“Apa ini!” Regan menggeram. Tangannya bergetar, sejurus kemudian ia meremat kertas yang baru dibacanya dan membuangnya dengan kasar. “Surat panggilan!”Napas Regan mulai memburu. Pihak berwenang memanggilnya untuk dimintai keterangan tentang kecelakaan Sabda dan kecelakaan 15 tahun yang lalu. Sebuah kecelakaan yang ia pikir sudah lama terkubur bersama waktu.Apa sebenarnya yang terjadi? Siapa yang membuat laporan tersebut? Apakah Anggun?Mengapa kejadian yang sudah lama terlewat, harus diselidiki lagi. Padahal, Regan baru saja memenuhi panggilan terkait kasus tes DNA beberapa waktu lalu, tetapi kini ada surat panggilan baru yang sama sekali tidak terduga dan untuk dua kejadian sekaligus.Jangan-jangan ...Regan segera meraih ponsel, lalu menelepon seseorang. Namun, nomor yang ditujunya ternyata tidak aktif. Berkali-kali Regan mencoba menghubungi, tetapi hasilnya nihil.Debaran jantug Regan berdebar kencang. Memikirkan kecelakaan Sabda dan orang suruhannya yang mendadak tidak bisa dihu
“Waktu Bu Anggun cuma 15 menit,” ujar suster yang mendorong kursi rodanya ke dalam ruangan Sabda dan berhenti di samping ranjang pasien. “Setelah itu, Ibu harus kembali ke kamar untuk istirahat. Saya permisi.”Anggun mengangguk. Belum-belum, air matanya sudah tumpah ketika melihat kondisi Sabda dengan semua alat yang menempel di tubuhnya.Kamar tersebut terasa sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor yang berdetak pelan mengikuti denyut jantung Sabda. Anggun duduk diam di kursi roda, tepat di sisi ranjang Sabda. Tatapannya kosong, tetapi air mata tidak henti mengalir membasahi pipi penuh rasa bersalah.Sabda terbaring tidak bergerak. Tubuhnya diselimuti selang dan alat bantu. Wajahnya terlihat tenang, tetapi itu bukanlah ketenangan yang Anggun harapkan. Anggun menatap suaminya dengan hati yang tercabik pilu. Setiap napas yang keluar dari alat bantu, seakan mencuri satu per satu harapannya.Tangan Anggun gemetar saat berusaha menggapai tangan Sabda yang terbaring lemah. Kulit dingin
“Papa dipanggil karena kecelakaan Sabda dan orang tua Anggun?” April langsung menodong Regan, ketika masuk ke ruang kerja pria itu dengan terburu. Bersedekap dan menunggu sang papa menjawab pertanyaannya dengan tidak sabar.“Suamimu yang ngasih tahu?” tebak Regan tanpa ragu. Ia masih memikirkan beberapa hal, terkait dua kasus tersebut.Untuk kasus tes DNA, Regan sudah pasrah karena Budiman dan Darwin telah mengakui perbuatannya di masa lalu. Namun, ketika ia ditodong dengan dua kasus kecelakaan mobil, Regan mendadak sakit kepala. Terlebih dengan perihal kecelakaan 15 tahun yang lalu.Apa sebenarnya yang terjadi?“Bilang kalau itu nggak benar.” April berharap, Regan hanya akan dipanggil sebagai saksi. Papanya sama sekali tidak terlibat dalam kasus kecelakaan yang menimpa Sabda dan orang tua Anggun. “Papa nggak ada sangkut pautnya dengan kecelakaan Sabda dan om Alfian.”“Kembali ke ruanganmu,” titah Regan datar dan masih diselimuti kegelisahan yang tidak bisa digambarkan. Ia masih harus
“Wahyu.” Elsa menghampiri menantunya ketika melihat pria itu baru keluar dari salah satu lorong di gedung pengadilan. “Mama mau bicara sebentar.”Wahyu ingin berdecak, tetapi menahannya. Melihat ke sekeliling sebentar, untuk mencari keberadaan April tetapi ia tidak kunjung menemukan wanita itu.“Kita mau sidang, Ma,” ujar Wahyu memberi alasan.“Masih ada 10 menit.” Elsa benar-benar frustrasi dengan semua masalah yang menimpanya dalam satu waktu.“Apa yang mau Mama bicarakan?” Akhirnya, Wahyu mengalah karena melihat wajah lesu Elsa.“Mama tahu papa Regan sudah berbuat banyak hal, tapi itu nggak ada sangkut pautnya dengan April.” Elsa menarik napas panjang sejenak. “Kita belum tahu dia terlibat dalam dua kecelakaan itu atau nggak, tapi, tolong bersikap baiklah dengan April. Maksud Mama, pulanglah ke rumah. Bicara dengan April, karena rumah tangga kalian sebenarnya baik-baik aja.”Giliran Wahyu yang menarik napas panjang. Sejauh ini, ia masih menyimpan rasa hormatnya pada Elsa. “Dari awa
April menutup pintu mobil yang baru dibuka Wahyu dengan kasar. Menatap tajam, dengan amarah yang terpancar jelas dari sorot matanya. Ia tidak peduli, jika beberapa pasang mata sempat melirik pada mereka yang berada di area parkir pengadilan.“Kata ke Mama ... kamu, kamu mau ceraikan aku?” tanya April dengan sesak yang sudah memenuhi dada. Perjuangannya bertahun-tahun agar bisa berada di sisi Wahyu dan menjadi satu-satunya wanita di samping pria itu ternyata berakhir seperti ini. “Kenapa?” April memukul dada Wahyu dengan putus asa. “Kenapa kamu mau cerai?”“Kita sudah nggak bisa sejalan,” ucap Wahyu tenang, tanpa menunjukkan emosi apa pun.“Apa ini karena kecelakaan Sabda?” tanya April sedang memikirkan semua kemungkinan yang ada. “Apa karena papaku diduga—”“Sebelum masalah itu muncul, aku juga sudah berencana cerai dari kamu.” Wahyu bergeser. Menyandarkan punggungnya pada sisi mobil, lalu menenggelamkan satu tangannya pada saku celana. “Kita nggak pernah bisa sejalan, Pril. Kamu terl
“Pagi,” sapa Wahyu segera melipir ke kamar Anggun, ketika jarum jam tepat menunjukkan pukul enam pagi. “Ken baru bisa ke sini jam sembilan, karena ada yang harus dia urus. Jadi, setelah itu baru dia urus administrasinya.”“Nggak biasanya kamu ke sini pagi begini.” Anggun sedang melatih kekuatan kakinya dengan berjalan-jalan di dalam ruangan. Hanya langkah ringan dan pelan, agar kakinya kembali terbiasa untuk berjalan kembali.“Karena setelah ini kita mungkin jarang ketemu,” ucap Wahyu kembali duduk di sofa seperti tadi malam. Melihat Anggun yang berjalan pelan, guna melatih otot kakinya. “Kita mungkin cuma ketemu di pengadilan, atau di rumah sakit.”“Ah ... iya.” Anggun berhenti melangkah. Menatap Wahyu sejenak, lalu bergeser menghampiri kursi rodanya dan duduk di sana.“Pak Krisna ke sini jam delapan,” ujar Wahyu memberi informasi. “Dan aku minta om Budiman untuk nemani kamu, karena aku harus ke Kalingga Tower.”“Apa kabar Kalingga sekarang, Mas?” tanya Anggun hampir tidak pernah lagi
Sejak Anggun keluar dari rumah sakit, ia benar-benar tidak lagi bertemu dan berhubungan dengan Wahyu. Meskipun Syifa sudah memberikannya sebuah ponsel baru, tetapi Anggun merasa tidak perlu bertanya tentang nomor pria itu. Daftar kontak di ponsel barunya pun hanya berisi beberapa nama, kurang dari sepuluh orang.Ada sesuatu tentang Wahyu, yang membuat Anggun merasa lebih baik jika ia menjaga jarak. Karena sudah jelas, mereka tidak seharusnya lagi terhubung. Semua itu hanya akan menambah keruh permasalahan di antara Wahyu dan April. Lebih baik menjauh, agar Anggun tidak disalahkan atas retaknya hubungan mereka berdua.Hubungan mereka sudah cukup rumit, dan kehadirannya hanya akan memperburuk keadaan. Anggun tahu, keputusan ini bukan karena ia menghindar dari masalah, melainkan demi menjaga batas yang seharusnya tidak pernah dilewati. Bagaimanapun juga, Wahyu sudah memiliki kehidupan sendiri bersama April dan Anggun tidak ingin menjadi alasan kehancuran itu.Walaupun, dahulu kala Anggun
“Pak Kris, terima kasih banyak.” Anggun berdiri dari kursi rodanya, lalu menyalami Krisna.“Sama-sama.” Krisna menyambut uluran tangan Anggun dengan formal. “Ini semua belum berakhir, jadi, kita masih akan bertemu di sidang selanjutnya.”“Yah ...” Anggun menghela panjang, karena proses sidang memang tidak sesimpel yang dibayangkan. “Yang penting, semua bukti dan saksi kita sudah kuat. Om Regan sudah nggak bisa berkutik karena kita sudah awasi semuanya.”“Benar,” ucap Krisna. “Farhat dan keluarganya juga masih dalam perlindungan dan kita juga masih mengawasi Regan.”Anggun mengangguk dan berterima kasih sekali lagi. Namun, ada satu hal yang terasa janggal bagi Anggun, yakni Wahyu. Pria itu tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali di pengadilan. Sejak Anggun menginjakkan kaki di pelataran gedung sampai sesi sidang berakhir, ia tidak melihat pria itu sama sekali.“Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit Krisna karena harus segera kembali ke Firma. “Saya hubungi kalau terjadi sesuat
“Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar