“Mas, sepertinya aku butuh pengacara.” Anggun menarik koper dari walk in closet, lalu membiarkannya di luar sisi ruang. Beranjak menuju tempat tidur, lalu berbaring miring menatap Sabda yang sibuk di meja kerja. “Bisa kasih referensi yang pamornya sebanding dengan Firma Sadhana?”“Emm ...” Sabda menggumam dengan jemari yang masih menari di atas keyboard. “Siapa, yaaa ... rival Sadhana pasti tertarik ngambil kasus ini.”“Sadhana punya rival?”“Kita semua punya rival dalam bidang yang sama.” Sabda menarik kedua tangannya. Bersandar menatap Anggun. “Besok aku coba telpon pak Krisna.”“Aku pernah sekali, ketemu pak Krisna di pengadilan,” ujar Anggun mengingat wawancara singkatnya setelah meliput salah satu sidang. “Jadi, nanti aku aja yang telpon langsung, biar leluasa.”“Oke!” Sabda kembali fokus pada layar komputer dan melanjutkan pekerjaannya. “Papa sama om Darwin mulai dipanggil minggu depan. Kamu juga siap-siap, karena mereka pasti akan manggil kamu lagi.”“Aku ngerti prosesnya.” Ang
Gerah karena mobil berwarna abu itu terus mengikuti, Anggun akhirnya menghentikan mobilnya. Melihat jam digital pada dashboard, lalu melihat jarak tempatnya berhenti menuju kediaman Krisna. Masih ada waktu setengah jam untuk sampai di sana. Lantas, di sisa waktu saat ini Anggun hanya diam memerhatikan mobil tersebut.Dengan perlahan dan pasti, mobil yang sedari tadi mengikutinya ternyata melewati mobil Anggun. Mungkin, pengemudi mobil tersebut tidak ingin menimbulkan kecurigaan sehingga melewatinya begitu saja. Atau, Wahyu mungkin sudah menghubungi April dan memberi sedikit “pelajaran” pada istrinya.Tidak dipungkiri, Anggun cukup merasa lega ketika mobil tersebut tidak lagi berada di belakangnya. Ia lantas bersandar, lalu menenangkan dirinya sendiri dengan mengatur napas berulang kali.Setelah merasa sedikit tenang, Anggun kemudian melepas rem tangannya. Saat kakinya baru menginjak pedal gas dengan perlahan, ponselnya lantas berbunyi. Anggun melirik pada layar dashboard dan melihat na
Tadinya, Anggun sudah membayangkan malam gala dinner yang dihadirinya akan menjadi malam yang “menyenangkan”, karena bisa berada di sisi April sepanjang acara. Namun, Sabda menyela kesenangan tersebut dengan meminta tamu dari meja lain untuk pindah tempat duduk.Alhasil, sia-sia saja usaha Anggun menghubungi seating coordinator acara dan membayarnya kalau hasilnya seperti sekarang. Ia tidak bisa menolak, karena memikirkan pandangan para tamu jika mereka berdebat di acara tersebut.Karena itulah, sepanjang acara Anggun hanya diam membisu karena Sabda sudah menghancurkan mood-nya. Anggun menahan amarah, sampai akhirnya acara utama selesai dan para tamu sibuk membaur untuk berbincang atau sekadar melakukan sesi foto sebagai kenang-kenangan.“Aku mau balik sekarang.” Anggun sudah memegang tas pesta yang hanya berisi ponsel dan dompet.“Bisa kita—”“Aku tunggu di lobi.” Anggun menolak apa pun yang ingin disampaikan Sabda, lalu meninggalkan pria itu tanpa menoleh. Namun, ia tetap memasang se
“Tante!” Wahyu mempercepat langkahnya begitu melihat Syifa mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang operasi. Tanpa perlu bertanya, ketegangan terpancar jelas di wajahnya. Sementara Budiman, hanya duduk diam dengan tatapannya kosong yang tertuju pada dinding. “Sabda—”“Sabda ...” Suara Syifa bergetar, matanya yang sembab beralih menatap Wahyu. Air mata menggenang lagi, namun tidak ada kata-kata yang mampu keluar, hanya isak yang akhirnya pecah. Syifa menumpahkan perasaan yang kembali tidak bisa dibendung.Wahyu menarik napas panjang. Udara di sekitarnya seolah menipis karena mendengar tangis Syifa. Tubuhnya reflek memberi pelukan dan berharap semua akan baik-baik saja.Entah sudah berapa lama isakan Syifa memenuhi kesunyian malam, sampai akhirnya Wahyu mendengar suara sang mama yang datang dan terdengar khawatir.“Mbak ...” Desty menghampiri dengan raut wajah tegang. Suaranya nyaris bergetar, melihat Syifa yang kini bersandar pada Wahyu. Menatap tanya pada putranya, tetapi hanya mene
“Bud! Bagaimana kondisi Sabda?” Regan menghampiri dengan wajah khawatir dan segera duduk di samping pria itu. “Aku baru dengar beritanya dan kenapa nggak ada yang ngabari aku?”Budiman mengembuskan napas berat dan tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong sejenak sebelum ia menatap Regan, kemudian beralih pada Elsa yang berdiri dan menanti jawaban.“Kritis,” jawabnya lirih dan pendek, sembari melihat April yang berjalan tergesa ke arah mereka.“Kata April, mereka tadi malam masih ngobrol di gala dinner,” ujar Elsa menatap lorong pendek yang menuju ICU, lalu beralih pada April yang baru berdiri di sampingnya. Ia menebak, Syifa saat ini berada di dalam sana menemani putranya. “Sabda kritis,” ucapnya memberi tahu.“Padahal tadi malam kami ketemu di—”“April.” Syifa menyentuh lengan putrinya dan menggeleng. Memberi isyarat, agar April tidak meneruskan ucapannya. “Anggun di mana, Mas Bud?” tanyanya yang juga penasaran dengan kondisi Anggun.“Anggun sudah di kamarnya, di ruang VVIP.” Des
“Sibuk?” tanya Desty setelah membuka pintu kamar VVIP yang ditempati Wahyu. “Mama pengen lihat Anggun sebenarnya, tapi yang jaga agak serem.”Wahyu terkekeh, lalu mempersilakan mamanya masuk. “Mama bisa masuk kapan aja ke sini dan nggak perlu minta izin,” terangnya sembari membereskan beberapa berkas yang berhamburan di sofa. Kemudian, Wahyu mempersilakan Desty duduk di sampingnya. “Kita bisa ke sebelah sekarang, kalau Mama mau jenguk Anggun.”“Nanti aja.” Desty mencekal tangan Wahyu yang hendak berdiri. “Mama mau ngomong sama kamu.”“Mau ngomong apa?”“Biarkan pak Krisna yang mengurus semuanya,” pinta Desty sambil menggenggam tangan putranya. Pagi tadi, Krisna sudah datang ke rumah sakit dan melakukan pertemuan yang cukup memakan waktu. Karena itulah, Desty ingin membujuk Wahyu agar melepas beberapa hal. “Maksud Mama, semua yang berkaitan dengan Anggun, biar pak Krisna yang handle. Dan kamu, fokuslah dengan Sabda.”“Kasus Sabda dan Anggun nggak bisa dipisahkan, Ma.”“Mama tahu, kamu
Anggun memberi senyum kecil pada Wahyu yang kembali masuk ke kamarnya. Kali ini, pria itu terlihat rapi dengan setelan jas yang sudah membalut tubuhnya seperti biasa.“Kata suster, sarapanmu nggak habis.” Wahyu kembali duduk di ujung tempat tidur seperti biasa. Suaranya datar, tetapi dengan intonasi tegas. “Tolong jangan seperti anak kecil. Aku tahu mungkin rasanya nggak enak, tapi demi kesehatanmu sendiri dan demi Sabda. Jadi, aku harap mulai nanti siang habiskan makananmu.”Anggun mengangguk samar karena sekujur tubuhnya masih terasa nyeri. Dari ujung kepala, hingga kaki.Wahyu benar, ia harus memaksakan diri menghabiskan makanannya demi dirinya sendiri dan juga Sabda. Anggun harus lekas pulih, agar bisa segera menemui suaminya.Selama Anggun berada di kamar inap, hanya Wahyu seorang yang kerap datang dan bicara dengannya. Budiman dan Desty pernah datang satu kali ketika ia tertidur dan Syifa belum pernah menjenguknya sama sekali, karena masih fokus pada Sabda. Semua itu, Anggun ket
“Lepas jaket, tas, sepatu, dan serahkan hapemu.” Kendrick memberi perintah tegas, sembari menunjuk buah tangan yang dibawa Kimmy. “Mbak Anggun nggak boleh makan makanan dari luar rumah sakit, jadi roti dan buahnya bisa kamu bawa lagi. Nggak perlu dibawa masuk.”“Baru ini saya besuk orang sakit seperti datang jenguk napi.” Meskipun kesal, tetapi Kimmy tidak bisa mengelak perintah pria itu. “Ini tuh cuma—”“Mau masuk atau pulang?” putus Kendrick kembali berujar dengan nada tegas.“Masuk.” Dengan bibir yang merengut, Kimmy melepas tas, membuka jaket, dan menuruti semua ucapan Kendrick dengan tidak ikhlas. Terakhir, ia menyerahkan ponselnya pada pria itu dengan kasar. “Hape baru, awas aja lecet!”Kendrick menerima ponsel tersebut, lalu memasukkan ke dalam saku jasnya. Kemudian, ia bergeser dan mengambil sebuah clipboard dari kursi tunggu, lalu menyerahkan pada Kimmy.“Baca dan tanda tangani dulu sebelum masuk ke dalam.”“Ha?” Kimmy benar-benar dibuat tercengang dengan proses ketat yang ha
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk
“Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin