“Sab, kita serah terima jabatan senin depan,” ujar Budiman setelah memasuki ruangan Sabda. “Pagi, jam sembilan dan setelah itu kamu sah jadi CEO Warta.”“Ahh!” Sabda menepuk pelan kepalanya. “Berarti aku harus pulang hari minggu.”“Mau ke mana?” tanya Budiman menarik kursi di hadapan meja putranya.“Mau ke Puncak,” jawabnya segera men-sleep komputernya. “Rencana berangkat sabtu pagi atau siang, terus pulang senin pagi.”“Pergilah jumat sore.”“Macet, Pa.” Sabda melirik ponselnya yang menyala dan melihat notifikasi pesan yang dikirimkan oleh sang istri. “Anggun di bawah. Aku mau ngopi di atas bentar.”“April keluar besok,” celetuk Budiman ketika Sabda menyebut nama istrinya. “Dan dia tetap bilang kalau Anggun yang dorong dia dari tangga. Ahh, anak itu.”“Papa percaya?”Budiman menggaruk pelipisnya sebentar, sembari tertawa remeh. “Kalau Anggun mau mencelakakan April, dia nggak akan melakukannya secara frontal,” terang Budiman. “Itu riskan, Sab, karena nama baiknya pasti jadi taruhan.”
“Sudah lihat pesan yang aku kirim?” April menatap berang pada Wahyu yang baru memasuki kamar. Pria itu berpamitan pergi ke kafetaria dan baru kembali 30 menit kemudian.“Pesan?” Wahyu langsung merebahkan tubuh pada sofa di samping pintu dengan perlahan, sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ponselnya memang kerap bergetar karena urusan pekerjaan. Namun, jika hanya getaran singkat maka Wahyu akan mengeceknya belakangan, karena hal tersebut menurutnya tidaklah urgen.“Sudah buka?” tanya April tidak sabar.“Sebentar.” Setelah berbaring, barulah Wahyu membuka pesan yang dikirimkan sang istri. Wahyu menatap beberapa foto yang dikirim April ke ponselnya, tanpa memberi reaksi yang berarti. Ternyata, reporter yang mengambil fotonya dengan Anggun, langsung mengirimkan hasil gambarnya pada April. “Memang kenapa dengan foto-foto ini? Nggak ada yang salah. Aku duduk di kafetaria dengan sepupumu. Ada meja di antara kami dan bukan duduk—”“Jadi kamu keluar nemui dia!”“Iya.”“Mau apa!” Kedu
“Kamu bodoh, atau apa?”April mendesah dan memunggungi Wahyu yang baru memasuki kamar dan langsung melempar protesnya. Entah tidur di mana pria itu semalam, karena Wahyu tidak ada di sampingnya, dari April menutup mata hingga terbangun di pagi hari.“Aku masih harus istirahat.” April menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya. Yang ingin ia dapatkan saat ini hanyalah ketenangan dan beristirahat memulihkan kesehatannya. Karena itulah, sejak semalam April menonaktifkan ponselnya, karena tidak ingin lagi menerima panggilan dari reporter yang ingin wawancara dengannya.“Kamu sudah lihat berita dari, ha!” Wahyu menarik selimut yang digunakan April dan melemparnya dengan asal.April membuka mata dan melihat Wahyu sudah berdiri menjulang tinggi di hadapannya.“Memangnya ada yang salah?” tanya April bangkit perlahan lalu menghela panjang sambil memijat kepalanya. “Apa ada yang merugikan kita? Nggak ada, kan?”“Masalah receh seperti ini nggak seharusnya naik ke media.”“Receh katamu!” April
“Akhirnya, Papa muncul di kantor.” Sabda memasuki ruangan Budiman, begitu mendapat kabar pria itu berada di ruangan.“Papa sibuk, banyak kerjaan.”“Termasuk sibuk mengurusi hasil tes DNA?” Sabda duduk perlahan di hadapan Budiman.“Termasuk itu,” jawab Budiman tanpa ragu sembari membuka laci meja kerjanya dan mencari sesuatu. “Dan Papa yakin, Anggun ada di balik semua ini.”“Om Regan yang ada di balik semua ini.”Budiman menutup lacinya dengan keras, lalu menatap Sabda dengan wajah serius. “Andai Papa dan om Darwin tahu Regan yang mengusir Anggun 15 tahun yang lalu, kami nggak akan pernah mau bantu dia.”“Tapi itu sudah terjadi,” ujar Sabda dengan mengangkat kedua bahu. “Papa dan om Darwin sudah menolong ular itu. Dan, apa yang didapat sekarang? Kalian bertiga pasti akan terjerat kasus hukum dan terimalah itu, Pa.”“Kamu mau Papamu—”“Ya,” sela Sabda dengan suara tegas. “Coba bayangkan kalau aku yang ada di posisi Anggun. Diusir dari rumah dan sendirian di tempat asing? Anggun masih 12
“Kita bisa bayar orang dan—”“Sudah terlambat.” Budiman memotong ucapan Regan sambil mengembuskan napas berat. Ia menyodorkan ponsel pada pria itu dan meminta Regan melihatnya. “Kita bisa cegah berita itu naik di media, tapi kita nggak bisa hentikan rumor yang ada media sosial.”“Media sosial?” Darwin mengernyit. Menyambar ponsel Budiman, sebelum Regan meraihnya. Melihat bagaimana narasi yang muncul dalam video di sebuah platform, lalu menggeleng dengan senyum yang tidak bisa dimengerti. “Hashtag, tes DNA Anggun Kalingga.”“Ha?” Dahi Regan mengerut begitu dalam mendengar ucapan Darwin. “Siapa yang ... ck! Buzzer! Anggun pasti bayar buzzer.”“Kita nggak berpikir sampai di sana.” Budiman kembali membuang napas berat.“Kita bisa cari orang IT dan meredam semuanya.”“Ini media sosial.” Darwin meletakkan ponsel Budiman di hadapan Regan. “Bukan website yang bisa kita hack. Kecuali, kita langsung hubungi orang platform dan block—”“Mati satu, tumbuh seribu,” putus Budiman mulai bisa membaca
“Sayang! Bangun!” Sabda membuka gorden dengan gerakan cepat. Cahaya matahari yang telah menampakkan biasnya langsung menyapa hangat dan terlihat begitu indah. “Kamu sudah ngelewati sunrise pagi ini.”“Hmm.” Anggun menggumam. Merasa bias matahari mulai menyilaukan, ia menarik selimut hingga menutup kepala.“Sudah siang ini.” Sabda menghempas tubuh di samping Anggun.“Capek!”Sabda tergelak. Memeluk erat tubuh Anggun yang masih terbungkus selimut dengan gemas. Namun, hal itu tidak berlangsung lama ketika ponsel sang istri berdering begitu keras. Detik selanjutnya, tubuh Sabda tersingkir karena Anggun mendorongnya menjauh.“Jam tujuh.” Anggun membuka selimutnya hingga sebatas dada, lalu bangkit sembari menjepitnya dengan kedua tangan. Melihat sekeliling kamar, tetapi tidak menemukan tasnya ada di sana. Anggun segera meraih ponselnya di nakas, lalu mematikan alarmnya. “Tasku di mana, ya?”“Di luar.”“Koper?” tanya Anggun lagi, sambil mengumpulkan nyawanya.“Juga masih di luar.”Anggun berd
“Ke mana mama?” tanya April menghampiri Regan di ruang kerjanya. “Aku kira lagi di sini sama Papa.”“Mamamu sakit kepala,” jawab Regan segera berdiri menyambut putrinya dan membawa April duduk di sofa. “Kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat di rumah dan nggak usah ke mana-mana dulu.”“Aku nggak papa.” April menggenggam erat jemari Regan dengan khawatir. “Mas Wahyu bilang, Papa bisa di penjara karena kasus tes DNA Anggun 15 tahun lalu. Sebenarnya, apa yang terjadi, Pa?”Regan membalas genggaman tangan putrinya tidak kalah erat, untuk menguatkan dirinya sendiri. “Om Alfian meninggal, Anggun menghilang, dan perusahaan goyang karena pemegang saham utama meninggalkan banyak proyek yang masih separuh jalan. Mereka saling melempar tanggung jawab, sekaligus ada yang ingin mengambil alih dengan cara licik.”Regan menarik napas lebih dulu, sebelum kembali melanjutkan ceritanya. “Kalau masalah hak waris nggak cepat diselesaikan, perusahaan bisa jadi tambah carut marut. Karena itulah, kita lakuk
“Rumah ini beserta aset papamu yang lain sudah disita bank.”Regan bertolak pinggang di tengah kamar Anggun, sambil melihat ke sekeliling dengan perlahan. Kamar dengan nuansa putih dan terlihat sangat bersih, juga luas. Ini kali pertama Regan masuk ke dalam kamar keponakannya, yang saat ini berusia 12 tahun.“Laporan keuangan perusahaan juga bermasalah, jadi ...” Regan menghampiri gadis kecil yang duduk memeluk kedua kaki yang tertekuk di tempat tidur. Wajah sembab dengan kedua mata yang bengkak itu, sungguh memperlihatkan rasa kehilangan yang luar biasa. “Ada kemungkinan perusahaan papamu juga bangkrut. Om cuma punya sedikit tabungan, jadi, pergilah dari sini karena banyak penagih utang yang pasti nyariin kamu.”“Nyariin ... aku?” Anggun bingung, mengapa penagih utang tersebut akan mencari dirinya.“Iya.” Regan mengangguk meyakinkan. “Jadi pergilah, karena Om nggak mau kamu kenapa-kenapa, pergilah. Dan biar semua urusan di sini, Om yang selesaikan.”Anggun menggeleng. Masih tidak meng