"Apa kalian tidak punya pekerjaan lain selain mengobrol saat jam kerja?" tanya Nathan dengan kedua alis yang menukik tajam. Satu tangannya di masukkan ke dalam saku celana dengan atensinya yang menatap pada sosok Leona, Dea dan juga Joshua secara bergantian.
Tak mau ambil pusing, Joshua yang berada di sana pun lantas pergi usai berpamitan pada Leona."Saya duluan. Le, jangan lupa nanti siang, ya?" Pria itu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Membuat Nathan yang melihat hal itu mendecih tak suka."Ma-maaf, pak. Tadi kami—.""Tidak ada yang menyuruhmu bicara," sergah Nathan mendengar kalimat yang hendak diucapkan Dea. "Dan kau—," menunjuk ke arah Leona, "ikut ke ruangan saya sekarang!" Titahnya.Pria itu langsung berbalik meninggalkan dua karyawannya yang masih berdiri mematung di tempat."Menyebalkan, huh!""Sabar!" Dea menghela napas sembari mengelus punggung sahabatnya lembut. "Kau berhutang cerita denganku.""Hm.""Pergilah! Atau masalahmu akan semakin berat. Kau tau 'kan semua hal yang menyangkut dengan Pak Nathan endingnya seperti apa?""Selalu buruk.""Takdir kadang memang sebercanda itu." Pungkas Dea sembari duduk di kursi dan memulai pekerjaannya.Dengan raut wajah yang bersungut kesal. Wanita cantik bernama Leona itu langsung bergegas menuju ruangan Nathan."Le?" teriak Dea saat sahabatnya sampai di ambang pintu. Membuat wanita itu menghentikan langkah. "Kau belum jawab ajakannya Pak Joshua."HuftLeona mendengus sambil memutar jengah kedua netranya. Bisa-bisanya membahas hal tidak penting seperti ini di tengah masalahnya yang kian mendera. Leona memilih abai dan berlalu pergi.Langkahnya terasa berat untuk menemui Nathan. Apalagi saat mengingat tingkahnya yang super menyebalkan itu.Tok-tok!"Masuk!" Suara Nathan dari dalam ruangan. Membuat Leona dengan malas membuka pintu dan berjalan masuk ke sana."Duduk!" Titah pria itu."Bapak panggil saya?" ucap Leona sembari duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan suaminya itu.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Nathan. Pria itu beranjak dari kursinya dan mengambil sebuah stop map berwarna merah muda dari dalam lemari, meletakkan tepat di depan Leona."Ini apa, Pak?""Kau bisa baca, kan?"Leona membulatkan mata tak suka. 'Memangnya kau pikir mataku rusak? Aku hanya bertanya apa itu salah, huh!' Batinnya kesal sambil membuka map berwarna itu, membacanya dengan seksama."Pak?" seru Leona sambil bangkit dari kursi.Pria itu mendongak sambil bertopang dagu. Dengan senyum tak berdosanya itu dia berkata. "Apa ada yang salah?""Ini gila. Bagaimana bapak bisa membuat keputusan seperti ini?""Leona. Kesalahan yang kau buat itu terlalu fatal.""Tapi hukuman yang bapak berikan sama sekali tidak adil bagi saya.""Di sini yang jadi bos siapa?" ucap Nathan dengan menaikkan satu alisnya."Bapak.""Apa kau sedang berusaha melawan?"Si cantik Leona refleks menggeleng. "Tapi, pak. Saya—.""Gara-gara kau salah mengirimkan email kepada klien, itu membuat perusahaan kita mengalami rugi. Semua data-data yang seharusnya menjadi rahasia perusahaan harus bocor karena ulahmu. Dan kau tau dampaknya?"Leona menggeleng lemah."Pak Dirga membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaan kita." Tegas Nathan, membuat Leona membulatkan mata tak percaya."Apa separah itu, pak?""Menurutmu?"Desahan kecil berhasil lolos