Meita membuka kedua matanya dengan berat. Kepalanya terasa pusing dan sakit sekali. Dia merasa seperti sudah dipukuli dengan palu godam.
“Argh ....”Meita mengerang pelan seraya memegang kepalanya. Di area sekitar pelipis terbalut perban sampai memutar mengitari seluruh kepalanya. Dia terus meraba-raba, sampai merasakan sebuah cairan merembes keluar mengenai jari-jarinya. Meita mengernyit, berharap cairan itu bukanlah darah. Ditatapnya jari-jarinya yang berlumur sesuatu berwarna kemerahan. Dia berpikir mungkin itu adalah betadine.Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Dia mencoba memikirkan apa yang berbeda.Sejak kapan jariku menjadi lentik dan terawat? Pikir Meita heran.Dia membolak-balik jemari tangannya dan mengamati. Jari-jarinya sungguh indah, mirip jari tangan para model yang mulus dan tak bercela. Seingatnya dia memiliki jari tangan yang pendek dan bulat, bukan tipe yang panjang dan lentik seperti ini. Lagipula, sejak kapan dia mengenakan cat kuku berwarna merah menyala?Meita merasa konyol, ketika dia berpikir bahwa Tuhan akhirnya memberikan dia jari tangan yang indah setelah dua puluh tujuh tahun. Tapi apa pentingnya itu sekarang? Jari-jari itu tidak akan berfungsi untuk model iklan, melainkan untuk mengganti popok Keanu yang penuh. Atau menggosok bekas pupnya yang bau.Meita mengernyitkan hidungnya membayangkan bagaimana kondisi Keanu sekarang. Sudah berapa lama dia tidur? Apa David sedang menidurkan Keanu sekarang? Tumben suasananya sepi sekali, padahal biasanya tangis Keanu bisa membangunkan dia dari tidurnya yang lelap.Meita mengerjap-ngerjap menatap langit-langit kamar. Lalu pandangannya menyapu seluruh isi ruangan itu, yang semuanya serba putih dan berbau obat. Selama sedetik dia bertanya-tanya ada di mana dirinya dan apa yang terjadi. Tapi kemudian dia ingat kecelakaan itu.Sekilas bayangan mobil merah yang melaju kencang menuju dirinya, kemudian menabrak tubuhnya dengan keras hingga tak menyisakan apapun selain rasa sakit hingga ia tenggelam dalam kegelapan.Kejadian mengerikan itu membuat Meita merasa shock. Dia pikir dirinya pasti mati karena kecelakaan itu. Tapi lihat, dirinya sekarang terbaring lemah di ruangan rumah sakit tanpa seorang pun yang menemani. Meita merasa lega karena setidaknya dia masih hidup. Meskipun dia mulai heran di mana keberadaan David dan putra mereka, Keanu.Terdengar suara pintu terbuka. Pandangan Meita seketika terarah ke sana, bersinggungan dengan tatapan kaget seorang dokter.“Anda sudah sadar?” ucap dokter itu.Meita ingin menjawab, tapi dia merasa kerongkongannya kering. Bahkan untuk menelan ludah saja rasanya sulit. Akhirnya dia hanya menganggukkan kepalanya sedikit dan merasakan rasa sakit itu datang kembali.Dokter perempuan berjas putih itu tersenyum lembut.“Syukurlah. Saya pikir masa koma Anda masih akan lebih lama. Tapi sekarang Anda sudah sadar, lebih cepat dari dugaan saya.”Pintu terbuka lagi dan kini yang masuk adalah seorang perawat. Seragamnya terlihat berbeda dengan seragam yang dikenakan dokter itu. Mereka berbincang sesaat, kemudian mulai memeriksa kondisi Meita dengan seksama.Pintu kembali terbuka dan kini yang masuk adalah orang-orang asing. Meita mengernyit, tak mengenali siapa mereka. Seorang pria berbadan tinggi kekar berkacamata merangkul seorang wanita kurus yang berwajah cantik meski usianya jelas tidak lagi muda. Keduanya masuk dan disambut oleh dokter beserta perawat. Mereka bertukar sapa sejenak lalu kedua orang asing itu mendekati ranjang Meita. Ekspresi mereka kaku dan tegang.“Bagaimana kondisinya, Dok?” fanya si pria menatap Meita, tapi nada bicaranya ditujukan kepada si dokter.“Ini keajaiban, Pak!” ucap si dokter. “Kondisi tubuhnya meningkat drastis. Kemarin bahkan saya tidak berani untuk mengatakan apakah dia masih akan dapat bertahan hidup. Tapi sekarang, pemeriksaan menunjukkan bahwa kondisi tubuhnya jauh lebih baik. Nyaris normal malah.”Pria itu mengangguk dengan kaku. Tatapannya tajam dan terkunci pada sosok Meita. Untuk sesaat Meita berpikir dia mungkin petugas PLN yang ingin menagih tagihan listriknya yang menunggak. Kalau melihat ekspresi wajahnya itu.Sementara si perempuan, Meita kira adalah istrinya. Dia juga bertampang hampir sama. Hanya saja, sorot mata wanita itu lembut tetapi tegas. Dia memancarkan aura seorang ibu yang memiliki ketegasan dalam bersikap dan kelembutan. Meita agak menyukai perempuan ini, entah siapapun dia.“Saya rasa dia sudah cukup beristirahat bukan, Dok? Apakah dia sudah boleh dibawa pulang?”“Jika kondisinya sudah membaik, maka tak ada alasan untuk tetap menahannya di sini,” sahut dokter selagi memeriksa tekanan darah Meita.Mereka terus berbincang, sementara Meita terus berpikir, siapa mereka ini? Apa dia mengenal mereka?Meita mencoba menggali ingatannya. Mungkin mereka adalah kenalan lamanya, teman dari temannya atau mungkin kenalan suaminya. Tapi dia sama sekali tak bisa menemukan apapun. Dia tak ingat pernah melihat wajah mereka seumur hidupnya. Anehnya mereka justru datang dan menjenguk dirinya di rumah sakit, ketika suaminya David justru menghilang entah ke mana.“Jadi, bagaimana? Apakah kau sudah cukup puas sekarang? Kalau belum, kau boleh menembak aku sekarang. Biar sekalian saja,” ucap pria itu.“Mas,” sahut si perempuan menyenggol pelan lengannya memberi peringatan.Si pria menatapnya dengan letih, lalu kembali menatap mata Meita. Dia sama sekali tak tahu apa yang pria itu bicarakan. Dia bahkan tak mengenalinya.“Saya akan membawanya pulang sekarang juga, Dok,” ucap si pria kepada dokter.“Anda yakin?”Pria itu mengangguk mantap.“Baiklah kalau begitu. Saya lihat kondisinya juga sudah baik. Hanya luka di kepalanya saja yang memerlukan waktu untuk penyembuhan. Selain itu, semuanya oke.”“Bagus kalau begitu. Saya sudah tak sabar lagi ingin berbicara dengan Rhea.”Tatapan pria itu sungguh menusuk. Meita merasakan ada kemarahan yang besar sekali di sana. Dia tak mengerti, mengapa. Ucapannya menyiratkan ada masalah yang cukup serius. Lagipula, kenapa dia ingin membawa Meita pulang? Apakah David yang menyuruhnya?Dokter itu mengangguk setuju. “Saya akan mempersiapkan dia. Suster, tolong kemas barang-barangnya.”Perawat itu bergerak dengan cekatan. Meita melirik perawat itu dan menelan ludahnya lagi. Rasa dahaga membakar kerongkongannya. Dia sungguh ingin minum air di botol dekat perawat itu.Alhasil, Meita mengangkat tangannya dan menunjuk botol itu. Dia bersyukur ketika perawat itu mengerti dan membantu dirinya untuk minum. Meita duduk di tempat tidur dan merasakan kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan.“Terima kasih,” ucap Meita setelah menandaskan isi botol.Entah karena pengaruh air itu atau karena sudah terlalu lama tidur, Meita mendengar perbedaan dalam suaranya. Suara itu seperti bukan suaranya.“Kita pulang sekarang, Rhea, turun dan berdirilah!” kata si pria.Meita menatapnya dengan heran. Sekarang dia yakin sekali bahwa dia sama sekali tak mengenal siapa pria ini dan istrinya.“Rhea, apa kau mendengarku?!” bentaknya.Meita membuka mulut untuk membalas.“Maaf, tapi Anda siapa?” ujarnya bertanya.Pria itu nampak marah menatap dirinya.“Apa-apaan kau ini, Rhe? Jangan main-main denganku. Ayo, kita pulang sekarang juga! Ada yang harus kau dan aku bicarakan lagi.”Meita mengerutkan dahinya semakin dalam.“Tapi, saya tidak mengenal Anda berdua. Apakah anda bisa memberitahu saya siapa anda?”“Rhea, berhentilah berpura-pura. Kalau kau pikir kau bisa lolos dengan ini, maka kau salah besar!”“Tapi saya sungguh tak mengerti. Mengapa anda memanggil saya dengan nama itu? Siapa Rhea?”Ekspresi si pria nampak terkejut. Dia membelalakkan mata lebar menatap Meita dan istrinya bergantian. Bahkan dokter juga ikut mengamati kondisi Meita. Sedangkan Meita sendiri malah kebingungan.“Dokter, apa dia mengalami amnesia?” Hendra Askara bertanya dengan nada kuatir. Pria paruh baya itu menatap dokter meminta penjelasan. Maklum, pertanyaan Rhea itu sungguh di luar dugaan. Hendra bisa memahami jika putrinya akan berontak dan marah-marah jika dia tidak mau menuruti perintah papanya. Tapi, kenapa dia justru bertanya seperti itu? Apakah akibat kecelakaan itu meninggalkan cedera di kepala anaknya?“Saya rasa tidak, Pak.” Dokter muda yang berdiri tak jauh dari Rhea menjawab. “Lalu kenapa dia tidak mengenali saya?” Dokter Rima, yang baru saja merasa yakin bahwa pasiennya cukup baik untuk dibawa pulang mendadak merasa heran. “Berdasarkan pemeriksaan tadi kami dapat menyimpulkan bahwa kondisi Rhea sudah cukup baik. Tapi, jika Anda merasa perlu, kita bisa mengadakan pemeriksaan CT Scan untuk melihat apakah ada cedera di kepalanya.” Jawaban itu tidak membuat Hendra merasa lega. “Lah tadi Anda tidak melakukan pemeriksaan itu?” “Kami melakukannya, Pak. Dan saya yaki
Amarah Hendra Askara sudah menguap bersama dengan aroma obat-obatan di rumah sakit. Pria itu kini sedang melirik anaknya yang dibimbing oleh Wina ke kamar mandi untuk membersihkan diri. “Dia benar-benar amnesia,” gumamnya lirih. Sejak Dokter Rima memberikan vonis itu, Hendra tak henti-hentinya menatap kedua mata Rhea. Dia ingin menemukan sebuah celah dalam kebohongan sempurna yang ia rancang. Biasanya, dia selalu tahu ketika Rhea berdusta. Sepandai-pandainya gadis itu merangkai alasan, Hendra akan tetap dapat membedakannya. Orang yang berdusta akan secara tak sengaja melakukan gerak-gerik yang kentara. Tetapi, dia tak menemukannya kali ini. Yang dilihatnya hanyalah sepasang mata kelabu yang polos. Hendra mulai ragu akan pemikirannya. Bisa jadi memang Rhea mengalami amnesia. Kecelakaan itu cukup parah sampai-sampai menewaskan seseorang. Wajar saja jika Rhea juga mengalami guncangan hebat. Pasti kepalanya membentur sesuatu. Karena itulah dia bersikap sangat aneh dan tak biasa.
“Si-siapa?” Meita mengintip di pintu yang dia buka secelah. Seorang wanita paruh baya balas menatapnya tidak ramah. “Saya, Non.” Meita menunggu sedetik agar wanita itu menjelaskan diri. “Nyonya bilang saya harus membersihkan pecahan botol di kamar Non Rhea,” katanya. Barulah saat itu Meita sadar bahwa wanita itu adalah ART yang bekerja di rumah ini. Dia membuka pintu dan melangkah mundur untuk memberi jalan bagi wanita itu. Meita berdiri tak jauh sambil mengamati bagaimana wanita itu bekerja. Rasa tak enak menyelimutinya karena tatapan si ART yang nampak tak senang kepadanya. “Maaf,” ucapnya, ingin menebus rasa bersalahnya. Si ART berhenti bergerak, mendongak menatapnya dengan heran. “Apa Non?” “Maaf,” ulang Meita dengan suara lebih tegas. “Gara-gara saya Bibi jadi kerepotan.” Si pembantu tak bereaksi. Dia hanya mengerjap menatap Meita seolah dia adalah makhluk aneh yang tak nyata. “Saya nggak salah dengar? Non Rhea tadi bilang maaf ke saya?” Meita mengangguk.
Meita turun dari kamarnya ketika makan siang sudah hampir selesai. Wina dan Hendra sudah menandaskan isi piring mereka. Keduanya nampak sedang mengobrol sambil menikmati secangkir teh. Bersama mereka juga ada seorang anak remaja laki-laki yang Meita tidak tahu siapa. Meita menuruni anak tangga dengan canggung, merasa bersalah dan malu karena menolak ajakan Wina sebelumnya. “Rhea!” sapa Wina sebelum yang lain menyadari kedatangannya. “Ehm, hai,” ucapnya kikuk. “Sini, duduk. Kita baru aja selesai makan. Biar mama panggilkan Bik Sum agar menyiapkan makanan lagi.” “Nggak usah, aku bisa masak sendiri,” tolak Meita. “Aku nggak mau merepotkan orang lain.” “Ck! Kayak bisa masak aja!” ucap bocah lelaki itu dengan sinis. Meita menoleh menatapnya. Bocah itu juga balas menatap dengan menantang. “Apa? Mau berantem?!” ucapnya dengan galak. “Kevin!” tegur Hendra. Si bocah langsung mengkeret. Dia meletakkan sendok dan garpunya lantas bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Hendra
“Dia berulah lagi, Ma!” adu Kevin kepada Wina. Cowok itu nyengir senang melihat ekspresi Meita. Meita berdiri di tempatnya dengan gugup. Dia berharap Wina tak akan meminta ganti rugi atas vasnya yang pecah. “Rhea? Kamu mecahin vas mama?” Wina bertanya dengan nada suara kaget. “A-aku nggak sengaja. Maaf,” ucap Meita sambil menunduk takut. Jantungnya berdetak kencang, sementara dalam hati ia berdoa semoga Hendra tidak ikut-ikutan memarahinya. “Kamu bilang ... maaf?” Kening Wina berkerut dalam keheranan. “Iya, maaf, aku nggak sengaja nyenggol vas itu. Aku nggak tahu berapa harganya, tapi aku bersedia menggantinya kalau perlu,” jawab Meita dengan memberanikan diri. Soal dari mana ia akan mendapatkan uang, itu soal belakangan. Wina dan Kevin saling pandang. Keduanya jelas terkejut mendapati permintaan maaf itu. Terutama Wina, yang mengamati ekspresi rasa bersalah Meita.“Ah, nggak usah,” ucap Wina tanpa diduga. “Itu kan cuma sebuah vas.”Meita mendongak menatap wajah Wi
“Aku benci hidupku!” Meita menggumam kesal melihat suaminya tidur lelap di sisi lain ranjang. Di tengah-tengah kasur antara mereka berdua, seorang makhluk mungil sedang menangis keras meminta disusui. Meita menggeram lelah menatap bayi itu, bayi berusia dua minggu yang baru saja dia lahirkan ke dunia ini. Keanu namanya, bayi yang tidak dia harapkan untuk hadir secepat ini ke dalam kehidupan rumah tangganya. Dia baru satu tahun menjadi istri dari David, lelaki yang dia cintai. Sayangnya kehidupan rumah tangga tidaklah seindah seperti adegan dalam sinetron yang dia tonton. Beragam masalah mulai berdatangan dan mengusik ketenangan Meita. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi memikul beban rumah tangga dan menjadi istri David lebih lama lagi. Dia memutuskan untuk bercerai saja dari lelaki itu, ketika kemudian dia mendapati bahwa dirinya hamil. “Sial, tubuhku mau ambruk rasanya,” gumam Meita sembari menyodorkan kedua tangan untuk merengkuh Keanu. Bayi itu sela
Meita duduk di tepi ranjang sambil menangis tanpa suara. Wanita 27 tahun itu menunduk sedih menatap lantai, menyembunyikan air matanya dari sang suami. Meski memunggungi David, namun lelaki itu tahu jelas istrinya sedang menangis. Pembicaraan mereka yang sejak tadi masih saja berputar tiada henti. David mengulurkan tangan kanannya, berusaha menyentuh bahu istrinya dengan hati-hati seolah dia adalah sebuah vas yang rapuh. “Sayang ... Kamu pasti akan baik-baik saja. Lihatlah sendiri nanti, waktu akan menyembuhkan segala lukamu,” ucap David lembut. Meita tidak merasa terhibur sama sekali. Wanita itu justru mendengus sebal mendengarnya. “Aku ingin mengembalikan waktu kalau bisa. Aku ingin kembali ke masa-masa zebelum hamil dan menunda kehamilan itu,” balas Meita dengan nada pahit. “Artinya kamu tidak ingin Keanu lahir?” “Ya!” jawab Meita jelas. David menelan ludah dengan susah payah. Lelaki itu tahu bagaimana dirinya tidak akan bisa memenangkan
Meita berjalan di bawah terik sinar matahari siang yang menyengat membakar kulit. Dia mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan, berusaha mengusir rasa gerah. Dia berhenti di tempat parkir pasar yang sepi. David meletakkan motornya di sana, menghindari tukang parkir yang biasanya suka muncul secara ajaib. “Cepetan dong, Mas!” ucap Meita kesal. Tak jauh darinya, David sedang berjalan sambil menggendong anak mereka dan menenteng belanjaan di sebelah tangan. Pria itu memicingkan mata melawan sinar matahari yang menyilaukan. “Sabar, Mei ... Ngomong-ngomong, aku mau bayar tunggakan listrik dulu ya,” kata David seraya mengusap keringat di dahinya. “Halah, kok nggak sekalian tadi juga sih?” sungut Meita dengan wajah cemberut. David meletakkan belanjaannya di atas jok motor matic miliknya. Dia menatap sang istri dengan sabar, berusaha tidak meladeni emosi Meita yang semakin menjadi. Sudah sebulan berlalu, dan semuanya masih sama saja. Meita masih
“Dia berulah lagi, Ma!” adu Kevin kepada Wina. Cowok itu nyengir senang melihat ekspresi Meita. Meita berdiri di tempatnya dengan gugup. Dia berharap Wina tak akan meminta ganti rugi atas vasnya yang pecah. “Rhea? Kamu mecahin vas mama?” Wina bertanya dengan nada suara kaget. “A-aku nggak sengaja. Maaf,” ucap Meita sambil menunduk takut. Jantungnya berdetak kencang, sementara dalam hati ia berdoa semoga Hendra tidak ikut-ikutan memarahinya. “Kamu bilang ... maaf?” Kening Wina berkerut dalam keheranan. “Iya, maaf, aku nggak sengaja nyenggol vas itu. Aku nggak tahu berapa harganya, tapi aku bersedia menggantinya kalau perlu,” jawab Meita dengan memberanikan diri. Soal dari mana ia akan mendapatkan uang, itu soal belakangan. Wina dan Kevin saling pandang. Keduanya jelas terkejut mendapati permintaan maaf itu. Terutama Wina, yang mengamati ekspresi rasa bersalah Meita.“Ah, nggak usah,” ucap Wina tanpa diduga. “Itu kan cuma sebuah vas.”Meita mendongak menatap wajah Wi
Meita turun dari kamarnya ketika makan siang sudah hampir selesai. Wina dan Hendra sudah menandaskan isi piring mereka. Keduanya nampak sedang mengobrol sambil menikmati secangkir teh. Bersama mereka juga ada seorang anak remaja laki-laki yang Meita tidak tahu siapa. Meita menuruni anak tangga dengan canggung, merasa bersalah dan malu karena menolak ajakan Wina sebelumnya. “Rhea!” sapa Wina sebelum yang lain menyadari kedatangannya. “Ehm, hai,” ucapnya kikuk. “Sini, duduk. Kita baru aja selesai makan. Biar mama panggilkan Bik Sum agar menyiapkan makanan lagi.” “Nggak usah, aku bisa masak sendiri,” tolak Meita. “Aku nggak mau merepotkan orang lain.” “Ck! Kayak bisa masak aja!” ucap bocah lelaki itu dengan sinis. Meita menoleh menatapnya. Bocah itu juga balas menatap dengan menantang. “Apa? Mau berantem?!” ucapnya dengan galak. “Kevin!” tegur Hendra. Si bocah langsung mengkeret. Dia meletakkan sendok dan garpunya lantas bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Hendra
“Si-siapa?” Meita mengintip di pintu yang dia buka secelah. Seorang wanita paruh baya balas menatapnya tidak ramah. “Saya, Non.” Meita menunggu sedetik agar wanita itu menjelaskan diri. “Nyonya bilang saya harus membersihkan pecahan botol di kamar Non Rhea,” katanya. Barulah saat itu Meita sadar bahwa wanita itu adalah ART yang bekerja di rumah ini. Dia membuka pintu dan melangkah mundur untuk memberi jalan bagi wanita itu. Meita berdiri tak jauh sambil mengamati bagaimana wanita itu bekerja. Rasa tak enak menyelimutinya karena tatapan si ART yang nampak tak senang kepadanya. “Maaf,” ucapnya, ingin menebus rasa bersalahnya. Si ART berhenti bergerak, mendongak menatapnya dengan heran. “Apa Non?” “Maaf,” ulang Meita dengan suara lebih tegas. “Gara-gara saya Bibi jadi kerepotan.” Si pembantu tak bereaksi. Dia hanya mengerjap menatap Meita seolah dia adalah makhluk aneh yang tak nyata. “Saya nggak salah dengar? Non Rhea tadi bilang maaf ke saya?” Meita mengangguk.
Amarah Hendra Askara sudah menguap bersama dengan aroma obat-obatan di rumah sakit. Pria itu kini sedang melirik anaknya yang dibimbing oleh Wina ke kamar mandi untuk membersihkan diri. “Dia benar-benar amnesia,” gumamnya lirih. Sejak Dokter Rima memberikan vonis itu, Hendra tak henti-hentinya menatap kedua mata Rhea. Dia ingin menemukan sebuah celah dalam kebohongan sempurna yang ia rancang. Biasanya, dia selalu tahu ketika Rhea berdusta. Sepandai-pandainya gadis itu merangkai alasan, Hendra akan tetap dapat membedakannya. Orang yang berdusta akan secara tak sengaja melakukan gerak-gerik yang kentara. Tetapi, dia tak menemukannya kali ini. Yang dilihatnya hanyalah sepasang mata kelabu yang polos. Hendra mulai ragu akan pemikirannya. Bisa jadi memang Rhea mengalami amnesia. Kecelakaan itu cukup parah sampai-sampai menewaskan seseorang. Wajar saja jika Rhea juga mengalami guncangan hebat. Pasti kepalanya membentur sesuatu. Karena itulah dia bersikap sangat aneh dan tak biasa.
“Dokter, apa dia mengalami amnesia?” Hendra Askara bertanya dengan nada kuatir. Pria paruh baya itu menatap dokter meminta penjelasan. Maklum, pertanyaan Rhea itu sungguh di luar dugaan. Hendra bisa memahami jika putrinya akan berontak dan marah-marah jika dia tidak mau menuruti perintah papanya. Tapi, kenapa dia justru bertanya seperti itu? Apakah akibat kecelakaan itu meninggalkan cedera di kepala anaknya?“Saya rasa tidak, Pak.” Dokter muda yang berdiri tak jauh dari Rhea menjawab. “Lalu kenapa dia tidak mengenali saya?” Dokter Rima, yang baru saja merasa yakin bahwa pasiennya cukup baik untuk dibawa pulang mendadak merasa heran. “Berdasarkan pemeriksaan tadi kami dapat menyimpulkan bahwa kondisi Rhea sudah cukup baik. Tapi, jika Anda merasa perlu, kita bisa mengadakan pemeriksaan CT Scan untuk melihat apakah ada cedera di kepalanya.” Jawaban itu tidak membuat Hendra merasa lega. “Lah tadi Anda tidak melakukan pemeriksaan itu?” “Kami melakukannya, Pak. Dan saya yaki
Meita membuka kedua matanya dengan berat. Kepalanya terasa pusing dan sakit sekali. Dia merasa seperti sudah dipukuli dengan palu godam. “Argh ....” Meita mengerang pelan seraya memegang kepalanya. Di area sekitar pelipis terbalut perban sampai memutar mengitari seluruh kepalanya. Dia terus meraba-raba, sampai merasakan sebuah cairan merembes keluar mengenai jari-jarinya. Meita mengernyit, berharap cairan itu bukanlah darah. Ditatapnya jari-jarinya yang berlumur sesuatu berwarna kemerahan. Dia berpikir mungkin itu adalah betadine. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Dia mencoba memikirkan apa yang berbeda. Sejak kapan jariku menjadi lentik dan terawat? Pikir Meita heran. Dia membolak-balik jemari tangannya dan mengamati. Jari-jarinya sungguh indah, mirip jari tangan para model yang mulus dan tak bercela. Seingatnya dia memiliki jari tangan yang pendek dan bulat, bukan tipe yang panjang dan lentik seperti ini. Lagipula, sejak kapan dia mengena
Brakkk! “Meita!” jerit David keras. Lelaki itu berdiri terpaku di tempatnya dengan raut muka shock setengah mati. Struck tagihan listrik di tangannya melayang jatuh tanpa dipedulikan. Keanu menangis dalam gendongannya. Tapi pria itu masih berdiri membeku, tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Sebuah mobil mini cooper merah baru saja menabrak pohon dengan sangat keras. Benda itu masih mengeluarkan bunyi klakson keras-keras. Lampunya pecah sebelah, sementara yang sebelah lagi berkedip-kedip lemah. Bagian depan mobil penyok dan rusak parah, nyaris hancur semuanya. Tabrakan itu begitu keras terdengar, hingga mengejutkan semua orang yang ada di sana. Bahkan David yang sedang berjalan sambil membaca struck tagihannya sampai mendongak. Saat itu dia yakin sekali melihat Meita sedang berdiri bersandar di pohon itu. Hanya beberapa detik saja sebelum mobil itu meleyot dan menghantam pohon. David merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia butuh seseorang unt
Meita berjalan di bawah terik sinar matahari siang yang menyengat membakar kulit. Dia mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan, berusaha mengusir rasa gerah. Dia berhenti di tempat parkir pasar yang sepi. David meletakkan motornya di sana, menghindari tukang parkir yang biasanya suka muncul secara ajaib. “Cepetan dong, Mas!” ucap Meita kesal. Tak jauh darinya, David sedang berjalan sambil menggendong anak mereka dan menenteng belanjaan di sebelah tangan. Pria itu memicingkan mata melawan sinar matahari yang menyilaukan. “Sabar, Mei ... Ngomong-ngomong, aku mau bayar tunggakan listrik dulu ya,” kata David seraya mengusap keringat di dahinya. “Halah, kok nggak sekalian tadi juga sih?” sungut Meita dengan wajah cemberut. David meletakkan belanjaannya di atas jok motor matic miliknya. Dia menatap sang istri dengan sabar, berusaha tidak meladeni emosi Meita yang semakin menjadi. Sudah sebulan berlalu, dan semuanya masih sama saja. Meita masih
Meita duduk di tepi ranjang sambil menangis tanpa suara. Wanita 27 tahun itu menunduk sedih menatap lantai, menyembunyikan air matanya dari sang suami. Meski memunggungi David, namun lelaki itu tahu jelas istrinya sedang menangis. Pembicaraan mereka yang sejak tadi masih saja berputar tiada henti. David mengulurkan tangan kanannya, berusaha menyentuh bahu istrinya dengan hati-hati seolah dia adalah sebuah vas yang rapuh. “Sayang ... Kamu pasti akan baik-baik saja. Lihatlah sendiri nanti, waktu akan menyembuhkan segala lukamu,” ucap David lembut. Meita tidak merasa terhibur sama sekali. Wanita itu justru mendengus sebal mendengarnya. “Aku ingin mengembalikan waktu kalau bisa. Aku ingin kembali ke masa-masa zebelum hamil dan menunda kehamilan itu,” balas Meita dengan nada pahit. “Artinya kamu tidak ingin Keanu lahir?” “Ya!” jawab Meita jelas. David menelan ludah dengan susah payah. Lelaki itu tahu bagaimana dirinya tidak akan bisa memenangkan