Huek huek!
"Kamu kenapa, Le?" tanya Joshua saat tengah menikmati makan siang bersama di kantin kantor.Tanpa menjawab pertanyaan sang pria, Leona langsung beranjak pergi menuju toilet yang berada di belakang kantin. Membuka pintu, lalu memuntahkan semua isi perutnya yang membuatnya mual.Sebenarnya sudah sejak tadi pagi Leona merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tapi wanita cantik itu tetap memaksakan diri untuk masuk kantor.Di sisi lain, Dea yang baru datang ke kantin melihat Joshua dengan raut wajah cemasnya membuat wanita itu langsung menghampiri."Jo, kamu kenapa? Leona ke mana? Kalian janjian makan siang, kan?" tanya Dea sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari keberadaan sahabatnya tetapi hasilnya nihil."Dia lagi ke toilet. Kayaknya dia sakit, deh!" Ujarnya."Hah?""I-iya. Soalnya tadi mendadak pengin muntah dianya.""Aku duluan." Pamitnya sambil berlalu pergi."De. Kamu mau ke mana?""Ke Hongkong, ya nyusul Leona lah, aneh."Joshua mengacak rambutnya frustrasi. Ingin sekali dia menyusul Leona, tetapi mana mungkin dia masuk ke toilet cewek. Dengan malas, pria itu pun akhirnya hanya bisa menunggu Leona dan Dea kembali sambil berharap tidak akan terjadi apa-apa pada si tambatan hatinya.Iya. Joshua telah lama menyukai Leona. Bahkan sejak kali pertama mereka bertemu di kantor Diana Group. Tapi apalah daya, sifat pemalu Joshua membuatnya ragu untuk menyatakan perasaan itu pada Leona."Le. Kamu baik-baik aja, kan? Le, ini aku Dea. Buka pintunya, Le?" teriak Dea saat sudah sampai di toilet. Hanya ada satu pintu yang terkunci. Dan Dea pastikan itu adalah Leona.CeklekDengan raut wajah pucat pasi, wanita dengan setelan dress code berwarna mocca dengan aksen hitam di bagian kerahnya, berdiri di ambang pintu dengan pandangan kosong."Le? Apa yang terjadi sama kamu?" Dea menepuk kedua pipi Leona, lalu menggenggam erat jemari wanita itu. Dingin."Dea. Aku ....""Kita ke klinik sekarang, ya?" Usul Dea sembari merangkul tubuh sahabatnya. Tetapi Leona menolak."Enggak.""Kondisi kamu lagi kayak gini masih aja nolak.""Please," ratapnya."Kenapa? Aku enggak mau sampai terjadi sesuatu sama kamu. Atau aku telfon Pak Nathan sekarang, ya? Biar bagaimanapun dia adalah su—.""Stop!" Sela Leona cepat. "Kamu udah janji enggak akan cerita ke siapapun soal ini. Bagaimana kalau ada yang denger?""Sorry-sorry. Abisnya aku bingung, Le. Di ajak ke klinik enggak mau. Bilang sama Pak Nathan juga enggak boleh. Aku cuma enggak mau kondisi kamu makin parah.""Aku baik-baik aja, kok. Cuma lemes aja.""Ya udah kalau gitu kita istirahat aja di ruangan. Nanti aku bilangin ke Pak Nathan supaya kamu boleh dipulangin lebih awal.""Enggak, De. Aku bilang enggak ya enggak." Kekeh Leona. "Aku enggak mau buat panik semua orang apalagi si gila itu, huft!" Leona mendecih. Ingatannya kembali pada ancaman hukuman yang diberikan Nathan."Tapi aku enggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, Le.""Aku baik-baik aja, De. Oke. Please! Jangan panik!"Dea menghela napas. "Oke kalau itu mau kamu. Tapi inget, aku sahabat kamu. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang sama aku."Leona mengangguk.Keduanya berjalan meninggalkan toilet untuk menemui Joshua yang masih stay menunggu di kantin."Le. Kamu sakit?" tanya Joshua sambil refleks membantu Leona duduk."Saya enggak apa-apa kok, Pak. Tadi cuma mual sama lemes aja. Mungkin maag saya kambuh," ucapnya jelas berbohong.Beruntung, Joshua mau percaya dan tidak menanyakan hal yang tidak-tidak setelahnya. Pria itu tersenyum sembari mengelus rambut Leona dan berkata, "Lain kali lebih dijaga lagi ya? Kesehatan itu penting, Leona."Argh! Sialan!Umpat seorang pria tampan berbalut jas abu-abu, mengepalkan kedua tangan lalu memukul tembok di sebelahnya cukup keras usai memergoki Leona dan Joshua yang tengah berduaan di kantin.'Ngapain si kutu kupret itu sama Leona? Kurang kerjaan aja,' batinnya sengit. Nathan mendengus kesal sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri mereka di sana.Namun sebelum pria itu sampai, Nathan berpapasan dengan Dea tepat di samping kasir. Seketika membuat langkahnya terhenti ketika mendapati sapaan dari karyawannya."Siang, Pak?" ucap Dea."Siang.""Tumben bapak ke kantin. Biasanya bapak—.""Kebetulan lewat. Sekalian ngecek konsumsi makanan yang tersedia di sini. Siapa tau ada yang sudah tidak layak. Saya hanya ingin selalu mengutamakan kesehatan karyawan saya. Toh kalau mereka sakit, akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, bukan?" Jelasnya sambil memfokuskan perhatiannya pada Leona dan Joshua.Dea mengangguk. Dengan senyum, gadis itu ikut mengarahkan pandangan yang sama dengan Pak Nathan.'Lagi ngliatin Leona rupanya. Kira-kira, Pak Nathan cemburu enggak ya liat istrinya deket sama pria lain?' Gumamnya dalam hati. 'Atau aku kasih tau aja kejadian yang baru saja menimpa Leona?'"Kamu kenapa masih di situ?""Bapak sendiri kenapa masih di sini?"Ck! Pria itu mendecih. "Kau ini, ya?" Tandas Nathan sambil berlalu pergi."Pak, tunggu!" Panggil Dea ketika Nathan baru selangkah meninggalkan tempat tersebut. Pria itu berbalik."Apa lagi?""Ada sesuatu yang mau saya sampaikan sama bapak."Kening pria itu mengernyit. Setelahnya melirik ke arah arloji sekilas. "Saya tidak punya waktu," tandasnya."Tapi ini soal Leona, pak."Nathan tercekat. Dia yang semula hendak acuh pun akhirnya penasaran dengan Dea. Apalagi menyangkut istrinya sendiri."Ada apa?""Tapi bapak janji ya, jangan beritahu Leona kalau saya yang bilang.""Hm."Dea menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Leona sakit, Pak. Tadi saya sempat melihat Leona muntah-muntah di toilet. Mungkin karena belum sarapan tadi pagi," ujar Dea.Sahabatnya memang belum tau jika Leona sedang hamil. Itu sebabnya dia hanya mengira penyakit maag Leona kambuh.Mata bulat Nathan seketika membola mendengar penuturan Dea. Dia tau penyebab Leona muntah adalah karena morning sicknes yang dialaminya di awal kehamilan."Terima kasih infonya." Pungkas Nathan lalu pergi begitu saja.Dea hanya termangu menatap kepergian Nathan yang bukan tak mungkin adalah menyusul Leona. 'Sorry ya, Le. Aku terpaksa ngomong sama Pak Nathan. Dia suami kamu, dia berhak tau atas apapun kejadian yang kamu alami. Apalagi menyangkut kesehatan.'Meski terkesan cuek dan tidak peduli, tapi sejatinya Nathan memiliki hati yang lembut. Jabatan dan kepopuleranlah yang membuatnya gengsi menunjukkan setiap kepedulian kecil pada orang lain."Leona. Ikut ke ruangan saya sekarang!" Titah Nathan ketika sudah berada di depan meja kantin yang ditempati istri dan sahabatnya itu."Tapi saya lagi makan, Pak!""Saya tidak peduli.""Nat, sabar dikitlah! Leona masih makan. Dan lagi pula ini masih jam istirahat." Joshua ikut menimpali."Bukan urusan kamu.""Tapi, Nat.""Ikut sekarang!" Sentak Nathan hingga membuat semua orang yang berada di sana langsung memfokuskan perhatian ke arah mereka.Leona yang malu karena menjadi bahan tontonan akhirnya mengalah juga. Dengan terpaksa, wanita itu menghentikan aktivitas makannya dan pergi ke ruangan bosnya."Aku duluan, Jo." Pamit Leona sebelum pergi."Duduk!" Titah Nathan kepada Leona saat sudah sampai di ruangan. Tetapi sayangnya, karyawan cantik itu menolak tak suka karena bosnya yang pemaksa."Tidak mau.""Siapa yang menyuruhmu makan dengan Joshua?" tanya Nathan tanpa menatap ke arah Leona.Si cantik itu hanya mendecih sambil memutar jengah kedua netranya. "Bukan urusan bapak. Mau saya makan dengan siapapun suka-suka sayalah.""Apa kau melupakan sesuatu?"Wanita itu terdiam."Kau masih istriku, Leona."Leona mendecih. "Saya perhatikan bapak selalu mengingatkan akan hal itu. Asal bapak tau saja, saya tidak pernah lupa dengan status kita ya, pak. Tetapi hal itu tidak berlaku saat di kantor, bukan? Di sini, bapak adalah bos saya dan saya adalah karyawan bapak.""Oh. Mulai berani kau, ya? Kau tidak sadar ya, bukankah kau menolak hukuman tidak digaji selama setahun?" tanya Nathan sambil tersenyum getir ke arah Leona. "Itu artinya ... pilihan kedua menjadi keputusan akhirmu, Leona."Shit!'Sialan! Ternyata Nathan benar-benar serius d
Nathan tersenyum kecut."Aku serius, Nath," ucap Joshua kemudian. Pria itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana sambil menyenderkan punggung. Menatap segelas air teh dalam gelas yang masih utuh, mengundang tanya bagi Joshua. "Buat siapa? Aku pikir kau masih belum menyukai minuman seperti ini.""Tidak penting itu untuk siapa." Nathan mendecih tak suka. Pria itu melangkahkan kaki menuju jendela. Sengaja membelakangi sahabatnya karena tidak ingin melihat wajah menyebalkan Joshua. "Nath?" Panggil Joshua.Yang diajak bicara hanya menoleh sekilas sambil bergumam pelan."Boleh aku minta bantuanmu?""Katakan!""Buat aku bisa dekat dengan Leona."'Ini gila!' Batin Nathan. 'Kau pikir dia siapa, huft!' "Kau dengar aku bicarakan, Nath?""Yeah.""Ayolah!""Sejak kapan kau menyukainya?""Setahun yang lalu.""Jadi kau putus dengan Klara karena Leona?" Tebak Nathan kemudian berbalik ke arah pria itu. Sahabatnya pernah berpacaran dengan Klara sebelumnya - teman seperkuliahan Joshua semasa dulu.
"Apa-apaan ini," umpat Nathan sembari membanting ponselnya kasar di atas meja. Sebuah foto berhasil masuk melalui pesan yang dikirimkan oleh seseorang hingga membuat emosi Nathan mencuat.Tanpa pikir panjang, Nathan langsung menelpon Leona saat itu juga. "Halo.""Ha-halo, Pak," jawab Leona gugup. Baru juga ditinggal sebentar, sudah langsung menelpon. Menyebalkan."Sedang apa kamu?""Kerjalah, Pak.""Kau yakin?" Nathan memastikan. Sementara Leona langsung menoleh ke samping di mana ada Dea di sana. 'Kenapa?' tanya Dea tanpa bersuara. Tetapi sahabatnya tak menjawab."Yakin, Pak. Ini saya masih mengerjakan laporan yang bapak minta.""Nanti sore pulang bareng saya!" Titah Nathan."Hah?! Tapi, pak.""Tidak terima alasan apapun."Tut.Panggilan berakhir. Nathan memutuskannya secara sepihak. Si cantik Leona hanya mengernyitkan kening bingung."Ada apa, Le?" Dea bertanya keheranan. "Pak Bos nelpon kamu? Baru juga dipanggil ke ruangan kan?"Leona mengedikkan bahu. "Entahlah.""Emang dia ngo
