"Bagaimana mungkin aku bisa melepaskanmu? Katakan! Bagaimana caranya?" Diran memandangi kedua telapak tangannya. Jemari itu bergetar dan ditetesi butiran air yang jatuh dari sudut matanya. Tiga hari lalu, kedua tangan itu menggenggam tubuh Rin yang dingin. Wajahnya memucat, tapi senyum tetap mengembang di sisa-sisa helaan napasnya yang berat.
"Tidak ada yang bisa kami lakukan. Kondisinya terus menurun. Hanya keajaiban...,"
"Omong kosong!" potong Diran. Dengan perasaan begitu kacau, ia keluar dari ruang dokter dan terisak semakin nyaring. "Bagaimana mungkin... bagaimana mungkin kalian begitu cepat menyerah sementara Rinku masih sadar!" sesalnya. Namun, pada Akhirnya Diran sadar. Tidak ada yang dipahami tentang tubuh manusia, kecuali mereka yang benar-benar rapuh.
"Diran!"
Suara itu terdengar lirih. Rin berdiri di mulut pintu ruang perawatannya. Segera, Diran mengusap pipinya yang basah dan mendatangi Rin.
"Kenapa bangun? Istirahatlah!"
"Biarkan aku melihatnya!"
Diran mengangat Rin dan membawa perempuan itu kembali ke tempat tidur. "Tentu saja aku akan membawanya padamu!" ragu Diran. Bayi perempuan mereka ia letakkan di kamar terpisah, di dalam inkubator yang hangat. Lalu, Diran membentuk pelindung seadanya dengan kekuatannya agar terhindar dari makhluk-makhluk dimensi lain. Sebuah teknik yang pernah ia pelajari dari Wang Mo Ryu.
Bayi mereka tidak menangis dan tidak bereaksi jika disakiti. Tapi, monitor EKG masih menunjukkan adanya aktivitas jantung yang berdetak. Teratur, namun sangat lemah. Diran takut Rin akan semakin sedih ketika melihat kondisi buah hati mereka.
"Bawa dia padaku!" Rin mengiba.
Lama Diran terdiam dengan memandangi bibir Rin yang mulai berwarna abu-abu. Bibir itu, Diran menciumnya. Ada sensasi dingin yang menjalar hingga ke ujung jarinya kemudian. "Tunggu sebentar!" katanya.
Diran kembali ke kamar perawatan dengan bayi perempuan cantik di tangannya.
Rin menyambutnya segera. Untuk pertama kalinya ia akhirnya bisa menggendong putrinya. "Hey, manis! Ayo, buka matamu!" Rin tersenyum getir ketika mengatakan itu. Dia samasekali tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi, logikanya mengarah pada sesuatu yang mungkin buruk.
"Dia hidup," sebut Diran yang tidak cukup membuat Rin terhibur. Namun Rin bisa memahami kenapa Diran hanya mengatakan itu.
"Aku tahu. Dia akan hidup. Kau akan membawanya ke Wang Mo Ryu!"
Diran berpaling, menyembunyikan wajahnya yang mulai basah lagi. Namun, dengan genggaman tangan yang lemah, Rin memaksa Diran untuk berpaling padanya. "Kau akan berjanji padaku untuk membawanya kepada Wang Mo Ryu, iya 'kan?"
Diran sudah tidak tahan lagi, kristal air yang menyelimuti kornea mata Rin membuatnya merasa lemah. Diran memeluk Rin, lalu berkata, "Ya! Aku akan membawanya!"
Masih, Diran memandangi kedua telapak tangannya. Lalu, semakin deras butiran air berjatuhan. Namun, kali ini bukan lagi dari sudut matanya saja. Langit bergemuruh sejak tadi, seperti tabuhan genderang untuk memulai lagu kesedihan yang lebih panjang. Beruntung ia mengenakan kupluk, beruntung ia mengenakan mantel panjang. Kain-kain hitam itu akan sedikit menyembunyikan dirinya dari hujaman air secara langsung, juga dari pandangan orang. Tubuh Diran dipenuhi luka sayatan. Luka yang terasa pedih, bukan dari dirinya, tapi dari orang yang melihatnya.
