“Papa dipanggil karena kecelakaan Sabda dan orang tua Anggun?” April langsung menodong Regan, ketika masuk ke ruang kerja pria itu dengan terburu. Bersedekap dan menunggu sang papa menjawab pertanyaannya dengan tidak sabar.“Suamimu yang ngasih tahu?” tebak Regan tanpa ragu. Ia masih memikirkan beberapa hal, terkait dua kasus tersebut.Untuk kasus tes DNA, Regan sudah pasrah karena Budiman dan Darwin telah mengakui perbuatannya di masa lalu. Namun, ketika ia ditodong dengan dua kasus kecelakaan mobil, Regan mendadak sakit kepala. Terlebih dengan perihal kecelakaan 15 tahun yang lalu.Apa sebenarnya yang terjadi?“Bilang kalau itu nggak benar.” April berharap, Regan hanya akan dipanggil sebagai saksi. Papanya sama sekali tidak terlibat dalam kasus kecelakaan yang menimpa Sabda dan orang tua Anggun. “Papa nggak ada sangkut pautnya dengan kecelakaan Sabda dan om Alfian.”“Kembali ke ruanganmu,” titah Regan datar dan masih diselimuti kegelisahan yang tidak bisa digambarkan. Ia masih harus
“Wahyu.” Elsa menghampiri menantunya ketika melihat pria itu baru keluar dari salah satu lorong di gedung pengadilan. “Mama mau bicara sebentar.”Wahyu ingin berdecak, tetapi menahannya. Melihat ke sekeliling sebentar, untuk mencari keberadaan April tetapi ia tidak kunjung menemukan wanita itu.“Kita mau sidang, Ma,” ujar Wahyu memberi alasan.“Masih ada 10 menit.” Elsa benar-benar frustrasi dengan semua masalah yang menimpanya dalam satu waktu.“Apa yang mau Mama bicarakan?” Akhirnya, Wahyu mengalah karena melihat wajah lesu Elsa.“Mama tahu papa Regan sudah berbuat banyak hal, tapi itu nggak ada sangkut pautnya dengan April.” Elsa menarik napas panjang sejenak. “Kita belum tahu dia terlibat dalam dua kecelakaan itu atau nggak, tapi, tolong bersikap baiklah dengan April. Maksud Mama, pulanglah ke rumah. Bicara dengan April, karena rumah tangga kalian sebenarnya baik-baik aja.”Giliran Wahyu yang menarik napas panjang. Sejauh ini, ia masih menyimpan rasa hormatnya pada Elsa. “Dari awa
April menutup pintu mobil yang baru dibuka Wahyu dengan kasar. Menatap tajam, dengan amarah yang terpancar jelas dari sorot matanya. Ia tidak peduli, jika beberapa pasang mata sempat melirik pada mereka yang berada di area parkir pengadilan.“Kata ke Mama ... kamu, kamu mau ceraikan aku?” tanya April dengan sesak yang sudah memenuhi dada. Perjuangannya bertahun-tahun agar bisa berada di sisi Wahyu dan menjadi satu-satunya wanita di samping pria itu ternyata berakhir seperti ini. “Kenapa?” April memukul dada Wahyu dengan putus asa. “Kenapa kamu mau cerai?”“Kita sudah nggak bisa sejalan,” ucap Wahyu tenang, tanpa menunjukkan emosi apa pun.“Apa ini karena kecelakaan Sabda?” tanya April sedang memikirkan semua kemungkinan yang ada. “Apa karena papaku diduga—”“Sebelum masalah itu muncul, aku juga sudah berencana cerai dari kamu.” Wahyu bergeser. Menyandarkan punggungnya pada sisi mobil, lalu menenggelamkan satu tangannya pada saku celana. “Kita nggak pernah bisa sejalan, Pril. Kamu terl
“Pagi,” sapa Wahyu segera melipir ke kamar Anggun, ketika jarum jam tepat menunjukkan pukul enam pagi. “Ken baru bisa ke sini jam sembilan, karena ada yang harus dia urus. Jadi, setelah itu baru dia urus administrasinya.”“Nggak biasanya kamu ke sini pagi begini.” Anggun sedang melatih kekuatan kakinya dengan berjalan-jalan di dalam ruangan. Hanya langkah ringan dan pelan, agar kakinya kembali terbiasa untuk berjalan kembali.“Karena setelah ini kita mungkin jarang ketemu,” ucap Wahyu kembali duduk di sofa seperti tadi malam. Melihat Anggun yang berjalan pelan, guna melatih otot kakinya. “Kita mungkin cuma ketemu di pengadilan, atau di rumah sakit.”“Ah ... iya.” Anggun berhenti melangkah. Menatap Wahyu sejenak, lalu bergeser menghampiri kursi rodanya dan duduk di sana.“Pak Krisna ke sini jam delapan,” ujar Wahyu memberi informasi. “Dan aku minta om Budiman untuk nemani kamu, karena aku harus ke Kalingga Tower.”“Apa kabar Kalingga sekarang, Mas?” tanya Anggun hampir tidak pernah lagi
