekor kuda dan berkibar lembut di bawah pepohonan bersama apron merah muda yang menghiasi dress putih polosnya. James mengikuti dari belakang, matanya tak pernah lepas dari sosok menarik itu. Di setiap langkahnya, dia tampak waspada, meski diam-diam ada kehangatan dalam tatapannya. "Kau tidak perlu mengikutiku," kata Grassiela tiba-tiba, tanpa berbalik bersama langkahnya yang tetap ringan dan bebas. "Tidak perlu khawatir. Aku bisa menemukan jalan pulang sendiri nanti." James mendengus pelan, meski senyumnya hampir tak terlihat. "Aku hanya memastikan kau tidak tersesat atau membuat masalah." "Masalah?" Seketika Grassiela berhenti untuk menoleh menatap suaminya tajam. "Di sini, satu-satunya masalah ada
Pagi itu, James terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak biasa. Sinar matahari menembus celah-celah tirai jendela, menerangi ruang tamu yang dia gunakan untuk beristirahat. Aroma lezat dari dapur mulai menggoda indera penciumannya, memanggilnya untuk bangun dan menyambut hari. Dengan enggan, ia menghempaskan selimut yang entah datangnya dari mana lalu bangkit dari sofa. Pria itu berjalan menuju dapur, masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi serta celana hitam yang sedikit kusut, sebuah tanda dari malam panjang yang baru saja berlalu. Dapur itu sederhana, tidak seperti dapur mewah yang biasa ia temui di rumah-rumah besar. Namun entah bagaimana, kesederhanaan ini terasa membawa kedamaian baginya. Saat ia memasuki dapur, matanya tertuju pada meja makan. Sarapan telah disiapkan dengan rapi, lengkap dengan roti, telur, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya—pintu dapur yang sedikit terbuka, membiarkan angin pagi masuk ke dalam r
Mobil melaju dengan kecepatan konstan, menembus kegelapan malam yang semakin dalam. Jalanan yang mereka lewati semakin sepi, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Grassiela memandang ke luar jendela, pikirannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. James, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Wajahnya tetap menunjukkan ketegangan dan fokus yang sama. Grassiela merasa semakin sulit untuk menembus dinding emosional yang dibangun James saat ini. Dia ingin sekali tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ada sesuatu dalam sikap James yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, James akhirnya berbicara, meskipun suaranya tetap dingin dan terkendali. "Kita akan menuju tempat persembunyian sementara. Di sana kita bisa menunggu kabar dari Paolo dan yang lainnya." Grassiela mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya mendapat jawaban. Malam i