“Aku benci hidupku!”
Meita menggumam kesal melihat suaminya tidur lelap di sisi lain ranjang. Di tengah-tengah kasur antara mereka berdua, seorang makhluk mungil sedang menangis keras meminta disusui. Meita menggeram lelah menatap bayi itu, bayi berusia dua minggu yang baru saja dia lahirkan ke dunia ini.Keanu namanya, bayi yang tidak dia harapkan untuk hadir secepat ini ke dalam kehidupan rumah tangganya. Dia baru satu tahun menjadi istri dari David, lelaki yang dia cintai.Sayangnya kehidupan rumah tangga tidaklah seindah seperti adegan dalam sinetron yang dia tonton. Beragam masalah mulai berdatangan dan mengusik ketenangan Meita. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi memikul beban rumah tangga dan menjadi istri David lebih lama lagi. Dia memutuskan untuk bercerai saja dari lelaki itu, ketika kemudian dia mendapati bahwa dirinya hamil.“Sial, tubuhku mau ambruk rasanya,” gumam Meita sembari menyodorkan kedua tangan untuk merengkuh Keanu.Bayi itu selalu saja rewel dan tidak bisa tidur di malam hari. Sehingga Meita harus terjaga untuk menyusuinya sepanjang malam. Setiap kali diletakkan di atas kasur, Keanu pasti menangis menjerit-jerit meminta digendong.Meita pun kelelahan. Direngkuhnya Keanu dan dia beri ASI dengan mata yang setengah terpejam. Bayi itu terdiam, tidur lelap dalam pangkuan Meita. Sementara sang ibu harus menahan kantuk dan rasa sakitnya seorang diri.“Kita jual saja anak ini,” ujarnya kepada David kemarin sore.Lelaki yang sedang menimang anaknya itu menoleh dengan tatapan terkejut.“Apa yang kau katakan itu, Mei, kau kira ini main-main?!” David menukas dengan tajam.Hati Meita terluka. Dia sama sekali tidak sedang bermain-main. Dia serius. Dia ingin menyerahkan saja bayinya kepada seseorang. Dia tidak peduli kepada siapapun itu. Yang penting bayi itu tak akan lagi mengusik hidupnya dan David. Terlebih lagi, bayi itu pasti akan bisa hidup dengan lebih baik jika tidak diasuh oleh dirinya yang ceroboh dan tidak pandai itu.Jika saja David setuju, maka Meita akan benar-benar mencari seseorang yang mau membeli bayinya. Ralat, merawat bayinya dengan sepenuh hati. Bagaimana lagi dia akan sanggup merawat bayinya dalam kondisi ekonomi yang serba mepet begini? Belum lagi banyak hal yang dia lakukan selalu terlihat salah di mata ibu mertuanya.“Mas, aku capek. Gantian dong, kamu yang ayun-ayun Keanu sampai dia tidur,” pinta Meita kepada sang suami.David hanya membalas dengan sebuah gumaman tak jelas. Lelaki itu masih tidur dengan nyaman di posisinya. Meita terus memicingkan mata menatapnya, menunggunya terbangun.Tapi sampai bermenit-menit kemudian, David tak juga kunjung bangun. Meita semakin kesal, karena bahunya sudah letih menggendong Keanu.Bayi itu menangis karena tak lagi disusui. Meita merasa buah dadanya perih, saking seringnya disedot oleh si bayi. Alhasil, Meita harus bangun dan menimang tubuh Keanu agar dia tertidur. Malam ini dia semakin rewel saja karena pilek yang menyerang, membuat Meita semakin frustasi dibuatnya.“Mas!” panggil Meita keras, tak peduli akan mengejutkan Keanu yang terus menangis. “Kamu dengar aku tidak?”“Hmmm?” David menggeliat bangun, sambil membuka sebelah matanya dengan mengantuk.“Gendong anakmu nih, aku capek,” kata Meita memerintah.“Aku ngantuk, Mei,” balas David enggan.“Aku juga ngantuk. Kau pikir cuma kau saja yang butuh tidur?” kataMeita tersulut.“Hmm, iya, iya.” David bangun dengan malas dan menerima Keanu dalam gendongannya.Entah karena nyaman atau memang Keanu sudah mengantuk, bayi itu langsung diam seketika berpindah ke David. Tak perlu waktu lama bagi David untuk menidurkan kembali bayi itu. Meita yang memperhatikan itu merasa panas. Dia kesal melihat betapa mudahnya David membuat Keanu terlelap. Bahkan ketika diletakkan kembali ke kasurnya, Keanu tidak lagi menggeliat bangun. Dia benar-benar sudah pulas, meski hanya diayun-ayun beberapa menit saja oleh ayahnya.David nyengir lebar melihat tatapan cemburu di mata istrinya.“Bagaimana bisa kau melakukan itu?” bisik Meita penuh kebencian.“Dengan cinta dan kesabaran, Sayang,” balas David juga berbisik. Mereka takut akan membangunkan Keanu lagi.“Cih, kesabaran apanya!” desis Meita marah. “Aku menggendong dan menyusui dia berjam-jam dan dia terus saja menangis. Tapi kau baru mengayun-ayun dia beberapa menit saja dia sudah tertidur.”“Itulah bedanya. Aku mengayun dia dengan sepenuh hati. Sedangkan kau menyusui dia berjam-jam dengan wajah kesal dan cemberut begitu, wajar kalau anakmu menangis. Dia pasti takut melihat ibunya,” gurau David seraya tertawa pelan.Meita tidak ikut tertawa. Dia merasa itu tidak lucu sama sekali. Dia kesal setengah mati karenanya. David yang telah menyebabkan semua bencana ini, masih bisa tertawa lebar melihat penderitaan Meita. Tidak cukupkah semua ini? Haruskah David tertawa dan memperlihatkan dirinya yang baik-baik saja di hadapan Meita?“Kalau saja waktu itu kita pakai pengaman, semua ini tidak akan terjadi,” gumam Meita.David berhenti tertawa. Dia menatap wajah istrinya dengan serius. “Kenapa kau mengungkit lagi hal ini? Bukankah sudah kukatakan padamu, bahwa anak ini adalah anugerah yang patut kita syukuri?”Meita berdecih sebal.“Kau saja yang bersyukur. Aku tidak,” katanya.“Astaghfirullah, Mei ....”“Dengar ya, Vid, aku sudah lelah. Aku muak dengan semua ini. Semua rasa sakit pasca melahirkan, beban mental serta keletihan ini membuatku muak. Aku tidak bersyukur untuk ini. Kalau kamu merasa senang karena kamu tidak ikut merasakan sakitnya. Andai saja kamu tahu ....”David terperangah menatap istrinya. “Aku minta maaf untuk itu, sebab aku tidak tahu bagaimana rasanya. Tapi aku juga tidak menginginkan kamu merasakan sakit, Mei. Itu bukan keinginanku. Memang sudah takdirnya sebagai perempuan untuk melahirkan keturunan, karena kalian kuat untuk melaluinya.”“Aku tidak cukup kuat untuk ini. Aku tidak sanggup, Vid. Aku lelah –“Meita berusaha untuk menahan suaranya agar tidak bergetar. Namun, sebulir air mata telah lolos menitik di wajahnya.David mendekat dan berusaha merangkul bahu istrinya. Meita menampik lengan kokoh pria itu, seraya beringsut menjauh.“Aku tidak menginginkan anak ini, bahkan sejak awal. Kamu tahu itu.”Ucapan Meita bagaikan sebuah silet yang mengiris hati David. Pria itu berbicara dengan suara yang lembut, berusaha memberikan penghiburan bagi lara yang dirasakan istrinya.“Banyak pasangan di luar sana yang mendambakan bayi, Mei. Kita seharusnya bersyukur karena telah diberi kepercayaan sebesar ini,” ucap David mengingatkan.Hati Meita sudah terlalu kaku untuk mendengar nasihat semacam ini.“Aku tak peduli. Kalau bisa, akan kuberikan anakku kepada mereka. Asalkan aku tidak perlu merasa sakit lagi,” balas Meita.Dia tidak peduli sudah menunjukkan sisi dirinya yang egois. David sendiri sudah lama tahu bagaimana perangai istrinya itu. Dalam berbagai masalah, selalu saja Meita ingin menang sendiri.