"Hentikan, Pak!" Seru Leona ketika tangan kekar Nathan mulai menarik resleting baju yang sedang ia kenakan. "Apa bapak sudah gila?"
'Kau yang sudah membuatku tergila-gila, Leona,' batin pria itu. Dia bahkan sudah hampir mati karena harus menahan hasrat yang kian memburu.Apa dia pikir selama ini tidur bersama adalah hal yang mudah Nathan lalui? Pria itu bahkan harus mati-matian menahan gejolak rasa yang teramat sulit hanya karena dia tidak ingin menyentuh istrinya sendiri.Kesepakatan sudah dibuat, mereka menikah karena status dan tidak akan pernah membiarkan orang lain tau hal ini.Tetapi kecantikan Leona sungguh membuatnya lupa hingga Nathan hampir gila dibuatnya."Kau tidak lupa dengan kesepakatan yang kita buat sebelumnya 'kan, pak?" tanya Leona saat sukses menggenggam tangan Nathan, menahannya agar tidak melanjutkan aksi yang hendak dilakukan.Deru nafas Nathan kian memburu. Peluh sudah mengalir di pelipisnya. Kancing yang sudah terlepas tanpa sisa, memperlihatkan dada bidang Nathan juga perutnya yang sikpack.Susah-susah Leona menelan saliva ketika manik matanya menatap pemandangan di depan. 'Jangan bodoh kau, Le. Kau bahkan tidak boleh jatuh cinta padanya hanya karena ketampanan yang dimiliki pria itu.' Elaknya dalam hati."Aku ingat dan akan selalu ingat, Leona."Senyuman tipis itu kembali mengembang. "Syukurlah. Kalau begitu hentikan aksimu ini, pak?""Bagaimana jika aku menginginkannya?" tanya Nathan. Membuat bola mata Leona membulat sempurna."Apa aku tidak salah dengar?""Kupingmu rusak?"Wanita itu cepat menggeleng. "Aku tidak mau.""Kenapa?" tanya pria itu penasaran. Mendekatkan wajah tepat di hadapan Leona."Karena aku tidak pernah mencintaimu. Untuk saat ini, esok, dan selamanya."Pria itu mendecih. "Hati-hati mulutmu bicara. Atau kau akan menyesal.""Tidak akan.""Kau tau? Di luar sana ada ribuan wanita yang antri ingin memilikiku seutuhnya. Dan aku malah memilih wanita gila sepertimu dalam hidup ini."Leona melotot tak suka. Apa dia pikir selama ini dia bahagia bersanding dengannya? Kalau bukan karena ibu Diana yang menjodohkan mereka juga Leona ogah menikah dengan Nathan dan meninggalkan sang mantan tercinta."Bapak pikir saya pernah menginginkan pernikahan ini?" Leona menggeleng. "Kalau saja waktu bisa diputar, lebih baik saya tidak menikah seumur hidup saya dari pada harus menikah dengan bapak, huh."'Dasar wanita tidak tau diuntung,' batinnya bicara. Nathan yang sudah hampir kehilangan kendali refleks mendorong tubuh Leona dan mengukungnya hingga wanita itu tak bisa berkutik lagi."Pak, hentikan!"Nathan tak menanggapi. Bahkan saat Leona berteriak sekalipun. Percuma. Tidak akan ada seorang pun yang mendengar. Di tempat ini hanya ada mereka berdua."Pak, saya mohon. Jangan lakukan itu, hiks-hiks!" Wanita itu menangis sesenggukan. Tetapi Nathan tidak peduli."Tenanglah. Aku akan menciptakan malam yang indah ini untukmu." Senyuman itu terbit dari bibir Nathan sebelum akhirnya pria itu mulai melakukan aksinya merenggut kesucian Leona yang selama ini dijaga.***Nathan mengacak rambutnya frustrasi. Dia kembali mendekat ke arah istrinya yang masih duduk termangu di lantai."Apa kau yakin dengan ucapanmu itu?"Leona mendongak. "Menurutmu? Apa aku sebercanda itu, mas? Jika memang kau tidak percaya dengan tespack ini, kita bisa pergi ke dokter kandungan untuk memastikannya.""Tapi aku sudah menggunakan pelindung agar kau tidak sampai hamil, Le.""Mas? Meskipun kamu sudah memakai pelindung, hanya sembilan puluh persen upaya untuk pencegahan kehamilan. Tapi sisanya?" Leona mengedikkan bahu. "Masih ada sepuluh persen kemungkinan untuk hamil.""Aku ..., arghh.""Apalagi kau melakukannya saat tiba masa suburku, mas.""Astaga! Kenapa kau tidak bilang, sih?"Leona melotot. "Aku bahkan sudah menolakmu berkali-kali tetapi kau tetap memaksa, mas? Dan sekarang kau menyalahkanku karena aku hamil?" Air mata Leona runtuh saat itu juga.Dasar pria berengsek. Habis manis sepah dibuang. Setelah mendapatkan kenikmatan bersama istrinya, dengan gampangnya dia menolak menerima kenyataan bahwa Leona hamil."Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya belum siap kalau kau hamil sekarang."Leona mendecih. "Segampang itu kamu bilang belum siap hamil, mas?""Punya anak bukan perkara mudah, Le.""Terus mau kamu apa, mas?" tanya Leona sarkastis. Sementara yang diajak bicara hanya diam mematung. "Jangan katakan kalau kamu ingin aku menggugurkan calon anak kita, mas?""Kenapa pikiranmu buruk sekali terhadapku?""Aku tidak menilai buruk tentangmu. Tetapi sikapmu yang menunjukkan itu semua."Senyum Nathan terbit di kedua sudut bibirnya. Sebelum akhirnya pria itu mengangguk dan berkata. "Pandai sekali bicaramu.""Aku hanya mengatakan berdasarkan apa yang kulihat, mas. Aku tau dan aku sadar betul betapa tak sukanya kamu dengan pernikahan kita. Begitu juga denganku, kamu pikir itu gampang, mas?""...." Nathan tak menanggapi. Pikirannya benar-benar kacau. Dia belum siap punya anak, tapi dia juga tidak tega jika harus menyuruh Leona menggugurkan bayi itu. Semenyebalkan Nathan, bukan sifatnya menjadi seorang pembunuh. Apalagi darah dagingnya sendiri."Jawab, mas?" Sentak Leona. Netranya lalu terpejam, meresapi rasa sakit yang kini memenuhi rongga dadanya. Rasa sakit itu menyeruak hingga membuat dadanya sesak."Aku tidak akan menyuruhmu menggugurkan kandungan," ucap Nathan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Leona sendirian.Leona meremas kasar wajahnya lalu beranjak ke kasur dan duduk. Baru saja ketika wanita itu hendak mengambil segelas air mineral di atas nakas, ponselnya tiba-tiba berdering. Benda pipih itu menyala seolah-olah menimbulkan bunyi.Tanpa pikir panjang, Leona segera mengambilnya dan membaca satu nama yang tertera di atas layar. Rupanya Dea, sahabat Leona di kantor. Dia langsung menggeser tombol hijau ke atas layar dan mulai berbicara."Halo," sapa Leona dengan nada parau."Le, are you okay? Aku telpon dari tadi enggak kamu angkat-angkat?"Leona mengernyit. 'Perasaan dari tadi enggak ada HP bunyi,' gumam Leona. Dia lalu mengecek ponselnya dan mendapati beberapa panggilan masuk dari sahabatnya beberapa menit yang lalu.Mungkin saat sedang ribut dengan Nathan hingga dia tak menyadari jika ponselnya bunyi."Sorry, tadi aku lagi ke kamar mandi," alibi Leona."Yakin?"Leona mengangguk. "Iya, De. Aku baik-baik aja, kok. Kamu belum tidur?"Dea mendesah. "Aku kepikiran kamu terus, Le. Apalagi sama kejadian tadi siang di kantor. Yang sabar, ya? Kalau kamu perlu bantuan atau sekedar mau curhat, aku siap kok jadi pendengar buat kamu."Leona menghela napas panjang. Ucapan Dea mengingatkannya tentang masalah di kantor yang bahkan belum menemukan solusi. Dan sekarang ... ia harus dihadapkan lagi dengan kenyataan bahwa dirinya sedang mengandung anak Nathan - bosnya sendiri di kantor.Apa kata orang-orang nanti jika mereka sampai tau?"Le? Kamu dengar aku ngomong, 'kan?""I-iya. Aku dengar kok.""Kamu tenangin diri kamu dulu, ya? Soal Pak Nathan, jangan terlalu kamu pikirin. Kita 'kan sama-sama tau bos kita kayak apa.""Hm.""Btw, besok aku jemput kamu ke rumah, ya? Udah lama nih kita enggak berangkat bareng.""Tapi, De.""Enggak ada alasan apapun, Le. Pokoknya besok aku ke rumah kamu. Bye, Le."Tut.Panggilan berakhir saat Dea memutuskannya secara sepihak."Mati aku!" Leona menepuk jidatnya pelan.Sinar matahari yang keemasan, menyeruak masuk melalui celah tirai. Bersamaan dengan bunyi alarm yang cukup nyaring, membuat Leona terusik dalam lelapnya.Wanita itu membuka mata, mengerjapkannya perlahan. Setelahnya menoleh ke samping, di mana dia dapati Nathan masih meringkuk membelakangi tubuhnya dalam balutan selimut tebal berwarna putih.Masalah semalam belum mereda. Leona menghela napas panjang. Perlahan-lahan, dia bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh muka.Setelah keluar, diliriknya jam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul enam pagi. Dia harus bersiap ke kantor sekarang. Tidak peduli seberapa besar masalah yang menghadang. Dia akan menghadapinya.Meski raga rasanya ingin menyerah, namun hari ini. Ada calon malaikat kecil yang tumbuh dalam rahimnya harus ia rawat dan ia jaga dengan sebaik mungkin.Meski dia datang bukan sebagai pengharapan, tapi dia suci dan tidak memiliki dosa. Saat ini ..., bukan karena cinta Leona akan berusaha mati-matian memp
Mobil Nathan sudah berhenti tepat di halaman kantor. Bebarengan dengan degup dada yang bertabuh kencang, Leona refleks menundukkan badannya."Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Nathan dengan santainya. Membuat Leona ingin sekali menoyor itu kepala Nathan. Tidakkah dia berpikir kalau semua ini gara-gara dia."Pup." Jawab Leona asal."Kau gila? Kalau mau pup di toilet bukan di sini. Apa kau mau tanggung jawab kalau sampai mobilku kotor karena ulahmu yang konyol itu?"Leona memutar jengah kedua bola matanya. Bisa-bisanya dia sepolos itu mempercayai kata-katanya, astaga! Dosa apa aku di masa lalu bisa sampai menikah dengan pria menyebalkan bin keterlaluan macam Nathan ini.Otaknya memang pintar, tapi sifatnya sungguh membuat Leona mungkin akan mati cepat. Wanita itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menjelaskan pada Nathan."Aku sedang bersembunyi jika kau tau. Memangnya kau ingin orang kantor curiga kalau sebenarnya kita sudah menikah?" Nathan tertawa cekikikan."Kenapa kau terta
"Apa kalian tidak punya pekerjaan lain selain mengobrol saat jam kerja?" tanya Nathan dengan kedua alis yang menukik tajam. Satu tangannya di masukkan ke dalam saku celana dengan atensinya yang menatap pada sosok Leona, Dea dan juga Joshua secara bergantian.Tak mau ambil pusing, Joshua yang berada di sana pun lantas pergi usai berpamitan pada Leona."Saya duluan. Le, jangan lupa nanti siang, ya?" Pria itu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Membuat Nathan yang melihat hal itu mendecih tak suka."Ma-maaf, pak. Tadi kami—.""Tidak ada yang menyuruhmu bicara," sergah Nathan mendengar kalimat yang hendak diucapkan Dea. "Dan kau—," menunjuk ke arah Leona, "ikut ke ruangan saya sekarang!" Titahnya.Pria itu langsung berbalik meninggalkan dua karyawannya yang masih berdiri mematung di tempat."Menyebalkan, huh!""Sabar!" Dea menghela napas sembari mengelus punggung sahabatnya lembut. "Kau berhutang cerita denganku.""Hm.""Pergilah! Atau masalahmu akan semakin berat. Kau tau 'kan
Huek huek!"Kamu kenapa, Le?" tanya Joshua saat tengah menikmati makan siang bersama di kantin kantor. Tanpa menjawab pertanyaan sang pria, Leona langsung beranjak pergi menuju toilet yang berada di belakang kantin. Membuka pintu, lalu memuntahkan semua isi perutnya yang membuatnya mual.Sebenarnya sudah sejak tadi pagi Leona merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tapi wanita cantik itu tetap memaksakan diri untuk masuk kantor. Di sisi lain, Dea yang baru datang ke kantin melihat Joshua dengan raut wajah cemasnya membuat wanita itu langsung menghampiri. "Jo, kamu kenapa? Leona ke mana? Kalian janjian makan siang, kan?" tanya Dea sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari keberadaan sahabatnya tetapi hasilnya nihil."Dia lagi ke toilet. Kayaknya dia sakit, deh!" Ujarnya."Hah?""I-iya. Soalnya tadi mendadak pengin muntah dianya.""Aku duluan." Pamitnya sambil berlalu pergi."De. Kamu mau ke mana?""Ke Hongkong, ya nyusul Leona lah, aneh."Joshua mengacak rambutnya frustr
"Duduk!" Titah Nathan kepada Leona saat sudah sampai di ruangan. Tetapi sayangnya, karyawan cantik itu menolak tak suka karena bosnya yang pemaksa."Tidak mau.""Siapa yang menyuruhmu makan dengan Joshua?" tanya Nathan tanpa menatap ke arah Leona.Si cantik itu hanya mendecih sambil memutar jengah kedua netranya. "Bukan urusan bapak. Mau saya makan dengan siapapun suka-suka sayalah.""Apa kau melupakan sesuatu?"Wanita itu terdiam."Kau masih istriku, Leona."Leona mendecih. "Saya perhatikan bapak selalu mengingatkan akan hal itu. Asal bapak tau saja, saya tidak pernah lupa dengan status kita ya, pak. Tetapi hal itu tidak berlaku saat di kantor, bukan? Di sini, bapak adalah bos saya dan saya adalah karyawan bapak.""Oh. Mulai berani kau, ya? Kau tidak sadar ya, bukankah kau menolak hukuman tidak digaji selama setahun?" tanya Nathan sambil tersenyum getir ke arah Leona. "Itu artinya ... pilihan kedua menjadi keputusan akhirmu, Leona."Shit!'Sialan! Ternyata Nathan benar-benar serius d
Nathan tersenyum kecut."Aku serius, Nath," ucap Joshua kemudian. Pria itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana sambil menyenderkan punggung. Menatap segelas air teh dalam gelas yang masih utuh, mengundang tanya bagi Joshua. "Buat siapa? Aku pikir kau masih belum menyukai minuman seperti ini.""Tidak penting itu untuk siapa." Nathan mendecih tak suka. Pria itu melangkahkan kaki menuju jendela. Sengaja membelakangi sahabatnya karena tidak ingin melihat wajah menyebalkan Joshua. "Nath?" Panggil Joshua.Yang diajak bicara hanya menoleh sekilas sambil bergumam pelan."Boleh aku minta bantuanmu?""Katakan!""Buat aku bisa dekat dengan Leona."'Ini gila!' Batin Nathan. 'Kau pikir dia siapa, huft!' "Kau dengar aku bicarakan, Nath?""Yeah.""Ayolah!""Sejak kapan kau menyukainya?""Setahun yang lalu.""Jadi kau putus dengan Klara karena Leona?" Tebak Nathan kemudian berbalik ke arah pria itu. Sahabatnya pernah berpacaran dengan Klara sebelumnya - teman seperkuliahan Joshua semasa dulu.
"Apa-apaan ini," umpat Nathan sembari membanting ponselnya kasar di atas meja. Sebuah foto berhasil masuk melalui pesan yang dikirimkan oleh seseorang hingga membuat emosi Nathan mencuat.Tanpa pikir panjang, Nathan langsung menelpon Leona saat itu juga. "Halo.""Ha-halo, Pak," jawab Leona gugup. Baru juga ditinggal sebentar, sudah langsung menelpon. Menyebalkan."Sedang apa kamu?""Kerjalah, Pak.""Kau yakin?" Nathan memastikan. Sementara Leona langsung menoleh ke samping di mana ada Dea di sana. 'Kenapa?' tanya Dea tanpa bersuara. Tetapi sahabatnya tak menjawab."Yakin, Pak. Ini saya masih mengerjakan laporan yang bapak minta.""Nanti sore pulang bareng saya!" Titah Nathan."Hah?! Tapi, pak.""Tidak terima alasan apapun."Tut.Panggilan berakhir. Nathan memutuskannya secara sepihak. Si cantik Leona hanya mengernyitkan kening bingung."Ada apa, Le?" Dea bertanya keheranan. "Pak Bos nelpon kamu? Baru juga dipanggil ke ruangan kan?"Leona mengedikkan bahu. "Entahlah.""Emang dia ngo
"Sialan!" Umpat Nathan dalam hati ketika melihat Joshua berdiri di depan pintu. "Ngapain dia ke sini?" Gumamnya sambil mengacak rambutnya frustrasi. Dia melirik ke arah Leona yang tengah berdiri menatapnya dari atas tangga."Siapa?" "Joshua."Leona membulatkan mata."Kenapa kau masih diam di situ, hem?" Nathan gemas sendiri melihat istinya."Aku ....""Cepat sembunyi, atau kau akan ketahuan jika sudah jadi istriku."Wanita itu menurut, dia pergi ke kamar dan menguncinya rapat. Membiarkan Nathan menemui Joshua.Ceklek"Lama banget buka pintunya," keluh pria berambut pirang itu dengan raut wajah yang bersungut kesal. Memilih untuk langsung masuk dan duduk dengan kasar di sofa.Nathan tak menjawab."Kerjaan gimana?""Oke.""Barusan aku ketemu sama Leona," ucap Joshua. "Apa hubungannya denganku?" tanya Nathan sarkastik."Soal kesalahannya. Aku tau kau
Nathan panik hingga terus memaksa istrinya untuk pergi le rumah sakit. Apalagi ini kehamilan pertama untuk keluarga Leonath. Tentu tidak akan Nathan biarkan hal buruk menimpa istri dan janin dalam kandungan."Aku nggak papa, mas. Perutku cuma kram," lembut Leona berusaha menenangkan sang suami. "Yakin nggak papa?" Nathan memastikan.Wanita cantik itu mengangguk sebelum akhirnya mengembangkan senyuman. "Aku udah sempet konsultasi sama dokter kandungan, bahkan aku juga punya nomor teleponnya. Hal ini wajar terjadi karena biasanya karena kecapekkan, mas?" Leona menjelaskan dengan netra yang menatap lekat kedua bola mata suaminya."Betul, le. Leona memang sepertinya kecapekkan, belum sempat istirahat usai acara empat bulanan, eh langsung gas pulang kampung," imbuh Bu Leni yang sudah berpengalaman itu. "Saran ibu, apa tidak sebaiknya Leona istirahat dulu. Kalau kamu nggak keberatan, Leona bisa tinggal di sini sama ibu dan Alya," usul Bu Leni."Asal Mas Nathan ngizinin, aku iya aja sih, Bu
Nathan baru sempat menyusul masuk setelah obrolannya lewat telepon dengan Joshua selesai. Pria pemilik Diana Beauty itu tidak habis pikir dengan pemikiran Joshua yang terus saja berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan sang istri."Halo.""[Nathan. Gue pikir lo udah nggak mau angkat telepon gue lagi.]""Mau apa lagi?""[Gue cuma mau istri lo, Nath.]""Ck." Nathan mendecih. "Itu nggak akan pernah terjadi, Jo. Leona itu istriku. Kami sudah sah secara agama dan hukum.""[Tapi kalian masih bisa bercerai. Dan aku akan menikahi Leona.]""Jangan mimpi, Jo. Leona sedang mengandung anakku.""[Kamu tenang saja! Aku akan merawat anak itu seperti anak kandungku sendiri.]""Kurang ajar! Kenapa—.""[Kalau gue enggak bisa bahagia dengan Leona. Gue juga enggak akan biarkan Leona bahagia dengan siapapun termasuk lo, Nath.]" Tandas Joshua yang langsung memutuskan panggilan secara sepihak.'Keterlaluan.' Geram Nathan. Dia tidak terima dengan pernyataan Joshua. Tidak cukupkah dia yang ingi
"Siap?" "Lets, go!" Sorak Leona yang antusias akan pergi ke kampung halamannya. Wanita hamil empat bulan itu terlihat cantik meskipun hanya mengenakan dress selutut warna putih yang dibalut dengan blazer berwarna navy. Senada dengan sang suami - Nathan juga mengenakan kemeja panjang berwarna Navy berpadu dengan celana jeans hitam panjang.Tepat jam sepuluh pagi, setelah semuanya siap dengan barang-barang yang akan di bawa, mobil Nathan melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan Ibukota yang cukup ramai."Ibu belum ngabarin Alya kan kalau kita sedang perjalanan pulang?" tanya Leona kepada Bu Leni yang duduk di kursi belakang."Ini ibu baru mau ngabarin," jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas berlogo dior itu. Ya, wanita berhijab coklat tua itu selain mendapat hadiah rumah dari sang mantu, dia juga mendapat tas branded dari Leona. Katanya Leona sudah bosan pakai tas tersebut, itu sebabnya dia memberikan tas tersebut untuk Bu Leni."Jangan dulu, bu!" Sergah Leona cepa
Jam 7 pagi"Ibu mau ngapain?" tanya Ijah yang tengah sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring sisa semalam di wastafel."Saya mau bikin sarapan, Bi?" Bu Leni membuka kulkas, mengambil beberapa bahan masakan seperti sayuran dan daging. Alhamdulillah, semua makanan untuk acara empat bulanan Leona ludes tak bersisa.Semua orang terlihat menikmati semua makanan olahan yang disajikan dalam prasmanan malam itu. Sisanya dibagikan ke warga supaya tidak mubadzir."Ibu duduk saja! Nanti biar saya yang masak.""Nggak papa, Bi. Santai aja, nggak usak sungkan begitu.""Hehe ....""Ini Leona sama mantuku belum bangunkah?" lirihnya ketika mengupas kentang di meja. Wanita itu merasa menyesal karena mengingat kejadian semalam yang lagi-lagi tak sengaja memergoki menantu dan anaknya yang hendak beribadah.Pluk!Bu Leni menepuk jidat."Kenapa, Bu? Sakit kepala?""Nggak papa, Bi.""Ehem-ehem!" Suara seseorang berdehem yang tak asing itu membuat Bu Leni dan Ijah kompak menoleh menuju sumber suara. Mendapa
Nathan menghela napas lega. "Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar," ucapnya saat duduk mengamati setiap rangkaian acara yang sedang berlangsung.Pria berpakaian koko putih yang dipadukan dengan kain sarung berwarna hitam itu tampak tersenyum senang melihat acara 4 bulanan istrinya berjalan dengan khidmat. Pembacaan ayat suci Al-quran pun ikut mengiringi hari bahagia mereka di rumah keluarga Nathan."Alhamdulillah," ucap syukur Bu Leni."Leone lega banget, bu. Akhirnya acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun," senyum bumil itu merekah dari kedua sudut bibirnya yang dihiasi lipstik berwarna nude."Iya, nduk. Jujur tadi pagi ibu sempet panik gara-gara masalah ayam. Untung suamimu cerdas bisa menyelesaikan masalah dengan cepat.""Ya kalau nggak cerdas mana mungkin anakmu mau, bu." Leona terkekeh mengingat usaha keras sang suami yang patut diacungi jempol.Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengendalikan persoalan ayam yang belum disembelih, belum lagi urusan m
Leona terkejut. Wanita hamil itu pun langsung berbalik ke belakang untuk membangunkan sang suami."Eh, belum dijawab ibu le tanya kok udah ditinggal pergi." Bu Leni garuk-garuk kaki, bukan. Maksudnya kepala.Sementara di dalam, Leona sedang susah payah membangunkan Nathan yang terlihat masih mimpi di pulau kapuk hingga nampak pulau baru yang tergambar di bantal.'Ganteng-ganteng kok ngiler sih kamu, mas.' Gumamnya sambil mengguncang tubuh atletis pria itu yang masih polos tanpa sehelai benang.Keterlaluan sih, bisa-bisanya mereka bermain tanpa jeda hingga adzan subuh. Ente kadang-kadang ente."Mas!" Nathan tak bergeming. Pemilik pabrik kosmetik itu tetap mendengkur dengan posisi tengkurap dengan bibir yang mengaga sedikit."Nduk?" Leona menoleh menuju sumber suara lantas menepuk jidat. "Ya Allah, ibu masih nunggu di luar." Buru-buru dia keluar untuk menemui Bu Leni. "Kenapa, bu? Ngapain ibu masih di sini?" Khawatir Leona kalau sampai ibu tak sengaja melihat suaminya belum memakai b
Malam semakin larut, rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi. Angin berembus masuk melalui celah tirai.Pasutri itu tampak asyik dengan dunianya, hawa dingin yang mencekam pun seolah sirna oleh hangatnya sentuhan raga yang tengah memadu kasih malam itu. Sayup-sayup, terdengar rintihan lembut di tengah guncangan hebat yang semakin membabi buta."Apa kamu sudah keluar?" Entah apa itu. Suara Leona bergetar di tengah pertempuran di medan perang nan hebatnya.Wanita yang tengah hamil memasuki bulan ke empat itu masih memejamkan mata, menikmati setiap permainan indah yang Nathan ciptakan dalam naluri."Belum.""Ke-napa?" Nafas Leona tersengal menahan sesuatu yang ingin menyembur di liang hangat miliknya."Aku masih ingin bermain lebih lama lagi, sayang?" Kecupan singkat mendarat dengan sempurna di bibir legit Leona yang menggoda."Aish, kok bisa? Ini udah hampir satu jam, mas?" Dusta. Tapi itu faktanya. Pasangan suami istri itu telah melewatkan waktu yang tak sebentar hanya untuk
Nathan menghela napas panjang ketika sudah sampai di kamar, duduk bersandar bantal di punggung, sambil mengelus-elus kepala sang istri yang ada di pahanya."Capek ya, mas?""Lumayan, sayang. Ayamnya lari mulu. Susah nangkepnya.""Lagian ngapain mas beli ayam hidup? Mana nggak ngomong dulu sama aku lagi," ucap Leona sambil memainkan kuku jari."Maaf, sayang. Niat mas cuma pengin nurutin ngidam kamu pingin makan ayam goreng kampung. Tapi karena keinget acara 4 bulanan, mas pikir sekalian aja beli ayamnya. Kan lebih enak kalau menyembelih sendiri.""Astaghfirullah." Leona refleks bangkit dari rebahannya."Kenapa, sayang?""Mas udah sembelih ayamnya?" Mimik Leona berubah cemas."Belum.""Mas tau nggak?"Nathan menggeleng polos. "Tau apa, sayang. Kamu kan belum ngomong apa-apa.""Mas, kalau istrinya lagi hamil itu pamali menyakiti hewan apalagi sampai membunuh.""Serius, sayang?" Nathan baru tau."Serius, mas. Jadi jangan pernah mas berpikirin buat sembelih ayam sendiri, ya? Aku nggak mau
Aslinya Nathan masih keturunan orang Jawa. Ayah kandungnya bernama Kusuma. D masih asli orang Jawa yang berasal dari Semarang. "Hah?" Leona terperanjat hingga hampir oleng ketika membawa secangkir kopi untuk sang suami."Pelan-pelan, sayang?" Nathan menerima cangkir tersebut dan menyeruputnya pelan."Masih panas, mas." Duduk di samping Nathan."Ah. Seger banget, sayang. Dari tadi di kantor mas udah kangen minum kopi buatan kamu." Jujurnya usai meletakkan cangkir di meja."Mas bisa aja. Baru juga tadi pagi minum kopi.""Nggak tau tuh. Kayaknya mas mulai kecanduan kopimu, sayang.""Mas ada-ada aja. Tapi nggak boleh berlebihan, mas. Mesti tau batasannya juga. Tadi gimana? Aku nggak salah dengarkah? Mas masih keturunan asli orang Jawa?" Serius Leona karena penasaran."Iya, Le. Ibu ko baru tau kamu punya gen asli orang Jawa." Pria itu menghela napas panjang. "Ayahku asli orang Semarang, dia pemilik hotel Muria yang ada di depan perusahaan INTI SEJAHTERA. Kamu tau 'kan?" Leona berusaha m