dari bibir wanita cantik itu. Dia mengakui kesalahan yang dilakukan Leona cukup fatal setelah mendengarkan penjelasan Nathan. Tetapi jika hukumannya tidak digaji selama setahun rasanya sangat tidak adil. Apalagi selama ini uang gajinya selalu diberikan kepada ibunya di kampung halaman dan membantu membiayai adiknya yang masih sekolah di bangku SMA.Dia memang selalu mendapat jatah dari Nathan sebagai nafkah yang diberikan kepada istri. Tapi kalau begini, bukankah dia juga harus meminta izin pada pria itu jika hendak mengirimkan uang ke rumah?'Ya Tuhan, kenapa seberat ini cobaannya? Dosa apa aku di masa lalu?' Batin Leona sembari mengacak rambutnya frustasi.Wanita itu menunduk, butiran kristal bening sudah berhasil lolos membasahi pipi. "Tidakkah ada opsi lain selain itu, pak?" ucap Leona sambil terisak.Dengan penuh iba, dia berharap belas kasihan Nathan untuk mengubah keputusannya.Nathan terdiam menatap wajah karyawan cantik itu. Sebenarnya dia juga tidak tega menghukum istrinya sendiri, tapi kalau tidak, bisa-bisa dia makin melunjak dan melawan. Pikir Nathan."Jadi kau memilih opsi lain?"Leona refleks mengangguk. "Saya mohon, pak. Uang hasil kerja keras saya selama di sini selalu saya kirimkan kepada ibu di kampung. Hanya di sini saya menggantungkan hidup. Jika bapak tidak menggaji saya selama setahun, bagaimana nasib ibu dan adik saya di kampung?" ucap Leona menjelaskan."Kau pikir aku peduli?" Nathan mendecih sambil kedua tangannya terlipat di depan dada."Tolong, pak!" Rintihnya. Tanpa malu, wanita itu akan terus memohon agar Nathan memberinya hukuman lain."Hm," gumam Nathan. Pria berbalut jas berwarna abu-abu itu berjalan mendekat ke arah jendela. Pandangannya mengedar menatap pemandangan Ibukota dari ketinggian sambil berpikir hukuman apa yang cocok diberikan untuk karyawan cantik itu sekaligus istri sahnya."Saya akan melakukan apapun, pak. Asalkan saya masih bisa gajian setiap bulan," ucap Leona, sukses membuat pria itu menyunggingkan senyum.Nathan lalu berbalik. Kini berjalan mendekat ke arah wanita itu dan menatapnya lekat. "Apa kau yakin dengan ucapanmu, Leona?" tanya Nathan memastikan.Leona refleks mengangguk. "Saya yakin, pak.""Kalau begitu, hukuman yang pantas untukmu adalah ...," ucapan pria itu menggantung. Membuat degup jantung Leona bertabuh kencang dari sebelumnya. Pandangannya tak pernah lepas dari menatap sosok Nathan yang begitu menyeramkan saat ini. Leona takut sungguh." ... kau harus tunduk dan patuh terhadap apapun yang kuperintahkan padamu, terutama saat menjadi istri. Kau harus menjadi istri yang berbakti dan selalu taat pada suamimu. Apalagi kau tengah hamil, aku tidak mau anak kita menjadi pembangkang hanya karena saat hamil kau selalu melawan suamimu." Tandas Nathan.Saat itu mata Leona langsung terbuka lebar saking syoknya."Apa bapak sudah gila?""Ck!""Saya bahkan menikahi bapak karena terpaksa. Dan sekarang bapak minta saya untuk selalu tunduk dan patuh dengan perintah?" Leona menggeleng keras. "Saya tidak mau.""Baiklah. Saya rasa opsi pertama lebih cocok untukmu."Ya Tuhan, Leona tidak mau jika kerja kerasnya tidak digaji selama setahun. Tetapi dia juga tidak ingin menjadi budak Nathan dengan selalu menuruti setiap keinginan gilanya itu. Keluh Leona."Pilihan ada ditanganmu, Leona.""Pak ...," lirihnya dengan netra yang berkaca-kaca. "Saya tidak memilih keduanya."BrakkSuara gebrakan itu membuat Leona berjengit saking kagetnya. "Kau pikir perusahaan ini milik nenek moyangmu sehingga kau bisa bekerja sesuka hati? Masih untung saya memberimu pilihan. Kalau kau masih tidak mau, pilihan pertama akan menjadi keputusan saya." Tandas Nathan."Tapi, pak ...."Huek huek!"Kamu kenapa, Le?" tanya Joshua saat tengah menikmati makan siang bersama di kantin kantor. Tanpa menjawab pertanyaan sang pria, Leona langsung beranjak pergi menuju toilet yang berada di belakang kantin. Membuka pintu, lalu memuntahkan semua isi perutnya yang membuatnya mual.Sebenarnya sudah sejak tadi pagi Leona merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tapi wanita cantik itu tetap memaksakan diri untuk masuk kantor. Di sisi lain, Dea yang baru datang ke kantin melihat Joshua dengan raut wajah cemasnya membuat wanita itu langsung menghampiri. "Jo, kamu kenapa? Leona ke mana? Kalian janjian makan siang, kan?" tanya Dea sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari keberadaan sahabatnya tetapi hasilnya nihil."Dia lagi ke toilet. Kayaknya dia sakit, deh!" Ujarnya."Hah?""I-iya. Soalnya tadi mendadak pengin muntah dianya.""Aku duluan." Pamitnya sambil berlalu pergi."De. Kamu mau ke mana?""Ke Hongkong, ya nyusul Leona lah, aneh."Joshua mengacak rambutnya frustr
"Duduk!" Titah Nathan kepada Leona saat sudah sampai di ruangan. Tetapi sayangnya, karyawan cantik itu menolak tak suka karena bosnya yang pemaksa."Tidak mau.""Siapa yang menyuruhmu makan dengan Joshua?" tanya Nathan tanpa menatap ke arah Leona.Si cantik itu hanya mendecih sambil memutar jengah kedua netranya. "Bukan urusan bapak. Mau saya makan dengan siapapun suka-suka sayalah.""Apa kau melupakan sesuatu?"Wanita itu terdiam."Kau masih istriku, Leona."Leona mendecih. "Saya perhatikan bapak selalu mengingatkan akan hal itu. Asal bapak tau saja, saya tidak pernah lupa dengan status kita ya, pak. Tetapi hal itu tidak berlaku saat di kantor, bukan? Di sini, bapak adalah bos saya dan saya adalah karyawan bapak.""Oh. Mulai berani kau, ya? Kau tidak sadar ya, bukankah kau menolak hukuman tidak digaji selama setahun?" tanya Nathan sambil tersenyum getir ke arah Leona. "Itu artinya ... pilihan kedua menjadi keputusan akhirmu, Leona."Shit!'Sialan! Ternyata Nathan benar-benar serius d
Nathan tersenyum kecut."Aku serius, Nath," ucap Joshua kemudian. Pria itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana sambil menyenderkan punggung. Menatap segelas air teh dalam gelas yang masih utuh, mengundang tanya bagi Joshua. "Buat siapa? Aku pikir kau masih belum menyukai minuman seperti ini.""Tidak penting itu untuk siapa." Nathan mendecih tak suka. Pria itu melangkahkan kaki menuju jendela. Sengaja membelakangi sahabatnya karena tidak ingin melihat wajah menyebalkan Joshua. "Nath?" Panggil Joshua.Yang diajak bicara hanya menoleh sekilas sambil bergumam pelan."Boleh aku minta bantuanmu?""Katakan!""Buat aku bisa dekat dengan Leona."'Ini gila!' Batin Nathan. 'Kau pikir dia siapa, huft!' "Kau dengar aku bicarakan, Nath?""Yeah.""Ayolah!""Sejak kapan kau menyukainya?""Setahun yang lalu.""Jadi kau putus dengan Klara karena Leona?" Tebak Nathan kemudian berbalik ke arah pria itu. Sahabatnya pernah berpacaran dengan Klara sebelumnya - teman seperkuliahan Joshua semasa dulu.
"Apa-apaan ini," umpat Nathan sembari membanting ponselnya kasar di atas meja. Sebuah foto berhasil masuk melalui pesan yang dikirimkan oleh seseorang hingga membuat emosi Nathan mencuat.Tanpa pikir panjang, Nathan langsung menelpon Leona saat itu juga. "Halo.""Ha-halo, Pak," jawab Leona gugup. Baru juga ditinggal sebentar, sudah langsung menelpon. Menyebalkan."Sedang apa kamu?""Kerjalah, Pak.""Kau yakin?" Nathan memastikan. Sementara Leona langsung menoleh ke samping di mana ada Dea di sana. 'Kenapa?' tanya Dea tanpa bersuara. Tetapi sahabatnya tak menjawab."Yakin, Pak. Ini saya masih mengerjakan laporan yang bapak minta.""Nanti sore pulang bareng saya!" Titah Nathan."Hah?! Tapi, pak.""Tidak terima alasan apapun."Tut.Panggilan berakhir. Nathan memutuskannya secara sepihak. Si cantik Leona hanya mengernyitkan kening bingung."Ada apa, Le?" Dea bertanya keheranan. "Pak Bos nelpon kamu? Baru juga dipanggil ke ruangan kan?"Leona mengedikkan bahu. "Entahlah.""Emang dia ngo
"Sialan!" Umpat Nathan dalam hati ketika melihat Joshua berdiri di depan pintu. "Ngapain dia ke sini?" Gumamnya sambil mengacak rambutnya frustrasi. Dia melirik ke arah Leona yang tengah berdiri menatapnya dari atas tangga."Siapa?" "Joshua."Leona membulatkan mata."Kenapa kau masih diam di situ, hem?" Nathan gemas sendiri melihat istinya."Aku ....""Cepat sembunyi, atau kau akan ketahuan jika sudah jadi istriku."Wanita itu menurut, dia pergi ke kamar dan menguncinya rapat. Membiarkan Nathan menemui Joshua.Ceklek"Lama banget buka pintunya," keluh pria berambut pirang itu dengan raut wajah yang bersungut kesal. Memilih untuk langsung masuk dan duduk dengan kasar di sofa.Nathan tak menjawab."Kerjaan gimana?""Oke.""Barusan aku ketemu sama Leona," ucap Joshua. "Apa hubungannya denganku?" tanya Nathan sarkastik."Soal kesalahannya. Aku tau kau
"Hentikan!" Sergah Nathan cepat. Menghadang Joshua yang hendak masuk tepat di depan pintu. Sontak, membuat Joshua mengernyitkan kening heran"Kenapa? Tak biasanya kau begitu?""Tidak ada apa-apa," jawabnya gugup sambil menggaruk kepala yang tak gatal."Kau menyembunyikan sesuatu dariku, bukan?" Tuduhnya. Lalu tanpa pikir panjang langsung mendorong tubuh Nathan dari sana hingga membuat si tampan itu hampir jatuh."Sialan!"Klek!Pintu terbuka. Joshua masuk ke kamar Nathan. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru. Tidak ada siapa pun."Kau mau cari apa, sih? Sudah kubilang di sini tidak ada siapa-siapa," ujar Nathan sembari mendekat ke arah Joshua."Hei, kau pikir telingaku rusak? Aku tidak mungkin salah dengar bahwa ada sumber suara yang berasal dari kamar ini.""Tapi kau lihat sekarang!" Titah Nathan dengan mata yang menatap sekeliling tempat itu. Aneh! Memang tidak ada siapa pun di sini. 'Lalu di mana
"Karena kita sudah sepakat untuk merahasiakan pernikahan kita, itu sebabnya aku juga mau kamu bisa diajak kerja sama dalam masalah ini," sahut wanita itu cepat sambil menatap lekat sepasang bola mata milik sang suami.Kedua telapak tangannya sudah menggenggam erat dengan nafas yang terlihat naik turun. Jantungnya seakan memompa lebih cepat dari sebelumnya. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya mulai kabur. Detik selanjutnya ....Leona pingsan!Beruntung, Nathan dengan sigap memapah tubuh istrinya cepat di atas pangkuannya."Hei, bangun!" Nathan menepuk pipi Leona lembut. "Kau kenapa?"Pria itu menggerutu kesal, lagi-lagi Leona selalu membuat dirinya repot hingga dia harus bersusah payah untuk menyadarkan wanita itu.Di saat yang bersamaan, bi Ijah datang mengetuk pintu kamar Nathan."Masuk!" Interupsi Nathan dari dalam ruangan.Terlihat ART yang sudah bekerja selama hampir sepuluh tahun itu membawa sebuah nampan b
Brukk!PrangggTubuh Nathan ambruk ketika dengan refleks Leona mendorong sang suami yang sudah berani menciumnya tanpa izin. Bebarengan dengan jatuhnya piring berisi nasi pecel hingga membuat makanan itu berserakan mengotori lantai."Dasar bodoh!" seru Nathan beranjak dari duduknya sambil memegangi pantat yang terasa nyeri."Kamu yang sudah lancang." Leona berteriak. Netranya berkaca-kaca meratapi nasi pecel yang sudah berceceran di lantai, tak mungkin bisa dimakan. Padahal sudah sejak semalam dia mengidamkan makanan tersebut."Lancang bagaimana?""Kenapa kamu menciumku?""Itu karena salahmu, huft." Nathan membersihkan celananya yang kotor dengan tangan sebelum akhirnya duduk kembali di tepi ranjang."Salahku?" Leona menunjuk dirinya."Iya. Aku menyuruhku makan tapi kau sangat sulit diatur.""Kan aku sudah bilang aku tidak mau disuapi. Kenapa kamu terus memaksa?" "Karena kau sudah sepakat untuk mengikuti semua kemauanku, kan?"Leona menghela napas panjang mendengar alasan Nathan yang
Nathan panik hingga terus memaksa istrinya untuk pergi le rumah sakit. Apalagi ini kehamilan pertama untuk keluarga Leonath. Tentu tidak akan Nathan biarkan hal buruk menimpa istri dan janin dalam kandungan."Aku nggak papa, mas. Perutku cuma kram," lembut Leona berusaha menenangkan sang suami. "Yakin nggak papa?" Nathan memastikan.Wanita cantik itu mengangguk sebelum akhirnya mengembangkan senyuman. "Aku udah sempet konsultasi sama dokter kandungan, bahkan aku juga punya nomor teleponnya. Hal ini wajar terjadi karena biasanya karena kecapekkan, mas?" Leona menjelaskan dengan netra yang menatap lekat kedua bola mata suaminya."Betul, le. Leona memang sepertinya kecapekkan, belum sempat istirahat usai acara empat bulanan, eh langsung gas pulang kampung," imbuh Bu Leni yang sudah berpengalaman itu. "Saran ibu, apa tidak sebaiknya Leona istirahat dulu. Kalau kamu nggak keberatan, Leona bisa tinggal di sini sama ibu dan Alya," usul Bu Leni."Asal Mas Nathan ngizinin, aku iya aja sih, Bu
Nathan baru sempat menyusul masuk setelah obrolannya lewat telepon dengan Joshua selesai. Pria pemilik Diana Beauty itu tidak habis pikir dengan pemikiran Joshua yang terus saja berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan sang istri."Halo.""[Nathan. Gue pikir lo udah nggak mau angkat telepon gue lagi.]""Mau apa lagi?""[Gue cuma mau istri lo, Nath.]""Ck." Nathan mendecih. "Itu nggak akan pernah terjadi, Jo. Leona itu istriku. Kami sudah sah secara agama dan hukum.""[Tapi kalian masih bisa bercerai. Dan aku akan menikahi Leona.]""Jangan mimpi, Jo. Leona sedang mengandung anakku.""[Kamu tenang saja! Aku akan merawat anak itu seperti anak kandungku sendiri.]""Kurang ajar! Kenapa—.""[Kalau gue enggak bisa bahagia dengan Leona. Gue juga enggak akan biarkan Leona bahagia dengan siapapun termasuk lo, Nath.]" Tandas Joshua yang langsung memutuskan panggilan secara sepihak.'Keterlaluan.' Geram Nathan. Dia tidak terima dengan pernyataan Joshua. Tidak cukupkah dia yang ingi
"Siap?" "Lets, go!" Sorak Leona yang antusias akan pergi ke kampung halamannya. Wanita hamil empat bulan itu terlihat cantik meskipun hanya mengenakan dress selutut warna putih yang dibalut dengan blazer berwarna navy. Senada dengan sang suami - Nathan juga mengenakan kemeja panjang berwarna Navy berpadu dengan celana jeans hitam panjang.Tepat jam sepuluh pagi, setelah semuanya siap dengan barang-barang yang akan di bawa, mobil Nathan melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan Ibukota yang cukup ramai."Ibu belum ngabarin Alya kan kalau kita sedang perjalanan pulang?" tanya Leona kepada Bu Leni yang duduk di kursi belakang."Ini ibu baru mau ngabarin," jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas berlogo dior itu. Ya, wanita berhijab coklat tua itu selain mendapat hadiah rumah dari sang mantu, dia juga mendapat tas branded dari Leona. Katanya Leona sudah bosan pakai tas tersebut, itu sebabnya dia memberikan tas tersebut untuk Bu Leni."Jangan dulu, bu!" Sergah Leona cepa
Jam 7 pagi"Ibu mau ngapain?" tanya Ijah yang tengah sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring sisa semalam di wastafel."Saya mau bikin sarapan, Bi?" Bu Leni membuka kulkas, mengambil beberapa bahan masakan seperti sayuran dan daging. Alhamdulillah, semua makanan untuk acara empat bulanan Leona ludes tak bersisa.Semua orang terlihat menikmati semua makanan olahan yang disajikan dalam prasmanan malam itu. Sisanya dibagikan ke warga supaya tidak mubadzir."Ibu duduk saja! Nanti biar saya yang masak.""Nggak papa, Bi. Santai aja, nggak usak sungkan begitu.""Hehe ....""Ini Leona sama mantuku belum bangunkah?" lirihnya ketika mengupas kentang di meja. Wanita itu merasa menyesal karena mengingat kejadian semalam yang lagi-lagi tak sengaja memergoki menantu dan anaknya yang hendak beribadah.Pluk!Bu Leni menepuk jidat."Kenapa, Bu? Sakit kepala?""Nggak papa, Bi.""Ehem-ehem!" Suara seseorang berdehem yang tak asing itu membuat Bu Leni dan Ijah kompak menoleh menuju sumber suara. Mendapa
Nathan menghela napas lega. "Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar," ucapnya saat duduk mengamati setiap rangkaian acara yang sedang berlangsung.Pria berpakaian koko putih yang dipadukan dengan kain sarung berwarna hitam itu tampak tersenyum senang melihat acara 4 bulanan istrinya berjalan dengan khidmat. Pembacaan ayat suci Al-quran pun ikut mengiringi hari bahagia mereka di rumah keluarga Nathan."Alhamdulillah," ucap syukur Bu Leni."Leone lega banget, bu. Akhirnya acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun," senyum bumil itu merekah dari kedua sudut bibirnya yang dihiasi lipstik berwarna nude."Iya, nduk. Jujur tadi pagi ibu sempet panik gara-gara masalah ayam. Untung suamimu cerdas bisa menyelesaikan masalah dengan cepat.""Ya kalau nggak cerdas mana mungkin anakmu mau, bu." Leona terkekeh mengingat usaha keras sang suami yang patut diacungi jempol.Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengendalikan persoalan ayam yang belum disembelih, belum lagi urusan m
Leona terkejut. Wanita hamil itu pun langsung berbalik ke belakang untuk membangunkan sang suami."Eh, belum dijawab ibu le tanya kok udah ditinggal pergi." Bu Leni garuk-garuk kaki, bukan. Maksudnya kepala.Sementara di dalam, Leona sedang susah payah membangunkan Nathan yang terlihat masih mimpi di pulau kapuk hingga nampak pulau baru yang tergambar di bantal.'Ganteng-ganteng kok ngiler sih kamu, mas.' Gumamnya sambil mengguncang tubuh atletis pria itu yang masih polos tanpa sehelai benang.Keterlaluan sih, bisa-bisanya mereka bermain tanpa jeda hingga adzan subuh. Ente kadang-kadang ente."Mas!" Nathan tak bergeming. Pemilik pabrik kosmetik itu tetap mendengkur dengan posisi tengkurap dengan bibir yang mengaga sedikit."Nduk?" Leona menoleh menuju sumber suara lantas menepuk jidat. "Ya Allah, ibu masih nunggu di luar." Buru-buru dia keluar untuk menemui Bu Leni. "Kenapa, bu? Ngapain ibu masih di sini?" Khawatir Leona kalau sampai ibu tak sengaja melihat suaminya belum memakai b
Malam semakin larut, rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi. Angin berembus masuk melalui celah tirai.Pasutri itu tampak asyik dengan dunianya, hawa dingin yang mencekam pun seolah sirna oleh hangatnya sentuhan raga yang tengah memadu kasih malam itu. Sayup-sayup, terdengar rintihan lembut di tengah guncangan hebat yang semakin membabi buta."Apa kamu sudah keluar?" Entah apa itu. Suara Leona bergetar di tengah pertempuran di medan perang nan hebatnya.Wanita yang tengah hamil memasuki bulan ke empat itu masih memejamkan mata, menikmati setiap permainan indah yang Nathan ciptakan dalam naluri."Belum.""Ke-napa?" Nafas Leona tersengal menahan sesuatu yang ingin menyembur di liang hangat miliknya."Aku masih ingin bermain lebih lama lagi, sayang?" Kecupan singkat mendarat dengan sempurna di bibir legit Leona yang menggoda."Aish, kok bisa? Ini udah hampir satu jam, mas?" Dusta. Tapi itu faktanya. Pasangan suami istri itu telah melewatkan waktu yang tak sebentar hanya untuk
Nathan menghela napas panjang ketika sudah sampai di kamar, duduk bersandar bantal di punggung, sambil mengelus-elus kepala sang istri yang ada di pahanya."Capek ya, mas?""Lumayan, sayang. Ayamnya lari mulu. Susah nangkepnya.""Lagian ngapain mas beli ayam hidup? Mana nggak ngomong dulu sama aku lagi," ucap Leona sambil memainkan kuku jari."Maaf, sayang. Niat mas cuma pengin nurutin ngidam kamu pingin makan ayam goreng kampung. Tapi karena keinget acara 4 bulanan, mas pikir sekalian aja beli ayamnya. Kan lebih enak kalau menyembelih sendiri.""Astaghfirullah." Leona refleks bangkit dari rebahannya."Kenapa, sayang?""Mas udah sembelih ayamnya?" Mimik Leona berubah cemas."Belum.""Mas tau nggak?"Nathan menggeleng polos. "Tau apa, sayang. Kamu kan belum ngomong apa-apa.""Mas, kalau istrinya lagi hamil itu pamali menyakiti hewan apalagi sampai membunuh.""Serius, sayang?" Nathan baru tau."Serius, mas. Jadi jangan pernah mas berpikirin buat sembelih ayam sendiri, ya? Aku nggak mau
Aslinya Nathan masih keturunan orang Jawa. Ayah kandungnya bernama Kusuma. D masih asli orang Jawa yang berasal dari Semarang. "Hah?" Leona terperanjat hingga hampir oleng ketika membawa secangkir kopi untuk sang suami."Pelan-pelan, sayang?" Nathan menerima cangkir tersebut dan menyeruputnya pelan."Masih panas, mas." Duduk di samping Nathan."Ah. Seger banget, sayang. Dari tadi di kantor mas udah kangen minum kopi buatan kamu." Jujurnya usai meletakkan cangkir di meja."Mas bisa aja. Baru juga tadi pagi minum kopi.""Nggak tau tuh. Kayaknya mas mulai kecanduan kopimu, sayang.""Mas ada-ada aja. Tapi nggak boleh berlebihan, mas. Mesti tau batasannya juga. Tadi gimana? Aku nggak salah dengarkah? Mas masih keturunan asli orang Jawa?" Serius Leona karena penasaran."Iya, Le. Ibu ko baru tau kamu punya gen asli orang Jawa." Pria itu menghela napas panjang. "Ayahku asli orang Semarang, dia pemilik hotel Muria yang ada di depan perusahaan INTI SEJAHTERA. Kamu tau 'kan?" Leona berusaha m