Bayangan hitam bergerak cepat seperti meteor yang jatuh dan terhempas ke bumi. Lalu, bayangan itu semakin jelas terlihat diiringi aroma yang membuat Li Xue tersenyum senang. Pemuda itu khawatir sejak tadi. Ia mengirim pesan melalui cahaya merah yang dilontarkan ke langit dan berharap Yueliang Palace menerima pesannya. Dia tidak menyangka jika Wang Mo Ryu akan datang secepat itu. Dengan tampilan ala manusia. Mantel hitam elegan dan sepatu boot. Sementara rambutnya, dibiarkan tetap sepunggung dan hanya dikuncir setengah.
Belum sempat Li Xue memberikan penjelasan, Wang Mo Ryu melangkah cepat ke tengah-tengah dermaga. Matanya menyorot khawatir ke dasar danau.
"Laoshi, tiba-tiba aktivitas dari kekuatan iblis Jufeng Mo berkurang drastis. Saya jadi agak khawatir," jelas Li Xue.
Wang Mo Ryu berpindah lagi, belum puas sepertinya ia jika ia tidak memeriksa setiap jengkal danau itu. Sebenarnya, Wang Mo Ryu tidak terlalu mendengarkan penjelasan dari Li Xue. Wang Mo Ryu bahkan tidak tahu jika Li Xue telah mengirim pesan ke langit, kecuali dari aroma api yang tercium samar di sana.
"Saat kau datang ke sini, apa kau melihat seseorang?" tanya Wang Mo Ryu masih dengan kekhawatiran yang besar. Beberapa menit yang lalu, lehernya seolah tercekat dan tiba-tiba pikirannya mengarah pada Diran. Sejak William meminumkan darah miliknya pada serigala itu, meski samar, Wang Mo Ryu bisa mendengarkan detak jantung Diran. Sekarang, detak itu seolah menghilang.
Li Xue menggeleng.
"Diran! Dia tadi di sini!" yakin Wang Mo Ryu ketika angin mendesir cukup kencang. Bau darah serigala itu tercium samar. Sepertinya hujan telah menyamarkan jejaknya. Wang Mo Ryu tidak ingin berpikir bahwa Diran telah mati, nyatanya ia tidak menemukan jasad serigala itu. Atau, belum menemukannya.
Yu Jian Hua, datang belakangan. Ia melangkah tenang, dan seperti menembus dinding transparan sosok itu sampai di dermaga menuju gazebo di tengah danau. Berbeda dengan penghuni Yueliang Palace lainnya, Yu Jian Hua jarang sekali turun ke bumi. Jika pun ke bumi, ia enggan merubah penampilan dan lebih enggan bergaul dengan para manusia. Jubah berlapis dengan warna cream bercahaya, menghadirkan pemandangan kontras dengan dua makhluk yang telah sampai lebih dulu.
"Hormat saya pada Penasihat Istana," Li Xue menyambut kehadiran Yu Jian Hua.
Yu Jian Hua menghargai Li Xue, tapi tentu saja Wang Mo Ryu yang menarik perhatiannya. Secara tidak sengaja, di istana, ia melihat Wang Mo Ryu yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Wang Mo Ryu jatuh dari pohon ceri dan darah sedikit mengalir dari sudut mulutnya. Di waktu bersamaan, Yu Jian Hua merasakan energi Jufeng Mo melemah. Seolah ada seseorang yang mengintervensi kekuatan itu, dan membuat Jufeng Mo tertidur sejenak.
"Apa yang terjadi?"
Wang Mo Ryu menggelengkan kepalanya. Ia masih tidak mengerti, sepertinya Diran memang melakukan sesuatu. Wang Mo Ryu memutar bola matanya, ke langit yang tampak keemasan setelah hujan, juga ke puncak-puncak pohon sequoia yang mendesir suram. Kegelisahannya memuncak, "Aku akan mencarinya," katanya perihal Diran.
Bola mata Yu Jian Hua bergerak turun. Sejak ia tidak merasakan energi hidup lain selain dirinya, Wang Mo Ryu dan Li Xue, tidak ada yang ingin ia lakukan. Atau, sebenarnya, segalanya akan sia-sia. Yu Jian Hua masih tidak bisa memahami mkahluk seperti apa sebenarnya Diran. Mereka hanya pernah berpapasan beberapa kali. Jika Diran memilki keterkaitan dengan Jufeng Mo, seharusnya Yu Jian Hua bisa merasakan aura negatif, seperti yang ia rasakan pada bayi kecil yang dibawa Wang Mo Ryu. Sekarang, kekuatan Jufeng Mo seolah terkunci, Yu Jian Hua jadi semakin penasaran tentang kekuatan seperti apa yang sebenarnya dimiliki Diran.
Sekali lagi angin mendesir tenang, dan dedaunan di hutan tua seolah menyambut itu dengan gembira. Tanpa peduli kesedihan yang kini merayapi Wang Mo Ryu. Ia yang tidak ingin begitu saja kehilangan detak jantung yang beriringan dengan detak jantungnya sendiri. "Diran!" teriak Wang Mo Ryu berkali-kali dan dedaunan di hutan tua mendesir tanpa memberikan petunjuk apa pun.
Tiga hari kemudian, barulah Wang Mo Ryu kembali ke istana. Tidak membawa apa pun, kecuali aura tubuhnya yang berwarna abu-abu. Keadaan memaksa Wang Mo Ryu menyerah. Bau serigala peliharaannya yang menghilang bersama angin, bermil-mil Wang Mo Ryu mengejarnya, hanya berakhir dengan sia-sia.
"Ya. Diran mungkin telah mati," batin Wang Mo Ryu masih tidak ingin percaya. Namun, Wang Mo Ryu tidak tahu sampai kapan keyakinan itu akan dipertahankan. Masih ada Ming Zhu, dan dia tidak boleh hidup dalam penantian dan keraguan yang berkepanjangan.
"Ming Zhu anak yang baik. Dia tidak pernah rewel. Ayahnya juga tidak pernah rewel," Wang Mo Ryu tersenyum sendiri membayangkan ketika pertama kali ia membawa Diran ke kediaman Wang Mo Ryu sebenarnya, Paviliun Ying Hua, Yueliang Palace. Wajah putihnya begitu disukai. Zhau Shen dan Yin Dan, para pengurus kediaman pribadi Wang Mo Ryu, setiap hari mereka mengejar Diran dan mempermainkan bulunya yang halus. Diran tidak punya pilihan karena Wang Mo Ryu melarangnya merubah diri menjadi manusia, kecuali Wang Mo Ryu yang meminta. Meski kadang-kadang Diran melawan juga ketika ia terlalu lelah dipermainkan. Zhao Shen dan Yin Dan segera berbalik pergi setelah Diran menunjukkan wajah manusianya. Mereka bilang tatapan Diran seperti tatapan elang yang tersesat di kutub selatan. Zhao Shen dan Yin Dan merasa seperti mangsa yang sebentar lagi akan dicabik-cabik oleh paruh elang tersebut. Mereka juga bilang Diran terlalu dingin untuk memilki tubuh serigala yang menarik hati.
Dia ada atau pun tidak ada, Wang Mo Ryu sebenarnya tidak ambil pusing. Kecuali rasa balas budinya pada William Gaultier, Wang Mo Ryu tidak punya alasan lain untuk menampung serigala putih itu. Wang Mo Ryu juga tidak punya keyakinan bahwa hati dan kesetiaan Diran akan sama dengan kesetiaannya pada William. Namun, ia tahu Diran telah berusaha. Tahun demi tahun berlalu, Diran selalu berjalan di belakangnya. Kadang, Diran menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng ketika ada yang mencoba menyerang Wang Mo Ryu. Waktu membuat Wang Mo Ryu terbiasa, dan sadar betapa pentingnya Diran. Yah, setidaknya dia tidak akan merasa kesepian.
Namun, Wang Mo Ryu juga sadar Diran tidak pernah sekali pun tersenyum saat bersamanya. Padahal, sudah cukup banyak melodi kegembiraan yang diciptakan Wang Mo Ryu. Zhao Shen dan Yin Dan juga orang-orang yang selalu ceria dan mampu menciptakan keceriaan di sekitar mereka. Dengan semua itu, secara luar biasa Diran tidak terpengaruh.
"Diran! Pilihlah satu mana yang kau suka!" perintah Wang Mo Ryu suatu waktu. Paviliun Ying Hua adalah gudangnya alat musik kecapi. Setiap kecapi yang ada di sana, memilki kekhasannya masing-masing. Selain bentuk dan ukirannya yang berbeda, setiap alat musik juga didatangkan dari tempat yang berbeda dengan membawa ceritanya masing-masing. "Kau harus mempelajarinya baik-baik, agar jika suatu hari aku merasa bosan, atau lelah, kau bisa menghiburku!"
Wang Mo Ryu hanya tidak menyangka jika Diran akan memilih Guqin dengan lima senar, salah satu yang tertua dari koleksi Wang Mo Ryu. "Setidaknya ini lebih sesuai di telingaku," katanya saat itu. Nada yang keluar dari senar Guqin memang lebih rendah dan berkarakter. Buruknya, setiap kali Diran memainkan kecapi itu, Paviliun Ying Hua kelam seketika. Dengan kukunya yang berwarna putih susu, senar bergetar, nada keluar bagai pisau dan mampu membelah ranting pohon ceri milik Wang Mo Ryu. Irama yang mampu mengundang angin dan awan hitam untuk bertandang.
"Aku berubah pikiran!" tahan Wang Mo Ryu segera. Ia tidak tahu dari mana Diran mempelajari alat musik Guqin. Tapi, sepertinya Diran cukup mahir dengan itu. "Sejak kau berada di Yueliang Palace, tingkah lakumu bisa mempengaruhi apa yang terjadi di bawah sana!" lanjut Wang Mo Ryu sambil memerhatikan badai yang menyerang bumi dengan ganasnya.
Gerak tangan Diran terhenti. Tentu saja, ia tidak menyadari apa yang terjadi. Bunga ceri yang berguguran di atas senar Guqin, hanya itu yang ia lihat.
Wang Mo Ryu ingin menasihati Diran untuk tidak menempatkan perasaannya terlalu dalam pada senar yang ia sentuh. Namun, Wang Mo Ryu tidak yakin Diran mengerti. Perasaannya sendiri saja, mungkin Diran tidak mengerti. Bukan perasaan marah mendalam, bukan pula perasaan sedih. Ia bermain tanpa ekspresi, seolah tidak menempatkan perasaan apa pun pada tiap tingkah lakunya. Hampa. Perasaan itulah yang meluap bagai pisau dan menyerang tanpa kenal apa dan siapa. Wang Mo Ryu seharusnya terkejut dengan kekuatan yang dimilki Diran. Hanya saja, ia memilih menutup mata untuk hal itu.
"Tuan! Tuan! Anda sudah kembali?" Zhou Shen menghampiri Wang Mo Ryu.
"Ada apa? Apa dia baik-baik saja?" tanya Wang Mo Ryu perihal sesuatu di gendongan Zhou Shen.
"Emmm, entahlah. Sejak kemarin Ming Zhu tidak membuka matanya, tapi badannya tetap hangat dan terlihat masih bernapas. Sudah beberapa hari ini dia tidak mau minum. Aku memberinya susu, dia memutahkannya."
Wang Mo Ryu menyambut Ming Zhu, kemudian tersenyum. "Aku mengerti," katanya sambil mengelus pipi Ming Zhu yang merekah di atas kulit putihnya yang bercahaya. Bola mata Ming Zhu berwarna cokelat, itu membuatnya terlihat berbeda dari ayahnya. Wang Mo Ryu kemudian melukai ujung jari kelingking dan mengarahkan ujung jari itu ke sudut mulut Ming Zhu. "Dia hanya akan meminum darahku, setidaknya sampai dia bisa mengontrol kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri," katanya masih tersenyum getir. Satu helaan napas mengiringi. Setiap isapan dari bayi itu pada pembuluh darahnya, Wang Mo Ryu menikmatinya. Tidak ada keraguan di diri Wang Mo Ryu, bahkan ketika semua orang harus takut dan ingin membunuhnya.
"Zhou Shen!" panggil Wang Mo Ryu.
"Ya, Tuan!"
"Kau harus menjaga Ming Zhu! Jangan biarkan dia keluar dari Paviliun Ying Hua, apa pun yang terjadi!" perintah Wang Mo Ryu.
Lima belas tahun kemudian... "Ming Zhu! Kau di mana? Aku datang! Apa kau tidak merindukanku?" Napas Ming Zhu berubah cepat, bulu-bulunya menegang. Paginya berubah menjadi bencana mengingat Raja Zhian yang sepertinya tidak punya kerjaan. "Kamu kira, dengan bersembunyi di sini, Raja Zhian tidak akan menemukanmu? Lagi pula, sebagai seorang bawahan kau seharusnya menyambut kedatangannya. Sudah dua bulan dia tidak di istana!" "Kakak Zhao, kau tidak merasakan penderitaanku! Bertemu dengannya adalah neraka," sahut Ming Zhu dari balik meja. Di atas meja, Zhao Shen sibuk menuangkan teh yang baru saja ia seduh ke dalam cangkir keramik. Seketika, gerak tangannya terhenti ketika mendengar peryataan Ming Zhu. Zhao Shen menggeleng-gelengkan kepala, "Kamu bilang dia neraka?" katanya tidak setuju. Teh yang Zhao Shen siapkan adalah untuk Raja Zhian. Zhao Shen tahu, saat sampai di Yueliang Palace, Paviliun Ying yang pertama kali akan disambangi. Raja itu terlalu rindu pada serigala kecil kesa
"Laoshi! Jangan pergi! Muridmu ini memang bodoh!" Ming Zhu mengigau. Ia tertidur di anak tangga teras menuju kebun bunga."Ah, bisa-bisanya dia tidur di tempat seperti ini," Raja Zhian merendahkan tubuhnya dan mengusap rambut Ming Zhu. Sebenarnya tidak akan terlihat aneh jika saja Ming Zhu dalam wujud serigalanya. Kepala tertopang di atas tangan, bibir hampir menyentuh papan dan gaun yang berwarna biru muda di atas tanah, berada di antara ratusan kelopak ceri yang berjatuhan. Raja Zhian tidak mengerti, dimana pun itu, sepertinya adalah tempat yang nyaman untuk Ming Zhu tidur."Katakan! Apa kali ini Wang Mo Ryu membuatmu kesulitan lagi?" Raja Zhian merasa iba.Ming Zhu bergerak. Perlahan ia membuka mata dan tersenyum dengan bodohnya pada Raja Zhian. "Baginda! Kau datang? Apa kau membawa makanan untukku?" tanyanya."Aku ke sini...," penjelasan Raja Zhian terhenti.Ming Zhu tiba-tiba bergerak mundur. Ia menggeram sambil menyorot tajam ke satu arah.Raja Zhian memiringkan kepalanya. Ia ti
Satu kelopak bunga, terangkat dan jatuh secara bergantian di atas mangkuk yang diisi air. Ming Zhu belum bisa mengontrol energi dari ujung jarinya untuk menggerakkan kelopak bunga tesebut tanpa menimbulkan riak air. Akan lebih mudah baginya untuk membuat semua kelopak bunga di tanah bergejolak terbang, lalu ia fokuskan pada satu titik. Kelopak bunga akan berubah menjadi sisi tajam pedang jika itu terjadi dan membelah apa pun di sekitarnya. "Kenapa ini begitu sulit?" Ming Zhu mulai bosan. Ia merapatkan pipinya ke meja dan mulai bermain-main dengan bola-bola air yang melayang di antara mangkuk dan langit-langit ruang perpustakaan Pavilian Ying Hua. Kelopak bunga terperangkap dalam bola air tersebut. Dan bola air itu lebur ketika Ming Zhu melihat bayangan gurunya dalam gumpalan air tersebut. "Laoshi!" punggung Ming Zhu menegak. Wang Mo Ryu mendatangi Ming Zhu dan menatap muridnya itu cukup lama. "Bagaimana kesehatanmu?" tanya Wang Mo Ryu kemudian. Ming Zhu tidak menjawab.
"Ada apa?" Raja Zhian tidak tahan untuk tidak bertanya. Wang Mo Ryu tidak terlihat bersemangat untuk turun ke bumi. "Wajahmu juga terlihat lebih pucat." "Entahlah! Aku hanya merasa lemah. Setelah kasus ini, mungkin aku akan meminta waktu untuk bersemedi!" "Kau tidak harus ikut jika memang tidak enak badan!" Raja Zhian menasihati. Ia melihat Wang Mo Ryu seperti baru saja pulang dari pertarungan yang hebat. Yang begitu menguras energinya. "Apa itu karena Ming Zhu, kau seharusnya menyesal tidak membunuhnya dulu!" sela Yu Jian Hua. Wang Mo Ryu diam. Seolah terbiasa dengan kesinisan yang dilontarkan oleh Penasihat Istana, ia melanjutkan langkahnya. Benar, jika energinya terkuras saat bersama Ming Zhu. Tapi, itu hanya rutinitas yang harus ia jalani. Yang lebih buruk adalah sikapnya terhadap Ming Zhu di dua malam sebelumnya. Setelah kejadian itu, Wang Mo Ryu menjadi penakut. Ia berusaha menghindari Ming Zhu dan jika pun mereka berhadapan, tidak banyak yang bisa Wang Mo Ryu katakan. Segala
"Aku yakin, lambat laun monster itu akan mendatangi keturuan William Gaultier. Aura Alex terlalu kuat untuk ditumbangkan dan aura itu hanya akan menarik lebih banyak makhluk dimensi lain untuk mendekat. Sayangnya...," dengan lamban, mata Yu Jian Hua terbuka. Sebenarnya dari dua jam sebelumnya, Yu Jian Hua mencoba untuk tidur. Meski hanya dengan posisi duduk, dengan kepala bertopang pada kepalan tangannya. Memang jarang berhasil karena otaknya tak pernah berhenti berpikir. Ia masih tidak bisa membayangkan monster seperti apa yang melakukan pembantaian dengan merampas jantung manusia. Mungkin belum semua, tapi cukup banyak waktu yang dihabiskan Yu Jian Hua untuk membolak-balik kertas tua yang berisi tulisan-tulisan sejarah. Ilustrasi-ilustrasi makhluk yang menjadi mitologi di alam manusia, tidak luput dari perhatiannya.Tapi,"Cling!"Itu suara lonceng dari paviliun tempat tinggalnya, Paviliun Mudan. "Siapa yang berani menerobos masuk?" Yu Jian Hua tiba-tiba merasa geram. Ia tidak punya
"Ming Zhu! Dari mana saja kau?" Kakek Yin Dan bertanya.Ming Zhu menggelengkan kepala, "Tidak dari mana-mana!" gagapnya sambil berharap Kakek Yin Dan tidak melihat dirinya yang baru saja memasuki gerbang Paviliun Ying Hua."Kamu keluar?" Kakek melongok ke belakang Ming Zhu, gerbang masuk memang terlihat dari tempat mereka berdiri."Aku tidak berani," Ming Zhu tertunduk gelisah."Emmm. Memang harus begitu. Jangan buat masalah sementara Laoshi-mu tidak ada. Kembalilah ke kamar! Berhenti keluyuran. O, ya! Temui kakakmu dulu, Zhao Shen, dia panik mencarimu sejak dua jam lalu. Hampir saja dia menghubungi Wang Mo Ryu!""Memang Laoshi akan peduli?". Ming Zhu menggerutu di dalam hati. Lalu, apa yang terjadi jika Wang Mo Ryu menemukan kenyataan. "Bahwa aku telah melanggar aturan." Sebelumnya Ming Zhu ketakutan. Tapi, setelah dipikir lagi, Ming Zhu justru jadi penasaran. Hukuman seperti apa yang akan ia terima? Kekecewaan seperti apa yang akan gurunya sandang? Atau dia justru tidak peduli? "Lal
Yueliang Palace,"Kenapa bisa begitu ceroboh?" Ming Zhu mencari ke sana- kemari sambil memegangi dadanya. Setelah dua hari, baru ia sadar kalung anjing yang diberikan Wang Mo Ryu tidak lagi di lehernya. "Aku mendapat masalah di Paviliun Mudan karena loncengnya yang berbunyi," pikir Ming Zhu tentang di mana kira-kira benda itu jatuh. Karena setelah berjam-jam mencari di Paviliun Ying Hua, ia tidak menemukan apa-apa. Ming Zhu mengendap ke gerbang Paviliun Ying Hua, melongok ke sekitar, takut kalau ada yang melihat dirinya. Ming Zhu mungkin pernah mendengar samar tentang segel pelindung yang diucapkan Yu Jian Hua. Ia tidak terlalu mengerti. Hanya saja, ketika itu, Paviliun Mudan terlihat jelas dari tempatnya berdiri."Sekarang, aku mungkin bisa ke sana!" Ming Zhu masih yakin bahwa tiga petinggi istana masih berada di bumi. Seolah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, Ming Zhu melangkah keluar, mengikuti memori yang samar ke tempat yang ia pernah memijak. Jembatan kayu penghubung, ri
"Tidak, Laoshi! Aku tidak bermaksud...", Ming Zhu mengigau. Rasa sakit menjalar ke seluruh tulang, seakan hancur berkeping-keping karena bertabrakan dangan angin, lalu jatuh.Tak mengerti mana yang lebih keras, apakah suara dentuman gunung dan petir yang menyambar, atau suara tubuhnya yang terhempas. Dua-duanya menyakitkan. Ming Zhu telah pingsan cukup lama sebelum memperoleh kesadarannya kembali. Sayangnya, Ming Zhu tetap tidak tahu di mana ia sekarang. Ketika menengadah ke atas, semuanya tampak hitam. Bersama barisan bintang yang tentunya terlihat lebih indah saat dilihat dari Paviliun Ying Hua."Laoshi!" sebut Ming Zhu di sisa-sisa tenaga yang ada di kerongkongan. "Laoshi, kau akan mencariku 'kan? Kau pasti mengkhawatirkanku. Pasti akan menjemputku." Tangan dan kakinya masih sulit digerakkan dan ia pun mulai mengantuk lagi. Memikirkan bagaimana perasaan Wang Mo Ryu sekarang, membuat Ming Zhu merasa lebih nyaman dengan ketidaksadaraannya kemudian. ....Pagi hari,Warna keemasan me