"Gimana Dad?"
"Perfect!"
Rose sedang mematut dirinya didepan cermin saat ayahnya Alex keluar dari dalam kamar.
"Jam berapa kamu mau ke kantor Rose?" tanya Alex dari arah dapur.
Jarak dari dapur dengan kamar mereka hanya berbatas dinding.
Rose sedang berdiri di depan kamar dia, dimana terdapat cermin berukuran satu badan peninggalan ibunya dulu.
Ibu Rose memang senang berlama-lama di depan cermin seperti kebanyakan wanita pada umumnya.
"Sebelum jam delapan aku harus sudah tiba disana Dad." sahut Rose sambil memakai heels lima centi berwarna hitam miliknya.
"Kalau begitu kamu sarapan dulu, Dady buatkan omelette mau?"
"Boleh ... tapi jangan lama-lama Dad."
Alex dengan sigap mengambil tiga butir telur dari dalam lemari pendingin, dan mulai meracik bumbu untuk sarapan omelette mereka berdua.
Lelaki paruh baya ini ingin memberikan semangat pada anak semata wayang mereka melalui makanan yang sejak kecil sangat disukai oleh Rose.
"Sebelum tanda tangan kontrak dibaca dulu isinya baik-baik Rose, walaupun gaji yang ditawarkan tinggi tapi kamu juga harus lihat ketentuan dan syaratnya yang lain!" ujar Alex mengingatkan.
Mereka sudah duduk berhadapan di depan meja makan dengan sepiring omelette yang masih mengepul diatas meja, serta air putih hangat disamping keduanya.
"Iya Dad." sahut Rose meniup-niup omelette miliknya agar cepat dingin. "Jangan lupa untuk mencari satu karyawan baru untuk bekerja di toko Dad. Aku tidak mau Dady kecapean nanti," sambungnya.
Alex mengangguk dan tersenyum hangat menatap Rose anak perempuannya, wajah serta mata Rose sangat mirip dengan istrinya.
Jika wanita yang dia cintai itu masih ada, dia pasti akan sangat bahagia dan heboh hari ini ingin ikut mengantarkan Rose pergi bekerja dihari pertamanya.
Alex rindu dengan wanita berdarah Meksiko itu, mereka sudah lama tidak pernah pulang ke negara penuh kenangannya bersama ibu Rose.
Selesai sarapan, Alex meraih kunci mobil diatas meja dekat pintu dan menyalakan mesin untuk memanaskannya.
"Jangan lupa untuk mencari pegawai baru ditoko Dad," ujar Rose mengingatkan lagi ayahnya.
"Iya ... ayo naik." ajak Alex membuka pintu mobil dan mendudukkan dirinya dikursi kemudi.
Perjalanan menuju perusahaan A, Corp menghabiskan waktu selama kurang lebih dua puluh menit lamanya.
Semakin mendekati perusahaan tempat dia akan mulai bekerja, Rose makin dilanda kegugupan luar biasa. Tangannya mulai berkeringat dan tidak bisa duduk dengan tenang di dalam mobil.
"Tenang saja Rose, jangan gugup. Tarik nafas yang panjang lalu buang perlahan...," ujar Alex menenangkan anaknya sebelum turun dari dalam mobil.
"Doakan aku Dad."
"Selalu, Nak. Dady selalu mendoakanmu setiap saat."
Rose tersenyum dan memeluk ayahnya penuh cinta. "Hati-hati Dad, aku masuk dulu...."
Rose melangkah masuk kedalam perusahaan berlantai dua puluh sebelum melapor pada satpam yang berjaga.
Memakai rok selutut berwarna hitam dengan garis putih dan kemeja putih berpita didada, Rose menghampiri resepsionis untuk bertanya dimana dia bisa menemui bagian HRD pagi ini.
"Selamat pagi nona Rose...," sapa seorang pria dengan setelan rapinya menghampiri Rose dimeja resepsionis.
Mendengar namanya disebut, Rose berbalik dan menatap kaget seorang pria yang sempat bertemu dengan dia dua tahun lalu.
"Selamat pagi...," sapa Rose kembali dengan sopan.
"Nona bisa ikut saya, bos sudah menunggu diatas," katanya lagi.
"Baik." sahut Rose dan berjalan mengikuti lelaki itu dari belakang.
"Saya Ace, asisten pribadi bos Allen!" ujarnya memperkenalkan diri saat mereka sudah berada dalam lift menuju lantai paling atas.
"Baik Tuan Ace."
"Panggil Ace saja, aku bukan tuanmu. Tuan kita hanya satu, yaitu bos Allen!" sahut Ace dengan dua tangan disaku celana.
Mereka berdiri saling bersebelahan dengan jarak yang cukup jauh di dalam lift berukuran 2x2 itu.
"Baik tu ... ah maksud saya Ace."
Ace tersenyum tipis, wanita ini sangat polos rupanya. Tidak tahu apa yang dipikirkan oleh bosnya hingga Allen mau menerima Rose sebagai sekretaris dia, tanpa wawancara ataupun tes terlebih dahulu.
Ting....
Bunyi pintu lift terbuka, Ace berjalan lebih dulu dan diikuti Rose dari belakang.
Lantai dua puluh adalah lantai khusus CEO A, Corp dimana terdapat dua ruangan lainnya selain ruangan Allen Clarck.
Rose mengedarkan pandangan matanya keseluruh penjuru lantai ini, dimana pemandangan laut langsung tersaji ketika pintu lift terbuka.
"Silahkan nona...," ujar Ace saat pintu kayu berukir rumit dibuka olehnya.
Rose mengangguk dan melangkah dengan gugup masuk keruangan bernuansa mewah dan elegan, dengan warna abu-abu dan hitam yang kental.
Calon bosnya sedang berdiri membelakangi dia dan Ace, ketika mereka tiba disana.
"Bos, nona Rose sudah disini."
Lelaki yang tampak gagah dari belakang itupun berbalik dan menatap wanita yang selama dua tahun ini dia cari.
Manik mata yang sama-sama biru itu saling menatap satu sama lain selama beberapa saat.
Rose semakin gugup saat lelaki yang dipanggil Allen oleh Ace tadi datang mendekat kearahnya.
"Duduklah," ujar Allen dengan suaranya yang dingin.
Rose berjalan dan duduk disofa berhadapan dengan Allen yang sedaritadi tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang hari ini mengikat tinggi rambut dia keatas, dengan makeup tipis diwajahnya.
Ace keluar karena merasa tugasnya sudah selesai untuk menjemput dan mengantar Rose dari bawah hingga keruangan sang Bos Mafia.
"Aku ingin mengucapkan terima kasih terlebih dahulu padamu, karena sudah menolongku waktu itu. Dan maaf karena baru bisa mengatakannya padamu hari ini, setelah dua tahun berlalu!"
Rose mengangguk cepat dengan tangan yang saling bertaut satu sama lain, entah kenapa tatapan mata lelaki yang akan menjadi bosnya ini terasa sangat berbeda.
Seketika Rose merasa takut dan gelisah karenanya.
"Tidak apa-apa Tuan, saya senang karena Tuan baik-baik saja setelah kejadian waktu itu...," sahut Rose jujur masih dengan rasa gugup dihati.
Beberapa kali dia membasahi bibir untuk menutupi kegugupan yang dia rasa, dan Allen memperhatikan itu semua sejak tadi.
"Iya, aku memang selalu beruntung. Aku masih bisa bangun setelah seminggu aku kritis."
"Se-seminggu?" sahut Rose terbata tidak percaya.
Allen mengangguk dan tersenyum tipis melihat ekspresi wajah dari wanita berbibir penuh didepannya ini.
"Astaga, kamu sudah terluka parah waktu itu tapi tidak mau aku bawa kerumah sakit? Untung saja kamu selamat, bagaimana nanti kalau tidak?" sambung Rose tanpa sadar sedang mengomeli bosnya sendiri.
Allen hanya diam tidak menanggapi ucapan Rose dan menatapnya dengan dalam, hingga wanita itu tersadar dengan ucapan spontan yang keluar dari mulutnya barusan.
"Ma-maaf tuan." Rose berucap dengan wajah tertunduk malu
Allen semakin tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Baru sekarang dia semudah ini tersenyum dengan orang yang baru dua kali dia temui.
"Tidak perlu meminta maaf, santai saja Rose. Lagipula memang aku yang tidak ingin kerumah sakit waktu itu, jadi jangan meminta maaf untuk hal yang bukan karena kesalahanmu!" sahut Allen masih dalam mode tersenyum.
Mendengar ucapan bosnya, Rose mengangkat kepala dengan perlahan dan melihat kalau lelaki berjambang itu tengah tersenyum menatapnya. Manis sekali ... batin Rose terpesona menatap sang Bos Mafia.
"Bersiaplah, kau akan ikut denganku hari ini!"
"Ha? Mau kemana Tuan? Bukannya kita akan membahas tentang kontrak kerja aku sebagai sekretaris Tuan?" tanya Rose bingung.
"Tidak perlu. Kamu akan bekerja denganku sampai aku yang memecatmu, dan untuk gaji ... kau akan digaji sama seperti sekretaris diperusahaan yang lain ditambah bonus dan uang lembur dariku jika kamu harus bekerja diluar jam kerja!" sahut Allen santai dan berdiri menuju meja kebesarannya.
Kontrak kerja macam apa ini pikir Rose, mana mungkin dia bekerja sedangkan tidak ada kesepakatan hitam dan putih diatas kertas.
"Jangan khawatir, kontrak kerjamu akan segera menyusul Ace sedang membuatnya!" sambung Allen yang menyadari kalau Rose pasti akan protes dengan ucapannya tadi.
Rose mengangguk dan membuang nafas lega, dia harus memastikan kalau pekerjaan dia disini benar-benar sesuai dengan jabatannya sebagai seorang sekretaris.
"Mejamu ada disamping sana," tunjuk Allen disebelah kirinya.
"Ki-kita satu ruangan bos?" tanya Rose terbata.
"Iya, apa ada masalah?"
Rose menggeleng lemah, astaga ... apa memang seorang sekretaris bos besar harus berada satu ruangan dengan bosnya?
Rose ingin sekali protes tapi tidak mau dianggap terlalu banyak menuntut sebagai pegawai baru disini, rasanya tidak etis jika dia mengatur sesuatu yang sudah ditetapkan oleh bos besarnya ini.
Allen tersenyum menang, setidaknya dengan mereka satu ruangan dia bisa setiap waktu menatap wajah Rose yang telah berhasil menarik perhatian dia sejak awal mereka bertemu.
Pagi-pagi sekali Allen sudah bersiap-siap untuk berangkat ke perusahaan A, Corp miliknya. Ace bahkan diminta untuk menjemput dia pukul tujuh tepat di Mansion. Memakai setelan jas berwarna hitam dengan sepatu berwarna senada yang mengkilat, Allen turun dari tangga melingkar dengan gagahnya. "Good morning Bos!" sapa Ace membungkuk memberi hormat Allen mengangguk dan keluar mendahului Ace menuju mobil mewah yang sudah terparkir di depan pintu kebaya mansionnya. "Silahkan Bos...." ujar salah seorang penjaga membukakan pintu mobil untuk bos mereka. "Apa kau sudah mengatur apa yang aku minta kemarin Ace?" tanya Allen saat mobil yang membawanya meluncur meninggalkan halaman mansion. "Sudah Bos. Semua sudah aku atur sesuai dengan perintah Bos!" sahut Ace melirik sekilas bosnya dari kaca spion di depan. Dia duduk dikursi kemudi denga
Sebulan sudah Rose bekerja di perusahaan A,Corp sebagai seorang sekretaris. Kini dia semakin lincah dan gesit dalam bekerja.Semalam Ace menghubungi dia untuk pagi ini sebelum jam tujuh, dia sudah harus datang ke sebuah alamat yang Ace kirimkan melalui pesan singkat semalam pada Rose.Dan disinilah dia sekarang, berdiri di depan sebuah cottage mewah pinggir kota dengan perasaan bingung.Untuk apa Ace memintanya kesini? Asisten bos mereka itu tidak mengatakan secara detail apa yang harus dia lakukan pagi ini setelah tiba di alamat yang dia kirimkan."Selamat pagi nona...," sapa seorang wanita paruh baya memakai seragam rapi."Pagi...," sapa Rose kembali."Mari nona, ikut saya kedalam." ajaknya dan berlalu masuk kedalam cottage.Dengan langkah pelan dan pikiran yang dipenuhi tanda tanya, Rose pun melangkah mengikuti wanita itu dari be
Perjalanan dari Kota Miami, Florida menuju Negara kincir angin Belanda membutuhkan waktu selama lima belas jam lebih lamanya. Selama berada di dalam pesawat jet pribadi milik sang Bos Mafia, Rose hanya duduk diam di kursi karena merasa pusing dengan perjalanan udara yang memakan waktu lama seperti ini. "Apa kau butuh sesuatu Rose?" tanya Allen mendekati tempat duduk sekretarisnya. Rose menggeleng dengan wajah yang sudah pucat pasi. "Lebih baik kamu tidur dulu di kamar Rose, aku akan meminta pramugari membawakan kamu teh hangat nanti." Rose mengangguk dan bangkit berdiri dari kursinya dengan lemah, menuju kamar dalam pesawat yang khusus disediakan untuk Allen jika dia ingin beristirahat. "Ace…!" panggil Allen setelah Rose masuk ke dalam kamar. "Iya Bos?" "Kenapa kamu tidak bilang kalau Rose akan s
Rose tertidur di kursi sofa dalam kamar hotel bosnya, setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Allen padanya tadi.Allen yang tidak tega melihat sekretarisnya yang tampak sangat kelelahan, mengangkat tubuh Rose keatas ranjang dan menidurkan dia disana.Sekilas Allen begitu menikmati wajah Rose yang mulus tanpa cela itu, dengan bibir yang merah merekah alami.Tanpa sadar lelaki itu mengusap dahi Rose dan memberikannya ciuman selamat malam.Astaga … apa yang aku lakukan? Gumam Allen dalam hati dan berdiri menjauh dari ranjang kamar hotelnya, dimana Rose sedang tertidur pulas.Lelaki itu merutuki dirinya sendiri karena berbuat hal yang menurutnya sangat aneh. Dia tidak pernah mencium seorang wanita dalam kondisi yang sedang tidur seperti ini.Ada apa dengannya? Pikiran-pikiran itu terus menghantui isi dalam kepalanya semenjak Rose bekerja dan dekat deng
Rotterdam merupakan salah satu kota terbesar yang ada di Belanda. Memiliki sejuta keindahan dan keunikan, membuat kota satu ini selalu tidak pernah sepi dari incaran pengunjung.Rotterdam sendiri mempunyai tempat wisata yang unik dan menarik. Dimulai dari museum, teater, wisata unik, dan balai kesenian.Dan siang ini, Ace membawa bosnya Allen bersama sekretaris mereka Rose menuju Rumah Kubus Rotterdam.Rumah yang dibangun dengan menggunakan arsitektur yang unik dan dicat berwarna kuning cerah berbentuk kubus, merupakan rancangan dari seorang seniman terkemuka Belanda bernama Piet Blom.Seniman tersebut memang selalu menghadirkan rancangan arsitektur bangunan yang unik dan kreatif, dalam setiap rancangan yang dihasilkannya."Tolong ambil gambarku Ace…." pinta Rose menyodorkan ponsel miliknya ke hadapan asisten sang bos."Biar aku saja!"&nb
Sekembalinya dari Belanda, Rose membelikan banyak buah tangan untuk ayahnya Alex dan Sonya sahabatnya.Bekerja sebagai seorang sekretaris dari perusahaan terkemuka dan terkenal seperti A,Corp memberikan banyak keuntungan untuk Rose.Ikut bersama Allen ke Belanda, Rose mendapatkan uang lembur yang cukup banyak dari lelaki berjambang itu.Sonya seketika iri dengan Rose yang sudah jalan-jalan gratis keluar negeri, bahkan bisa mendapatkan tambahan uang saku untuknya.Bahkan Rose tidak naik pesawat komersil seperti kebanyakan orang, yang ingin pergi menggunakan kendaraan terbang itu."Kamu bahkan berfoto dengan bosmu Allen, Rose?"Rose mengangguk. "Seperti yang kamu lihat…," ujarnya bangga."Astaga … kamu beruntung sekali Rose. Lalu ini siapa?" tanya Sonya menunjuk lelaki yang berdiri disamping Allen.
Saat jam makan siang tiba, Allen memilih untuk beristirahat di ruangannya. Meja kerja Rose yang berada di dekat meja kebesaran dia juga sudah lama kosong.Wanita itu pergi keluar untuk makan siang sejak tadi. Sempat berpamitan untuk mengisi perutnya yang keroncongan dan menawarkan untuk membelikan dia makanan, tapi Bos Mafia itu menolak.Dia hanya ingin istirahat sebentar di sofa, merebahkan dirinya di sana selama jam istirahat makan siang ini.Baru sekitar tiga puluh menit Allen tertidur di sofa kantor, lelaki itu dikejutkan dengan kedatangan Juliet di ruangannya."Sedang apa kamu disini?!" sentak Allen tidak suka.Meski banyak yang tahu Juliet adalah simpanan dia, tapi Allen tidak suka jika wanita yang selalu menghangatkan ranjangnya itu datang ke perusahaan dia, ataupun mengikutinya kemanapun."Kenapa marah-marah Al? Kamu tidak merindukan aku?" sahut Julie
"Maafkan aku Bos, aku tidak tahu kalau Bos sedang punya tamu tadi…." ujar Rose tertunduk.Entah kenapa malah dia yang merasa malu dengan kelakuan atasannya ini di kantor.Membayangkan kejadian mesum yang benar-benar menguji imannya yang jomblo, membuat hati Rose mencelos. Seketika dia juga ingin punya pacar yang bisa diajak bermesraan seperti itu."Itu bukan salahmu Rose, kamu tidak perlu meminta maaf….""Apa dia pacar Bos?" tanya Rose ingin tahu dan mengangkat kepalanya menatap Allen yang duduk di kursi kebesaran dia."Bukan.""Lalu?""Wanita pemuasku lebih tepatnya!" jujur Allen dengan wajahnya yang dingin."Hah? Maksudnya Bos?""Sudahlah, itu bukan urusanmu. Yang pasti dia bukan siapa-siapa bagiku!"Rose langsung menutup bibirnya rapat-rapat tidak berani
Akhirnya hari ini datang jugaAuthor rada² gak rela mau tamatin cerita ini, tapi setiap pertemuan pasti ada perpisahan...Author mau ngucapin terima kasih untuk semua pembaca setia Boss Mafia, I Love You yang selalu setia menanti up setiap hari...Juga untuk semua yang sudah mendukung cerita ini sampai tamat…Untuk sahabat sesama penulis Buenda Vania yang selalu setia author curhatin setiap saat,,Untuk teman-teman yang tergabung dalam Group Author Halu dan Group Author Bahagia…Terima kasih untuk setiap canda tawa selama ini,, sharing tentang segala macam hal dari yang serius sampe yang nggak penting…At least untuk suami dan anak tercinta yang selalu sabar dan mendukung hobi istri dan bundanya…I love you more ❤️By the way untuk karya kedua author sudah terbit yah guysJudulnya
"Kau mau ke mana lagi, Al?" rengek Rose memeluk suaminya posesif."Aku mau ke kamar mandi sebentar Baby, perutku sakit…," keluh Allen."Tidak boleh, kau harus tetap di sini bersamaku!""Astaga … lalu aku harus buang air disini Rose?" Wanita itu mengangguk dengan puppy eyes-nya.Semenjak hamil, Rose semakin bersikap manja padanya. Allen tidak diizinkan oleh wanita itu sedikit pun menjauh darinya.Bahkan untuk ke kamar mandi saja, Rose akan mengikuti pria berjambang itu ke dalam seperti saat ini. Rose sedang duduk di dekat dia yang sedang berkonsentrasi mengeluarkan tahap akhir isi dalam perutnya."Kau tidak jijik setiap hari menemaniku begini Rose?""Tidak.""Tapi aku yang malah jijik dengan diriku sendiri melihat kau begitu betah disini Baby…."Ro