"Sialan!" Umpat Nathan dalam hati ketika melihat Joshua berdiri di depan pintu. "Ngapain dia ke sini?" Gumamnya sambil mengacak rambutnya frustrasi. Dia melirik ke arah Leona yang tengah berdiri menatapnya dari atas tangga."Siapa?" "Joshua."Leona membulatkan mata."Kenapa kau masih diam di situ, hem?" Nathan gemas sendiri melihat istinya."Aku ....""Cepat sembunyi, atau kau akan ketahuan jika sudah jadi istriku."Wanita itu menurut, dia pergi ke kamar dan menguncinya rapat. Membiarkan Nathan menemui Joshua.Ceklek"Lama banget buka pintunya," keluh pria berambut pirang itu dengan raut wajah yang bersungut kesal. Memilih untuk langsung masuk dan duduk dengan kasar di sofa.Nathan tak menjawab."Kerjaan gimana?""Oke.""Barusan aku ketemu sama Leona," ucap Joshua. "Apa hubungannya denganku?" tanya Nathan sarkastik."Soal kesalahannya. Aku tau kau
"Hentikan!" Sergah Nathan cepat. Menghadang Joshua yang hendak masuk tepat di depan pintu. Sontak, membuat Joshua mengernyitkan kening heran"Kenapa? Tak biasanya kau begitu?""Tidak ada apa-apa," jawabnya gugup sambil menggaruk kepala yang tak gatal."Kau menyembunyikan sesuatu dariku, bukan?" Tuduhnya. Lalu tanpa pikir panjang langsung mendorong tubuh Nathan dari sana hingga membuat si tampan itu hampir jatuh."Sialan!"Klek!Pintu terbuka. Joshua masuk ke kamar Nathan. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru. Tidak ada siapa pun."Kau mau cari apa, sih? Sudah kubilang di sini tidak ada siapa-siapa," ujar Nathan sembari mendekat ke arah Joshua."Hei, kau pikir telingaku rusak? Aku tidak mungkin salah dengar bahwa ada sumber suara yang berasal dari kamar ini.""Tapi kau lihat sekarang!" Titah Nathan dengan mata yang menatap sekeliling tempat itu. Aneh! Memang tidak ada siapa pun di sini. 'Lalu di mana
"Karena kita sudah sepakat untuk merahasiakan pernikahan kita, itu sebabnya aku juga mau kamu bisa diajak kerja sama dalam masalah ini," sahut wanita itu cepat sambil menatap lekat sepasang bola mata milik sang suami.Kedua telapak tangannya sudah menggenggam erat dengan nafas yang terlihat naik turun. Jantungnya seakan memompa lebih cepat dari sebelumnya. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya mulai kabur. Detik selanjutnya ....Leona pingsan!Beruntung, Nathan dengan sigap memapah tubuh istrinya cepat di atas pangkuannya."Hei, bangun!" Nathan menepuk pipi Leona lembut. "Kau kenapa?"Pria itu menggerutu kesal, lagi-lagi Leona selalu membuat dirinya repot hingga dia harus bersusah payah untuk menyadarkan wanita itu.Di saat yang bersamaan, bi Ijah datang mengetuk pintu kamar Nathan."Masuk!" Interupsi Nathan dari dalam ruangan.Terlihat ART yang sudah bekerja selama hampir sepuluh tahun itu membawa sebuah nampan b
Brukk!PrangggTubuh Nathan ambruk ketika dengan refleks Leona mendorong sang suami yang sudah berani menciumnya tanpa izin. Bebarengan dengan jatuhnya piring berisi nasi pecel hingga membuat makanan itu berserakan mengotori lantai."Dasar bodoh!" seru Nathan beranjak dari duduknya sambil memegangi pantat yang terasa nyeri."Kamu yang sudah lancang." Leona berteriak. Netranya berkaca-kaca meratapi nasi pecel yang sudah berceceran di lantai, tak mungkin bisa dimakan. Padahal sudah sejak semalam dia mengidamkan makanan tersebut."Lancang bagaimana?""Kenapa kamu menciumku?""Itu karena salahmu, huft." Nathan membersihkan celananya yang kotor dengan tangan sebelum akhirnya duduk kembali di tepi ranjang."Salahku?" Leona menunjuk dirinya."Iya. Aku menyuruhku makan tapi kau sangat sulit diatur.""Kan aku sudah bilang aku tidak mau disuapi. Kenapa kamu terus memaksa?" "Karena kau sudah sepakat untuk mengikuti semua kemauanku, kan?"Leona menghela napas panjang mendengar alasan Nathan yang
"Pe-peluk?" Leona gelagapan. "Iya. Aku ingin memelukmu sebagai istri."'Ya Tuhan,' batin wanita itu. Dia tidak menyangka Nathan akan menganggapnya sebagai istri. Rasanya masih seperti mimpi. Namun ketika mengingat momen Nathan yang meruda paksa sebulan lalu, hati Leona kembali nyeri."Kenapa kamu diam saja? Apa kamu keberatan? Jika kamu masih keberatan aku tidak akan memaksa?""Mas?""Ya.""Bukankah baru beberapa jam yang lalu kamu menyuruhku untuk selalu tunduk dan patuh dengan semua perintahmu?" Leona memastikan.Nathan hanya tersenyum. Dia meneguk saliva sebelum menjawab. "Aku sadar selama ini aku sudah egois.""Lalu?""Boleh aku memelukmu?" Nathan mengulang kembali pertanyaannya. Dia sungguh ingin mendekap erat tubuh tambatan hatinya untuk yang kedua kali setelah insiden malam panas kala itu. Jika kemarin dia memaksa, kali ini dia sangat serius dengan ucapannya.Mau tak mau, Leona akhirnya mengangguk."Terima kasih."Nathan langsung mendekat ke arah istrinya dan memeluknya erat.
Tepat jam 09.00 malam, Nathan dan Leona pergi meninggalkan kediaman rumah baru Bu Leni. Setelah berunding cukup lama, Nathan memutuskan untuk tetap membawa istrinya kembali ke Ibukota.Meski rasa lelah kian mendera tubuh Leona, pria pemilik perusahaan Diana Beauty itu tetap mengupayakan kenyamanan sang istri. Duduk di kursi samping kemudi, Nathan sengaja menurunkan jok hingga posisinya setengah duduk.Beruntung, bantal kecil selalu menemani ke mana pun perginya mobil itu. Nathan sengaja menaruh bantal di kursi belakang untuk jaga-jaga kalau istrinya kelelahan duduk."Begini nyaman?" tanya Nathan setelah menarik ujung selimut yang ia bawa dari rumah Bu Leni.Leona mengangguk kecil sambil tersenyum."Kamu istirahat ya, sayang? Kalau ngantuk tidur. Mas akan bawa mobilnya pelan-pelan," ujar pria itu sembari mengenakan sabuk pengaman."Tapi kalau pelan malah nggak sampai-sampai, mas."Nathan menghela napas panjang. "Terus kamu maunya gimana, sayang? Mas mau kamu nyaman selama perjalanan p
Nathan panik hingga terus memaksa istrinya untuk pergi le rumah sakit. Apalagi ini kehamilan pertama untuk keluarga Leonath. Tentu tidak akan Nathan biarkan hal buruk menimpa istri dan janin dalam kandungan."Aku nggak papa, mas. Perutku cuma kram," lembut Leona berusaha menenangkan sang suami. "Yakin nggak papa?" Nathan memastikan.Wanita cantik itu mengangguk sebelum akhirnya mengembangkan senyuman. "Aku udah sempet konsultasi sama dokter kandungan, bahkan aku juga punya nomor teleponnya. Hal ini wajar terjadi karena biasanya karena kecapekkan, mas?" Leona menjelaskan dengan netra yang menatap lekat kedua bola mata suaminya."Betul, le. Leona memang sepertinya kecapekkan, belum sempat istirahat usai acara empat bulanan, eh langsung gas pulang kampung," imbuh Bu Leni yang sudah berpengalaman itu. "Saran ibu, apa tidak sebaiknya Leona istirahat dulu. Kalau kamu nggak keberatan, Leona bisa tinggal di sini sama ibu dan Alya," usul Bu Leni."Asal Mas Nathan ngizinin, aku iya aja sih, Bu
Nathan baru sempat menyusul masuk setelah obrolannya lewat telepon dengan Joshua selesai. Pria pemilik Diana Beauty itu tidak habis pikir dengan pemikiran Joshua yang terus saja berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan sang istri."Halo.""[Nathan. Gue pikir lo udah nggak mau angkat telepon gue lagi.]""Mau apa lagi?""[Gue cuma mau istri lo, Nath.]""Ck." Nathan mendecih. "Itu nggak akan pernah terjadi, Jo. Leona itu istriku. Kami sudah sah secara agama dan hukum.""[Tapi kalian masih bisa bercerai. Dan aku akan menikahi Leona.]""Jangan mimpi, Jo. Leona sedang mengandung anakku.""[Kamu tenang saja! Aku akan merawat anak itu seperti anak kandungku sendiri.]""Kurang ajar! Kenapa—.""[Kalau gue enggak bisa bahagia dengan Leona. Gue juga enggak akan biarkan Leona bahagia dengan siapapun termasuk lo, Nath.]" Tandas Joshua yang langsung memutuskan panggilan secara sepihak.'Keterlaluan.' Geram Nathan. Dia tidak terima dengan pernyataan Joshua. Tidak cukupkah dia yang ingi
"Siap?" "Lets, go!" Sorak Leona yang antusias akan pergi ke kampung halamannya. Wanita hamil empat bulan itu terlihat cantik meskipun hanya mengenakan dress selutut warna putih yang dibalut dengan blazer berwarna navy. Senada dengan sang suami - Nathan juga mengenakan kemeja panjang berwarna Navy berpadu dengan celana jeans hitam panjang.Tepat jam sepuluh pagi, setelah semuanya siap dengan barang-barang yang akan di bawa, mobil Nathan melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan Ibukota yang cukup ramai."Ibu belum ngabarin Alya kan kalau kita sedang perjalanan pulang?" tanya Leona kepada Bu Leni yang duduk di kursi belakang."Ini ibu baru mau ngabarin," jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas berlogo dior itu. Ya, wanita berhijab coklat tua itu selain mendapat hadiah rumah dari sang mantu, dia juga mendapat tas branded dari Leona. Katanya Leona sudah bosan pakai tas tersebut, itu sebabnya dia memberikan tas tersebut untuk Bu Leni."Jangan dulu, bu!" Sergah Leona cepa
Jam 7 pagi"Ibu mau ngapain?" tanya Ijah yang tengah sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring sisa semalam di wastafel."Saya mau bikin sarapan, Bi?" Bu Leni membuka kulkas, mengambil beberapa bahan masakan seperti sayuran dan daging. Alhamdulillah, semua makanan untuk acara empat bulanan Leona ludes tak bersisa.Semua orang terlihat menikmati semua makanan olahan yang disajikan dalam prasmanan malam itu. Sisanya dibagikan ke warga supaya tidak mubadzir."Ibu duduk saja! Nanti biar saya yang masak.""Nggak papa, Bi. Santai aja, nggak usak sungkan begitu.""Hehe ....""Ini Leona sama mantuku belum bangunkah?" lirihnya ketika mengupas kentang di meja. Wanita itu merasa menyesal karena mengingat kejadian semalam yang lagi-lagi tak sengaja memergoki menantu dan anaknya yang hendak beribadah.Pluk!Bu Leni menepuk jidat."Kenapa, Bu? Sakit kepala?""Nggak papa, Bi.""Ehem-ehem!" Suara seseorang berdehem yang tak asing itu membuat Bu Leni dan Ijah kompak menoleh menuju sumber suara. Mendapa
Nathan menghela napas lega. "Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar," ucapnya saat duduk mengamati setiap rangkaian acara yang sedang berlangsung.Pria berpakaian koko putih yang dipadukan dengan kain sarung berwarna hitam itu tampak tersenyum senang melihat acara 4 bulanan istrinya berjalan dengan khidmat. Pembacaan ayat suci Al-quran pun ikut mengiringi hari bahagia mereka di rumah keluarga Nathan."Alhamdulillah," ucap syukur Bu Leni."Leone lega banget, bu. Akhirnya acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun," senyum bumil itu merekah dari kedua sudut bibirnya yang dihiasi lipstik berwarna nude."Iya, nduk. Jujur tadi pagi ibu sempet panik gara-gara masalah ayam. Untung suamimu cerdas bisa menyelesaikan masalah dengan cepat.""Ya kalau nggak cerdas mana mungkin anakmu mau, bu." Leona terkekeh mengingat usaha keras sang suami yang patut diacungi jempol.Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengendalikan persoalan ayam yang belum disembelih, belum lagi urusan m
Leona terkejut. Wanita hamil itu pun langsung berbalik ke belakang untuk membangunkan sang suami."Eh, belum dijawab ibu le tanya kok udah ditinggal pergi." Bu Leni garuk-garuk kaki, bukan. Maksudnya kepala.Sementara di dalam, Leona sedang susah payah membangunkan Nathan yang terlihat masih mimpi di pulau kapuk hingga nampak pulau baru yang tergambar di bantal.'Ganteng-ganteng kok ngiler sih kamu, mas.' Gumamnya sambil mengguncang tubuh atletis pria itu yang masih polos tanpa sehelai benang.Keterlaluan sih, bisa-bisanya mereka bermain tanpa jeda hingga adzan subuh. Ente kadang-kadang ente."Mas!" Nathan tak bergeming. Pemilik pabrik kosmetik itu tetap mendengkur dengan posisi tengkurap dengan bibir yang mengaga sedikit."Nduk?" Leona menoleh menuju sumber suara lantas menepuk jidat. "Ya Allah, ibu masih nunggu di luar." Buru-buru dia keluar untuk menemui Bu Leni. "Kenapa, bu? Ngapain ibu masih di sini?" Khawatir Leona kalau sampai ibu tak sengaja melihat suaminya belum memakai b
Malam semakin larut, rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi. Angin berembus masuk melalui celah tirai.Pasutri itu tampak asyik dengan dunianya, hawa dingin yang mencekam pun seolah sirna oleh hangatnya sentuhan raga yang tengah memadu kasih malam itu. Sayup-sayup, terdengar rintihan lembut di tengah guncangan hebat yang semakin membabi buta."Apa kamu sudah keluar?" Entah apa itu. Suara Leona bergetar di tengah pertempuran di medan perang nan hebatnya.Wanita yang tengah hamil memasuki bulan ke empat itu masih memejamkan mata, menikmati setiap permainan indah yang Nathan ciptakan dalam naluri."Belum.""Ke-napa?" Nafas Leona tersengal menahan sesuatu yang ingin menyembur di liang hangat miliknya."Aku masih ingin bermain lebih lama lagi, sayang?" Kecupan singkat mendarat dengan sempurna di bibir legit Leona yang menggoda."Aish, kok bisa? Ini udah hampir satu jam, mas?" Dusta. Tapi itu faktanya. Pasangan suami istri itu telah melewatkan waktu yang tak sebentar hanya untuk
Nathan menghela napas panjang ketika sudah sampai di kamar, duduk bersandar bantal di punggung, sambil mengelus-elus kepala sang istri yang ada di pahanya."Capek ya, mas?""Lumayan, sayang. Ayamnya lari mulu. Susah nangkepnya.""Lagian ngapain mas beli ayam hidup? Mana nggak ngomong dulu sama aku lagi," ucap Leona sambil memainkan kuku jari."Maaf, sayang. Niat mas cuma pengin nurutin ngidam kamu pingin makan ayam goreng kampung. Tapi karena keinget acara 4 bulanan, mas pikir sekalian aja beli ayamnya. Kan lebih enak kalau menyembelih sendiri.""Astaghfirullah." Leona refleks bangkit dari rebahannya."Kenapa, sayang?""Mas udah sembelih ayamnya?" Mimik Leona berubah cemas."Belum.""Mas tau nggak?"Nathan menggeleng polos. "Tau apa, sayang. Kamu kan belum ngomong apa-apa.""Mas, kalau istrinya lagi hamil itu pamali menyakiti hewan apalagi sampai membunuh.""Serius, sayang?" Nathan baru tau."Serius, mas. Jadi jangan pernah mas berpikirin buat sembelih ayam sendiri, ya? Aku nggak mau