“Bagus!” April bersedekap dan menatap tangan Anggun yang berada di bahu Wahyu. “Jadi, kalian sudah terang-terangan sekarang.”Wahyu sedikit memutar tubuh setelah menepis pelan tangan Anggun dari bahunya. “Mau apa ke sini?”“Aku ada perlu sama Sabda,” jawabnya sambil menunjuk Anggun. “Mau bicara masalah istrinya yang nggak tahu malu ini.”Anggun menatap April dengan tenang dan enggan menyanggah perkataan April. Biarlah wanita itu dipenuhi dengan asumsinya sendiri dan terbakar dengan semua hal yang sudah terjadi.“Silakan urus istrimu,” ucap Anggun sedikit bergeser dari hadapan Wahyu. “Dia mungkin sedang terbakar dan ... akan jadi arang.”“Jaga bicaramu.” April segera mencekal lengan Anggun. Mencengkramnya erat dengan senyum yang tersemat di wajah. “Aku sudah pernah—”“April.” Wahyu menyela sembari meraih tangan April yang mencengkram lengan Anggun. “Ini lobi Warta,” ucapnya memperingatkan bahwa mereka sedang berada di tempat umum. “Satu gerakan dengan angle yang tepat, bisa jadi bumera
“Mas, sepertinya aku butuh pengacara.” Anggun menarik koper dari walk in closet, lalu membiarkannya di luar sisi ruang. Beranjak menuju tempat tidur, lalu berbaring miring menatap Sabda yang sibuk di meja kerja. “Bisa kasih referensi yang pamornya sebanding dengan Firma Sadhana?”“Emm ...” Sabda menggumam dengan jemari yang masih menari di atas keyboard. “Siapa, yaaa ... rival Sadhana pasti tertarik ngambil kasus ini.”“Sadhana punya rival?”“Kita semua punya rival dalam bidang yang sama.” Sabda menarik kedua tangannya. Bersandar menatap Anggun. “Besok aku coba telpon pak Krisna.”“Aku pernah sekali, ketemu pak Krisna di pengadilan,” ujar Anggun mengingat wawancara singkatnya setelah meliput salah satu sidang. “Jadi, nanti aku aja yang telpon langsung, biar leluasa.”“Oke!” Sabda kembali fokus pada layar komputer dan melanjutkan pekerjaannya. “Papa sama om Darwin mulai dipanggil minggu depan. Kamu juga siap-siap, karena mereka pasti akan manggil kamu lagi.”“Aku ngerti prosesnya.” Ang
Gerah karena mobil berwarna abu itu terus mengikuti, Anggun akhirnya menghentikan mobilnya. Melihat jam digital pada dashboard, lalu melihat jarak tempatnya berhenti menuju kediaman Krisna. Masih ada waktu setengah jam untuk sampai di sana. Lantas, di sisa waktu saat ini Anggun hanya diam memerhatikan mobil tersebut.Dengan perlahan dan pasti, mobil yang sedari tadi mengikutinya ternyata melewati mobil Anggun. Mungkin, pengemudi mobil tersebut tidak ingin menimbulkan kecurigaan sehingga melewatinya begitu saja. Atau, Wahyu mungkin sudah menghubungi April dan memberi sedikit “pelajaran” pada istrinya.Tidak dipungkiri, Anggun cukup merasa lega ketika mobil tersebut tidak lagi berada di belakangnya. Ia lantas bersandar, lalu menenangkan dirinya sendiri dengan mengatur napas berulang kali.Setelah merasa sedikit tenang, Anggun kemudian melepas rem tangannya. Saat kakinya baru menginjak pedal gas dengan perlahan, ponselnya lantas berbunyi. Anggun melirik pada layar dashboard dan melihat na
Tadinya, Anggun sudah membayangkan malam gala dinner yang dihadirinya akan menjadi malam yang “menyenangkan”, karena bisa berada di sisi April sepanjang acara. Namun, Sabda menyela kesenangan tersebut dengan meminta tamu dari meja lain untuk pindah tempat duduk.Alhasil, sia-sia saja usaha Anggun menghubungi seating coordinator acara dan membayarnya kalau hasilnya seperti sekarang. Ia tidak bisa menolak, karena memikirkan pandangan para tamu jika mereka berdebat di acara tersebut.Karena itulah, sepanjang acara Anggun hanya diam membisu karena Sabda sudah menghancurkan mood-nya. Anggun menahan amarah, sampai akhirnya acara utama selesai dan para tamu sibuk membaur untuk berbincang atau sekadar melakukan sesi foto sebagai kenang-kenangan.“Aku mau balik sekarang.” Anggun sudah memegang tas pesta yang hanya berisi ponsel dan dompet.“Bisa kita—”“Aku tunggu di lobi.” Anggun menolak apa pun yang ingin disampaikan Sabda, lalu meninggalkan pria itu tanpa menoleh. Namun, ia tetap memasang se
“Tante!” Wahyu mempercepat langkahnya begitu melihat Syifa mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang operasi. Tanpa perlu bertanya, ketegangan terpancar jelas di wajahnya. Sementara Budiman, hanya duduk diam dengan tatapannya kosong yang tertuju pada dinding. “Sabda—”“Sabda ...” Suara Syifa bergetar, matanya yang sembab beralih menatap Wahyu. Air mata menggenang lagi, namun tidak ada kata-kata yang mampu keluar, hanya isak yang akhirnya pecah. Syifa menumpahkan perasaan yang kembali tidak bisa dibendung.Wahyu menarik napas panjang. Udara di sekitarnya seolah menipis karena mendengar tangis Syifa. Tubuhnya reflek memberi pelukan dan berharap semua akan baik-baik saja.Entah sudah berapa lama isakan Syifa memenuhi kesunyian malam, sampai akhirnya Wahyu mendengar suara sang mama yang datang dan terdengar khawatir.“Mbak ...” Desty menghampiri dengan raut wajah tegang. Suaranya nyaris bergetar, melihat Syifa yang kini bersandar pada Wahyu. Menatap tanya pada putranya, tetapi hanya mene
“Bud! Bagaimana kondisi Sabda?” Regan menghampiri dengan wajah khawatir dan segera duduk di samping pria itu. “Aku baru dengar beritanya dan kenapa nggak ada yang ngabari aku?”Budiman mengembuskan napas berat dan tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong sejenak sebelum ia menatap Regan, kemudian beralih pada Elsa yang berdiri dan menanti jawaban.“Kritis,” jawabnya lirih dan pendek, sembari melihat April yang berjalan tergesa ke arah mereka.“Kata April, mereka tadi malam masih ngobrol di gala dinner,” ujar Elsa menatap lorong pendek yang menuju ICU, lalu beralih pada April yang baru berdiri di sampingnya. Ia menebak, Syifa saat ini berada di dalam sana menemani putranya. “Sabda kritis,” ucapnya memberi tahu.“Padahal tadi malam kami ketemu di—”“April.” Syifa menyentuh lengan putrinya dan menggeleng. Memberi isyarat, agar April tidak meneruskan ucapannya. “Anggun di mana, Mas Bud?” tanyanya yang juga penasaran dengan kondisi Anggun.“Anggun sudah di kamarnya, di ruang VVIP.” Des
“Sibuk?” tanya Desty setelah membuka pintu kamar VVIP yang ditempati Wahyu. “Mama pengen lihat Anggun sebenarnya, tapi yang jaga agak serem.”Wahyu terkekeh, lalu mempersilakan mamanya masuk. “Mama bisa masuk kapan aja ke sini dan nggak perlu minta izin,” terangnya sembari membereskan beberapa berkas yang berhamburan di sofa. Kemudian, Wahyu mempersilakan Desty duduk di sampingnya. “Kita bisa ke sebelah sekarang, kalau Mama mau jenguk Anggun.”“Nanti aja.” Desty mencekal tangan Wahyu yang hendak berdiri. “Mama mau ngomong sama kamu.”“Mau ngomong apa?”“Biarkan pak Krisna yang mengurus semuanya,” pinta Desty sambil menggenggam tangan putranya. Pagi tadi, Krisna sudah datang ke rumah sakit dan melakukan pertemuan yang cukup memakan waktu. Karena itulah, Desty ingin membujuk Wahyu agar melepas beberapa hal. “Maksud Mama, semua yang berkaitan dengan Anggun, biar pak Krisna yang handle. Dan kamu, fokuslah dengan Sabda.”“Kasus Sabda dan Anggun nggak bisa dipisahkan, Ma.”“Mama tahu, kamu
Anggun memberi senyum kecil pada Wahyu yang kembali masuk ke kamarnya. Kali ini, pria itu terlihat rapi dengan setelan jas yang sudah membalut tubuhnya seperti biasa.“Kata suster, sarapanmu nggak habis.” Wahyu kembali duduk di ujung tempat tidur seperti biasa. Suaranya datar, tetapi dengan intonasi tegas. “Tolong jangan seperti anak kecil. Aku tahu mungkin rasanya nggak enak, tapi demi kesehatanmu sendiri dan demi Sabda. Jadi, aku harap mulai nanti siang habiskan makananmu.”Anggun mengangguk samar karena sekujur tubuhnya masih terasa nyeri. Dari ujung kepala, hingga kaki.Wahyu benar, ia harus memaksakan diri menghabiskan makanannya demi dirinya sendiri dan juga Sabda. Anggun harus lekas pulih, agar bisa segera menemui suaminya.Selama Anggun berada di kamar inap, hanya Wahyu seorang yang kerap datang dan bicara dengannya. Budiman dan Desty pernah datang satu kali ketika ia tertidur dan Syifa belum pernah menjenguknya sama sekali, karena masih fokus pada Sabda. Semua itu, Anggun ket
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk