Sinar matahari yang keemasan, menyeruak masuk melalui celah tirai. Bersamaan dengan bunyi alarm yang cukup nyaring, membuat Leona terusik dalam lelapnya.
Wanita itu membuka mata, mengerjapkannya perlahan. Setelahnya menoleh ke samping, di mana dia dapati Nathan masih meringkuk membelakangi tubuhnya dalam balutan selimut tebal berwarna putih.Masalah semalam belum mereda. Leona menghela napas panjang. Perlahan-lahan, dia bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh muka.Setelah keluar, diliriknya jam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul enam pagi. Dia harus bersiap ke kantor sekarang. Tidak peduli seberapa besar masalah yang menghadang. Dia akan menghadapinya.Meski raga rasanya ingin menyerah, namun hari ini. Ada calon malaikat kecil yang tumbuh dalam rahimnya harus ia rawat dan ia jaga dengan sebaik mungkin.Meski dia datang bukan sebagai pengharapan, tapi dia suci dan tidak memiliki dosa. Saat ini ..., bukan karena cinta Leona akan berusaha mati-matian mempertahankan rumah tangganya. Tetapi karena ada anak yang dia kandung dalam tubuhnya.Bagaimana jika dia sampai lahir tanpa ayah? Adalah hal menyakitkan seumur hidup Leona jika hal itu sampai terjadi.'Demi apapun, aku rela mengorbankan perasaanku demi kamu, nak?' Batin Leona berkata, sembari menunduk dan mengelus perutnya yang masih rata. Wanita itu lalu mendongak, menatap cermin di hadapannya yang memantulkan tubuh ramping Leona di sana.Dengan senyum, wanita itu memberikan afirmasi positif pada dirinya sendiri."Kamu baik, kamu cantik, kamu adalah calon ibu yang akan menyayangi anakmu dengan sepenuh hati," ucapnya dengan nada super lirih seolah tak membiarkan seorang pun bisa mendengarnya.Baru saja ketika wanita itu hendak mengambil handuk untuk bergegas mandi, Leona teringat sesuatu."Dea?" ucapnya."Ada apa sama Dea?" Suara yang cukup familiar itu mengejutkan Leona hingga membuatnya berjengit. Dia lalu berbalik ke belakang, mendapati sosok Nathan sedang duduk bersandar di kasur sambil mengucek kedua bola matanya."Kau sudah bangun?""Hm.""A-aku ... aku mau mandi dulu," tandas Leona sambil berlalu pergi."Aku belum selesai bicara." Lagi-lagi suara Nathan membuat langkahnya terhenti. Wanita itu berbalik dan memasang raut wajah masah."Bukan urusan kamu, mas.""Aku suami kamu jika kau lupa.""Suami pura-pura maksudmu.""Tidak bisakah kau bersikap lembut sedikit saja denganku?"Leona memicingkan mata dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. "Setelah apa yang sudah kau lakukan padaku, kau masih bisa memintaku untuk bersikap lembut, mas?"Nathan tak menjawab."Aku masih bisa bersikap sabar menghadapi semua sifatmu dengan memilih diam. Tetapi kau?""....""Aku tidak pernah menginginkan apapun darimu, mas. Aku hanya ingin kamu minta maaf dan menyadari semua kesalahanmu," tandas Leona.Tapi mustahil dia akan mendengar kata maaf dari mulut Nathan. Bahkan sampai kiamat terjadi, pria pemilik mata hazel itu tidak mungkin akan menyadari kesalahannya."Salahku apa?" Dengan santainya pria itu berbicara dan membuat Leona melongo."Bisa kau ulangi sekali lagi pertanyaanmu?""Salahku apa?"'Astaga! Jika saja dia bukan ayah dari anak yang sedang kukandung, sudah kuceburkan dia ke laut. Biarkan saja dia mati hidup-hidup di telan hiu.'Leona menghela napas panjang, berusaha menahan amarah yang kian memuncak. Hari masih pagi tetapi Nathan sudah berhasil membuatnya naik darah."Aku tidak mau berdebat lagi denganmu, mas. Cukup urusi urusanmu saja. Dan jangan pernah kau campuri urusanku. Mengerti?!" Tandas Leona. Dia lalu pergi.Si tampan Nathan lantas tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih rapi. Dia membatin. 'Aku senang melihatmu marah. Kau begitu cantik dan menggemaskan. Maafkan aku Leona, kau mungkin sangat membenciku dengan semua sikap yang kuberikan padamu, tetapi hanya dengan cara inilah aku menutupi rasa yang sesungguhnya kusimpan untukmu.'Saat Leona di dalam kamar mandi, ponsel wanita itu tiba-tiba bergetar. Nathan yang melihat, tanpa pikir panjang langsung menyambar benda pipih yang menyala tersebut di atas meja.Sebuah pesan masuk atas nama Dea."Aku on the way ke rumah kamu sekarang ya, Le. Sampai nanti." Tulis pesan Dea kepada Leona.Membuat setungging senyum mengembang di kedua sudut bibir Nathan. Pria itu memilih mengabaikan pesan tersebut usai menekan tombol tandai telah dibaca pada layar.Tepat jam tujuh pagi, Leona dan Nathan sudah bersiap ke kantor. Meski sudah berstatus sebagai pasangan suami istri, tak pernah sekali pun Leona dan Nathan berangkat bersama menuju kantor.Hal itu bukan tanpa alasan. Mereka tidak ingin ada salah satu rekan kantor yang mengetahui status mereka.'Tapi mau sampai kapan?' Geram Leona. Apalagi melihat kondisinya yang tengah berbadan dua."Tunggu!" Cegah Nathan saat melihat istrinya keluar dari kamar."Ada apa lagi?""Pagi ini kau berangkat denganku!" Titah Nathan. Sukses membuat Leona membulatkan mata."Apa aku tidak salah dengar?""Apa aku perlu membawamu ke klinik THT untuk memeriksa pendengaranmu, hem?"Si cantik Leona hanya menggeleng sambil tersenyum. "Sayangnya, kau tidak perlu repot melakukan itu, mas. Aku sudah terbiasa berangkat sendiri. Dan lagi .... kita sudah sepakat untuk merahasiakan pernikahan kita, bukan? Aku tidak mau ada orang lain yang curiga karena melihat seorang karyawan sepertiku satu mobil dengan bosnya.""Aku tidak peduli." Tandas Nathan, dia lalu mendahului langkah Leona pergi menuju halaman rumah dan masuk ke mobil.'Apa otak Nathan sudah bergeser? Tumben sekali mau mengajakku satu mobil dengannya?' batin Leona penuh tanda tanya.Din!Suara klakson itu membuat Leona berjengit saking kagetnya. Dan tanpa pikir panjang dia pun keluar menuju suaminya yang sudah berada di mobil."Cepat masuk! Mumpung aku sedang baik.""Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri.""Kau bisa lihat jam tidak? Lihat! Kita hampir terlambat."'Sialan!' Umpat wanita itu kesal usai melirik arloji yang menempel di lengan. Jarak tempuh rumah Nathan ke kantor memang cukup jauh. Dan hanya tersisa waktu lima belas menit untuk sampai di sana. Kalau dia nekat naik kendaraan umum, mungkin saja dia akan terlambat. Tetapi berada satu mobil dengan Nathan adalah hal yang membuatnya malas."Ini kesempatan terakhir saya menawarkan bantuan untukmu. Naik sekarang, atau mau kutinggal." Ancam Nathan.HuffLeona mendesah pasrah. "Jangan GR. Saya terpaksa ikut denganmu karena terpaksa." Tandas Leona. Dia baru saja akan membuka pintu belakang tetapi—."Siapa yang menyuruhmu duduk di situ?""Lalu aku harus duduk di mana, mas?""Depan. Kau pikir aku sopirmu. Pindah!" Titahnya.Sambil memutar jengah kedua bola matanya. Leona terpaksa mengikuti perintah dari suaminya yang menyebalkan itu.Nathan tersenyum dalam hati melihat kepatuhan Leona sebelum akhirnya bergegas berangkat ke kantor.Ketika sudah hampir sampai, buru-buru Leona menyuruh Nathan untuk menghentikan laju mobilnya."Stop, mas! Eh, maksud saya pak." Tiba-tiba gugup mendera. Meski dengan suaminya sendiri, tetapi saat di kantor. Leona dan Nathan tetaplah dua orang asing yang tak memiliki hubungan apapun selain rekan kerja."Apa?" Nathan menoleh sambil menahan senyum."Aku sudah bilang berhenti di depan. Kenapa malah sampai pintu masuk, pak?" Wanita itu menepuk jidatnya pelan. Hal itu semakin diperparah dengan melihat keberadaan Dea yang sedang berdiri tepat di halaman kantor.'Sialan. Bagaimana ini?'Mobil Nathan sudah berhenti tepat di halaman kantor. Bebarengan dengan degup dada yang bertabuh kencang, Leona refleks menundukkan badannya."Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Nathan dengan santainya. Membuat Leona ingin sekali menoyor itu kepala Nathan. Tidakkah dia berpikir kalau semua ini gara-gara dia."Pup." Jawab Leona asal."Kau gila? Kalau mau pup di toilet bukan di sini. Apa kau mau tanggung jawab kalau sampai mobilku kotor karena ulahmu yang konyol itu?"Leona memutar jengah kedua bola matanya. Bisa-bisanya dia sepolos itu mempercayai kata-katanya, astaga! Dosa apa aku di masa lalu bisa sampai menikah dengan pria menyebalkan bin keterlaluan macam Nathan ini.Otaknya memang pintar, tapi sifatnya sungguh membuat Leona mungkin akan mati cepat. Wanita itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menjelaskan pada Nathan."Aku sedang bersembunyi jika kau tau. Memangnya kau ingin orang kantor curiga kalau sebenarnya kita sudah menikah?" Nathan tertawa cekikikan."Kenapa kau terta
"Apa kalian tidak punya pekerjaan lain selain mengobrol saat jam kerja?" tanya Nathan dengan kedua alis yang menukik tajam. Satu tangannya di masukkan ke dalam saku celana dengan atensinya yang menatap pada sosok Leona, Dea dan juga Joshua secara bergantian.Tak mau ambil pusing, Joshua yang berada di sana pun lantas pergi usai berpamitan pada Leona."Saya duluan. Le, jangan lupa nanti siang, ya?" Pria itu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Membuat Nathan yang melihat hal itu mendecih tak suka."Ma-maaf, pak. Tadi kami—.""Tidak ada yang menyuruhmu bicara," sergah Nathan mendengar kalimat yang hendak diucapkan Dea. "Dan kau—," menunjuk ke arah Leona, "ikut ke ruangan saya sekarang!" Titahnya.Pria itu langsung berbalik meninggalkan dua karyawannya yang masih berdiri mematung di tempat."Menyebalkan, huh!""Sabar!" Dea menghela napas sembari mengelus punggung sahabatnya lembut. "Kau berhutang cerita denganku.""Hm.""Pergilah! Atau masalahmu akan semakin berat. Kau tau 'kan
Huek huek!"Kamu kenapa, Le?" tanya Joshua saat tengah menikmati makan siang bersama di kantin kantor. Tanpa menjawab pertanyaan sang pria, Leona langsung beranjak pergi menuju toilet yang berada di belakang kantin. Membuka pintu, lalu memuntahkan semua isi perutnya yang membuatnya mual.Sebenarnya sudah sejak tadi pagi Leona merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tapi wanita cantik itu tetap memaksakan diri untuk masuk kantor. Di sisi lain, Dea yang baru datang ke kantin melihat Joshua dengan raut wajah cemasnya membuat wanita itu langsung menghampiri. "Jo, kamu kenapa? Leona ke mana? Kalian janjian makan siang, kan?" tanya Dea sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari keberadaan sahabatnya tetapi hasilnya nihil."Dia lagi ke toilet. Kayaknya dia sakit, deh!" Ujarnya."Hah?""I-iya. Soalnya tadi mendadak pengin muntah dianya.""Aku duluan." Pamitnya sambil berlalu pergi."De. Kamu mau ke mana?""Ke Hongkong, ya nyusul Leona lah, aneh."Joshua mengacak rambutnya frustr
"Duduk!" Titah Nathan kepada Leona saat sudah sampai di ruangan. Tetapi sayangnya, karyawan cantik itu menolak tak suka karena bosnya yang pemaksa."Tidak mau.""Siapa yang menyuruhmu makan dengan Joshua?" tanya Nathan tanpa menatap ke arah Leona.Si cantik itu hanya mendecih sambil memutar jengah kedua netranya. "Bukan urusan bapak. Mau saya makan dengan siapapun suka-suka sayalah.""Apa kau melupakan sesuatu?"Wanita itu terdiam."Kau masih istriku, Leona."Leona mendecih. "Saya perhatikan bapak selalu mengingatkan akan hal itu. Asal bapak tau saja, saya tidak pernah lupa dengan status kita ya, pak. Tetapi hal itu tidak berlaku saat di kantor, bukan? Di sini, bapak adalah bos saya dan saya adalah karyawan bapak.""Oh. Mulai berani kau, ya? Kau tidak sadar ya, bukankah kau menolak hukuman tidak digaji selama setahun?" tanya Nathan sambil tersenyum getir ke arah Leona. "Itu artinya ... pilihan kedua menjadi keputusan akhirmu, Leona."Shit!'Sialan! Ternyata Nathan benar-benar serius d
Nathan tersenyum kecut."Aku serius, Nath," ucap Joshua kemudian. Pria itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana sambil menyenderkan punggung. Menatap segelas air teh dalam gelas yang masih utuh, mengundang tanya bagi Joshua. "Buat siapa? Aku pikir kau masih belum menyukai minuman seperti ini.""Tidak penting itu untuk siapa." Nathan mendecih tak suka. Pria itu melangkahkan kaki menuju jendela. Sengaja membelakangi sahabatnya karena tidak ingin melihat wajah menyebalkan Joshua. "Nath?" Panggil Joshua.Yang diajak bicara hanya menoleh sekilas sambil bergumam pelan."Boleh aku minta bantuanmu?""Katakan!""Buat aku bisa dekat dengan Leona."'Ini gila!' Batin Nathan. 'Kau pikir dia siapa, huft!' "Kau dengar aku bicarakan, Nath?""Yeah.""Ayolah!""Sejak kapan kau menyukainya?""Setahun yang lalu.""Jadi kau putus dengan Klara karena Leona?" Tebak Nathan kemudian berbalik ke arah pria itu. Sahabatnya pernah berpacaran dengan Klara sebelumnya - teman seperkuliahan Joshua semasa dulu.
"Apa-apaan ini," umpat Nathan sembari membanting ponselnya kasar di atas meja. Sebuah foto berhasil masuk melalui pesan yang dikirimkan oleh seseorang hingga membuat emosi Nathan mencuat.Tanpa pikir panjang, Nathan langsung menelpon Leona saat itu juga. "Halo.""Ha-halo, Pak," jawab Leona gugup. Baru juga ditinggal sebentar, sudah langsung menelpon. Menyebalkan."Sedang apa kamu?""Kerjalah, Pak.""Kau yakin?" Nathan memastikan. Sementara Leona langsung menoleh ke samping di mana ada Dea di sana. 'Kenapa?' tanya Dea tanpa bersuara. Tetapi sahabatnya tak menjawab."Yakin, Pak. Ini saya masih mengerjakan laporan yang bapak minta.""Nanti sore pulang bareng saya!" Titah Nathan."Hah?! Tapi, pak.""Tidak terima alasan apapun."Tut.Panggilan berakhir. Nathan memutuskannya secara sepihak. Si cantik Leona hanya mengernyitkan kening bingung."Ada apa, Le?" Dea bertanya keheranan. "Pak Bos nelpon kamu? Baru juga dipanggil ke ruangan kan?"Leona mengedikkan bahu. "Entahlah.""Emang dia ngo
"Sialan!" Umpat Nathan dalam hati ketika melihat Joshua berdiri di depan pintu. "Ngapain dia ke sini?" Gumamnya sambil mengacak rambutnya frustrasi. Dia melirik ke arah Leona yang tengah berdiri menatapnya dari atas tangga."Siapa?" "Joshua."Leona membulatkan mata."Kenapa kau masih diam di situ, hem?" Nathan gemas sendiri melihat istinya."Aku ....""Cepat sembunyi, atau kau akan ketahuan jika sudah jadi istriku."Wanita itu menurut, dia pergi ke kamar dan menguncinya rapat. Membiarkan Nathan menemui Joshua.Ceklek"Lama banget buka pintunya," keluh pria berambut pirang itu dengan raut wajah yang bersungut kesal. Memilih untuk langsung masuk dan duduk dengan kasar di sofa.Nathan tak menjawab."Kerjaan gimana?""Oke.""Barusan aku ketemu sama Leona," ucap Joshua. "Apa hubungannya denganku?" tanya Nathan sarkastik."Soal kesalahannya. Aku tau kau
"Hentikan!" Sergah Nathan cepat. Menghadang Joshua yang hendak masuk tepat di depan pintu. Sontak, membuat Joshua mengernyitkan kening heran"Kenapa? Tak biasanya kau begitu?""Tidak ada apa-apa," jawabnya gugup sambil menggaruk kepala yang tak gatal."Kau menyembunyikan sesuatu dariku, bukan?" Tuduhnya. Lalu tanpa pikir panjang langsung mendorong tubuh Nathan dari sana hingga membuat si tampan itu hampir jatuh."Sialan!"Klek!Pintu terbuka. Joshua masuk ke kamar Nathan. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru. Tidak ada siapa pun."Kau mau cari apa, sih? Sudah kubilang di sini tidak ada siapa-siapa," ujar Nathan sembari mendekat ke arah Joshua."Hei, kau pikir telingaku rusak? Aku tidak mungkin salah dengar bahwa ada sumber suara yang berasal dari kamar ini.""Tapi kau lihat sekarang!" Titah Nathan dengan mata yang menatap sekeliling tempat itu. Aneh! Memang tidak ada siapa pun di sini. 'Lalu di mana
Tepat jam 09.00 malam, Nathan dan Leona pergi meninggalkan kediaman rumah baru Bu Leni. Setelah berunding cukup lama, Nathan memutuskan untuk tetap membawa istrinya kembali ke Ibukota.Meski rasa lelah kian mendera tubuh Leona, pria pemilik perusahaan Diana Beauty itu tetap mengupayakan kenyamanan sang istri. Duduk di kursi samping kemudi, Nathan sengaja menurunkan jok hingga posisinya setengah duduk.Beruntung, bantal kecil selalu menemani ke mana pun perginya mobil itu. Nathan sengaja menaruh bantal di kursi belakang untuk jaga-jaga kalau istrinya kelelahan duduk."Begini nyaman?" tanya Nathan setelah menarik ujung selimut yang ia bawa dari rumah Bu Leni.Leona mengangguk kecil sambil tersenyum."Kamu istirahat ya, sayang? Kalau ngantuk tidur. Mas akan bawa mobilnya pelan-pelan," ujar pria itu sembari mengenakan sabuk pengaman."Tapi kalau pelan malah nggak sampai-sampai, mas."Nathan menghela napas panjang. "Terus kamu maunya gimana, sayang? Mas mau kamu nyaman selama perjalanan p
Nathan panik hingga terus memaksa istrinya untuk pergi le rumah sakit. Apalagi ini kehamilan pertama untuk keluarga Leonath. Tentu tidak akan Nathan biarkan hal buruk menimpa istri dan janin dalam kandungan."Aku nggak papa, mas. Perutku cuma kram," lembut Leona berusaha menenangkan sang suami. "Yakin nggak papa?" Nathan memastikan.Wanita cantik itu mengangguk sebelum akhirnya mengembangkan senyuman. "Aku udah sempet konsultasi sama dokter kandungan, bahkan aku juga punya nomor teleponnya. Hal ini wajar terjadi karena biasanya karena kecapekkan, mas?" Leona menjelaskan dengan netra yang menatap lekat kedua bola mata suaminya."Betul, le. Leona memang sepertinya kecapekkan, belum sempat istirahat usai acara empat bulanan, eh langsung gas pulang kampung," imbuh Bu Leni yang sudah berpengalaman itu. "Saran ibu, apa tidak sebaiknya Leona istirahat dulu. Kalau kamu nggak keberatan, Leona bisa tinggal di sini sama ibu dan Alya," usul Bu Leni."Asal Mas Nathan ngizinin, aku iya aja sih, Bu
Nathan baru sempat menyusul masuk setelah obrolannya lewat telepon dengan Joshua selesai. Pria pemilik Diana Beauty itu tidak habis pikir dengan pemikiran Joshua yang terus saja berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan sang istri."Halo.""[Nathan. Gue pikir lo udah nggak mau angkat telepon gue lagi.]""Mau apa lagi?""[Gue cuma mau istri lo, Nath.]""Ck." Nathan mendecih. "Itu nggak akan pernah terjadi, Jo. Leona itu istriku. Kami sudah sah secara agama dan hukum.""[Tapi kalian masih bisa bercerai. Dan aku akan menikahi Leona.]""Jangan mimpi, Jo. Leona sedang mengandung anakku.""[Kamu tenang saja! Aku akan merawat anak itu seperti anak kandungku sendiri.]""Kurang ajar! Kenapa—.""[Kalau gue enggak bisa bahagia dengan Leona. Gue juga enggak akan biarkan Leona bahagia dengan siapapun termasuk lo, Nath.]" Tandas Joshua yang langsung memutuskan panggilan secara sepihak.'Keterlaluan.' Geram Nathan. Dia tidak terima dengan pernyataan Joshua. Tidak cukupkah dia yang ingi
"Siap?" "Lets, go!" Sorak Leona yang antusias akan pergi ke kampung halamannya. Wanita hamil empat bulan itu terlihat cantik meskipun hanya mengenakan dress selutut warna putih yang dibalut dengan blazer berwarna navy. Senada dengan sang suami - Nathan juga mengenakan kemeja panjang berwarna Navy berpadu dengan celana jeans hitam panjang.Tepat jam sepuluh pagi, setelah semuanya siap dengan barang-barang yang akan di bawa, mobil Nathan melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan Ibukota yang cukup ramai."Ibu belum ngabarin Alya kan kalau kita sedang perjalanan pulang?" tanya Leona kepada Bu Leni yang duduk di kursi belakang."Ini ibu baru mau ngabarin," jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas berlogo dior itu. Ya, wanita berhijab coklat tua itu selain mendapat hadiah rumah dari sang mantu, dia juga mendapat tas branded dari Leona. Katanya Leona sudah bosan pakai tas tersebut, itu sebabnya dia memberikan tas tersebut untuk Bu Leni."Jangan dulu, bu!" Sergah Leona cepa
Jam 7 pagi"Ibu mau ngapain?" tanya Ijah yang tengah sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring sisa semalam di wastafel."Saya mau bikin sarapan, Bi?" Bu Leni membuka kulkas, mengambil beberapa bahan masakan seperti sayuran dan daging. Alhamdulillah, semua makanan untuk acara empat bulanan Leona ludes tak bersisa.Semua orang terlihat menikmati semua makanan olahan yang disajikan dalam prasmanan malam itu. Sisanya dibagikan ke warga supaya tidak mubadzir."Ibu duduk saja! Nanti biar saya yang masak.""Nggak papa, Bi. Santai aja, nggak usak sungkan begitu.""Hehe ....""Ini Leona sama mantuku belum bangunkah?" lirihnya ketika mengupas kentang di meja. Wanita itu merasa menyesal karena mengingat kejadian semalam yang lagi-lagi tak sengaja memergoki menantu dan anaknya yang hendak beribadah.Pluk!Bu Leni menepuk jidat."Kenapa, Bu? Sakit kepala?""Nggak papa, Bi.""Ehem-ehem!" Suara seseorang berdehem yang tak asing itu membuat Bu Leni dan Ijah kompak menoleh menuju sumber suara. Mendapa
Nathan menghela napas lega. "Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar," ucapnya saat duduk mengamati setiap rangkaian acara yang sedang berlangsung.Pria berpakaian koko putih yang dipadukan dengan kain sarung berwarna hitam itu tampak tersenyum senang melihat acara 4 bulanan istrinya berjalan dengan khidmat. Pembacaan ayat suci Al-quran pun ikut mengiringi hari bahagia mereka di rumah keluarga Nathan."Alhamdulillah," ucap syukur Bu Leni."Leone lega banget, bu. Akhirnya acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun," senyum bumil itu merekah dari kedua sudut bibirnya yang dihiasi lipstik berwarna nude."Iya, nduk. Jujur tadi pagi ibu sempet panik gara-gara masalah ayam. Untung suamimu cerdas bisa menyelesaikan masalah dengan cepat.""Ya kalau nggak cerdas mana mungkin anakmu mau, bu." Leona terkekeh mengingat usaha keras sang suami yang patut diacungi jempol.Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengendalikan persoalan ayam yang belum disembelih, belum lagi urusan m
Leona terkejut. Wanita hamil itu pun langsung berbalik ke belakang untuk membangunkan sang suami."Eh, belum dijawab ibu le tanya kok udah ditinggal pergi." Bu Leni garuk-garuk kaki, bukan. Maksudnya kepala.Sementara di dalam, Leona sedang susah payah membangunkan Nathan yang terlihat masih mimpi di pulau kapuk hingga nampak pulau baru yang tergambar di bantal.'Ganteng-ganteng kok ngiler sih kamu, mas.' Gumamnya sambil mengguncang tubuh atletis pria itu yang masih polos tanpa sehelai benang.Keterlaluan sih, bisa-bisanya mereka bermain tanpa jeda hingga adzan subuh. Ente kadang-kadang ente."Mas!" Nathan tak bergeming. Pemilik pabrik kosmetik itu tetap mendengkur dengan posisi tengkurap dengan bibir yang mengaga sedikit."Nduk?" Leona menoleh menuju sumber suara lantas menepuk jidat. "Ya Allah, ibu masih nunggu di luar." Buru-buru dia keluar untuk menemui Bu Leni. "Kenapa, bu? Ngapain ibu masih di sini?" Khawatir Leona kalau sampai ibu tak sengaja melihat suaminya belum memakai b
Malam semakin larut, rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi. Angin berembus masuk melalui celah tirai.Pasutri itu tampak asyik dengan dunianya, hawa dingin yang mencekam pun seolah sirna oleh hangatnya sentuhan raga yang tengah memadu kasih malam itu. Sayup-sayup, terdengar rintihan lembut di tengah guncangan hebat yang semakin membabi buta."Apa kamu sudah keluar?" Entah apa itu. Suara Leona bergetar di tengah pertempuran di medan perang nan hebatnya.Wanita yang tengah hamil memasuki bulan ke empat itu masih memejamkan mata, menikmati setiap permainan indah yang Nathan ciptakan dalam naluri."Belum.""Ke-napa?" Nafas Leona tersengal menahan sesuatu yang ingin menyembur di liang hangat miliknya."Aku masih ingin bermain lebih lama lagi, sayang?" Kecupan singkat mendarat dengan sempurna di bibir legit Leona yang menggoda."Aish, kok bisa? Ini udah hampir satu jam, mas?" Dusta. Tapi itu faktanya. Pasangan suami istri itu telah melewatkan waktu yang tak sebentar hanya untuk
Nathan menghela napas panjang ketika sudah sampai di kamar, duduk bersandar bantal di punggung, sambil mengelus-elus kepala sang istri yang ada di pahanya."Capek ya, mas?""Lumayan, sayang. Ayamnya lari mulu. Susah nangkepnya.""Lagian ngapain mas beli ayam hidup? Mana nggak ngomong dulu sama aku lagi," ucap Leona sambil memainkan kuku jari."Maaf, sayang. Niat mas cuma pengin nurutin ngidam kamu pingin makan ayam goreng kampung. Tapi karena keinget acara 4 bulanan, mas pikir sekalian aja beli ayamnya. Kan lebih enak kalau menyembelih sendiri.""Astaghfirullah." Leona refleks bangkit dari rebahannya."Kenapa, sayang?""Mas udah sembelih ayamnya?" Mimik Leona berubah cemas."Belum.""Mas tau nggak?"Nathan menggeleng polos. "Tau apa, sayang. Kamu kan belum ngomong apa-apa.""Mas, kalau istrinya lagi hamil itu pamali menyakiti hewan apalagi sampai membunuh.""Serius, sayang?" Nathan baru tau."Serius, mas. Jadi jangan pernah mas berpikirin buat sembelih ayam sendiri, ya? Aku nggak mau