“Sabar, Sayang ... Aku tahu kamu merasa sakit. Tapi, tidak perlu berkata seperti itu. Anak kita adalah anak kita. Kitalah yang akan merawatnya, sebab kita berdua orang tuanya. Jangan bicara seolah kamu ingin membuang putramu sendiri.”Meita mendengus kasar. Dia tidak menolak kata-kata itu, meski terdengar begitu jahat. Membuang putraku sendiri, gumam Meita dalam hati.Meita duduk di tepi ranjang sambil menangis tanpa suara. Wanita 27 tahun itu menunduk sedih menatap lantai, menyembunyikan air matanya dari sang suami. Meski memunggungi David, namun lelaki itu tahu jelas istrinya sedang menangis. Pembicaraan mereka yang sejak tadi masih saja berputar tiada henti. David mengulurkan tangan kanannya, berusaha menyentuh bahu istrinya dengan hati-hati seolah dia adalah sebuah vas yang rapuh. “Sayang ... Kamu pasti akan baik-baik saja. Lihatlah sendiri nanti, waktu akan menyembuhkan segala lukamu,” ucap David lembut. Meita tidak merasa terhibur sama sekali. Wanita itu justru mendengus sebal mendengarnya. “Aku ingin mengembalikan waktu kalau bisa. Aku ingin kembali ke masa-masa zebelum hamil dan menunda kehamilan itu,” balas Meita dengan nada pahit. “Artinya kamu tidak ingin Keanu lahir?” “Ya!” jawab Meita jelas. David menelan ludah dengan susah payah. Lelaki itu tahu bagaimana dirinya tidak akan bisa memenangkan
Meita berjalan di bawah terik sinar matahari siang yang menyengat membakar kulit. Dia mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan, berusaha mengusir rasa gerah. Dia berhenti di tempat parkir pasar yang sepi. David meletakkan motornya di sana, menghindari tukang parkir yang biasanya suka muncul secara ajaib. “Cepetan dong, Mas!” ucap Meita kesal. Tak jauh darinya, David sedang berjalan sambil menggendong anak mereka dan menenteng belanjaan di sebelah tangan. Pria itu memicingkan mata melawan sinar matahari yang menyilaukan. “Sabar, Mei ... Ngomong-ngomong, aku mau bayar tunggakan listrik dulu ya,” kata David seraya mengusap keringat di dahinya. “Halah, kok nggak sekalian tadi juga sih?” sungut Meita dengan wajah cemberut. David meletakkan belanjaannya di atas jok motor matic miliknya. Dia menatap sang istri dengan sabar, berusaha tidak meladeni emosi Meita yang semakin menjadi. Sudah sebulan berlalu, dan semuanya masih sama saja. Meita masih
Brakkk! “Meita!” jerit David keras. Lelaki itu berdiri terpaku di tempatnya dengan raut muka shock setengah mati. Struck tagihan listrik di tangannya melayang jatuh tanpa dipedulikan. Keanu menangis dalam gendongannya. Tapi pria itu masih berdiri membeku, tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Sebuah mobil mini cooper merah baru saja menabrak pohon dengan sangat keras. Benda itu masih mengeluarkan bunyi klakson keras-keras. Lampunya pecah sebelah, sementara yang sebelah lagi berkedip-kedip lemah. Bagian depan mobil penyok dan rusak parah, nyaris hancur semuanya. Tabrakan itu begitu keras terdengar, hingga mengejutkan semua orang yang ada di sana. Bahkan David yang sedang berjalan sambil membaca struck tagihannya sampai mendongak. Saat itu dia yakin sekali melihat Meita sedang berdiri bersandar di pohon itu. Hanya beberapa detik saja sebelum mobil itu meleyot dan menghantam pohon. David merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia butuh seseorang unt
