"Sialan!" Umpat Nathan dalam hati ketika melihat Joshua berdiri di depan pintu. "Ngapain dia ke sini?" Gumamnya sambil mengacak rambutnya frustrasi. Dia melirik ke arah Leona yang tengah berdiri menatapnya dari atas tangga."Siapa?" "Joshua."Leona membulatkan mata."Kenapa kau masih diam di situ, hem?" Nathan gemas sendiri melihat istinya."Aku ....""Cepat sembunyi, atau kau akan ketahuan jika sudah jadi istriku."Wanita itu menurut, dia pergi ke kamar dan menguncinya rapat. Membiarkan Nathan menemui Joshua.Ceklek"Lama banget buka pintunya," keluh pria berambut pirang itu dengan raut wajah yang bersungut kesal. Memilih untuk langsung masuk dan duduk dengan kasar di sofa.Nathan tak menjawab."Kerjaan gimana?""Oke.""Barusan aku ketemu sama Leona," ucap Joshua. "Apa hubungannya denganku?" tanya Nathan sarkastik."Soal kesalahannya. Aku tau kau
"Hentikan!" Sergah Nathan cepat. Menghadang Joshua yang hendak masuk tepat di depan pintu. Sontak, membuat Joshua mengernyitkan kening heran"Kenapa? Tak biasanya kau begitu?""Tidak ada apa-apa," jawabnya gugup sambil menggaruk kepala yang tak gatal."Kau menyembunyikan sesuatu dariku, bukan?" Tuduhnya. Lalu tanpa pikir panjang langsung mendorong tubuh Nathan dari sana hingga membuat si tampan itu hampir jatuh."Sialan!"Klek!Pintu terbuka. Joshua masuk ke kamar Nathan. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru. Tidak ada siapa pun."Kau mau cari apa, sih? Sudah kubilang di sini tidak ada siapa-siapa," ujar Nathan sembari mendekat ke arah Joshua."Hei, kau pikir telingaku rusak? Aku tidak mungkin salah dengar bahwa ada sumber suara yang berasal dari kamar ini.""Tapi kau lihat sekarang!" Titah Nathan dengan mata yang menatap sekeliling tempat itu. Aneh! Memang tidak ada siapa pun di sini. 'Lalu di mana
"Karena kita sudah sepakat untuk merahasiakan pernikahan kita, itu sebabnya aku juga mau kamu bisa diajak kerja sama dalam masalah ini," sahut wanita itu cepat sambil menatap lekat sepasang bola mata milik sang suami.Kedua telapak tangannya sudah menggenggam erat dengan nafas yang terlihat naik turun. Jantungnya seakan memompa lebih cepat dari sebelumnya. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya mulai kabur. Detik selanjutnya ....Leona pingsan!Beruntung, Nathan dengan sigap memapah tubuh istrinya cepat di atas pangkuannya."Hei, bangun!" Nathan menepuk pipi Leona lembut. "Kau kenapa?"Pria itu menggerutu kesal, lagi-lagi Leona selalu membuat dirinya repot hingga dia harus bersusah payah untuk menyadarkan wanita itu.Di saat yang bersamaan, bi Ijah datang mengetuk pintu kamar Nathan."Masuk!" Interupsi Nathan dari dalam ruangan.Terlihat ART yang sudah bekerja selama hampir sepuluh tahun itu membawa sebuah nampan b
Brukk!PrangggTubuh Nathan ambruk ketika dengan refleks Leona mendorong sang suami yang sudah berani menciumnya tanpa izin. Bebarengan dengan jatuhnya piring berisi nasi pecel hingga membuat makanan itu berserakan mengotori lantai."Dasar bodoh!" seru Nathan beranjak dari duduknya sambil memegangi pantat yang terasa nyeri."Kamu yang sudah lancang." Leona berteriak. Netranya berkaca-kaca meratapi nasi pecel yang sudah berceceran di lantai, tak mungkin bisa dimakan. Padahal sudah sejak semalam dia mengidamkan makanan tersebut."Lancang bagaimana?""Kenapa kamu menciumku?""Itu karena salahmu, huft." Nathan membersihkan celananya yang kotor dengan tangan sebelum akhirnya duduk kembali di tepi ranjang."Salahku?" Leona menunjuk dirinya."Iya. Aku menyuruhku makan tapi kau sangat sulit diatur.""Kan aku sudah bilang aku tidak mau disuapi. Kenapa kamu terus memaksa?" "Karena kau sudah sepakat untuk mengikuti semua kemauanku, kan?"Leona menghela napas panjang mendengar alasan Nathan yang
"Pe-peluk?" Leona gelagapan. "Iya. Aku ingin memelukmu sebagai istri."'Ya Tuhan,' batin wanita itu. Dia tidak menyangka Nathan akan menganggapnya sebagai istri. Rasanya masih seperti mimpi. Namun ketika mengingat momen Nathan yang meruda paksa sebulan lalu, hati Leona kembali nyeri."Kenapa kamu diam saja? Apa kamu keberatan? Jika kamu masih keberatan aku tidak akan memaksa?""Mas?""Ya.""Bukankah baru beberapa jam yang lalu kamu menyuruhku untuk selalu tunduk dan patuh dengan semua perintahmu?" Leona memastikan.Nathan hanya tersenyum. Dia meneguk saliva sebelum menjawab. "Aku sadar selama ini aku sudah egois.""Lalu?""Boleh aku memelukmu?" Nathan mengulang kembali pertanyaannya. Dia sungguh ingin mendekap erat tubuh tambatan hatinya untuk yang kedua kali setelah insiden malam panas kala itu. Jika kemarin dia memaksa, kali ini dia sangat serius dengan ucapannya.Mau tak mau, Leona akhirnya mengangguk."Terima kasih."Nathan langsung mendekat ke arah istrinya dan memeluknya erat.
HeningLeona dan Nathan saling adu pandang selama beberapa menit hingga membuat gemuruh di dada Leona berpacu cepat."Kenapa kamu memberitahu Dea, sayang?" ucapnya lembut dengan panggilan sayang, membuat wanita itu melongo keheranan.'Apa aku tidak salah dengar?' gumamnya pelan."Tidak.""Ha.""Kenapa kamu memberitahu Dea, sayang?" Nathan mengulang pertanyaannya."Sa-sayang? Apa aku tidak sedang bermimpi?" Puk!Si cantik Leona menepuk pipi lalu meringis sakit. Tak lama setelah itu Nathan mendekat seraya tersenyum."Kamu tidak bermimpi, Leona. Ini kenyataan. Memangnya kenapa? Apa kamu keberatan jika aku memanggilmu sayang?"Tak ada jawaban."Baiklah, kalau kamu memang tidak suka aku panggil sayang. Kamu maunya aku panggil apa?"Masih tak mau bicara. Entah apa yang sudah merasuki pikiran Nathan hingga pria itu berubah secepat kilat yang menyambar pohon. "Sayang?" Untuk ketiga kali, tangannya melambai tepat di depan wajah Leona yang sedari tadi melamun."Iya.""Apa kamu tidak suka aku
Dari kalimatnya saja, Nathan sebenarnya sudah tau kalau Leona mau menikah dengannya karena Ibu Diana. Tapi dia ingin mendengar langsung curahan hati Leona selama ini. Dia ingin tau apa yang sebenarnya wanita itu rasakan selama menjalani pernikahan paksa yang sudah berjalan dua bulan ini.Nathan sudah bertekad dalam hati untuk tetap mempertahankan rumah tangganya dengan Leona. Apalagi jika mengingat sudah ada janin di rahim istrinya yang merupakan benihnya. Dia tidak ingin lari dari tanggung jawab tersebut."Seminggu sebelum ibu Diana meninggal, beliau memanggilku untuk menemuinya di ruangan. Beliau juga mengutarakan maksudnya yang ingin menikahkan anaknya denganku."Tangis Leona semakin pecah membayangkan momen itu. Dia ingin menolak tapi tak bisa. Dia ingin menghindar tapi bukan solusi. Hatinya terasa nyeri membayangkan sebuah pernikahan yang harus dijalankan tanpa cinta. Padahal saat itu Leona masih berstatus pacaran dengan pria yang sangat dia cintai se
"Sudah siap?" Pria itu menoleh ke arah Leona yang tengah mengenakan sabuk pengaman. "Sudah."Nathan tersenyum, lanjut melajukan mobil meninggalkan rumah besar pemilik pabrik kosmetik itu untuk segera pergi ke rumah orang tua Leona di kampung. Pria itu sudah bertekad untuk jujur kepada keluarga Leona dan menceritakan semua kejadian yang menimpa istrinya.Dia sudah siap dengan segala resiko yang akan dia hadapi. Cepat atau lambat, mertuanya harus tau jika putrinya sudah menikah karena dijodohkan oleh Ibu Diana. "Kamu kenapa diam saja?" Nathan bertanya di tengah atensinya yang terus menyetir. Sejak tadi istrinya hanya diam sambil menatap pemandangan lewat kaca mobil yang dibuka setengah. Sesekali dia juga melihat Leona yang seperti hendak menangis."Tidak apa-apa." Jutek. Bahkan tanpa menoleh sedikit pun."Apa kamu masih memikirkan kata-kataku?""Ya.""Maaf.""Kamu tidak bersalah, mas." Lanjut membenarkan rambut ke belakang."Aku hanya tidak ingin kamu terlalu memikirkannya. Anggap saj
Nathan panik hingga terus memaksa istrinya untuk pergi le rumah sakit. Apalagi ini kehamilan pertama untuk keluarga Leonath. Tentu tidak akan Nathan biarkan hal buruk menimpa istri dan janin dalam kandungan."Aku nggak papa, mas. Perutku cuma kram," lembut Leona berusaha menenangkan sang suami. "Yakin nggak papa?" Nathan memastikan.Wanita cantik itu mengangguk sebelum akhirnya mengembangkan senyuman. "Aku udah sempet konsultasi sama dokter kandungan, bahkan aku juga punya nomor teleponnya. Hal ini wajar terjadi karena biasanya karena kecapekkan, mas?" Leona menjelaskan dengan netra yang menatap lekat kedua bola mata suaminya."Betul, le. Leona memang sepertinya kecapekkan, belum sempat istirahat usai acara empat bulanan, eh langsung gas pulang kampung," imbuh Bu Leni yang sudah berpengalaman itu. "Saran ibu, apa tidak sebaiknya Leona istirahat dulu. Kalau kamu nggak keberatan, Leona bisa tinggal di sini sama ibu dan Alya," usul Bu Leni."Asal Mas Nathan ngizinin, aku iya aja sih, Bu
Nathan baru sempat menyusul masuk setelah obrolannya lewat telepon dengan Joshua selesai. Pria pemilik Diana Beauty itu tidak habis pikir dengan pemikiran Joshua yang terus saja berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan sang istri."Halo.""[Nathan. Gue pikir lo udah nggak mau angkat telepon gue lagi.]""Mau apa lagi?""[Gue cuma mau istri lo, Nath.]""Ck." Nathan mendecih. "Itu nggak akan pernah terjadi, Jo. Leona itu istriku. Kami sudah sah secara agama dan hukum.""[Tapi kalian masih bisa bercerai. Dan aku akan menikahi Leona.]""Jangan mimpi, Jo. Leona sedang mengandung anakku.""[Kamu tenang saja! Aku akan merawat anak itu seperti anak kandungku sendiri.]""Kurang ajar! Kenapa—.""[Kalau gue enggak bisa bahagia dengan Leona. Gue juga enggak akan biarkan Leona bahagia dengan siapapun termasuk lo, Nath.]" Tandas Joshua yang langsung memutuskan panggilan secara sepihak.'Keterlaluan.' Geram Nathan. Dia tidak terima dengan pernyataan Joshua. Tidak cukupkah dia yang ingi
"Siap?" "Lets, go!" Sorak Leona yang antusias akan pergi ke kampung halamannya. Wanita hamil empat bulan itu terlihat cantik meskipun hanya mengenakan dress selutut warna putih yang dibalut dengan blazer berwarna navy. Senada dengan sang suami - Nathan juga mengenakan kemeja panjang berwarna Navy berpadu dengan celana jeans hitam panjang.Tepat jam sepuluh pagi, setelah semuanya siap dengan barang-barang yang akan di bawa, mobil Nathan melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan Ibukota yang cukup ramai."Ibu belum ngabarin Alya kan kalau kita sedang perjalanan pulang?" tanya Leona kepada Bu Leni yang duduk di kursi belakang."Ini ibu baru mau ngabarin," jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas berlogo dior itu. Ya, wanita berhijab coklat tua itu selain mendapat hadiah rumah dari sang mantu, dia juga mendapat tas branded dari Leona. Katanya Leona sudah bosan pakai tas tersebut, itu sebabnya dia memberikan tas tersebut untuk Bu Leni."Jangan dulu, bu!" Sergah Leona cepa
Jam 7 pagi"Ibu mau ngapain?" tanya Ijah yang tengah sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring sisa semalam di wastafel."Saya mau bikin sarapan, Bi?" Bu Leni membuka kulkas, mengambil beberapa bahan masakan seperti sayuran dan daging. Alhamdulillah, semua makanan untuk acara empat bulanan Leona ludes tak bersisa.Semua orang terlihat menikmati semua makanan olahan yang disajikan dalam prasmanan malam itu. Sisanya dibagikan ke warga supaya tidak mubadzir."Ibu duduk saja! Nanti biar saya yang masak.""Nggak papa, Bi. Santai aja, nggak usak sungkan begitu.""Hehe ....""Ini Leona sama mantuku belum bangunkah?" lirihnya ketika mengupas kentang di meja. Wanita itu merasa menyesal karena mengingat kejadian semalam yang lagi-lagi tak sengaja memergoki menantu dan anaknya yang hendak beribadah.Pluk!Bu Leni menepuk jidat."Kenapa, Bu? Sakit kepala?""Nggak papa, Bi.""Ehem-ehem!" Suara seseorang berdehem yang tak asing itu membuat Bu Leni dan Ijah kompak menoleh menuju sumber suara. Mendapa
Nathan menghela napas lega. "Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar," ucapnya saat duduk mengamati setiap rangkaian acara yang sedang berlangsung.Pria berpakaian koko putih yang dipadukan dengan kain sarung berwarna hitam itu tampak tersenyum senang melihat acara 4 bulanan istrinya berjalan dengan khidmat. Pembacaan ayat suci Al-quran pun ikut mengiringi hari bahagia mereka di rumah keluarga Nathan."Alhamdulillah," ucap syukur Bu Leni."Leone lega banget, bu. Akhirnya acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun," senyum bumil itu merekah dari kedua sudut bibirnya yang dihiasi lipstik berwarna nude."Iya, nduk. Jujur tadi pagi ibu sempet panik gara-gara masalah ayam. Untung suamimu cerdas bisa menyelesaikan masalah dengan cepat.""Ya kalau nggak cerdas mana mungkin anakmu mau, bu." Leona terkekeh mengingat usaha keras sang suami yang patut diacungi jempol.Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengendalikan persoalan ayam yang belum disembelih, belum lagi urusan m
Leona terkejut. Wanita hamil itu pun langsung berbalik ke belakang untuk membangunkan sang suami."Eh, belum dijawab ibu le tanya kok udah ditinggal pergi." Bu Leni garuk-garuk kaki, bukan. Maksudnya kepala.Sementara di dalam, Leona sedang susah payah membangunkan Nathan yang terlihat masih mimpi di pulau kapuk hingga nampak pulau baru yang tergambar di bantal.'Ganteng-ganteng kok ngiler sih kamu, mas.' Gumamnya sambil mengguncang tubuh atletis pria itu yang masih polos tanpa sehelai benang.Keterlaluan sih, bisa-bisanya mereka bermain tanpa jeda hingga adzan subuh. Ente kadang-kadang ente."Mas!" Nathan tak bergeming. Pemilik pabrik kosmetik itu tetap mendengkur dengan posisi tengkurap dengan bibir yang mengaga sedikit."Nduk?" Leona menoleh menuju sumber suara lantas menepuk jidat. "Ya Allah, ibu masih nunggu di luar." Buru-buru dia keluar untuk menemui Bu Leni. "Kenapa, bu? Ngapain ibu masih di sini?" Khawatir Leona kalau sampai ibu tak sengaja melihat suaminya belum memakai b
Malam semakin larut, rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi. Angin berembus masuk melalui celah tirai.Pasutri itu tampak asyik dengan dunianya, hawa dingin yang mencekam pun seolah sirna oleh hangatnya sentuhan raga yang tengah memadu kasih malam itu. Sayup-sayup, terdengar rintihan lembut di tengah guncangan hebat yang semakin membabi buta."Apa kamu sudah keluar?" Entah apa itu. Suara Leona bergetar di tengah pertempuran di medan perang nan hebatnya.Wanita yang tengah hamil memasuki bulan ke empat itu masih memejamkan mata, menikmati setiap permainan indah yang Nathan ciptakan dalam naluri."Belum.""Ke-napa?" Nafas Leona tersengal menahan sesuatu yang ingin menyembur di liang hangat miliknya."Aku masih ingin bermain lebih lama lagi, sayang?" Kecupan singkat mendarat dengan sempurna di bibir legit Leona yang menggoda."Aish, kok bisa? Ini udah hampir satu jam, mas?" Dusta. Tapi itu faktanya. Pasangan suami istri itu telah melewatkan waktu yang tak sebentar hanya untuk
Nathan menghela napas panjang ketika sudah sampai di kamar, duduk bersandar bantal di punggung, sambil mengelus-elus kepala sang istri yang ada di pahanya."Capek ya, mas?""Lumayan, sayang. Ayamnya lari mulu. Susah nangkepnya.""Lagian ngapain mas beli ayam hidup? Mana nggak ngomong dulu sama aku lagi," ucap Leona sambil memainkan kuku jari."Maaf, sayang. Niat mas cuma pengin nurutin ngidam kamu pingin makan ayam goreng kampung. Tapi karena keinget acara 4 bulanan, mas pikir sekalian aja beli ayamnya. Kan lebih enak kalau menyembelih sendiri.""Astaghfirullah." Leona refleks bangkit dari rebahannya."Kenapa, sayang?""Mas udah sembelih ayamnya?" Mimik Leona berubah cemas."Belum.""Mas tau nggak?"Nathan menggeleng polos. "Tau apa, sayang. Kamu kan belum ngomong apa-apa.""Mas, kalau istrinya lagi hamil itu pamali menyakiti hewan apalagi sampai membunuh.""Serius, sayang?" Nathan baru tau."Serius, mas. Jadi jangan pernah mas berpikirin buat sembelih ayam sendiri, ya? Aku nggak mau
Aslinya Nathan masih keturunan orang Jawa. Ayah kandungnya bernama Kusuma. D masih asli orang Jawa yang berasal dari Semarang. "Hah?" Leona terperanjat hingga hampir oleng ketika membawa secangkir kopi untuk sang suami."Pelan-pelan, sayang?" Nathan menerima cangkir tersebut dan menyeruputnya pelan."Masih panas, mas." Duduk di samping Nathan."Ah. Seger banget, sayang. Dari tadi di kantor mas udah kangen minum kopi buatan kamu." Jujurnya usai meletakkan cangkir di meja."Mas bisa aja. Baru juga tadi pagi minum kopi.""Nggak tau tuh. Kayaknya mas mulai kecanduan kopimu, sayang.""Mas ada-ada aja. Tapi nggak boleh berlebihan, mas. Mesti tau batasannya juga. Tadi gimana? Aku nggak salah dengarkah? Mas masih keturunan asli orang Jawa?" Serius Leona karena penasaran."Iya, Le. Ibu ko baru tau kamu punya gen asli orang Jawa." Pria itu menghela napas panjang. "Ayahku asli orang Semarang, dia pemilik hotel Muria yang ada di depan perusahaan INTI SEJAHTERA. Kamu tau 'kan?" Leona berusaha m