“Akhirnya, Papa muncul di kantor.” Sabda memasuki ruangan Budiman, begitu mendapat kabar pria itu berada di ruangan.“Papa sibuk, banyak kerjaan.”“Termasuk sibuk mengurusi hasil tes DNA?” Sabda duduk perlahan di hadapan Budiman.“Termasuk itu,” jawab Budiman tanpa ragu sembari membuka laci meja kerjanya dan mencari sesuatu. “Dan Papa yakin, Anggun ada di balik semua ini.”“Om Regan yang ada di balik semua ini.”Budiman menutup lacinya dengan keras, lalu menatap Sabda dengan wajah serius. “Andai Papa dan om Darwin tahu Regan yang mengusir Anggun 15 tahun yang lalu, kami nggak akan pernah mau bantu dia.”“Tapi itu sudah terjadi,” ujar Sabda dengan mengangkat kedua bahu. “Papa dan om Darwin sudah menolong ular itu. Dan, apa yang didapat sekarang? Kalian bertiga pasti akan terjerat kasus hukum dan terimalah itu, Pa.”“Kamu mau Papamu—”“Ya,” sela Sabda dengan suara tegas. “Coba bayangkan kalau aku yang ada di posisi Anggun. Diusir dari rumah dan sendirian di tempat asing? Anggun masih 12
“Kita bisa bayar orang dan—”“Sudah terlambat.” Budiman memotong ucapan Regan sambil mengembuskan napas berat. Ia menyodorkan ponsel pada pria itu dan meminta Regan melihatnya. “Kita bisa cegah berita itu naik di media, tapi kita nggak bisa hentikan rumor yang ada media sosial.”“Media sosial?” Darwin mengernyit. Menyambar ponsel Budiman, sebelum Regan meraihnya. Melihat bagaimana narasi yang muncul dalam video di sebuah platform, lalu menggeleng dengan senyum yang tidak bisa dimengerti. “Hashtag, tes DNA Anggun Kalingga.”“Ha?” Dahi Regan mengerut begitu dalam mendengar ucapan Darwin. “Siapa yang ... ck! Buzzer! Anggun pasti bayar buzzer.”“Kita nggak berpikir sampai di sana.” Budiman kembali membuang napas berat.“Kita bisa cari orang IT dan meredam semuanya.”“Ini media sosial.” Darwin meletakkan ponsel Budiman di hadapan Regan. “Bukan website yang bisa kita hack. Kecuali, kita langsung hubungi orang platform dan block—”“Mati satu, tumbuh seribu,” putus Budiman mulai bisa membaca
“Sayang! Bangun!” Sabda membuka gorden dengan gerakan cepat. Cahaya matahari yang telah menampakkan biasnya langsung menyapa hangat dan terlihat begitu indah. “Kamu sudah ngelewati sunrise pagi ini.”“Hmm.” Anggun menggumam. Merasa bias matahari mulai menyilaukan, ia menarik selimut hingga menutup kepala.“Sudah siang ini.” Sabda menghempas tubuh di samping Anggun.“Capek!”Sabda tergelak. Memeluk erat tubuh Anggun yang masih terbungkus selimut dengan gemas. Namun, hal itu tidak berlangsung lama ketika ponsel sang istri berdering begitu keras. Detik selanjutnya, tubuh Sabda tersingkir karena Anggun mendorongnya menjauh.“Jam tujuh.” Anggun membuka selimutnya hingga sebatas dada, lalu bangkit sembari menjepitnya dengan kedua tangan. Melihat sekeliling kamar, tetapi tidak menemukan tasnya ada di sana. Anggun segera meraih ponselnya di nakas, lalu mematikan alarmnya. “Tasku di mana, ya?”“Di luar.”“Koper?” tanya Anggun lagi, sambil mengumpulkan nyawanya.“Juga masih di luar.”Anggun berd
“Ke mana mama?” tanya April menghampiri Regan di ruang kerjanya. “Aku kira lagi di sini sama Papa.”“Mamamu sakit kepala,” jawab Regan segera berdiri menyambut putrinya dan membawa April duduk di sofa. “Kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat di rumah dan nggak usah ke mana-mana dulu.”“Aku nggak papa.” April menggenggam erat jemari Regan dengan khawatir. “Mas Wahyu bilang, Papa bisa di penjara karena kasus tes DNA Anggun 15 tahun lalu. Sebenarnya, apa yang terjadi, Pa?”Regan membalas genggaman tangan putrinya tidak kalah erat, untuk menguatkan dirinya sendiri. “Om Alfian meninggal, Anggun menghilang, dan perusahaan goyang karena pemegang saham utama meninggalkan banyak proyek yang masih separuh jalan. Mereka saling melempar tanggung jawab, sekaligus ada yang ingin mengambil alih dengan cara licik.”Regan menarik napas lebih dulu, sebelum kembali melanjutkan ceritanya. “Kalau masalah hak waris nggak cepat diselesaikan, perusahaan bisa jadi tambah carut marut. Karena itulah, kita lakuk
“Rumah ini beserta aset papamu yang lain sudah disita bank.”Regan bertolak pinggang di tengah kamar Anggun, sambil melihat ke sekeliling dengan perlahan. Kamar dengan nuansa putih dan terlihat sangat bersih, juga luas. Ini kali pertama Regan masuk ke dalam kamar keponakannya, yang saat ini berusia 12 tahun.“Laporan keuangan perusahaan juga bermasalah, jadi ...” Regan menghampiri gadis kecil yang duduk memeluk kedua kaki yang tertekuk di tempat tidur. Wajah sembab dengan kedua mata yang bengkak itu, sungguh memperlihatkan rasa kehilangan yang luar biasa. “Ada kemungkinan perusahaan papamu juga bangkrut. Om cuma punya sedikit tabungan, jadi, pergilah dari sini karena banyak penagih utang yang pasti nyariin kamu.”“Nyariin ... aku?” Anggun bingung, mengapa penagih utang tersebut akan mencari dirinya.“Iya.” Regan mengangguk meyakinkan. “Jadi pergilah, karena Om nggak mau kamu kenapa-kenapa, pergilah. Dan biar semua urusan di sini, Om yang selesaikan.”Anggun menggeleng. Masih tidak meng
Lima belas tahun kemudian.~~~~~~~~Jakarta.Akhirnya, Anggun kembali menginjakkan kaki di tempat dia dilahirkan, setelah 15 tahun berada di Surabaya. Hidup tertatih, dengan semua kekurangan dan harus mengganti identitas menjadi Indah Kurnia, seperti yang disarankan oleh Sita. Anggun Kalingga, sudah tiada. Ia dititipkan Bahar ke seseorang di Surabaya dan rutin mengirimkan uang sampai Anggun lulus SMA.Namun, setelahnya Bahar tidak lagi mengirimkan uang dan hilang begitu saja. Sementara Sita, Anggun sudah tidak tahu menahu tentang wanita itu sejak mereka berpisah di bus kala itu.“Belum selesai, In?” tanya Sabda, eksekutif produser yang menangani program debat politik – Retorika – di Warta. Salah satu perusahaan media ternama, di ibukota yang terkenal dengan liputan mendalam dan kontroversinya.Indah terkesiap, ketika seseorang menepuk pundak dan sudah berdiri di sampingnya. Tidak bisa mengganti layar komputer, karena Sabda pasti sudah melihat apa yang Indah lakukan.“Kalingga?” tanya
“Done. 10 langkah!” Indah mempertahankan wajah polosnya dan tidak menampilkan senyum sedikitpun. Tetap terlihat canggung dan pura-pura bodoh di depan ketiga pria yang sedang menatapnya. “Jadi ... saya menang, kan?”Wahyu menarik napas dalam-dalam. Meletakkan kedua siku di lengan kursi dan menyatukan kesepuluh jemarinya di depan dada. Menelisik ekspresi Indah yang tidak terbaca, dengan seksama.Jarang-jarang ada gadis di zaman sekarang, yang bisa bermain catur seperti Indah. Beberapa mungkin hanya bisa bermain, tetapi Indah sungguh-sungguh memasang strateginya. Gadis itu tidak berjalan semaunya, tetapi memikirkan setiap langkah ketika memainkan bidak caturnya.“Kamu sering main catur?” tanya Budiman mulai tertarik dengan penampilan Indah yang tidak mencolok.Indah menggeleng. Sejurus itu, ia mengangguk dan sengaja membuat bingung pria yang menanti jawabannya. “Waktu kecil, sering. Tapi, makin ke sini, sudah jarang.”“Waktu kecil?” tanya Sabda akhirnya bisa bernapas lega dan cukup terke
“Pagi, Mas Sabda,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat pria itu sudah duduk di mejanya di pagi hari seperti sekarang. Padahal, Indah sudah berangkat sangat pagi sekali ke kantor, agar bisa bebas melakukan beberapa hal. Namun, pria itu ternyata sudah lebih dulu berada di mejanya.“Yang semalam.” Sabda sedikit memundurkan kursi berodanya, lalu bersandar dan bersedekap, menatap Indah. Hari memang masih terlalu pagi, karena itulah mayoritas meja tim dan kubikel di ruang redaksi masih tampak lengang. “Jangan pernah diulangi lagi. Mempertaruhkan pekerjaanmu di sana, itu termasuk langkah yang bodoh.”“Baik, Mas.” Indah melepas ranselnya lalu meletakkan di lantai. Duduk di kursinya, lalu menyalakan perangkat komputer miliknya. Tidak akan membantah, agar tidak ada perdebatan di luar ranah profesionalisme.Sabda mendesis kecil, karena Indah ternyata agak susah ditebak. Tadinya, ia sempat mengira Indah akan memberi argumen terkait perbuatannya tadi malam. Namun, gadis itu justru menuruti ucapa