Meita membuka kedua matanya dengan berat. Kepalanya terasa pusing dan sakit sekali. Dia merasa seperti sudah dipukuli dengan palu godam. “Argh ....” Meita mengerang pelan seraya memegang kepalanya. Di area sekitar pelipis terbalut perban sampai memutar mengitari seluruh kepalanya. Dia terus meraba-raba, sampai merasakan sebuah cairan merembes keluar mengenai jari-jarinya. Meita mengernyit, berharap cairan itu bukanlah darah. Ditatapnya jari-jarinya yang berlumur sesuatu berwarna kemerahan. Dia berpikir mungkin itu adalah betadine. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Dia mencoba memikirkan apa yang berbeda. Sejak kapan jariku menjadi lentik dan terawat? Pikir Meita heran. Dia membolak-balik jemari tangannya dan mengamati. Jari-jarinya sungguh indah, mirip jari tangan para model yang mulus dan tak bercela. Seingatnya dia memiliki jari tangan yang pendek dan bulat, bukan tipe yang panjang dan lentik seperti ini. Lagipula, sejak kapan dia mengena
“Dokter, apa dia mengalami amnesia?” Hendra Askara bertanya dengan nada kuatir. Pria paruh baya itu menatap dokter meminta penjelasan. Maklum, pertanyaan Rhea itu sungguh di luar dugaan. Hendra bisa memahami jika putrinya akan berontak dan marah-marah jika dia tidak mau menuruti perintah papanya. Tapi, kenapa dia justru bertanya seperti itu? Apakah akibat kecelakaan itu meninggalkan cedera di kepala anaknya?“Saya rasa tidak, Pak.” Dokter muda yang berdiri tak jauh dari Rhea menjawab. “Lalu kenapa dia tidak mengenali saya?” Dokter Rima, yang baru saja merasa yakin bahwa pasiennya cukup baik untuk dibawa pulang mendadak merasa heran. “Berdasarkan pemeriksaan tadi kami dapat menyimpulkan bahwa kondisi Rhea sudah cukup baik. Tapi, jika Anda merasa perlu, kita bisa mengadakan pemeriksaan CT Scan untuk melihat apakah ada cedera di kepalanya.” Jawaban itu tidak membuat Hendra merasa lega. “Lah tadi Anda tidak melakukan pemeriksaan itu?” “Kami melakukannya, Pak. Dan saya yaki
Amarah Hendra Askara sudah menguap bersama dengan aroma obat-obatan di rumah sakit. Pria itu kini sedang melirik anaknya yang dibimbing oleh Wina ke kamar mandi untuk membersihkan diri. “Dia benar-benar amnesia,” gumamnya lirih. Sejak Dokter Rima memberikan vonis itu, Hendra tak henti-hentinya menatap kedua mata Rhea. Dia ingin menemukan sebuah celah dalam kebohongan sempurna yang ia rancang. Biasanya, dia selalu tahu ketika Rhea berdusta. Sepandai-pandainya gadis itu merangkai alasan, Hendra akan tetap dapat membedakannya. Orang yang berdusta akan secara tak sengaja melakukan gerak-gerik yang kentara. Tetapi, dia tak menemukannya kali ini. Yang dilihatnya hanyalah sepasang mata kelabu yang polos. Hendra mulai ragu akan pemikirannya. Bisa jadi memang Rhea mengalami amnesia. Kecelakaan itu cukup parah sampai-sampai menewaskan seseorang. Wajar saja jika Rhea juga mengalami guncangan hebat. Pasti kepalanya membentur sesuatu. Karena itulah dia bersikap sangat aneh dan tak biasa.
“Si-siapa?” Meita mengintip di pintu yang dia buka secelah. Seorang wanita paruh baya balas menatapnya tidak ramah. “Saya, Non.” Meita menunggu sedetik agar wanita itu menjelaskan diri. “Nyonya bilang saya harus membersihkan pecahan botol di kamar Non Rhea,” katanya. Barulah saat itu Meita sadar bahwa wanita itu adalah ART yang bekerja di rumah ini. Dia membuka pintu dan melangkah mundur untuk memberi jalan bagi wanita itu. Meita berdiri tak jauh sambil mengamati bagaimana wanita itu bekerja. Rasa tak enak menyelimutinya karena tatapan si ART yang nampak tak senang kepadanya. “Maaf,” ucapnya, ingin menebus rasa bersalahnya. Si ART berhenti bergerak, mendongak menatapnya dengan heran. “Apa Non?” “Maaf,” ulang Meita dengan suara lebih tegas. “Gara-gara saya Bibi jadi kerepotan.” Si pembantu tak bereaksi. Dia hanya mengerjap menatap Meita seolah dia adalah makhluk aneh yang tak nyata. “Saya nggak salah dengar? Non Rhea tadi bilang maaf ke saya?” Meita mengangguk.