Ada sejuta keraguan ketika Diran ingin mendatangi William dengan kondisi seperti itu. "Tuan akan bersedih. Tuan akan khawatir melihatku seperti ini," batinnya. Namun, terlalu berat kejadian demi kejadian untuk ia tanggung sendiri. Sepuluh tahun berlalu sejak Slavidion disegel, Diran sama sekali tidak menyangka jika hidupnya semakin menyedihkan. Sekarang ia benar-benar tidak punya siapa-siapa. Setelah malam itu ia mengucapkan janji pada Rin untuk membawa puteri mereka kepada Wang Mo Ryu, Rin pergi sebelum sempat melewati malam. Lalu, ketika ia harus menyerahkan puterinya pada Wang Mo Ryu, Diran sadar itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Hanya saja, perasaannya tidak bisa berbohong. Dunia Diran telah runtuh, perasaannya ikut terkubur mati, lalu ia berjalan hanya sebagai mayat hidup. Tanpa tujuan, tanpa keinginan.
...
Di sudut lain, di Slavidion. Mungkin tempat itu telah dipenuhi napas manusia, tapi bagi Isabel, Slavidion tetaplah sepi seperti sebelumnya. Setelah menjadi manusia, William sangat menyukai cahaya. Lantai rumah mereka dibuat dari marmer putih, dan dindingnya dilapis dengan kristal yang mampu memantulkan cahaya jika lampu dinyalakan. Mereka juga memasang banyak pernak-pernik kristal yang selalu mengerling indah.
William terbaring di tempat tidur, Isabel di sampingnya, menatap tanpa ekspresi. Ketika William tiba-tiba batuk, matanya terbuka dan darah segar mengalir di antara bibirnya. Darah yang terlihat semakin merah sejak ia menjadi manusia. Alih-alih mengusap darah yang mengalir itu, William justru mengusap wajah Isabel. Ia tersenyum sejenak.
Isabel berdiri, kemudian naik ke atas tempat tidur. Ia mendekap William dari belakang, tangannya ia lingkarkan ke leher laki-laki yang telah sepuluh tahun hidup dengannya. Dengan semua pergerakan itu, darah akan terusap dengan tidak sengaja. William juga merasa lebih hangat.
"Isabel, aku telah hidup sangat lama. Dan bagiku, sepuluh tahun bersamamu, sangatlah berharga. Aku menyukurinya."
Semakin erat dekapan Isabel pada William. Terhadap laki-laki itu, Isabel tidak pernah ingin menyerah. Ia bahkan sempat ingin meminta pada Wang Mo Ryu untuk membuat William abadi seperti sebelumnya. Tapi, William dengan tegas menolaknya. Sekarang, mereka seolah berada di titik akhir waktu, tebing yang langsung berbatasan dengan laut. Saat William harus terjun ke sana, saat itulah genggaman mereka akan terpisah.
Semua manusia akan mengalaminya, itulah yang akan dikatakan William. Tapi, tetap saja itu terasa menyakitkan.
...
Diran, ia sampai sejak setengah jam yang lalu. Bersama badai dan hujan yang begitu deras. Ia naik ke balkon dan tidak sengaja melihat pemandangan yang membuat hatinya semakin tersayat. Namun, setelah melihat William tersenyum, ia kembali teringat pada Rin. Pada akhirnya tidak ada penyesalan di hidup mereka yang terkesan singkat.
Diran akhirnya memutuskan untuk kembali. Ia terlalu takut melihat kondisi Isabel. Jelas perempuan itu akan semakin terpukul jika tahu Rin telah meninggal dunia. Mungkin akan lebih baik jika Isabel mendengar kabar tentang Rin bukan dari dirinya.
<>
Tubuh Diran bergetar. Sepertinya malam berlangsung lebih panjang di dalam badai itu. Dan ketika fajar menampakkan diri, Diran merasa keajaiban datang sekali lagi kepadanya dengan masih menyisakan perasaan beku, hingga membuatnya enggan bergerak. Kecuali, setetes embun dari ujung daun yang mengusik, Diran terpaksa membuka mata, lalu bergeser ke tempat di mana embun itu tidak akan mengganggunya.
Sekarang, Diran terbaring lemah. Seperti serigala tua yang hampir mati kelaparan. Pelan-pelan, ia akan terkubur sendiri oleh dedaunan kering yang dibawa angin. Sayangnya, masa lalu tidak akan memberinya ruang untuk merasa tenang. Sejak tidak sengaja menginjakkan kaki lagi ke hutan tua, satu per satu ingatan itu kembali. Tentang siapa dia? Seperti apa wujudnya? Dan dari mana asalnya?
Diran berusaha bangkit. Ia telah berada di gerbang hutan tua. Ia terkejut sendiri tentang kemampuannya mengenal tempat itu. Dengan mudahnya ia sampai pada danau yang berada di tengah-tengah hutan. Danau dengan airnya yang berwarna hijau, sejarah mencatatnya sebagai kawah gunung merapi purba. Tak tahu kapan air di danau itu terlihat tenang, dan kadang seperti magma yang mendidih. Lalu, ada cahaya biru yang memancar dari dalam danau, yang pelan-pelan mendekat dan menyelimuti tubuh Diran.
Diran tidak ingin peduli, Ming Zhu memenuhi pikirannya. Takdir yang harus diemban oleh puterinya, tidak bisa ia terima begitu saja.
Diran kemudian menjatuhkan diri ke dalam danau. Cahaya biru menggumpal, membentuk sosok manusia, yang dirantai dengan besi merah menyala.
"Diran! Akhirnya kau datang!"
Satu suara menggema.
Diran kemudian dihadirkan pemandangan dimana sosok itu ingin menyentuh wajahnya. Satu usapan yang mampu menghilangkan goresan yang ada di sana.
"Katakan kalau kau berubah pikiran! Kau ingin menerima kekuatan ini, bukan? Akhiri semua rasa sakit itu sekarang!"
Diran diam saja. Tatapannya nanar pada bayangan masa lalu, energi iblis yang benar-benar kuat. Hingga ketika Diran ingin kembali permukaan, sosok itu tidak terima. Cahaya biru melingkar di leher Diran dan menghempaskan tubuh serigala itu ke dasar danau. Air bergejolak. Hanya saja, Diran tidak berusaha melawan. Bahkan ketika air berubah merah karena ia harus menerima ratusan sayatan lagi di kulitnya.
"Kau tahu aku tidak akan pernah berubah pikiran!" teriaknya.
Cahaya biru, meski dirantai, kini berubah bentuk menjadi pusaran air yang besar. Pusaran air yang siap menelan dan membentuk tubuhnya menjadi sayatan tipis.
Tapi,
"Tidak semudah itu!"
Tubuh Diran tiba-tiba terangkat dari danau dan mendarat di dermaga yang rapuh. Ia selamat dari pusaran cahaya biru. Diran sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Ia berada di kaki seseorang yang mengenakan jas formal. Sepatu pantovel hitam yang terbuat dari kulit buaya yang pertama kali dilihatnya. Kemudian, segalanya menjadi buram. Diran hanya merasakan tubuhnya diseret, melewati kayu-kayu tua dermaga, akar-akar besar pohon sequoia, juga ranting yang telah patah dan mengering.
<>
Bayangan hitam bergerak cepat seperti meteor yang jatuh dan terhempas ke bumi. Lalu, bayangan itu semakin jelas terlihat diiringi aroma yang membuat Li Xue tersenyum senang. Pemuda itu khawatir sejak tadi. Ia mengirim pesan melalui cahaya merah yang dilontarkan ke langit dan berharap Yueliang Palace menerima pesannya. Dia tidak menyangka jika Wang Mo Ryu akan datang secepat itu. Dengan tampilan ala manusia. Mantel hitam elegan dan sepatu boot. Sementara rambutnya, dibiarkan tetap sepunggung dan hanya dikuncir setengah.Belum sempat Li Xue memberikan penjelasan, Wang Mo Ryu melangkah cepat ke tengah-tengah dermaga. Matanya menyorot khawatir ke dasar danau."Laoshi, tiba-tiba aktivitas dari kekuatan iblis Jufeng Mo berkurang drastis. Saya jadi agak khawatir," jelas Li Xue.Wang Mo Ryu berpindah lagi, belum puas sepertinya ia jika ia tidak memeriksa setiap jengkal danau itu. Sebenarnya, Wang Mo Ryu tidak terlalu mendengarkan penjelasan dari Li Xue. Wang Mo Ryu bahk
Lima belas tahun kemudian... "Ming Zhu! Kau di mana? Aku datang! Apa kau tidak merindukanku?" Napas Ming Zhu berubah cepat, bulu-bulunya menegang. Paginya berubah menjadi bencana mengingat Raja Zhian yang sepertinya tidak punya kerjaan. "Kamu kira, dengan bersembunyi di sini, Raja Zhian tidak akan menemukanmu? Lagi pula, sebagai seorang bawahan kau seharusnya menyambut kedatangannya. Sudah dua bulan dia tidak di istana!" "Kakak Zhao, kau tidak merasakan penderitaanku! Bertemu dengannya adalah neraka," sahut Ming Zhu dari balik meja. Di atas meja, Zhao Shen sibuk menuangkan teh yang baru saja ia seduh ke dalam cangkir keramik. Seketika, gerak tangannya terhenti ketika mendengar peryataan Ming Zhu. Zhao Shen menggeleng-gelengkan kepala, "Kamu bilang dia neraka?" katanya tidak setuju. Teh yang Zhao Shen siapkan adalah untuk Raja Zhian. Zhao Shen tahu, saat sampai di Yueliang Palace, Paviliun Ying yang pertama kali akan disambangi. Raja itu terlalu rindu pada serigala kecil kesa
"Laoshi! Jangan pergi! Muridmu ini memang bodoh!" Ming Zhu mengigau. Ia tertidur di anak tangga teras menuju kebun bunga."Ah, bisa-bisanya dia tidur di tempat seperti ini," Raja Zhian merendahkan tubuhnya dan mengusap rambut Ming Zhu. Sebenarnya tidak akan terlihat aneh jika saja Ming Zhu dalam wujud serigalanya. Kepala tertopang di atas tangan, bibir hampir menyentuh papan dan gaun yang berwarna biru muda di atas tanah, berada di antara ratusan kelopak ceri yang berjatuhan. Raja Zhian tidak mengerti, dimana pun itu, sepertinya adalah tempat yang nyaman untuk Ming Zhu tidur."Katakan! Apa kali ini Wang Mo Ryu membuatmu kesulitan lagi?" Raja Zhian merasa iba.Ming Zhu bergerak. Perlahan ia membuka mata dan tersenyum dengan bodohnya pada Raja Zhian. "Baginda! Kau datang? Apa kau membawa makanan untukku?" tanyanya."Aku ke sini...," penjelasan Raja Zhian terhenti.Ming Zhu tiba-tiba bergerak mundur. Ia menggeram sambil menyorot tajam ke satu arah.Raja Zhian memiringkan kepalanya. Ia ti
Satu kelopak bunga, terangkat dan jatuh secara bergantian di atas mangkuk yang diisi air. Ming Zhu belum bisa mengontrol energi dari ujung jarinya untuk menggerakkan kelopak bunga tesebut tanpa menimbulkan riak air. Akan lebih mudah baginya untuk membuat semua kelopak bunga di tanah bergejolak terbang, lalu ia fokuskan pada satu titik. Kelopak bunga akan berubah menjadi sisi tajam pedang jika itu terjadi dan membelah apa pun di sekitarnya. "Kenapa ini begitu sulit?" Ming Zhu mulai bosan. Ia merapatkan pipinya ke meja dan mulai bermain-main dengan bola-bola air yang melayang di antara mangkuk dan langit-langit ruang perpustakaan Pavilian Ying Hua. Kelopak bunga terperangkap dalam bola air tersebut. Dan bola air itu lebur ketika Ming Zhu melihat bayangan gurunya dalam gumpalan air tersebut. "Laoshi!" punggung Ming Zhu menegak. Wang Mo Ryu mendatangi Ming Zhu dan menatap muridnya itu cukup lama. "Bagaimana kesehatanmu?" tanya Wang Mo Ryu kemudian. Ming Zhu tidak menjawab.
"Ada apa?" Raja Zhian tidak tahan untuk tidak bertanya. Wang Mo Ryu tidak terlihat bersemangat untuk turun ke bumi. "Wajahmu juga terlihat lebih pucat." "Entahlah! Aku hanya merasa lemah. Setelah kasus ini, mungkin aku akan meminta waktu untuk bersemedi!" "Kau tidak harus ikut jika memang tidak enak badan!" Raja Zhian menasihati. Ia melihat Wang Mo Ryu seperti baru saja pulang dari pertarungan yang hebat. Yang begitu menguras energinya. "Apa itu karena Ming Zhu, kau seharusnya menyesal tidak membunuhnya dulu!" sela Yu Jian Hua. Wang Mo Ryu diam. Seolah terbiasa dengan kesinisan yang dilontarkan oleh Penasihat Istana, ia melanjutkan langkahnya. Benar, jika energinya terkuras saat bersama Ming Zhu. Tapi, itu hanya rutinitas yang harus ia jalani. Yang lebih buruk adalah sikapnya terhadap Ming Zhu di dua malam sebelumnya. Setelah kejadian itu, Wang Mo Ryu menjadi penakut. Ia berusaha menghindari Ming Zhu dan jika pun mereka berhadapan, tidak banyak yang bisa Wang Mo Ryu katakan. Segala
"Aku yakin, lambat laun monster itu akan mendatangi keturuan William Gaultier. Aura Alex terlalu kuat untuk ditumbangkan dan aura itu hanya akan menarik lebih banyak makhluk dimensi lain untuk mendekat. Sayangnya...," dengan lamban, mata Yu Jian Hua terbuka. Sebenarnya dari dua jam sebelumnya, Yu Jian Hua mencoba untuk tidur. Meski hanya dengan posisi duduk, dengan kepala bertopang pada kepalan tangannya. Memang jarang berhasil karena otaknya tak pernah berhenti berpikir. Ia masih tidak bisa membayangkan monster seperti apa yang melakukan pembantaian dengan merampas jantung manusia. Mungkin belum semua, tapi cukup banyak waktu yang dihabiskan Yu Jian Hua untuk membolak-balik kertas tua yang berisi tulisan-tulisan sejarah. Ilustrasi-ilustrasi makhluk yang menjadi mitologi di alam manusia, tidak luput dari perhatiannya.Tapi,"Cling!"Itu suara lonceng dari paviliun tempat tinggalnya, Paviliun Mudan. "Siapa yang berani menerobos masuk?" Yu Jian Hua tiba-tiba merasa geram. Ia tidak punya
"Ming Zhu! Dari mana saja kau?" Kakek Yin Dan bertanya.Ming Zhu menggelengkan kepala, "Tidak dari mana-mana!" gagapnya sambil berharap Kakek Yin Dan tidak melihat dirinya yang baru saja memasuki gerbang Paviliun Ying Hua."Kamu keluar?" Kakek melongok ke belakang Ming Zhu, gerbang masuk memang terlihat dari tempat mereka berdiri."Aku tidak berani," Ming Zhu tertunduk gelisah."Emmm. Memang harus begitu. Jangan buat masalah sementara Laoshi-mu tidak ada. Kembalilah ke kamar! Berhenti keluyuran. O, ya! Temui kakakmu dulu, Zhao Shen, dia panik mencarimu sejak dua jam lalu. Hampir saja dia menghubungi Wang Mo Ryu!""Memang Laoshi akan peduli?". Ming Zhu menggerutu di dalam hati. Lalu, apa yang terjadi jika Wang Mo Ryu menemukan kenyataan. "Bahwa aku telah melanggar aturan." Sebelumnya Ming Zhu ketakutan. Tapi, setelah dipikir lagi, Ming Zhu justru jadi penasaran. Hukuman seperti apa yang akan ia terima? Kekecewaan seperti apa yang akan gurunya sandang? Atau dia justru tidak peduli? "Lal
Yueliang Palace,"Kenapa bisa begitu ceroboh?" Ming Zhu mencari ke sana- kemari sambil memegangi dadanya. Setelah dua hari, baru ia sadar kalung anjing yang diberikan Wang Mo Ryu tidak lagi di lehernya. "Aku mendapat masalah di Paviliun Mudan karena loncengnya yang berbunyi," pikir Ming Zhu tentang di mana kira-kira benda itu jatuh. Karena setelah berjam-jam mencari di Paviliun Ying Hua, ia tidak menemukan apa-apa. Ming Zhu mengendap ke gerbang Paviliun Ying Hua, melongok ke sekitar, takut kalau ada yang melihat dirinya. Ming Zhu mungkin pernah mendengar samar tentang segel pelindung yang diucapkan Yu Jian Hua. Ia tidak terlalu mengerti. Hanya saja, ketika itu, Paviliun Mudan terlihat jelas dari tempatnya berdiri."Sekarang, aku mungkin bisa ke sana!" Ming Zhu masih yakin bahwa tiga petinggi istana masih berada di bumi. Seolah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, Ming Zhu melangkah keluar, mengikuti memori yang samar ke tempat yang ia pernah memijak. Jembatan kayu penghubung, ri