Dua bulan setelah bulan madu di atas kapal itu, Rose keluar dari kamar mandi dengan wajah yang pucat.Sudah seharian ini wanita berambut panjang itu muntah-muntah di dalam sana. Allen sampai khawatir melihat keadaan istrinya."Kita ke rumah sakit saja Baby…." Rose menggeleng bersandar di dada bidang Allen yang memeluknya."Tapi aku khawatir melihat kau muntah-muntah begini sejak pagi Baby. Aku tidak tenang meninggalkanmu sendiri di mansion""Aku tidak apa-apa, Al. Kau pergilah bekerja, mungkin aku hanya salah makan saja kemarin."Allen berdecak, mulai jengkel dengan Rose yang tidak mau mendengarkan perkataannya. Pria itu kelimpungan sendiri mengurus wanitanya karena Amberd sedang berlibur ke luar negeri.Mau menghubungi Alex pun, pria itu tidak ada di Miami sekarang. Dia memilih kembali ke Mexico membuka usahanya di sana sembari menemani Eduardo
"Kapal pesiar?""Iya, kita akan berlayar selama seminggu penuh di atas laut."Allen mengajak Rose naik ke atas kapal pesiar berukuran cukup besar yang belum lama dia beli.Pria itu sengaja membelinya untuk hadiah pernikahan dia untuk Rose. Bahkan pada kapal badan tertulis inisial nama keduanya dan tanggal pernikahan mereka.Allen benar-benar memastikan hadiah ini akan menjadi kenangan untuk mereka berdua, sekaligus sebagai tempat bulan madu mereka setelah resmi menjadi suami istri."Ini sangat indah, Al…." Rose berdiri pada dek kapal, menatap hamparan laut luas di depan mereka. Kapal itu mulai bergerak saat keduanya naik ke atas sana."Kau suka?""Sangat, aku sangat menyukainya…," sahut Rose terkagum-kagum."Aku senang jika kau menyukainya Baby." Allen memeluk wanitanya dari belak
Tanggal sebelas di bulan sebelas adalah tanggal terindah untuk Allen dan Rose. Pasangan itu memantapkan hati untuk saling mengikat janji suci di depan pendeta.Rose berjalan mendekati Allen yang tengah menunggunya di depan altar, dengan mata yang berkaca-kaca.Wanita itu berjalan pelan ditemani Alex di sampingnya dengan mata yang sembab. Pria paruh baya itu tidak menyangka anak yang selama ini dia jaga dan dia rawat, kini akan menikah dengan seorang pria pilihannya.Teringat bagaimana Alex memberi pesan-pesan untuk Rose tadi saat mereka masih di ruang ganti pengantin."Hiduplah dengan bahagia, Nak. Daddy akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kau dan keluargamu. Mommy-mu pasti ikut bahagia melihat kau akan menikah hari ini."Rose tersenyum menggenggam tangan ayahnya. "Terima kasih, Dad. Terima kasih karena sudah menjaga aku sampai sekarang. Terima kasih juga karena tidak
"Kau senang?"Rose mengangguk penuh semangat. "Tentu saja, Al. Malam ini adalah salah satu malam terindah di hidupku.""Memangnya malam selain ini apalagi?" tanya Allen penasaran."Kau mau tahu?" Allen mengangguk."Malam di mana aku sadar aku sudah mencintaimu, Al." sahut Rose mengingat malam panjang mereka berdua."Benarkah? Boleh aku tahu kapan tepatnya itu?" Rose tertawa geli, malu untuk memberitahukannya pada Allen."Kenapa tertawa? Jangan membuatku penasaran Baby…." keluh Allen memeluk posesif wanitanya dari belakang."Aku malu memberitahukannya padamu.""Kenapa malu? Aku bukan orang lain Baby, aku calon suamimu sekarang!"Rose tersenyum dengan wajah memerah. Mendengar Allen berkata calon suami makin membuat hatinya berdebar tidak karuan. Rose merasa seper
"Cepatlah Rose, kita sudah terlambat!""Berisik!" sahut Rose keluar dari dalam kamar mereka.Wanita itu memakai gaun peach sampai ke mata kakinya dengan dada yang menyembul sempurna, dan punggung yang terbuka sampai ke batas bokong. Rambutnya diikat ke atas, memperlihatkan leher Rose yang jenjang.Allen mendekati wanitanya terpesona. "Kau memang selalu cantik dan menawan Baby…," puji pria itu merangkul pinggang Rose.Wanita bermanik mata biru itu hanya mencebik, menepis rangkulan Allen padanya. Rose masih kesal dengan pria berjambang itu, dia menganggap Allen tidak pernah peka dengan perdebatan mereka semalam.Meski terkesan seperti anak kecil, tapi Rose kesal saja Allen bertingkah seperti pria polos yang tidak mengerti apa-apa.Mereka pun naik ke mobil diantarkan salah satu anggota Blue Fire menuju venue tempat pernikahan Ace dan Sonya diadakan.
"Daddy…." panggil Rose mendekati Alex. "Kemarilah, duduk disini dengan Daddy." Pria paruh baya itu menepuk kursi bangku disampingnya. ""Kau sedang apa sendirian disini, Dad?" tanya Rose ikut duduk bersama ayahnya. "Menikmati pemandangan sore hari Rose. Biasanya Daddy dan mommy selalu duduk disini setiap jam begini." Rose mengernyit tidak mengerti. "Disini?" "Iya, Nak. Rumah kakekmu ini dulunya adalah tempat tinggal pertama kami setelah menikah," terang Alex mengingat kenangannya bersama ibu Rose. "Benarkah? Kenapa Daddy tidak pernah mengatakannya padaku kalau kita punya rumah lain lagi, selain rumah kita yang dulu?" tanya Rose tidak percaya. "Itu karena rumah ini terpaksa Daddy jual untuk biaya persalinan ibumu, Nak. Kami sangat susah dulu, bahkan untuk membelikan ibumu makanan yang dia suka saja Daddy tida
"Kau disini Ace?" Sonya kaget mendapati pria itu sudah lebih dulu berada di rumah orang tuanya.Wanita berlesung pipit itu dijemput oleh anggota Blue Fire di hotel sebelumnya atas perintah Ace."Duduk, Sonya!" perintah ibunya menatap tajam anak perempuan mereka."I-iya, Mom." Takut-takut wanita itu duduk di samping Ace yang tersenyum tenang menatapnya."Apa benar pria ini adalah calon suamimu?" tanya ibu Sonya tanpa basa basi.Sonya tertunduk tidak berani menatap kedua orang tuanya. "Iya, Mom … Dad.""Lalu benar kalau dia sudah menghamilimu?" tanya wanita paruh baya itu lagi.Sonya mengangguk, tidak berani bersuara. Ace tengah menggenggam tangannya dengan hangat, seakan memberikan ketenangan di hati wanitanya.Dua pasangan suami istri itu saling menatap satu sama lain, dan kompak menghembuskan nafas panja