Meita turun dari kamarnya ketika makan siang sudah hampir selesai. Wina dan Hendra sudah menandaskan isi piring mereka. Keduanya nampak sedang mengobrol sambil menikmati secangkir teh. Bersama mereka juga ada seorang anak remaja laki-laki yang Meita tidak tahu siapa. Meita menuruni anak tangga dengan canggung, merasa bersalah dan malu karena menolak ajakan Wina sebelumnya. “Rhea!” sapa Wina sebelum yang lain menyadari kedatangannya. “Ehm, hai,” ucapnya kikuk. “Sini, duduk. Kita baru aja selesai makan. Biar mama panggilkan Bik Sum agar menyiapkan makanan lagi.” “Nggak usah, aku bisa masak sendiri,” tolak Meita. “Aku nggak mau merepotkan orang lain.” “Ck! Kayak bisa masak aja!” ucap bocah lelaki itu dengan sinis. Meita menoleh menatapnya. Bocah itu juga balas menatap dengan menantang. “Apa? Mau berantem?!” ucapnya dengan galak. “Kevin!” tegur Hendra. Si bocah langsung mengkeret. Dia meletakkan sendok dan garpunya lantas bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Hendra
“Dia berulah lagi, Ma!” adu Kevin kepada Wina. Cowok itu nyengir senang melihat ekspresi Meita. Meita berdiri di tempatnya dengan gugup. Dia berharap Wina tak akan meminta ganti rugi atas vasnya yang pecah. “Rhea? Kamu mecahin vas mama?” Wina bertanya dengan nada suara kaget. “A-aku nggak sengaja. Maaf,” ucap Meita sambil menunduk takut. Jantungnya berdetak kencang, sementara dalam hati ia berdoa semoga Hendra tidak ikut-ikutan memarahinya. “Kamu bilang ... maaf?” Kening Wina berkerut dalam keheranan. “Iya, maaf, aku nggak sengaja nyenggol vas itu. Aku nggak tahu berapa harganya, tapi aku bersedia menggantinya kalau perlu,” jawab Meita dengan memberanikan diri. Soal dari mana ia akan mendapatkan uang, itu soal belakangan. Wina dan Kevin saling pandang. Keduanya jelas terkejut mendapati permintaan maaf itu. Terutama Wina, yang mengamati ekspresi rasa bersalah Meita.“Ah, nggak usah,” ucap Wina tanpa diduga. “Itu kan cuma sebuah vas.”Meita mendongak menatap wajah Wi
Meita turun dari kamarnya ketika makan siang sudah hampir selesai. Wina dan Hendra sudah menandaskan isi piring mereka. Keduanya nampak sedang mengobrol sambil menikmati secangkir teh. Bersama mereka juga ada seorang anak remaja laki-laki yang Meita tidak tahu siapa. Meita menuruni anak tangga dengan canggung, merasa bersalah dan malu karena menolak ajakan Wina sebelumnya. “Rhea!” sapa Wina sebelum yang lain menyadari kedatangannya. “Ehm, hai,” ucapnya kikuk. “Sini, duduk. Kita baru aja selesai makan. Biar mama panggilkan Bik Sum agar menyiapkan makanan lagi.” “Nggak usah, aku bisa masak sendiri,” tolak Meita. “Aku nggak mau merepotkan orang lain.” “Ck! Kayak bisa masak aja!” ucap bocah lelaki itu dengan sinis. Meita menoleh menatapnya. Bocah itu juga balas menatap dengan menantang. “Apa? Mau berantem?!” ucapnya dengan galak. “Kevin!” tegur Hendra. Si bocah langsung mengkeret. Dia meletakkan sendok dan garpunya lantas bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Hendra
“Si-siapa?” Meita mengintip di pintu yang dia buka secelah. Seorang wanita paruh baya balas menatapnya tidak ramah. “Saya, Non.” Meita menunggu sedetik agar wanita itu menjelaskan diri. “Nyonya bilang saya harus membersihkan pecahan botol di kamar Non Rhea,” katanya. Barulah saat itu Meita sadar bahwa wanita itu adalah ART yang bekerja di rumah ini. Dia membuka pintu dan melangkah mundur untuk memberi jalan bagi wanita itu. Meita berdiri tak jauh sambil mengamati bagaimana wanita itu bekerja. Rasa tak enak menyelimutinya karena tatapan si ART yang nampak tak senang kepadanya. “Maaf,” ucapnya, ingin menebus rasa bersalahnya. Si ART berhenti bergerak, mendongak menatapnya dengan heran. “Apa Non?” “Maaf,” ulang Meita dengan suara lebih tegas. “Gara-gara saya Bibi jadi kerepotan.” Si pembantu tak bereaksi. Dia hanya mengerjap menatap Meita seolah dia adalah makhluk aneh yang tak nyata. “Saya nggak salah dengar? Non Rhea tadi bilang maaf ke saya?” Meita mengangguk.
Amarah Hendra Askara sudah menguap bersama dengan aroma obat-obatan di rumah sakit. Pria itu kini sedang melirik anaknya yang dibimbing oleh Wina ke kamar mandi untuk membersihkan diri. “Dia benar-benar amnesia,” gumamnya lirih. Sejak Dokter Rima memberikan vonis itu, Hendra tak henti-hentinya menatap kedua mata Rhea. Dia ingin menemukan sebuah celah dalam kebohongan sempurna yang ia rancang. Biasanya, dia selalu tahu ketika Rhea berdusta. Sepandai-pandainya gadis itu merangkai alasan, Hendra akan tetap dapat membedakannya. Orang yang berdusta akan secara tak sengaja melakukan gerak-gerik yang kentara. Tetapi, dia tak menemukannya kali ini. Yang dilihatnya hanyalah sepasang mata kelabu yang polos. Hendra mulai ragu akan pemikirannya. Bisa jadi memang Rhea mengalami amnesia. Kecelakaan itu cukup parah sampai-sampai menewaskan seseorang. Wajar saja jika Rhea juga mengalami guncangan hebat. Pasti kepalanya membentur sesuatu. Karena itulah dia bersikap sangat aneh dan tak biasa.
“Dokter, apa dia mengalami amnesia?” Hendra Askara bertanya dengan nada kuatir. Pria paruh baya itu menatap dokter meminta penjelasan. Maklum, pertanyaan Rhea itu sungguh di luar dugaan. Hendra bisa memahami jika putrinya akan berontak dan marah-marah jika dia tidak mau menuruti perintah papanya. Tapi, kenapa dia justru bertanya seperti itu? Apakah akibat kecelakaan itu meninggalkan cedera di kepala anaknya?“Saya rasa tidak, Pak.” Dokter muda yang berdiri tak jauh dari Rhea menjawab. “Lalu kenapa dia tidak mengenali saya?” Dokter Rima, yang baru saja merasa yakin bahwa pasiennya cukup baik untuk dibawa pulang mendadak merasa heran. “Berdasarkan pemeriksaan tadi kami dapat menyimpulkan bahwa kondisi Rhea sudah cukup baik. Tapi, jika Anda merasa perlu, kita bisa mengadakan pemeriksaan CT Scan untuk melihat apakah ada cedera di kepalanya.” Jawaban itu tidak membuat Hendra merasa lega. “Lah tadi Anda tidak melakukan pemeriksaan itu?” “Kami melakukannya, Pak. Dan saya yaki
Meita membuka kedua matanya dengan berat. Kepalanya terasa pusing dan sakit sekali. Dia merasa seperti sudah dipukuli dengan palu godam. “Argh ....” Meita mengerang pelan seraya memegang kepalanya. Di area sekitar pelipis terbalut perban sampai memutar mengitari seluruh kepalanya. Dia terus meraba-raba, sampai merasakan sebuah cairan merembes keluar mengenai jari-jarinya. Meita mengernyit, berharap cairan itu bukanlah darah. Ditatapnya jari-jarinya yang berlumur sesuatu berwarna kemerahan. Dia berpikir mungkin itu adalah betadine. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Dia mencoba memikirkan apa yang berbeda. Sejak kapan jariku menjadi lentik dan terawat? Pikir Meita heran. Dia membolak-balik jemari tangannya dan mengamati. Jari-jarinya sungguh indah, mirip jari tangan para model yang mulus dan tak bercela. Seingatnya dia memiliki jari tangan yang pendek dan bulat, bukan tipe yang panjang dan lentik seperti ini. Lagipula, sejak kapan dia mengena
Brakkk! “Meita!” jerit David keras. Lelaki itu berdiri terpaku di tempatnya dengan raut muka shock setengah mati. Struck tagihan listrik di tangannya melayang jatuh tanpa dipedulikan. Keanu menangis dalam gendongannya. Tapi pria itu masih berdiri membeku, tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Sebuah mobil mini cooper merah baru saja menabrak pohon dengan sangat keras. Benda itu masih mengeluarkan bunyi klakson keras-keras. Lampunya pecah sebelah, sementara yang sebelah lagi berkedip-kedip lemah. Bagian depan mobil penyok dan rusak parah, nyaris hancur semuanya. Tabrakan itu begitu keras terdengar, hingga mengejutkan semua orang yang ada di sana. Bahkan David yang sedang berjalan sambil membaca struck tagihannya sampai mendongak. Saat itu dia yakin sekali melihat Meita sedang berdiri bersandar di pohon itu. Hanya beberapa detik saja sebelum mobil itu meleyot dan menghantam pohon. David merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia butuh seseorang unt
Meita berjalan di bawah terik sinar matahari siang yang menyengat membakar kulit. Dia mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan, berusaha mengusir rasa gerah. Dia berhenti di tempat parkir pasar yang sepi. David meletakkan motornya di sana, menghindari tukang parkir yang biasanya suka muncul secara ajaib. “Cepetan dong, Mas!” ucap Meita kesal. Tak jauh darinya, David sedang berjalan sambil menggendong anak mereka dan menenteng belanjaan di sebelah tangan. Pria itu memicingkan mata melawan sinar matahari yang menyilaukan. “Sabar, Mei ... Ngomong-ngomong, aku mau bayar tunggakan listrik dulu ya,” kata David seraya mengusap keringat di dahinya. “Halah, kok nggak sekalian tadi juga sih?” sungut Meita dengan wajah cemberut. David meletakkan belanjaannya di atas jok motor matic miliknya. Dia menatap sang istri dengan sabar, berusaha tidak meladeni emosi Meita yang semakin menjadi. Sudah sebulan berlalu, dan semuanya masih sama saja. Meita masih
Meita duduk di tepi ranjang sambil menangis tanpa suara. Wanita 27 tahun itu menunduk sedih menatap lantai, menyembunyikan air matanya dari sang suami. Meski memunggungi David, namun lelaki itu tahu jelas istrinya sedang menangis. Pembicaraan mereka yang sejak tadi masih saja berputar tiada henti. David mengulurkan tangan kanannya, berusaha menyentuh bahu istrinya dengan hati-hati seolah dia adalah sebuah vas yang rapuh. “Sayang ... Kamu pasti akan baik-baik saja. Lihatlah sendiri nanti, waktu akan menyembuhkan segala lukamu,” ucap David lembut. Meita tidak merasa terhibur sama sekali. Wanita itu justru mendengus sebal mendengarnya. “Aku ingin mengembalikan waktu kalau bisa. Aku ingin kembali ke masa-masa zebelum hamil dan menunda kehamilan itu,” balas Meita dengan nada pahit. “Artinya kamu tidak ingin Keanu lahir?” “Ya!” jawab Meita jelas. David menelan ludah dengan susah payah. Lelaki itu tahu bagaimana dirinya tidak akan bisa memenangkan