"Tuan Rudi, gimana kabarnya? Apa udah baikan?"Pagi hari berikutnya.Kevan datang ke rumah sakit Mitra Internasional Baubau. Dia melihat Ciara tertidur di sofa panjang dengan wajah lelah. Kevan tidak tega. Dia juga marah. Felicia mengikuti arah pandang Kevan. Dia berjalan mendekati Kevan."Van, saya udah suruh Cia pulang. Tapi, dia nggak mau. Saya takut dia capek dan kambuh. Kamu tau sendiri, kan? Rumah sakit banyak virus.""Iya, Nyonya. Nanti aku coba ngomong sama Nona Cia." Kevan terus memandangi Ciara. "Gimana perkembangan kesehatan Tuan Rudi?""Kata Dokter, kalo rutin minum obat dan terapi bisa cepet pulih, Van."Sekarang, Kevan dan Felicia memandangi Rudi. Kevan sedikit tersenyum."Dokter udah ngasih yang terbaik. Obatnya juga dikasih yang paten. Sekarang, Tuan Rudi harus usaha maksimal supaya cepet sembuh."Kevan memberikan kalimat motivasi untuk Rudi. Felicia tersenyum saat melihat suaminya mengangguk pelan.Rudi menyentuh tangan Kevan. "Ada yang mau Tuan omongin sama aku?"
"Orang lain?! Aku orang lain?! Siapa yang kalian anggap orang lain?!"Kevan murka. Rahang tegasnya mengeras. Kedua mata cekungnya melotot. Emosinya sudah meledak."Kalian tahu?! Aku ini tangan kanan Tuan Rudi. Sekarang aku tanya kalian."Kevan menatap wajah petugas keamanan satu persatu."Tambang emas ini punya Tuan Rudi Darwin atau Miguel Wijaya?! Hemm?!"Dengan ragu dan waspada, ketiga petugas menjawab dengan serempak, "Tambang emas ini punya Tuan Rudi.""Cerdas. Sekarang, buka pintunya!"Dengan satu tarikan napas, Kevan memberikan perintah. "Iーiya, Tuan Kevan."Gerbang dibuka. Kevan dan Angga berlari menuju podium. "Van, kamu jangan sampai kepancing emosi sama Miguel! Inget, jangan ada kesalahan!"Angga Abbas, anak ke-2 Gunawan Abbas yang belum menikah. Dia juga tidak pernah peduli dengan pabrik rokok keluarga Abbas. Sama seperti Kevan, Angga memilih hidup bebas dan mandiri. Angga tahu semua cerita tentang keluarga Darwin. Angga juga tahu rencana Kevan. Dia selalu berada di piha
"Sialan!" Kata makian ke luar dari mulut Kevan. Wajahnya merah padam dengan tatapan mata merah yang menyala. Kevan mengepalkan kedua tangan. Napasnya memburu seolah ingin membunuh seseorang."Redam emosi kamu, Van! Jangan sampai rencana kamu gagal karena Miguelーsi bedebah dan pria nggak jelas asal-usulnya itu!""Nggak apa-apa aku masuk penjara asalkan nafsuku bunuh dua keparat itu terbayar tunai."Angga menggeleng. "Bodoh!" maki Angga tanpa ragu. "Kalo kamu masuk penjara, bukan cuma keluarga yang sedih. Tapi Cia pasti lebih menderita. Bayangin kalo dia nikah sama psikopat kayak Miguel?! Mau jadi apa Cia?!"Kevan berulang kali mengusap wajahnya kasar. Emosi bercampur dendam telah datang dan masuk ke dadanya. Tidak berhenti sampai di situ, Angga kembali mengatakan hal-hal yang masuk akal dan Kevan kembali mencoba berpikir jernih. "Udah pasti hidup Cia disetir sama si brengsek Miguel. Kamu mau Cia jalanin hidup kayak gitu, hah?! Cuma butuh waktu sehari Cia bisa mati berdiri karena n
"Mana bisa kayak gitu?! Mereka harus kerja sesuai kesepakatan awal."Miguel tidak terima begitu saja. Dia melawan Raymond.Suara Miguel yang menggelegar menarik perhatian orang-orang. Para karyawan memperhatikan Raymond dan Miguel."Tuan Miguel!" Edy memanggil Miguel."Diem! Saya nggak ngomong sama kamu, Edy!" bentak Miguel. Dia tidak menoleh sama sekali ke arah Edy."Ha! Ha! Ha! Lucu!" seru Raymond. "Kamu nggak kenal saya?!""Cih! Kamu itu cuma sampah. Jangan banyak gaya!"Miguel memang tidak pandai mengenali seseorang. Selain kurang informasi, Miguel juga tidak peduli dengan hal lain, selain bisnis.Edy tidak tinggal diam. Dia mendekati Miguel.Edy berbisik, "Tuan, dia itu Master Raymond. Anda nggak kenal?"Miguel sedikit tertarik. Dia menatap Edy."Memangnya siapa dia?! Namanya nggak asing. Apa dia orang penting di instansi pemerintah?! Orang penting di dunia bisnis?! Atau apa?!"Wajah Edy memancarkan kekecewaan. Dia menatap Raymond sebentar."Dia mafia nomor satu di kota Tango," b
"Aku pilih mati, daripada nasibku berakhir di tangan Master Raymond. Toh, sama aja! Ujungnya, aku mati-mati juga."Bagio berkata pelan. Namun, Quden tetap bisa mendengar keluhan Bagio dengan jelas. Tatapan sinis Quden menghentakkan Bagio dari kekesalan.Quden berbisik di telinga Bagio, "Kalo udah nggak ada solusi, enakan ikut Tuan Kevan. Dia nggak kayak Master Raymond."Baru hari ini, Bagio bekerja menjadi orang bayaran. Uang yang didapatkan dari Miguel tidak banyak, tetapi cukup untuk biaya persalinan istrinya di bidan Mawar yang terletak di dusun Palmer kota Perak.Pikiran Bagio campur aduk. Bagio tidak bisa membayangkan masa depan istri dan bayi yang baru saja lahir jika tanpa dirinya. "Master Raymond nggak ada ampun. Sekali aja kamu buat kesalahan kecil, nyawa melayang. Apalagi Master Raymond tunduk banget sama Tuan Kevan. Aku berani jamin, hidup kamu nggak akan lama lagi di dunia."Serangan mental yang dilakukan Quden terhadap Bagio ampuh. Wajah Bagio memucat dengan cepat seolah
"Iーitu ...."Edy ragu. Dia telah melupakan sesuatu yang penting."Apa, Pak Edy?!"Miguel tidak bisa bersabar. Dia mendesak Edy untuk segera menjelaskan yang sudah terjadi."Astaga! Saya inget.""Inget apa, Pak Edy?" Nulla ikut-ikutan penasaran. Dia juga mendesak Edy."Semalem mobil saya dirampok saat di perjalanan pulang."Miguel dan Nulla ternganga. Keduanya memandangi Edy."Dirampok?!""Dirampok?!"Miguel dan Nulla sama-sama histeris mendengar pengakuan Edy. Mereka melihat Edy mengangguk.Nulla melayangkan pertanyaan. "Mobil Pak Edy dirampok dan Anda masih bisa setenang ini? Apa aja yang mereka rampok?""Mereka nggak ambil harta, tapi berkas-berkas saya," jawab Edy setelah ingatannya kembali tajam. "Jadi intinya, surat kuasa itu udah dirampok?" tanya Miguel geregetan.Raymond mendengar perbincangan Miguel dan anak buahnya. Dia tersenyum lebar.Raymond berkata dengan bangga, "Dan, yang ngerampok berkas itu anak buah saya. Ha! Ha! Ha!"Miguel, Nulla dan Edy melemparkan tatapan kesal
'Kenapa Nenek panggil aku pulang, ya? Jangan bilang kesehatan Kakek memburuk?'Kevan bertanya-tanya di dalam hati. Dia terlalu khawatir. Kevan sampai di rumah besar keluarga Hanindra menjelang tengah malam. Dia memasuki area ruang tamu bangunan utama."Halo, calon wakil komisaris HHC!"Sapaan itu berasal dari anak ke-3 Christian dan Cinta Hanindra. 'Paman Julian? Ngapain dia duduk gelap-gelapan di situ?' Lagi, pertanyaan itu muncul di benak Kevan.Julian berjalan menghampiri Kevan. Dia melirik Angga. Dia bertanya, "Siapa dia? Apa dia bodyguard baru?"Julian merangkul pundak Kevan tanpa basa-basi. Kevan menjadi canggung. Namun, dia tetap mengikuti permainan Julian."Iya. Dia gantiin Omar."Kevan berjalan menuju kamar bersama Julian. Ziyad dan Angga mengikuti mereka."Kamu pecat Omar?" Julian penasaran dengan kehidupan Kevan. Karena yang dia ingat, Leon dan Ken pun tidak tahu banyak perihal kehidupan Kevan. Maka diam-diam, Julian menyelidiki Kevan dengan susah payah.'Aku udah kelua
'Nenek udah kasih lampu hijau. Pasti akan ku realisasikan rencana itu secepatnya!'Suasana di ruang makan keluarga Hanindra. Semua orang sudah duduk dan menikmati menu sarapan. Tidak ada yang berdialog. Yang terdengar hanyalah suara alat makan saling bersahutan.Kevan duduk di kursinya. Dia menatap kursi kosong yang biasa ditempati Gibran Hanindra. Kevan menghela napas. Dia tidak sengaja melihat Gisele datang dengan wajah memucat. Anak pertama dari Julian Hanindra dan Livy Hago itu duduk tanpa tenaga di samping Magenta Sapphireーsang adik.Tidak seorangpun peduli dengan Gisele, terkecuali Kevan."Gisele, kamu sakit? Kok wajah kamu pucat banget?"Suasana yang semula ramai dengan alat makan mendadak sunyi usai mendengar pertanyaan Kevan. Semua mata di ruang makan menatap Gisele. "Nggak. Aku nggak sakit," jawab Gisele cepat-cepat. "Ngapain juga kamu peduli sama aku. Cih! Jangan nyari muka di depan Kakek dan Nenek!"Merasa tidak ada tanggapan baik dari Gisele, Kevan terdiam. Dia tidak be
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te