Sejak Anggun keluar dari rumah sakit, ia benar-benar tidak lagi bertemu dan berhubungan dengan Wahyu. Meskipun Syifa sudah memberikannya sebuah ponsel baru, tetapi Anggun merasa tidak perlu bertanya tentang nomor pria itu. Daftar kontak di ponsel barunya pun hanya berisi beberapa nama, kurang dari sepuluh orang.Ada sesuatu tentang Wahyu, yang membuat Anggun merasa lebih baik jika ia menjaga jarak. Karena sudah jelas, mereka tidak seharusnya lagi terhubung. Semua itu hanya akan menambah keruh permasalahan di antara Wahyu dan April. Lebih baik menjauh, agar Anggun tidak disalahkan atas retaknya hubungan mereka berdua.Hubungan mereka sudah cukup rumit, dan kehadirannya hanya akan memperburuk keadaan. Anggun tahu, keputusan ini bukan karena ia menghindar dari masalah, melainkan demi menjaga batas yang seharusnya tidak pernah dilewati. Bagaimanapun juga, Wahyu sudah memiliki kehidupan sendiri bersama April dan Anggun tidak ingin menjadi alasan kehancuran itu.Walaupun, dahulu kala Anggun
“Pak Kris, terima kasih banyak.” Anggun berdiri dari kursi rodanya, lalu menyalami Krisna.“Sama-sama.” Krisna menyambut uluran tangan Anggun dengan formal. “Ini semua belum berakhir, jadi, kita masih akan bertemu di sidang selanjutnya.”“Yah ...” Anggun menghela panjang, karena proses sidang memang tidak sesimpel yang dibayangkan. “Yang penting, semua bukti dan saksi kita sudah kuat. Om Regan sudah nggak bisa berkutik karena kita sudah awasi semuanya.”“Benar,” ucap Krisna. “Farhat dan keluarganya juga masih dalam perlindungan dan kita juga masih mengawasi Regan.”Anggun mengangguk dan berterima kasih sekali lagi. Namun, ada satu hal yang terasa janggal bagi Anggun, yakni Wahyu. Pria itu tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali di pengadilan. Sejak Anggun menginjakkan kaki di pelataran gedung sampai sesi sidang berakhir, ia tidak melihat pria itu sama sekali.“Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit Krisna karena harus segera kembali ke Firma. “Saya hubungi kalau terjadi sesuat
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Syifa dengan suara bergetar, matanya tidak bisa menyembunyikan kecemasan.Baik Syifa, Desty, dan Anggun, sedang harap-harap cemas menunggu jawaban sang dokter tentang kondisi Sabda.Dokter menarik napas dalam sebelum berbicara, mencoba menyiapkan berita yang pastinya tidak mudah. "Kondisi pasien saat ini sangat kritis," katanya, suaranya datar, tetapi tegas. "Kami sudah melakukan segala yang kami bisa untuk menstabilkan keadaannya, tapi respon tubuhnya terhadap perawatan sangat minim."Syifa menggenggam tangan Desty erat, matanya tidak lepas dari wajah dokter yang tampak lelah. "Tolong, Dok, masih ada harapan, kan?" Suaranya bergetar, berusaha menggenggam sisa-sisa keyakinan yang mulai memudar.Anggun membeku. Matanya terpaku pada pintu ruang ICU tanpa bisa berkata-kata. Bibirnya sedikit terbuka, tetapi hanya napas pendek dan berat yang mengalir, sementara hatinya berteriak tanpa suara. Kepalan tangannya gemetar, jemarinya memutih karena terla
Anggun berdiri mematung di depan ranjang rumah sakit, pandangannya tertuju pada tubuh Sabda yang terbujur kaku. Selimut putih membalut tubuh itu dengan tenang, dingin, dan tidak bergerak. Keheningan di dalam ruangan terasa asing, tanpa ada suara alat medis yang biasa menyertai.Perlahan, tangan Anggun terulur, menyentuh jemari Sabda yang terasa dingin dan tidak bernyawa. Sentuhan itu menyalurkan rasa pahit yang menyelinap ke dalam dada. Anggun menggigit bibir, menahan desakan tangis yang tidak kunjung datang. Air mata seolah enggan menyapa karena kesedihan yang dirasakannya begitu dalam.Anggun hanya bisa menatap hampa, pada sosok beku yang kini hanya meninggalkan sebuah kenangan. Berharap ada keajaiban, yang mungkin bisa membangkitkan gerak sekecil apa pun dari pria yang mencintainya.Namun ... tidak ada.Hanya ketenangan yang memekakkan, membungkus ruang itu dengan kepastian bahwa Sabda telah pergi, tidak akan pernah kembali.“Kenapa?” Dengan suara yang nyaris tidak terdengar, Anggun
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk