Anggun memberi senyum kecil pada Wahyu yang kembali masuk ke kamarnya. Kali ini, pria itu terlihat rapi dengan setelan jas yang sudah membalut tubuhnya seperti biasa.“Kata suster, sarapanmu nggak habis.” Wahyu kembali duduk di ujung tempat tidur seperti biasa. Suaranya datar, tetapi dengan intonasi tegas. “Tolong jangan seperti anak kecil. Aku tahu mungkin rasanya nggak enak, tapi demi kesehatanmu sendiri dan demi Sabda. Jadi, aku harap mulai nanti siang habiskan makananmu.”Anggun mengangguk samar karena sekujur tubuhnya masih terasa nyeri. Dari ujung kepala, hingga kaki.Wahyu benar, ia harus memaksakan diri menghabiskan makanannya demi dirinya sendiri dan juga Sabda. Anggun harus lekas pulih, agar bisa segera menemui suaminya.Selama Anggun berada di kamar inap, hanya Wahyu seorang yang kerap datang dan bicara dengannya. Budiman dan Desty pernah datang satu kali ketika ia tertidur dan Syifa belum pernah menjenguknya sama sekali, karena masih fokus pada Sabda. Semua itu, Anggun ket
“Lepas jaket, tas, sepatu, dan serahkan hapemu.” Kendrick memberi perintah tegas, sembari menunjuk buah tangan yang dibawa Kimmy. “Mbak Anggun nggak boleh makan makanan dari luar rumah sakit, jadi roti dan buahnya bisa kamu bawa lagi. Nggak perlu dibawa masuk.”“Baru ini saya besuk orang sakit seperti datang jenguk napi.” Meskipun kesal, tetapi Kimmy tidak bisa mengelak perintah pria itu. “Ini tuh cuma—”“Mau masuk atau pulang?” putus Kendrick kembali berujar dengan nada tegas.“Masuk.” Dengan bibir yang merengut, Kimmy melepas tas, membuka jaket, dan menuruti semua ucapan Kendrick dengan tidak ikhlas. Terakhir, ia menyerahkan ponselnya pada pria itu dengan kasar. “Hape baru, awas aja lecet!”Kendrick menerima ponsel tersebut, lalu memasukkan ke dalam saku jasnya. Kemudian, ia bergeser dan mengambil sebuah clipboard dari kursi tunggu, lalu menyerahkan pada Kimmy.“Baca dan tanda tangani dulu sebelum masuk ke dalam.”“Ha?” Kimmy benar-benar dibuat tercengang dengan proses ketat yang ha
“Pergerakan tadi kemungkinan disebabkan oleh respons acak dari cedera otak. Kami perlu lebih berhati-hati dan akan terus memantau kondisinya dengan lebih seksama,” jelas dokter setelah melakukan pemeriksaan.Wahyu mengalihkan pandangannya ke Syifa yang baru saja menutup mulut, matanya berkaca-kaca. “Jadi, bukan tanda-tanda kondisinya membaik?”“Sayangnya, pergerakan ini belum bisa dianggap sebagai tanda perbaikan,” jawab dokter dengan suara lembut namun tegas. “Kami masih melihat adanya aktivitas abnormal di monitor, dan hasil CT scan menunjukkan ada pembengkakan yang signifikan di area otak.”“Pembengkakan?” tanya Wahyu semakin khawatir dengan kondisi Sabda. “Jadi, apa langkah selanjutnya?”Dokter menghela napas. “Jika kondisi ini berlanjut, kami akan mempertimbangkan untuk menginduksi koma medis. Ini bertujuan untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak dan memberi waktu pada otak untuk pulih.”Syifa mulai terisak, tubuhnya goyah sebelum terjatuh dalam pelukan Desty yang segera meme
“Berengsek!” Wahyu reflek menggeser tubuh Darwin, lalu memberi satu bogem mentah ke wajah pria yang sedang mereka interogasi setelah menyebut nama seseorang.“Seret Wahyu keluar dari sini!” titah Darwin dengan cepat menarik putranya dan mendorong Wahyu ke arah dua orang suruhan Kendrick. “Ken! Cepat ke depan dan jangan ada yang bukakan pintu pagar buat Wahyu atau mereka kupecat dan nggak akan bisa cari kerja di mana pun!”Wahyu memberontak, berteriak marah, “PAPA!”“Diam kamu!” Darwin menyentak keras. Tatapannya tajam, penuh otoritas pada Wahyu. Menunjukkan, bahwa dirinyalah yang memiliki kuasa saat ini. “Tunggu di luar dan jangan ke mana-mana,” tegasnya tanpa mau dibantah.Baik Kendrick dan kedua orang suruhannya segera melakukan perintah Darwin tanpa menyela. Kendrick pergi lebih dulu untuk membei perintah pada penjaga gerbang, sementara kedua pria suruhannya membawa Wahyu keluar dan masih menahan erat kedua tangannya.Sementara Darwin yang masih berada di ruangan, sontak menendang
“REGAN!” Kedua tangan Budiman sudah mengepal erat dan bergetar. Hatinya panas tidak karuan, setelah mendengar pemaparan David mengenai dalang di balik kecelakaan Sabda.“Tahan, Bud, tahan!” Darwin segera menghalangi Budiman yang hendak pergi dari kafetaria rumah sakit. “Duduk dulu, biar aku jelaskan.“Apa lagi yang mau dijelaskan!”“Kecilkan suaramu, karena kita di tempat umum,” desis Darwin memaksa Budiman kembali duduk di kursinya.“Tapi—”“Kita buat laporan hari ini,” putus Darwin kemudian duduk di samping Budiman dan bicara dengan suara pelan. “Wahyu yang akan jadi kuasa hukumnya dan—”“April?” sela Budiman mengingat istri Wahyu adalah putri Regan. “Kalau Wahyu yang jadi kuasa hukumku, apa rumah tangga Wahyu nggak tambah runyam? Kita bisa usut Regan dan biar urusan ini aku serahkan sama Krisna.”“Wahyu sendiri yang minta dan semua ini dia lakukan buat Sabda.”“Dan pernikahannya?”“Dia sudah tahu konsekuensinya, jadi—”“Sorry, Win.” Budiman menggeleng setelah memikirkan beberapa hal
Anggun tidak langsung bertanya ketika Wahyu akhirnya kembali ke ruangannya. Wajah pria itu terlihat kusut dan sorot matanya tampak menyimpan banyak kesedihan yang tidak bisa terungkapkan.Melihat itu, debaran jantung Anggun mendadak berpacu cepat. Pikirannya langsung tertuju pada Sabda, karena kepergian Wahyu dan Syifa yang mendadak beberapa waktu lalu. Anggun takut, jika ia bertanya perihal keadaan suaminya, maka yang didapatnya tidak sesuai dengan harapan karena melihat ekspresi Wahyu saat ini.“Sabda koma,” ucap Wahyu setelah berdiri di samping ranjang pasien. “Kita cuma bisa—”“Nggak!” Anggun menggeleng cepat. Tidak mau percaya dengan perkataan Wahyu tentang suaminya. Wajahnya sontak memanas, seiring tubuhnya yang mulai bergetar. “Nggak mungkin!” suaranya pecah, setengah berteriak dalam kepanikan yang tidak mampu ia kendalikan. “Dia ... dia baik-baik aja, kan? Kamu bohong, kan?”Anggun berusaha bangkit, tetapi rasa sakit di tubuhnya membuat ia kembali bersandar dengan frustrasi. Ta
“Saya, Wahyu Sadhana,” ujar Wahyu menjabat tangan pria yang terlihat seumuran papanya. Mungkin lebih muda beberapa tahun, tetapi ia juga tidak bisa memastikan hal tersebut.“Farhat,” balasnya gugup dan salah tingkah. Karena itu pulalah, tangannya terasa dingin dan sedikit tremor ketika menjabat tangan pria itu.Farhat juga tidak mungkin lupa dengan keluarga Sadhana, karena mereka adalah kuasa hukum dari keluarga Kalingga dahulu kala.“Silakan duduk,” ucap Wahyu mempersilakan pria itu duduk kembali di kursinya. “Sebelumnya, saya minta maaf kalau penjemputan Bapak di Bali agak sedikit memaksa. Tapi, kami tidak punya pilihan lain. Saya nggak tahu Bapak sering nonton tivi, atau baca berita, tapi, Bapak pasti tahu kalau semua ini ada kaitannya dengan keluarga kalingga.”Farhat menelan ludah karena sangat terintimidasi oleh sika Wahyu yang sangat tegas. “Kalingga ...”“Anggun Kalingga.” Wahyu mengangguk kecil sembari duduk di kursi yang berhadapan dengan Farhat. “Kenapa Bapak mendadak resig
“Apa ini!” Regan menggeram. Tangannya bergetar, sejurus kemudian ia meremat kertas yang baru dibacanya dan membuangnya dengan kasar. “Surat panggilan!”Napas Regan mulai memburu. Pihak berwenang memanggilnya untuk dimintai keterangan tentang kecelakaan Sabda dan kecelakaan 15 tahun yang lalu. Sebuah kecelakaan yang ia pikir sudah lama terkubur bersama waktu.Apa sebenarnya yang terjadi? Siapa yang membuat laporan tersebut? Apakah Anggun?Mengapa kejadian yang sudah lama terlewat, harus diselidiki lagi. Padahal, Regan baru saja memenuhi panggilan terkait kasus tes DNA beberapa waktu lalu, tetapi kini ada surat panggilan baru yang sama sekali tidak terduga dan untuk dua kejadian sekaligus.Jangan-jangan ...Regan segera meraih ponsel, lalu menelepon seseorang. Namun, nomor yang ditujunya ternyata tidak aktif. Berkali-kali Regan mencoba menghubungi, tetapi hasilnya nihil.Debaran jantug Regan berdebar kencang. Memikirkan kecelakaan Sabda dan orang suruhannya yang mendadak tidak bisa dihu
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk