Meita turun dari kamarnya ketika makan siang sudah hampir selesai. Wina dan Hendra sudah menandaskan isi piring mereka. Keduanya nampak sedang mengobrol sambil menikmati secangkir teh. Bersama mereka juga ada seorang anak remaja laki-laki yang Meita tidak tahu siapa. Meita menuruni anak tangga dengan canggung, merasa bersalah dan malu karena menolak ajakan Wina sebelumnya. “Rhea!” sapa Wina sebelum yang lain menyadari kedatangannya. “Ehm, hai,” ucapnya kikuk. “Sini, duduk. Kita baru aja selesai makan. Biar mama panggilkan Bik Sum agar menyiapkan makanan lagi.” “Nggak usah, aku bisa masak sendiri,” tolak Meita. “Aku nggak mau merepotkan orang lain.” “Ck! Kayak bisa masak aja!” ucap bocah lelaki itu dengan sinis. Meita menoleh menatapnya. Bocah itu juga balas menatap dengan menantang. “Apa? Mau berantem?!” ucapnya dengan galak. “Kevin!” tegur Hendra. Si bocah langsung mengkeret. Dia meletakkan sendok dan garpunya lantas bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Hendra
“Dia berulah lagi, Ma!” adu Kevin kepada Wina. Cowok itu nyengir senang melihat ekspresi Meita. Meita berdiri di tempatnya dengan gugup. Dia berharap Wina tak akan meminta ganti rugi atas vasnya yang pecah. “Rhea? Kamu mecahin vas mama?” Wina bertanya dengan nada suara kaget. “A-aku nggak sengaja. Maaf,” ucap Meita sambil menunduk takut. Jantungnya berdetak kencang, sementara dalam hati ia berdoa semoga Hendra tidak ikut-ikutan memarahinya. “Kamu bilang ... maaf?” Kening Wina berkerut dalam keheranan. “Iya, maaf, aku nggak sengaja nyenggol vas itu. Aku nggak tahu berapa harganya, tapi aku bersedia menggantinya kalau perlu,” jawab Meita dengan memberanikan diri. Soal dari mana ia akan mendapatkan uang, itu soal belakangan. Wina dan Kevin saling pandang. Keduanya jelas terkejut mendapati permintaan maaf itu. Terutama Wina, yang mengamati ekspresi rasa bersalah Meita.“Ah, nggak usah,” ucap Wina tanpa diduga. “Itu kan cuma sebuah vas.”Meita mendongak menatap wajah Wi
“Aku benci hidupku!” Meita menggumam kesal melihat suaminya tidur lelap di sisi lain ranjang. Di tengah-tengah kasur antara mereka berdua, seorang makhluk mungil sedang menangis keras meminta disusui. Meita menggeram lelah menatap bayi itu, bayi berusia dua minggu yang baru saja dia lahirkan ke dunia ini. Keanu namanya, bayi yang tidak dia harapkan untuk hadir secepat ini ke dalam kehidupan rumah tangganya. Dia baru satu tahun menjadi istri dari David, lelaki yang dia cintai. Sayangnya kehidupan rumah tangga tidaklah seindah seperti adegan dalam sinetron yang dia tonton. Beragam masalah mulai berdatangan dan mengusik ketenangan Meita. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi memikul beban rumah tangga dan menjadi istri David lebih lama lagi. Dia memutuskan untuk bercerai saja dari lelaki itu, ketika kemudian dia mendapati bahwa dirinya hamil. “Sial, tubuhku mau ambruk rasanya,” gumam Meita sembari menyodorkan kedua tangan untuk merengkuh Keanu. Bayi itu sela
Meita duduk di tepi ranjang sambil menangis tanpa suara. Wanita 27 tahun itu menunduk sedih menatap lantai, menyembunyikan air matanya dari sang suami. Meski memunggungi David, namun lelaki itu tahu jelas istrinya sedang menangis. Pembicaraan mereka yang sejak tadi masih saja berputar tiada henti. David mengulurkan tangan kanannya, berusaha menyentuh bahu istrinya dengan hati-hati seolah dia adalah sebuah vas yang rapuh. “Sayang ... Kamu pasti akan baik-baik saja. Lihatlah sendiri nanti, waktu akan menyembuhkan segala lukamu,” ucap David lembut. Meita tidak merasa terhibur sama sekali. Wanita itu justru mendengus sebal mendengarnya. “Aku ingin mengembalikan waktu kalau bisa. Aku ingin kembali ke masa-masa zebelum hamil dan menunda kehamilan itu,” balas Meita dengan nada pahit. “Artinya kamu tidak ingin Keanu lahir?” “Ya!” jawab Meita jelas. David menelan ludah dengan susah payah. Lelaki itu tahu bagaimana dirinya tidak akan bisa memenangkan
Meita berjalan di bawah terik sinar matahari siang yang menyengat membakar kulit. Dia mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan, berusaha mengusir rasa gerah. Dia berhenti di tempat parkir pasar yang sepi. David meletakkan motornya di sana, menghindari tukang parkir yang biasanya suka muncul secara ajaib. “Cepetan dong, Mas!” ucap Meita kesal. Tak jauh darinya, David sedang berjalan sambil menggendong anak mereka dan menenteng belanjaan di sebelah tangan. Pria itu memicingkan mata melawan sinar matahari yang menyilaukan. “Sabar, Mei ... Ngomong-ngomong, aku mau bayar tunggakan listrik dulu ya,” kata David seraya mengusap keringat di dahinya. “Halah, kok nggak sekalian tadi juga sih?” sungut Meita dengan wajah cemberut. David meletakkan belanjaannya di atas jok motor matic miliknya. Dia menatap sang istri dengan sabar, berusaha tidak meladeni emosi Meita yang semakin menjadi. Sudah sebulan berlalu, dan semuanya masih sama saja. Meita masih
Brakkk! “Meita!” jerit David keras. Lelaki itu berdiri terpaku di tempatnya dengan raut muka shock setengah mati. Struck tagihan listrik di tangannya melayang jatuh tanpa dipedulikan. Keanu menangis dalam gendongannya. Tapi pria itu masih berdiri membeku, tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Sebuah mobil mini cooper merah baru saja menabrak pohon dengan sangat keras. Benda itu masih mengeluarkan bunyi klakson keras-keras. Lampunya pecah sebelah, sementara yang sebelah lagi berkedip-kedip lemah. Bagian depan mobil penyok dan rusak parah, nyaris hancur semuanya. Tabrakan itu begitu keras terdengar, hingga mengejutkan semua orang yang ada di sana. Bahkan David yang sedang berjalan sambil membaca struck tagihannya sampai mendongak. Saat itu dia yakin sekali melihat Meita sedang berdiri bersandar di pohon itu. Hanya beberapa detik saja sebelum mobil itu meleyot dan menghantam pohon. David merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia butuh seseorang unt
Meita membuka kedua matanya dengan berat. Kepalanya terasa pusing dan sakit sekali. Dia merasa seperti sudah dipukuli dengan palu godam. “Argh ....” Meita mengerang pelan seraya memegang kepalanya. Di area sekitar pelipis terbalut perban sampai memutar mengitari seluruh kepalanya. Dia terus meraba-raba, sampai merasakan sebuah cairan merembes keluar mengenai jari-jarinya. Meita mengernyit, berharap cairan itu bukanlah darah. Ditatapnya jari-jarinya yang berlumur sesuatu berwarna kemerahan. Dia berpikir mungkin itu adalah betadine. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Dia mencoba memikirkan apa yang berbeda. Sejak kapan jariku menjadi lentik dan terawat? Pikir Meita heran. Dia membolak-balik jemari tangannya dan mengamati. Jari-jarinya sungguh indah, mirip jari tangan para model yang mulus dan tak bercela. Seingatnya dia memiliki jari tangan yang pendek dan bulat, bukan tipe yang panjang dan lentik seperti ini. Lagipula, sejak kapan dia mengena
“Dokter, apa dia mengalami amnesia?” Hendra Askara bertanya dengan nada kuatir. Pria paruh baya itu menatap dokter meminta penjelasan. Maklum, pertanyaan Rhea itu sungguh di luar dugaan. Hendra bisa memahami jika putrinya akan berontak dan marah-marah jika dia tidak mau menuruti perintah papanya. Tapi, kenapa dia justru bertanya seperti itu? Apakah akibat kecelakaan itu meninggalkan cedera di kepala anaknya?“Saya rasa tidak, Pak.” Dokter muda yang berdiri tak jauh dari Rhea menjawab. “Lalu kenapa dia tidak mengenali saya?” Dokter Rima, yang baru saja merasa yakin bahwa pasiennya cukup baik untuk dibawa pulang mendadak merasa heran. “Berdasarkan pemeriksaan tadi kami dapat menyimpulkan bahwa kondisi Rhea sudah cukup baik. Tapi, jika Anda merasa perlu, kita bisa mengadakan pemeriksaan CT Scan untuk melihat apakah ada cedera di kepalanya.” Jawaban itu tidak membuat Hendra merasa lega. “Lah tadi Anda tidak melakukan pemeriksaan itu?” “Kami melakukannya, Pak. Dan saya yaki
“Dia berulah lagi, Ma!” adu Kevin kepada Wina. Cowok itu nyengir senang melihat ekspresi Meita. Meita berdiri di tempatnya dengan gugup. Dia berharap Wina tak akan meminta ganti rugi atas vasnya yang pecah. “Rhea? Kamu mecahin vas mama?” Wina bertanya dengan nada suara kaget. “A-aku nggak sengaja. Maaf,” ucap Meita sambil menunduk takut. Jantungnya berdetak kencang, sementara dalam hati ia berdoa semoga Hendra tidak ikut-ikutan memarahinya. “Kamu bilang ... maaf?” Kening Wina berkerut dalam keheranan. “Iya, maaf, aku nggak sengaja nyenggol vas itu. Aku nggak tahu berapa harganya, tapi aku bersedia menggantinya kalau perlu,” jawab Meita dengan memberanikan diri. Soal dari mana ia akan mendapatkan uang, itu soal belakangan. Wina dan Kevin saling pandang. Keduanya jelas terkejut mendapati permintaan maaf itu. Terutama Wina, yang mengamati ekspresi rasa bersalah Meita.“Ah, nggak usah,” ucap Wina tanpa diduga. “Itu kan cuma sebuah vas.”Meita mendongak menatap wajah Wi
Meita turun dari kamarnya ketika makan siang sudah hampir selesai. Wina dan Hendra sudah menandaskan isi piring mereka. Keduanya nampak sedang mengobrol sambil menikmati secangkir teh. Bersama mereka juga ada seorang anak remaja laki-laki yang Meita tidak tahu siapa. Meita menuruni anak tangga dengan canggung, merasa bersalah dan malu karena menolak ajakan Wina sebelumnya. “Rhea!” sapa Wina sebelum yang lain menyadari kedatangannya. “Ehm, hai,” ucapnya kikuk. “Sini, duduk. Kita baru aja selesai makan. Biar mama panggilkan Bik Sum agar menyiapkan makanan lagi.” “Nggak usah, aku bisa masak sendiri,” tolak Meita. “Aku nggak mau merepotkan orang lain.” “Ck! Kayak bisa masak aja!” ucap bocah lelaki itu dengan sinis. Meita menoleh menatapnya. Bocah itu juga balas menatap dengan menantang. “Apa? Mau berantem?!” ucapnya dengan galak. “Kevin!” tegur Hendra. Si bocah langsung mengkeret. Dia meletakkan sendok dan garpunya lantas bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Hendra
“Si-siapa?” Meita mengintip di pintu yang dia buka secelah. Seorang wanita paruh baya balas menatapnya tidak ramah. “Saya, Non.” Meita menunggu sedetik agar wanita itu menjelaskan diri. “Nyonya bilang saya harus membersihkan pecahan botol di kamar Non Rhea,” katanya. Barulah saat itu Meita sadar bahwa wanita itu adalah ART yang bekerja di rumah ini. Dia membuka pintu dan melangkah mundur untuk memberi jalan bagi wanita itu. Meita berdiri tak jauh sambil mengamati bagaimana wanita itu bekerja. Rasa tak enak menyelimutinya karena tatapan si ART yang nampak tak senang kepadanya. “Maaf,” ucapnya, ingin menebus rasa bersalahnya. Si ART berhenti bergerak, mendongak menatapnya dengan heran. “Apa Non?” “Maaf,” ulang Meita dengan suara lebih tegas. “Gara-gara saya Bibi jadi kerepotan.” Si pembantu tak bereaksi. Dia hanya mengerjap menatap Meita seolah dia adalah makhluk aneh yang tak nyata. “Saya nggak salah dengar? Non Rhea tadi bilang maaf ke saya?” Meita mengangguk.
Amarah Hendra Askara sudah menguap bersama dengan aroma obat-obatan di rumah sakit. Pria itu kini sedang melirik anaknya yang dibimbing oleh Wina ke kamar mandi untuk membersihkan diri. “Dia benar-benar amnesia,” gumamnya lirih. Sejak Dokter Rima memberikan vonis itu, Hendra tak henti-hentinya menatap kedua mata Rhea. Dia ingin menemukan sebuah celah dalam kebohongan sempurna yang ia rancang. Biasanya, dia selalu tahu ketika Rhea berdusta. Sepandai-pandainya gadis itu merangkai alasan, Hendra akan tetap dapat membedakannya. Orang yang berdusta akan secara tak sengaja melakukan gerak-gerik yang kentara. Tetapi, dia tak menemukannya kali ini. Yang dilihatnya hanyalah sepasang mata kelabu yang polos. Hendra mulai ragu akan pemikirannya. Bisa jadi memang Rhea mengalami amnesia. Kecelakaan itu cukup parah sampai-sampai menewaskan seseorang. Wajar saja jika Rhea juga mengalami guncangan hebat. Pasti kepalanya membentur sesuatu. Karena itulah dia bersikap sangat aneh dan tak biasa.
“Dokter, apa dia mengalami amnesia?” Hendra Askara bertanya dengan nada kuatir. Pria paruh baya itu menatap dokter meminta penjelasan. Maklum, pertanyaan Rhea itu sungguh di luar dugaan. Hendra bisa memahami jika putrinya akan berontak dan marah-marah jika dia tidak mau menuruti perintah papanya. Tapi, kenapa dia justru bertanya seperti itu? Apakah akibat kecelakaan itu meninggalkan cedera di kepala anaknya?“Saya rasa tidak, Pak.” Dokter muda yang berdiri tak jauh dari Rhea menjawab. “Lalu kenapa dia tidak mengenali saya?” Dokter Rima, yang baru saja merasa yakin bahwa pasiennya cukup baik untuk dibawa pulang mendadak merasa heran. “Berdasarkan pemeriksaan tadi kami dapat menyimpulkan bahwa kondisi Rhea sudah cukup baik. Tapi, jika Anda merasa perlu, kita bisa mengadakan pemeriksaan CT Scan untuk melihat apakah ada cedera di kepalanya.” Jawaban itu tidak membuat Hendra merasa lega. “Lah tadi Anda tidak melakukan pemeriksaan itu?” “Kami melakukannya, Pak. Dan saya yaki
Meita membuka kedua matanya dengan berat. Kepalanya terasa pusing dan sakit sekali. Dia merasa seperti sudah dipukuli dengan palu godam. “Argh ....” Meita mengerang pelan seraya memegang kepalanya. Di area sekitar pelipis terbalut perban sampai memutar mengitari seluruh kepalanya. Dia terus meraba-raba, sampai merasakan sebuah cairan merembes keluar mengenai jari-jarinya. Meita mengernyit, berharap cairan itu bukanlah darah. Ditatapnya jari-jarinya yang berlumur sesuatu berwarna kemerahan. Dia berpikir mungkin itu adalah betadine. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Dia mencoba memikirkan apa yang berbeda. Sejak kapan jariku menjadi lentik dan terawat? Pikir Meita heran. Dia membolak-balik jemari tangannya dan mengamati. Jari-jarinya sungguh indah, mirip jari tangan para model yang mulus dan tak bercela. Seingatnya dia memiliki jari tangan yang pendek dan bulat, bukan tipe yang panjang dan lentik seperti ini. Lagipula, sejak kapan dia mengena
Brakkk! “Meita!” jerit David keras. Lelaki itu berdiri terpaku di tempatnya dengan raut muka shock setengah mati. Struck tagihan listrik di tangannya melayang jatuh tanpa dipedulikan. Keanu menangis dalam gendongannya. Tapi pria itu masih berdiri membeku, tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Sebuah mobil mini cooper merah baru saja menabrak pohon dengan sangat keras. Benda itu masih mengeluarkan bunyi klakson keras-keras. Lampunya pecah sebelah, sementara yang sebelah lagi berkedip-kedip lemah. Bagian depan mobil penyok dan rusak parah, nyaris hancur semuanya. Tabrakan itu begitu keras terdengar, hingga mengejutkan semua orang yang ada di sana. Bahkan David yang sedang berjalan sambil membaca struck tagihannya sampai mendongak. Saat itu dia yakin sekali melihat Meita sedang berdiri bersandar di pohon itu. Hanya beberapa detik saja sebelum mobil itu meleyot dan menghantam pohon. David merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia butuh seseorang unt
Meita berjalan di bawah terik sinar matahari siang yang menyengat membakar kulit. Dia mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan, berusaha mengusir rasa gerah. Dia berhenti di tempat parkir pasar yang sepi. David meletakkan motornya di sana, menghindari tukang parkir yang biasanya suka muncul secara ajaib. “Cepetan dong, Mas!” ucap Meita kesal. Tak jauh darinya, David sedang berjalan sambil menggendong anak mereka dan menenteng belanjaan di sebelah tangan. Pria itu memicingkan mata melawan sinar matahari yang menyilaukan. “Sabar, Mei ... Ngomong-ngomong, aku mau bayar tunggakan listrik dulu ya,” kata David seraya mengusap keringat di dahinya. “Halah, kok nggak sekalian tadi juga sih?” sungut Meita dengan wajah cemberut. David meletakkan belanjaannya di atas jok motor matic miliknya. Dia menatap sang istri dengan sabar, berusaha tidak meladeni emosi Meita yang semakin menjadi. Sudah sebulan berlalu, dan semuanya masih sama saja. Meita masih
Meita duduk di tepi ranjang sambil menangis tanpa suara. Wanita 27 tahun itu menunduk sedih menatap lantai, menyembunyikan air matanya dari sang suami. Meski memunggungi David, namun lelaki itu tahu jelas istrinya sedang menangis. Pembicaraan mereka yang sejak tadi masih saja berputar tiada henti. David mengulurkan tangan kanannya, berusaha menyentuh bahu istrinya dengan hati-hati seolah dia adalah sebuah vas yang rapuh. “Sayang ... Kamu pasti akan baik-baik saja. Lihatlah sendiri nanti, waktu akan menyembuhkan segala lukamu,” ucap David lembut. Meita tidak merasa terhibur sama sekali. Wanita itu justru mendengus sebal mendengarnya. “Aku ingin mengembalikan waktu kalau bisa. Aku ingin kembali ke masa-masa zebelum hamil dan menunda kehamilan itu,” balas Meita dengan nada pahit. “Artinya kamu tidak ingin Keanu lahir?” “Ya!” jawab Meita jelas. David menelan ludah dengan susah payah. Lelaki itu tahu bagaimana dirinya tidak akan bisa memenangkan